Judul: "Negeri Seribu Mikrofon, Tapi Satu Script"
Pengantar: Mereka berkata, "Silakan bicara." Tapi jangan berbeda, nanti salah nada. Katanya bebas, tapi lidahmu harus bersertifikat otoritas.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir: "Negeri Seribu Mikrofon, Tapi Satu Script"
Halo, rakyat yang merdeka, Silakan bicara, asal katanya sama, Kata-kata telah disulap jadi mata uang, Dan diam jadi mata-mata paling berbahaya.
Kami bangga punya kebebasan berpendapat, Tapi dengan catatan kaki sepanjang disertasi, Jangan terlalu jujur, nanti dikira makar, Tertawa pun harus dalam frekuensi nasional.
Layar kami pixel sempurna, penuh warna, Tapi hanya satu saluran, satu suara, Yang lain dibisukan, bukan dibungkam, Karena kami cinta damai, asal damainya diam.
Inilah negeri yang penuh "opsi terbatas" Tempat opini diuji oleh KPI spiritual, Saring sebelum sharing, atau hidupmu yang tersaring, Dan kita pun belajar: berpikir adalah seni menyamakan.
Kami punya kebebasan kata, Asal katanya tak melenceng dari tata kata, Ejaan yang disempurnakan oleh yang maha regulator, Diksi yang diawasi langsung dari pusat tata nilai.
Tuhan pun jika turun ke bumi, Mungkin akan diminta akreditasi, Sebab ajaran harus relevan dengan trend, Dan nubuatan disusun dalam bentuk carousel Instagram.
"Silakan demo, asal tidak di trotoar, Silakan menulis, asal tidak menyindir, Silakan bertanya, asal pertanyaan retoris saja, Karena pertanyaan nyata terlalu mengusik kenyataan kami."
Kami hidup dalam seminar motivasi nasional, Di mana kegagalan adalah salah pribadi, Dan sukses adalah warisan DNA pejabat, Kritik disebut dengki, saran dianggap makar.
Mikrofon-mikrofon tersedia di tiap sudut jalan, Tapi semua sudah dikalibrasi sebelumnya, Kata "korupsi" dipendekkan jadi "kreativitas", Dan "kebijakan rakyat" jadi "hak prerogatif Tuhan-tuhan kecil."
Panggung besar disiapkan tiap tahun, Untuk menampilkan tokoh-tokoh berbicara tentang kebebasan, Sambil membawa catatan yang disetujui kementerian, Satu per satu mengumandangkan puisi yang sama:
"Kami bebas... bebas untuk patuh Kami merdeka... merdeka untuk tidak bertanya"
Di ruang kelas, guru bertanya: "Anak-anak, apa itu demokrasi?" Dan semua menjawab serempak, "Demokrasi adalah saat rakyat memilih diam dengan penuh suka cita!"
Oh, betapa indahnya keberagaman yang seragam, Kebebasan yang terorganisir, Kejujuran yang telah dikurasi, Dan keberanian yang harus melewati birokrasi.
Di sini, satire adalah strategi bertahan hidup, Monolog dalam batin jadi hiburan paling aman, Karena berbicara terlalu keras bisa dianggap nyinyir, Dan terlalu diam bisa dianggap subversif.
Lihatlah betapa indahnya taman kebebasan ini, Penuh bunga plastik yang tak pernah gugur, Daun-daun yang tak bisa layu, Karena semua telah disemprot larutan stabilitas nasional.
"Jangan khawatir," kata si pejabat, "Kami tidak membungkam Anda, Kami hanya mengatur napas Anda, Agar harmonis dengan irama pembangunan."
Lalu datanglah influencer, pahlawan digital baru, Dengan ring light dan naskah dari sponsor negara, Mengajarkan makna toleransi versi feed bersponsor, Dan pentingnya bersyukur dalam ketimpangan yang dirayakan.
Kita semua disuruh jadi duta senyuman, Walau gigi berlubang karena janji tak ditepati, Kita jadi ambassador harapan palsu, Dengan follower yang lebih jujur dari realita.
Mereka berkata: "Mari beropini, asal viral dan tidak berbahaya," Karena algoritma kini lebih adil dari hukum, Dan dislike kini lebih mematikan dari kritik akademis.
Kebenaran? Oh itu sudah dijual dalam bentuk NFT, Hanya bisa dibeli oleh yang punya izin, Dan moral? Itu sudah di-outsource ke AI, Agar lebih netral dan tidak menyindir elite.
Monolog batin jadi gaya hidup, Dialog jadi konten berbayar, Dan diskusi tinggal ilusi, Sebab debat kini disebut pelanggaran etika daring.
