Presiden Boneka di Dunia Plastik
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital : Jeffrie Gerry (Japra)
"Dalam negeri yang sunyi oleh sorak sorai, segalanya terlihat hidup—tapi tak ada yang benar-benar bernyawa."
Presiden Boneka di Dunia Plastik
Dia duduk di singgasana berlampu neon, terbuat dari plastik daur ulang janji kampanye. Dengan senyum beku dan mata yang berkedip otomatis, dia mengangguk pada setiap bisikan—entah dari rakyat atau remote control.
Halo, wahai rakyat simulasi! Lihatlah Presiden kita: boneka premium edisi terbatas, tersenyum seperti iklan pasta gigi—tanpa rasa, tanpa cela.
Pernahkah kau bertanya siapa yang menggerakkan lidahnya? Atau apakah suara yang keluar dari mulutnya adalah miliknya atau suara ventriloquist korporasi?
Negeri ini bukan lagi republik, tapi reality show tanpa akhir. Episode pagi adalah parade pencitraan, sore hari penuh drama subsidi, dan malam kita menonton pidato CGI.
Ia berbicara tentang keadilan, sambil menandatangani kontrak tak terlihat untuk menjual udara pada investor asing (dalam tiga opsi: oksigen ringan, premium, atau beraroma lavender).
"Kita maju!" katanya, sambil berdiri di treadmill, mengayuh di tempat, tapi grafik GDP dipoles naik oleh tim kreatif bagian statistik kosmetik.
Wajahnya terpampang di billboard holografik bersanding dengan diskon besar-besaran, karena demokrasi kini dijual bundling dengan kuota internet.
Tiap lima tahun, rakyat diberi pilihan: boneka berjas biru atau boneka berkemeja putih? Keduanya produksi pabrik yang sama, dengan suara robot yang bisa di-custom sesuai selera pasar.
"Saya dari rakyat, untuk rakyat," ujarnya sambil bersulang menggunakan gelas kristal di pesta elite, sementara rakyat mengais sisa program bantuan yang tertukar dengan tanda tangan dan selfie wajib.
Ibu kota baru dibangun di awang-awang, dengan fondasi dari likes dan komentar. Monumen transparansi dari kaca reflektif, menggambarkan betapa transparannya—hingga kita bisa melihat tembus tak ada isinya.
"Kita harus bersatu!" pekiknya, sementara jari-jarinya sibuk menyusun puzzle loyalitas, menghapus yang kritis, memoles yang fanatik.
Ia adalah presiden boneka, tapi bukan tanpa perasaan— karena setiap kritik, langsung membuatnya menangis LED. Air matanya ditransmisikan dalam bentuk stiker, dikirim ke grup WA keluarga sebagai wujud empati.
Negeri ini indah, katanya lagi, sambil menunjukkan taman-taman virtual penuh bunga hasil AI yang tidak pernah layu karena tak pernah hidup.
Para menteri adalah koleksi action figure, dengan fungsi-fungsi terbatas: Ada yang bisa menyanyi, ada yang bisa blocking komentar, ada juga yang hanya berdansa di TikTok kebijakan.
Sidang kabinet seperti variety show: Ada segmen masak-masak rencana ekonomi, kuis hutang negara, dan sesi stand-up tentang harga cabai.
"Rakyat butuh hiburan!" tegas Presiden Boneka, sambil meluncurkan program "Subsidi Tertawa Nasional."
Kita tertawa, bukan karena lucu, tapi karena ironinya telah melebihi kapasitas empedu.
Pendidikan dijadikan konten (dengan guru digantikan avatar berbaju tradisional), kesehatan jadi hadiah undian, dan hukum? Ya, hukum sedang sibuk menjadi influencer keadilan.
Presiden Boneka selalu hadir di acara penting: pemotongan pita realitas, peresmian jembatan yang hanya ada dalam brosur, dan pengguntingan tali moral publik.
Ia tak pernah lelah, karena kelelahan telah di-outsourcing ke para buzzer. Ia tak pernah marah, karena kemarahan dijadwalkan hanya saat rating turun.
Negara ini berjalan seperti mesin, digantikan oleh algoritma kepentingan. Konstitusi dicetak ulang dalam bentuk NFT, dan suara rakyat diubah jadi nada dering powerbank kekuasaan.
"Kita bebas!" katanya lantang, sementara kebebasan diukur dari jumlah tagar yang lolos sensor.
