Ngutang Sama Dengan Gantung Diri

 


Ngutang Sama Dengan Gantung Diri

Sebuah Balada Satir Parodi dari Karang Tumaritis


Bagian I: Desa Karang Tumaritis Bergetar

Di kaki gunung yang sudah pensiun dari erupsi, terbaringlah desa Karang Tumaritis. Tanahnya subur, warganya nyentrik, dan tokohnya legendaris: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Mereka bukan cuma simbol pewayangan, tapi juga ahli dalam seni "hidup gaya padahal belum gajian".

Pagi itu, Semar duduk di bale bambu, wajahnya galau seperti dompet akhir bulan.

Semar:

“Duh Gusti Allah... kenapa orang-orang makin doyan utang, padahal bayar cicilan saja mereka menghilang seperti mantan!”

Gareng lewat, nyeret karung kosong yang katanya “berisi harapan”.

Gareng:

“Pak Semar, saya barusan ditagih sama Mbah Lodra dari Randu Alas. Katanya utang sembako kita belum lunas sejak lebaran 2017. Lha saya pikir itu udah dianggap sedekah lintas desa!”

Semar (tepok jidat):

“Gareng... sedekah itu ikhlas, bukan karena lupa bayar. Kita harus bertanggung jawab, bukan bertameng akting miskin.”


Bagian II: Petruk dan Filosofi Gagal Bayar

Petruk datang bawa motor hasil kredit, knalpotnya bunyi seperti batuk asma. Di tangannya ada secarik kertas: brosur pinjaman online berbunga iblis.

Petruk:

“Pak Semar! Liat nih, pinjol bunga cuma 0.0001% per detik! Cepet cair, syarat gampang, tinggal selfie pake muka polos dan tanda tangan darah!”

Semar:

“Petruk, itu bukan pinjaman, itu undangan gantung diri gaya digital!”

Petruk (ngegas):

“Tapi saya butuh dana darurat buat... upgrade skin Mobile Legend! Masa hero-nya kalah gaya sama cucu RT sebelah?”

Bagong:

“Lu butuh dana darurat atau validasi sosial?”


Bagian III: Dialog Konyol dalam Rapat Warga

Rapat warga Karang Tumaritis digelar. Topiknya: utang. Semua duduk melingkar sambil mengunyah kerupuk hutang warisan.

Pak RT (berdiri):

“Saudara-saudara, berdasarkan laporan keuangan, kita lebih banyak utang daripada saldo. Bahkan saldo grup WhatsApp saja sudah minus karena utang kuota!”

Ibu-ibu serempak:

“Itu si Bagong, tiap pinjam minyak bilangnya besok dibalikin, padahal besoknya bilang 'kan katanya ikhlas'!”

Bagong:

“Lho, kalau ikhlas kok ditagih? Itu kan berarti pamrih berkedok silaturahmi!”

Semar angkat tangan, wajahnya serius seperti guru matematika yang dikhianati murid remedial.

Semar:

“Warga Karang Tumaritis, dengarlah! Utang itu bukan dosa, tapi kalau lupa bayar dan pura-pura lupa, itu kejahatan berdalil kesopanan!”

Gareng:

“Tapi Pak Semar, ada juga orang yang utangnya gede, tapi gayanya kayak sultan. Naik motor sport, beli kopi tiap hari, selfie tiap sore...”

Semar:

“Itulah tragedi gaya hidup utang: kaya penampilan, miskin pertanggungjawaban.”


Bagian IV: Perjalanan ke Randu Alas

Karena desakan moral, Semar dan tiga anaknya memutuskan pergi ke Desa Randu Alas. Misi: meminta maaf dan melunasi utang.

Sepanjang perjalanan, mereka berdiskusi absurd.

Gareng:

“Pak Semar, utang itu bisa diwariskan gak? Soalnya saya pengin ngasih warisan yang abadi ke cucu.”

Petruk:

“Kayaknya bisa. Makanya banyak orang tua mewariskan utang KPR, cicilan motor, dan tagihan BPJS.”

Bagong:

“Kalau gitu, saya nanti mau nikah sama anak rentenir aja. Biar sekalian nyicil mertua.”

Semar (mendadak puitis):

“Anak-anakku... utang adalah cinta yang berubah jadi jerat. Awalnya manis, akhirnya menjerat lehermu dengan bunga yang membunuh.”


Bagian V: Ketemu Mbah Lodra, Juru Tagih dari Randu Alas

Sampailah mereka di rumah Mbah Lodra, sesepuh Randu Alas, yang lebih dikenal sebagai “Bank Emok Berjalan”.

Mbah Lodra (berteriak):

“Ooo, akhirnya kalian datang juga! Kalian ini ngutang beras, gula, tepung, tapi bayarnya cuma senyuman dan janji palsu kayak caleg!”

Semar (menunduk):

“Mbah, kami datang bukan untuk membela diri, tapi minta maaf dan membayar sebisa kami.”