"Jangan main-main dengan kata-kata," Kata si pembuat kamus resmi, "Karena tiap suku kata bisa jadi bukti bahwa kamu berbeda—dan itu sangat berbahaya."
Di negeri ini, Pahlawan adalah yang bisa menyusun kalimat pasif agresif dengan anggun, Dan penjahat adalah yang berkata jujur tanpa filter, Sementara netral adalah posisi aman untuk menyembunyikan ketakutan.
Seni disubsidi selama tidak menyindir, Sastra diajarkan tapi tak boleh digunakan, Kritikus diberi panggung asal kritiknya datar, Dan sastrawan dicetak dengan tinta sensor.
"Kau terlalu vokal," kata moderator hidup, "Turunkan volumenya, atau kami turunkan hidupmu," Karena di sini, pembicaraan harus lulus uji sensor nurani kolektif, Yang ditentukan oleh sekelompok orang yang takut ditanya.
Kami bebas bicara, asal bicaranya sama, Kami boleh memilih, asal hasilnya aman, Kami boleh bermimpi, asal jangan terlalu dalam, Karena mimpi yang berbeda bisa mengganggu stabilitas tidur nasional.
Kami sudah terbiasa menyensor diri, Hingga cermin pun tak lagi mengenali siapa kami, Kami tersenyum dalam foto-foto nasional, Sambil menggigit lidah di belakang layar.
"Negara ini demokratis!" kata mereka sambil menunjuk dokumen, Yang penuh tanda tangan, tapi kosong suara, "Kalian punya suara!" kata mereka, Sambil menyetel volume mikrofon mereka sendiri lebih keras.
Dan kami pun belajar: Bicara bukan untuk menyampaikan, Tapi untuk mengulang, Bukan untuk membebaskan, Tapi untuk menyesuaikan.
Kami hidup dalam distopia yang sopan, Yang penuh etika dan tata krama, Sampai akhirnya lupa: Etika tak berarti apa-apa jika kejujuran dikriminalkan.
Kami pun jadi burung dalam sangkar bersuara merdu, Yang tak sadar bahwa lagu yang kami nyanyikan, Sudah ditulis oleh tangan tak terlihat, Dan kita dipuji karena kepatuhan, bukan karena isi nyanyian.
Refleksi Penutup: Puisi ini adalah tamparan lembut—atau keras, tergantung siapa yang membaca—bagi sistem sosial yang mengklaim kebebasan berekspresi, namun hanya memperbolehkan satu jenis ekspresi: yang aman, seragam, dan tidak menyinggung siapa pun kecuali logika sehat. Sindiran ini menyasar semua lapisan—dari pejabat hingga pengguna internet, dari pembuat aturan hingga para komentator anonim. Pesan moralnya sederhana: jika kita ingin kebebasan berbicara, mari juga rayakan keberagaman suara. Bukan dengan senyum palsu, tapi dengan keberanian mendengar, bahkan ketika kita tak setuju. Jadilah manusia yang berpikir, bukan hanya mengulang.
Berbicaralah, meski berbeda. Karena diam seragam adalah awal dari kebohongan massal.
Judul: 🌀 "Ngopi di Ujung Lidah Demokrasi: Dialog Ngawur, Tapi Kok Nyambung Ya?" ☕🗣️
Pengantar: Di Warung "Pojok Ngutang" yang cuma terima senyuman sebagai jaminan, empat tokoh punakawan dan satu pujangga digital menyeruput satire seperti kopi tubruk: pahit, tapi bikin melek.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Dialog dan Puisi Satir)
📍Lokasi: Warung "Pojok Ngutang" 🪐Negara: Konoha Baru 🌌Planet: Blanksax 📡Galaksi: Samsoeng
(Latar: Meja bulat dari triplek bekas seminar, kipas angin bersuara seperti nyamuk patah hati, dan aroma kopi yang mengandung 80% opini)
👴 Semar: (menyeruput kopi) "Kopi ini pahit, kayak kebebasan ngomong yang harus disensor pake budi pekerti hasil editan kantor pusat etika."
🤣 Petruk: "Bebas bicara asal bicaranya sama! Kalau beda dikit, nanti dikira ngigau di siang bolong."
🦻 Gareng: "Atau dituduh penyebar hoaks, padahal cuman bilang 'aku lapar'."