Ia mencintai rakyatnya dengan efisiensi robotik: kado ulang tahun dalam bentuk like, ucapan belasungkawa dalam template PowerPoint.
Setiap malam, Presiden Boneka duduk di balkon algoritma, menatap langit palsu yang dibentuk oleh drone pariwisata. Ia tersenyum, bukan karena bahagia, tapi karena fitur auto-grin masih aktif.
Rakyat pun makin lihai berpura-pura hidup, dalam dunia yang makin steril dari realita. Anak-anak belajar sejarah dari sinetron, dan mengenal etika dari endorsement seleb kabinet.
Di negeri ini, kejujuran telah punah secara legal, karena dianggap terlalu ofensif bagi brand nasional.
Presiden Boneka berbicara tentang masa depan, seperti menebak zodiak di majalah warung: "Akan ada perubahan besar—asal Anda tetap diam."
Tiap keputusan diambil lewat polling emoji, karena suara rakyat dianggap terlalu bising jika berbentuk argumen.
Dan kini, kita semua belajar bahasa baru: bahasa basa-basi, bahasa buzzer, bahasa diplomasi rasa popcorn microwave.
Presiden Boneka tersenyum lagi. Senyum itu menyala sampai ke ujung kota, seperti lampu jalan yang hemat energi tapi membakar logika.
Refleksi Akhir
Puisi ini menggambarkan distopia yang ironis: dunia di mana kepemimpinan menjadi semacam teater plastik yang licin, mengilap, namun kosong. Sindiran ini menyasar realitas kepemimpinan yang kehilangan esensi, digantikan pencitraan, algoritma, dan industri persepsi. Pesan moralnya adalah pentingnya kesadaran kritis: bahwa menjadi warga berarti lebih dari sekadar menonton dan bertepuk tangan. Mari kita hidupkan kembali nalar, empati, dan keberanian untuk bertanya—bukan sekadar ikut tertawa dalam panggung boneka.
Berbuat baiklah, bahkan ketika dunia tampak seperti panggung sandiwara. Karena kejujuran, walau sederhana, adalah satu-satunya hal yang tak bisa dipalsukan dalam dunia plastik.
Petruk, Gareng, dan Bagong di Negeri Boneka: Obrolan Konyol di Warung Kopi Distopia
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital : Jeffrie Gerry (Japra)
"Kalau semua pemimpin itu boneka, apakah rakyat juga cuma penonton bayangan yang tak sadar sedang di-wayang-kan?"
ADEGAN: DI WARUNG KOPI DISTOPIA, DI BAWAH LAMPU LELAH
Warung reot, kopinya tinggal aroma. Kursi plastik sudah patah satu kaki. Tapi di sinilah para filsuf gagal berkumpul setiap malam: Petruk, Gareng, dan Bagong.
Petruk: (sambil mengaduk kopi pakai sedotan bekas kampanye) "Gengs, gue baru baca puisi... judulnya ‘Presiden Boneka di Dunia Plastik’. Cerdas, tajam, dan... nyakitin!"
Gareng: (meletakkan gorengan di kepala) "Plastik? Wah, cocok. Gue kemarin ketemu pejabat, beneran! Mukanya kenceng banget, kayak tutup tupperware."
Bagong: (mengunyah tanpa rasa bersalah) "Cocoklah, pemimpinnya boneka, negaranya panggung, rakyatnya figuran, hidupnya sinetron, dan kita... pengamen kebijakan!"
Petruk: "Eh, tapi serius. Puisi itu ngatain presiden kayak vending machine politik. Lo pencet, dia keluarin janji rasa coklat. Tapi mesinnya nyangkut."
Gareng: "Wah, vending machine itu mending. Ini mah vending hoax. Ditekan satu kebijakan, keluar tiga skandal."
Bagong: (menarik napas panjang, menirukan gaya pembicara politik) "Saudara-saudaraku! Di dunia plastik ini, hanya satu yang asli: rasa lapar kita."
Petruk: (berfilosofi sambil mencelup sandal ke kopi) "Presiden boneka itu bukan orang jahat, dia cuma nggak punya sendi untuk menolak. Semua dikendalikan. Kayak aku, yang dikendalikan utang mie instan."
Gareng: "Lo tau nggak, di bait puisi itu, dibilang setiap kritik bikin dia nangis LED. Lah, gue aja kalo kritik, dituduh nyinyir, dibilang provokator, diblock emak sendiri!"
