Burung Garuda di Laci Meja Pejabat

 


Pengantar:

"Ketika simbol negara terkurung dalam laci kekuasaan, apakah masih ada ruang bagi keadilan untuk terbang?"


Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir: "Burung Garuda di Laci Meja Pejabat"

Di laci meja pejabat, burung Garuda terkurung,
Sayapnya terlipat, paruhnya bungkam,
Dulu ia terbang tinggi di langit kemerdekaan,
Kini ia terjebak dalam birokrasi yang kelam.

Pejabat tersenyum dengan jas rapi dan dasi sutra,
Tangannya sibuk menghitung lembaran rupiah,
Sementara Garuda menatap dengan mata nanar,
Menyaksikan nilai-nilai bangsa dijual murah.

"Aku adalah lambang negara," bisik Garuda,
"Tapi kini aku hanya hiasan di laci yang terlupa."
Pejabat tertawa, "Kau terlalu idealis, kawan,
Di sini, yang penting adalah keuntungan dan jabatan.

Garuda meronta, ingin terbang bebas,
Namun laci terkunci dengan gembok kekuasaan,
Setiap kali ia mencoba keluar,
Pejabat menekannya dengan dokumen dan peraturan

"Kami membangun negeri," kata pejabat bangga,
"Sambil mengisi kantong dengan dana rakyat,
Garuda, kau terlalu kuno dan kolot,
Zaman sekarang butuh pragmatisme, bukan semangat."

Garuda meneteskan air mata darah,
Melihat keadilan dijadikan komoditas,
Melihat hukum dijadikan alat,
Untuk melindungi para elit dari jerat.

Di luar, rakyat bersorak dalam demonstrasi,
Menuntut perubahan dan transparansi,
Tapi suara mereka teredam oleh tembok kekuasaan,
Yang dibangun dari janji-janji kosong dan kebohongan.

Garuda berdoa dalam diam,
Memohon agar suatu hari ia bisa terbang,
Membawa harapan dan keadilan,
Untuk negeri yang kini terjebak dalam kebingungan.

Namun untuk saat ini,
Ia tetap terkurung di laci meja pejabat,
Menjadi saksi bisu dari korupsi dan keserakahan,
Menunggu saatnya untuk kembali terbang ke langit kebebasan.


Refleksi:

Puisi ini menggambarkan ironi dan paradoks dalam realitas politik Indonesia, di mana simbol negara yang seharusnya menjadi lambang keadilan dan kebebasan justru terkurung dalam laci kekuasaan yang korup. Sindiran ini ditujukan kepada para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, mengorbankan nilai-nilai bangsa demi keuntungan sesaat. Pesan moralnya adalah pentingnya menjaga integritas dan semangat kebangsaan, serta perlunya perubahan sistemik untuk membebaskan negeri ini dari belenggu korupsi dan ketidakadilan.


"Garuda dalam Laci: Monolog Seekor Burung yang Terpenjara"

Di laci meja pejabat, aku terkurung,
Sayap-sayapku yang dulu perkasa kini terlipat,
Paruhku yang tajam kini bungkam,
Dulu aku terbang tinggi di langit kemerdekaan,
Kini aku terjebak dalam birokrasi yang kelam.

Pejabat tersenyum dengan jas rapi dan dasi sutra,
Tangannya sibuk menghitung lembaran rupiah,
Sementara aku menatap dengan mata nanar,
Menyaksikan nilai-nilai bangsa dijual murah.

"Aku adalah lambang negara," bisikku,
"Tapi kini aku hanya hiasan di laci yang terlupa."
Pejabat tertawa, "Kau terlalu idealis, kawan,
Di sini, yang penting adalah keuntungan dan jabatan."

Aku meronta, ingin terbang bebas,
Namun laci terkunci dengan gembok kekuasaan,
Setiap kali aku mencoba keluar,
Pejabat menekanku dengan dokumen dan peraturan.

"Kami membangun negeri," kata pejabat bangga,
"Sambil mengisi kantong dengan dana rakyat,
Garuda, kau terlalu kuno dan kolot,
Zaman sekarang butuh pragmatisme, bukan semangat."

Aku meneteskan air mata darah,
Melihat keadilan dijadikan komoditas,
Melihat hukum dijadikan alat,
Untuk melindungi para elit dari jerat.

Di luar, rakyat bersorak dalam demonstrasi,
Menuntut perubahan dan transparansi,
Tapi suara mereka teredam oleh tembok kekuasaan,
Yang dibangun dari janji-janji kosong dan kebohongan.

Aku berdoa dalam diam,
Memohon agar suatu hari aku bisa terbang,
Membawa harapan dan keadilan,
Untuk negeri yang kini terjebak dalam kebingungan.

Namun untuk saat ini,
Aku tetap terkurung di laci meja pejabat,
Menjadi saksi bisu dari korupsi dan keserakahan,
Menunggu saatnya untuk kembali terbang ke langit kebebasan.


Refleksi:

Puisi ini menggambarkan ironi dan paradoks dalam realitas politik Indonesia, di mana simbol negara yang seharusnya menjadi lambang keadilan dan kebebasan justru terkurung dalam laci kekuasaan yang korup. Sindiran ini ditujukan kepada para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, mengorbankan nilai-nilai bangsa demi keuntungan sesaat. Pesan moralnya adalah pentingnya menjaga integritas dan semangat kebangsaan, serta perlunya perubahan sistemik untuk membebaskan negeri ini dari belenggu korupsi dan ketidakadilan.

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)2025

“Tulisan ini adalah sebuah  satir yang hidup dan bernafas meskipun hanya berupa tulisan. Segala kesamaan dengan kenyataan hanyalah kebetulan yang disengaja.”

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. ini puisi satir yang paling mengena dengan keadaan yang relevan

    ReplyDelete