BALADA SEORANG TUKANG INGKAR JANJI
Karya: Jeffrie Rivado Gerry
I
Di kampung kecil bernama Harapan,
tinggal seorang pria berwajah ramah bernama Karman.
Mulutnya manis, hatinya hampa,
Janji-janjinya ibarat hujan: turun deras lalu lenyap begitu saja.
"Besok aku datang" katanya tegas,
"Sore nanti pasti kuantar" dengan mantap berucap.
Tapi sore lewat, malam menggigit,
yang datang cuma angin dan rasa pahit.
II
Ia menjanjikan pintu baru pada rumah Mak Inem,
"Gratis!" katanya, "asal ada kopi dan tempe goreng."
Tiga bulan sudah tembok menganga,
pintu tak datang, janji terlupa.
Di rumahnya sendiri, anaknya berkata:
"Bapak janji temani aku ke sekolah."
Tapi pagi itu si Bapak entah ke mana,
katanya proyek, padahal main gaple di warung Pojok Rasa.
III
Ia tak jahat, cuma lelah, katanya.
Lelah ditekan harapan orang lain yang ia ciptakan sendiri.
"Kalau aku tak berjanji," katanya sekali waktu,
"Orang takkan tersenyum. Jadi biarlah aku berdusta sedikit."
Tapi dustanya tumbuh jadi benalu,
Janji-janjinya tumbuh jadi jaring laba-laba
yang menangkap semua yang percaya padanya
dan mengikat mereka dengan kecewa.
IV
Dia dijuluki “Si Tukang Janji” oleh ibu-ibu di pasar,
“Si Raja PHP” oleh anak-anak muda yang tertipu kerja sambilan,
“Duta Tunda Nasional” oleh para tetangga,
dan “Pangeran Ingkar” oleh mantan-mantan kekasihnya.
Suatu hari ia duduk sendiri di bawah pohon asem,
merenungi hidupnya yang seperti lagu kosong.
"Kenapa orang selalu berharap padaku?" tanyanya.
Mungkin karena kau selalu mengatakan, “Bisa!”
V
Seseorang datang, anak kecil dengan seragam kusam.
"Pak, kata Bapak minggu lalu, mau belikan aku sepatu."
Karman menunduk, hatinya tercekat.
Dia ingat—tapi juga pura-pura lupa.
"Maaf, Nak, nanti saja ya.
Bapak masih banyak utang kata-kata."
Anak itu pergi, tak marah, hanya diam.
Seperti tahu: janji dari Karman tak pernah bisa disimpan.
VI
Malam itu, ia bicara sendiri di kaca:
"Kau ini manusia atau mesin ingkar?
Janji seperti permen, tapi kau kunyah sendiri.
Kau beri harapan, tapi yang panen cuma luka."
Bayangan di kaca pun tertawa:
"Kau bukan manusia jahat.
Kau cuma tak pernah berani bilang: TIDAK."
VII
Lalu datang seorang perempuan tua,
Membawa surat, bukan cinta, tapi gugatan.
“Janji kamu nikahi anak saya! Sudah 14 tahun berlalu!”
Karman gugup, tersenyum kikuk:
"Waktu itu saya masih bingung, Bu."
"Sampai uban pun datang, bingung terus, Man?"
VIII
Di tengah warung kopi, orang-orang bicara.
"Janji Karman lebih banyak dari biji kopi."
"Lebih pahit juga kalau diseduh."
"Dia bilang mau bayar utang minggu lalu, sekarang sudah masuk bulan baru."
"Katanya mau ikut gotong royong, yang datang malah anaknya minta maaf."
Dan di pojok ruangan, Karman duduk diam.
Dia mendengar, dan entah kenapa, tidak marah.
Mungkin karena semua benar.
IX
Ia coba perbaiki diri.
Hari Senin dia menepati satu janji:
Mengantar surat untuk Bu Lurah.
Tapi suratnya tertukar, jadi malah surat undangan mantan.
Hari Rabu dia mencoba lagi:
Datang tepat waktu ke arisan.
Tapi duduknya salah, masuk grup ibu-ibu hobi nonton Korea.
Hari Jumat dia berjanji pada dirinya sendiri:
Tak akan buat janji lagi minggu ini.
Tapi sore itu, ia bilang pada tetangganya,
"Besok saya bantu benerin genteng, serius deh."
X
Akhirnya ia bertemu pendeta tua yang menasihatinya:
"Janji adalah utang."
"Lalu kenapa tidak ada rentenir janji, Romo?"
"Karena janji tidak bisa ditagih dengan bunga,
hanya bisa dibayar dengan luka."
XI
Suatu hari, seluruh kampung mogok percaya.
Semua orang menuliskan papan di depan rumah:
"DILARANG JANJIAN DENGAN KARMAN"
"JIKA IA DATANG, CUKUPKAN DENGAN TERSENYUM SAJA"
"JANGAN DITANYA APA-APA, NANTI DIBOHONGI LAGI"
Karman pun bingung, merasa kosong.
Ternyata lebih baik dimarahi daripada tak dianggap.
XII
Ia lalu menulis surat untuk seluruh warga:
“Wahai kalian yang pernah aku kecewakan,
aku adalah pemahat harapan dari tanah rapuh.
Aku berkata 'ya' karena tak ingin melihatmu sedih,
tapi kebahagiaanmu bukan dari lidahku,
melainkan dari tangan dan waktuku yang tak kunjung setia.”
XIII
Kini ia memilih diam,
Bukan karena tak peduli, tapi agar tak melukai.
Ia belajar mengatakan “nanti” dengan jujur.
Ia belajar menolak tanpa harus berdusta.
XIV
Dan ketika anaknya berkata:
"Bapak, antar aku ke sekolah besok?"
Karman menghela napas panjang, lalu menjawab:
"Iya, Nak. Dan kali ini, Bapak benar-benar akan datang."
Dan esoknya, meski hujan deras mengguyur kampung Harapan,
Karman datang—berpayung, menggandeng anaknya yang tersenyum.
XV
Orang-orang mulai percaya kembali,
Bukan karena janji Karman,
Tapi karena langkahnya yang perlahan
Menyusuri jalan baru: jalan menepati.
BALADA SEORANG TUKANG INGKAR JANJI
Bukan tentang kehebatan berdusta,
Tapi perjalanan panjang seorang manusia
Yang belajar:
Bahwa janji bukan untuk dikatakan,
Tapi untuk dijalani.