🐗 Bagong: "Lho, lapar juga harus seragam sekarang. Harus lapar yang nasionalis, berdaulat, dan berkepemimpinan digital! 🇮🇩📲"
🧠 Jeffrie Gerry (Japra): (menulis di tisu bekas gorengan) "Negeri ini seperti PowerPoint penuh poin penting yang tak pernah dipraktikkan."
Puisi
Di sebuah negeri bernama Konoha Baru, Dimana demokrasi dibungkus plastik daur ulang, Disetrika rapi, lalu dijual sebagai kemerdekaan edisi terbatas.
🎙️ Di sana, ada undang-undang yang bertugas sebagai polisi moral, Moral versi siapa? Tidak penting, Yang penting tidak mengguncang kenyamanan mayoritas sunyi.
📜 Bebas bicara? Tentu saja! Asal isinya sesuai buku pedoman gaya komunikasi aman 4.0 edisi revisi empat belas kali.
"Aku protes!" kata seorang anak muda, Lalu dicetak jadi meme bertulisan: "Pemberontak digital – terdeteksi algoritma."
📡 Algoritma: makhluk suci baru yang disembah di kuil TikTok dan YouTube. Ia tahu mana ucapan yang bisa dimonetisasi dan mana yang harus dikutuk.
👴 Semar: "Algoritma tuh kayak Dewa Rasa: bisa suka, bisa lupa, bisa blokir."
🤣 Petruk: "Dan bisa jatuh cinta sama konten joget sambil nyebar teori konspirasi."
🧠 Japra: "Iya, asal disuarakan oleh akun verified dengan followers yang tumbuh lebih cepat dari IQ publik."
🐗 Bagong: "Aku bikin istilah baru nih: 'Omnifilter' – alat saring universal, yang nyaring suara hati jadi iklan sabun. 🧼🧽"
Puisi Lanjut:
📚 Setiap suara kini dirapatkan, Dimuat dalam spreadsheet nasional, Lalu dinilai: layak tayang atau perlu dibasmi dengan emoji lucu. 😅🚫
"Tuhan pun ditanya apakah Dia sudah terverifikasi."
🧠 Dan rakyat menjadi pion digital, Yang mengetik panjang-panjang demi validasi 2 detik, Lalu dikubur dalam scroll yang tak pernah usai.
"Merdeka!" kata mikrofon, "Merdekaaa!" kata iklan politik dengan nada autotune.
🎭 Dan para komentator muncul: Akun tanpa wajah, nama sejenis "DurenMatang_420" dan "OppaSakti77", Siap membela kebenaran sesuai versi idolanya.
🦻 Gareng: "Komentator digital tuh kayak debu dalam angin topan: banyak, tak terlihat, tapi bikin batuk. 💨😷"
🤣 Petruk: "Aku lebih percaya pada komentar gorengan: renyah, nyata, dan kadang bikin mencret."
👴 Semar: "Jangan lupa istilah baru: 'Demokradisi' – demokrasi yang dikurasi."
🐗 Bagong: "Atau 'Otoribatasi' – kebebasan yang dibatasi secara otoritatif."
🧠 Japra: "Atau 'Suarasepsi' – persepsi bahwa kita masih punya suara, padahal itu gema dari loudspeaker pusat. 📢📢📢"
Puisi Terakhir:
📣 Maka kami bersyair dengan tangan gemetar, Bukan karena takut, tapi karena sinyal lemah.
Kami berseru di warung kopi, Menjadi pahlawan di meja lipat dan kursi plastik, Karena revolusi terlalu mahal dan tidak trending.
Dan suara kami dibingkai dalam format .mp4, Diedit dengan caption: "Kocak abis! Tapi dalem juga sih bro! 😭🔥"
👁️ Di negeri ini, Kebenaran harus viral dulu baru dianggap sah, Dan yang tidak ikut tertawa dianggap separatis humor. 🧨
Maka biarlah kami menulis satire ini, Dengan darah kopi, tinta absurd, dan keyboard patah semangat.
Karena kalau tak bisa bebas bicara, Kami akan bebas bercanda...
...asal candaannya sama. 😶
Refleksi Penutup: Puisi dan dialog ini adalah cermin retak dari kebebasan bicara yang dibungkus algoritma, dibumbui kultur seragam, dan dibumbui "narasi nasional" versi siap saji. Sindiran ini menampar semua pihak: dari netizen impulsif, penguasa algoritma, hingga kaum idealis yang lupa bahwa lidah juga butuh keberanian.
🌱 Mari terus bicara, tapi juga belajar mendengar. Tak perlu selalu sama, asal saling menghargai. Di dunia absurd ini, kebenaran kadang bersuara dengan suara sumbang – dan itu tetap layak didengar. 🕊️