Petruk:

“Saya bawa dua tabung gas bekas, sehelai sarung bolong, dan voucher cuci motor. Bisa ditukar nilai moral?”

Mbah Lodra (ketawa ngakak):

“Kalian memang absurd, tapi jujur. Itu lebih mulia daripada yang ngaku ‘lupa’ tapi tiap minggu liburan ke Candi TikTok.”

Akhirnya, Mbah Lodra mengampuni sebagian utang karena melihat niat baik dan kejujuran. Tapi ia juga memberi wejangan keras:

“Jangan biasakan hidup dari uang yang bukan hakmu. Rejeki sejati itu dari kerja keras, bukan dari janji manis bibir tukang utang!”


Bagian VI: Refleksi di Bawah Pohon Randu

Dalam perjalanan pulang, mereka duduk di bawah pohon randu besar. Angin semilir, dan batin mereka bergetar.

Semar:

“Anak-anakku, hari ini kita belajar bahwa utang itu bukan sekadar angka. Ia adalah tanggung jawab, moral, dan integritas.”

Gareng:

“Saya jadi malu, Pak. Selama ini saya mikir utang itu cara hidup. Ternyata itu cara perlahan menggali lubang sendiri.”

Petruk:

“Saya menyesal, Pak. Dulu saya utang buat hal gak penting: gaya, gengsi, dan ghibah.”

Bagong:

“Saya... masih utang gorengan lima biji. Tapi saya janji akan bayar. Atau minimal minta maaf pake puisi.”


Epilog: Belajar dari Tumaritis

Dari hari itu, Karang Tumaritis berubah:

  • Warung menyediakan buku utang transparan yang bisa dilihat semua orang.

  • Warga belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

  • Pinjaman harus disertai dengan surat perjanjian disaksikan kambing tetangga.

  • Gengsi dianggap penyakit jiwa, bukan lambang status.


Pesan Moral dan Solusi Praktis

1. Jangan Mudah Berutang untuk Gaya Hidup

Utang seharusnya solusi terakhir untuk kebutuhan mendesak, bukan demi validasi sosial.

2. Catat dan Ingat Semua Utang

Bukan hanya di hati, tapi di buku atau aplikasi. Lupa bukan alasan.

3. Bayar Tepat Waktu, Jangan Tunda

Menunda pembayaran membuat beban semakin besar, secara moral dan finansial.

4. Jangan Malu Mengaku Tak Mampu

Lebih baik jujur daripada hidup dalam kepura-puraan hutang.

5. Bangun Budaya Transparansi

Utang bukan aib, asal disertai niat membayar dan keterbukaan.

6. Edukasi Literasi Keuangan dari Dini

Ajarkan anak-anak soal tanggung jawab, bukan soal gengsi.

7. Hindari Pinjol dan Rentenir Ilegal

Mereka bukan penyelamat, tapi penyiksa berjas rapi.


Penutup

Balada ini bukan hanya tentang Semar dan anak-anaknya. Ini tentang kita semua—yang pernah ngutang gorengan dan pura-pura lupa, yang beli iPhone tapi tagihan listrik belum lunas, yang tampil mentereng tapi dompet bolong.

Ingatlah: Ngutang boleh, asal tahu diri. Ngutang bukan seni menghindar, tapi seni bertanggung jawab. Karena ngutang tanpa bayar... sama saja dengan menggantung diri pakai tali ketidakjujuran.


☕️ NGUTANG SAMA DENGAN GANTUNG DIRI (Versi Galaksi Liar)

Live dari Warung Kopi Pojok Ngutang
di Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng


☄️ Pembukaan Kosmis

Di tengah gemuruh angin nebula, di Planet Belgedes—planet yang katanya lebih maju dari bumi tapi tetap suka ngutang—berdiri warung legendaris bernama “Pojok Ngutang”. Tempat nongkrong segala makhluk dari penjuru tata surya: dari alien pengangguran sampai dewa yang nyicil sandal.

Di pojok warung, Semar, Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry (yang disangka Nabi Utang karena jenggotnya bisa dipintal jadi dompet digital) duduk mengelilingi satu teko kopi robusta antariksa.

☕💀


🛸 Babak 1: Ngopi, Ngutang, Ngaco

Semar (mengaduk kopi):

“Kalian sadar gak, di galaksi ini… yang bener-bener merdeka cuma utang. Dia bisa masuk ke mana saja tanpa visa. Ke dompet, ke hati, bahkan ke warung mie ayam.”

Petruk (sedot es kopi tubruk antariksa):

“Pak Semar, saya punya prinsip: lebih baik utang daripada kehilangan harga diri karena ngaku gak mampu! Wkwk.”

Gareng (melempar biskuit mete galaksi):

“Masalahnya, Truk, harga dirimu udah dijual waktu ngutang beli sabun cuci muka biar glowing di Zoom!”

Bagong (angkat tangan):

“Saya lebih milih ngutang pulsa daripada kehilangan eksistensi sosial! Bayar nanti... pas saya menang lotre!”

Jeffrie Gerry (menulis di tisu):

“Di sinilah tragedi dimulai: ketika ngopi jadi gaya hidup, tapi bayar cicilan dianggap fitnah pribadi 😭”


👽 Babak 2: Dialog Absurd di Pojok Ngutang

Semar:

“Utang itu kayak mantan posesif. Dia dateng tiap tanggal tua dan gak pernah benar-benar pergi.”

Petruk:

“Saya tuh bukan gak mau bayar, tapi semesta belum mendukung...”

Gareng:

“Itu alasan astrologi, bukan finansial!”

Bagong:

“Kalau saya sih udah pakai debt detox... tiap hari baca mantra: utangku bukan aku, aku bukan utangku... 🧘‍♂️💸”

Jeffrie Gerry:

“Kalian tahu nggak? Di negara Konoha ini, utang bukan lagi kebutuhan. Tapi identitas. Bahkan KTP di sini ada chip khusus utang!”


💥 Babak 3: Kreditan Cinta dan Kartu Karma

Semar:

“Dulu orang ngutang buat usaha. Sekarang ngutang buat upgrade skin game dan kirim stiker WA premium. 😑”

Petruk (bangga):

“Saya pernah ngutang 3 juta demi kado ultah pacar yang ternyata jadian sama kasir Alfamart!”

Gareng:

“Saya pernah ngutang beli kursi gaming, padahal gak punya rumah!”

Bagong:

“Saya ngutang beli cincin lamaran. Cewenya nolak. Akhirnya saya kawin sama cicilan.”

Jeffrie Gerry:

“Cinta bisa kandas, tapi utang tak pernah putus. Itulah ‘karma instan tanpa pelukan’. 🥲”


🌪️ Babak 4: Hantu Bernama Lupa Bayar

Semar (murka):

“Masalah kita ini satu: suka ngutang, benci ditagih. Suka pinjam, alergi bayar. Kalian itu pengabdi ‘nanti’!”

Petruk:

“Saya sih... bukan gak mau bayar. Tapi lupa.”

Gareng:

“Kamu gak lupa. Kamu nyimpen di folder ‘prioritas belakangan’!”

Bagong (dengan mata penuh dosa):

“Kalau saya... saya anggap utang sebagai bagian dari silaturahmi. Semakin lama gak bayar, semakin panjang hubungan!”

Jeffrie Gerry:

“Itu bukan silaturahmi, Gong. Itu silat-lidah dibalut syirik finansial!”


🚽 Babak 5: Toilet Warung Jadi Ruang Diskusi Moral

Mereka pindah ke toilet warung karena suasana mulai tegang. Di dalam, ada graffiti bertuliskan:

🧻 “Siapa ngutang tak bayar, kelak disiram karma tiga kali sehari.”

Semar (menatap cermin):

“Kita perlu revolusi. Bukan utang dibayar pakai doa, tapi pakai kerja!”

Petruk:

“Kerja? Tapi di Planet Belgedes, lowongan kerja lebih sedikit dari jumlah jomblo bahagia!”

Gareng:

“Kita butuh literasi keuangan, bukan motivasi dari TikTok yang bilang ‘semua bisa asal yakin’!”

Bagong:

“Atau bikin bank desa khusus warga miskin gaya! Namanya: BANK BANGKRUT BERJAMAAH

Jeffrie Gerry (mencatat):

“Bagus juga. Dan bunganya bukan bunga bank, tapi bunga kamboja. Biar sadar itu utang membawa ke liang kubur. 🪦🌺”


🌈 Penutup: Deklarasi Warung Pojok Ngutang

Sambil meneguk tegukan terakhir kopi galaksi, mereka membuat deklarasi absurd:

Kami bersumpah atas nama biji kopi dan cicilan motor:

  • Tak akan ngutang untuk gaya hidup digital.

  • Tak akan nyicil cinta pakai uang pinjaman.

  • Tak akan lari dari tagihan, kecuali dikejar debt collector robot.

  • Dan akan belajar bahwa hidup sederhana bukan tanda miskin, tapi tanda waras!


📚 Pesan Moral dari Galaxy Samsoeng

🌌 Jangan terlalu pintar cari alasan untuk ngutang. Pintarlah mencari cara membayar.

🚫 Jangan normalisasi “nanti juga dibayar”. Karena “nanti” bisa berubah jadi “nggak pernah”.

🧠 Utang bukan dosa, tapi dosa itu mulai tumbuh ketika kita menjadikan utang sebagai budaya.

🧾 Satu nota utang yang disimpan bisa lebih tajam dari pedang, karena ia menebas harga diri tanpa darah.


🔚 Penutup Puitis dari Jeffrie Gerry

Di Planet Belgedes, kopi pahit jadi penawar dosa,
Dan ngutang jadi candu rasa bangga.
Tapi satu hal tak pernah berubah...
Yang utang tetap utang, tak bisa ditukar dengan tawa.

💬 “Bayarlah sebelum semesta menagihmu pakai karma.”


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.