Bagong: "Ssst, jangan keras-keras, ntar drone kebijakan denger. Tau-tau kita diundang jadi staf khusus bagian meme."
Petruk: "Aduh, staf khusus sekarang tuh bukan kerja, tapi ikut konten. Kayak sinetron, tiap episode munculnya ganti baju aja."
Gareng: "Udah gitu, rakyat disuruh bersatu... padahal harga sembako bersatu juga—naik bareng!"
Bagong: "Puisi itu bilang, keputusan diambil lewat polling emoji. Coba bayangin: negara milih presiden pakai emotikon. Nggak suka? Kirim ‘😡’. Dukungan? Kirim ‘🥺’. Mau demo? Kirim stiker bebek nangis."
Petruk: "Bangsa emoji. Pidato pakai caption, visi-misi dalam thread, dan janji dibungkus reels berdurasi 30 detik dengan backsound viral."
Gareng: (berdiri di atas meja) "Sahabat-sahabat rakyat! Mari kita deklarasikan Republik Auto-Like. Syaratnya satu: punya followers lebih dari kuota beras."
Bagong: "Dan jika ingin jadi menteri? Upload video makan cabe sambil ngomong ‘Saya siap mengabdi’ sambil joget."
Petruk: "Lalu... suara rakyat?"
Gareng: "Disulap jadi nada dering penguasa."
Bagong: (melamun) "Kalo gitu, mending kita pindah ke dunia nyata... Tapi... di mana itu sekarang?"
Petruk: "Dunia nyata? Itu yang kata presiden isinya taman virtual dan bunga palsu?"
Gareng: "Bunga palsu aja tumbuh subur, sementara kritik malah dicabut dari akarnya."
Bagong: "Eh, tapi presidennya cakep lho. Kamera selalu dari angle bagus, lighting pas, dan retouch mulus."
Petruk: "Ya iyalah, dia bukan manusia. Dia boneka flagship. Dilengkapi dengan fitur ‘auto-defend’ dan ‘silent mode’."
Gareng: "Wah, kalo gitu gua mau daftar jadi rakyat generasi baru, spesialis menyimak dan mengangguk."
Bagong: "Kita bikin KTP baru: Kartu Tertawa Palsu. Berguna saat nonton pidato."
Petruk: "Jangan lupa vaksinasi logika, biar imun terhadap janji manis."
Gareng: "Dan minum pil nalar tiap pagi, biar nggak amnesia sejarah."
Bagong: "Eh, eh... di puisi itu dibilang negeri ini republik reality show. Kalo gitu, voting kita bisa dicurangi pakai algoritma."
Petruk: "Jadi kita ini hidup dalam rerun program yang sama, tapi dibungkus ulang. Ulang tahun keadilan, ulang tayang kesejahteraan."
Gareng: "Maka dari itu, mari kita buat podcast perlawanan. Judulnya: ‘Ngopi, Nglawak, Ngelawan’."
Bagong: "Tamu pertamanya: boneka rusak dari lemari kekuasaan."
Petruk: "Tapi boneka bisa rusak nggak sih?"
Gareng: "Bisa, kalau baterainya habis atau script-nya bocor."
Bagong: "Atau kalo rakyatnya mulai bangun dan cabut kabelnya."
Petruk: "Tapi... lo yakin rakyatnya bangun?"
Gareng: "Belum tentu. Bisa jadi malah bangun, tapi langsung buka TikTok."
Bagong: "TikTok-nya isinya presiden boneka lipsync lagu perjuangan."
Petruk: (menyeruput kopi, pahit) "Ini hidup atau iklan panjang yang lupa skip?"
Gareng: "Skip-nya bisa, tapi harus bayar pake logika."
Bagong: "Atau bayar pake keberanian... buat mikir."
Petruk: "Makanya kita penting, bro. Kita ini absurd, iya. Tapi absurditas adalah bentuk perlawanan terakhir saat logika diculik dan nalar dikorupsi."
Gareng: "Bener. Kita ini residu dari akal sehat yang ditinggalkan sejarah."
Bagong: "Kalo gitu... mari kita buat negara baru! Negara Boneka Tapi Tahu Diri."
Petruk: "Motonya: ‘Kami Boneka, Tapi Tidak Menipu’."
Gareng: "Lambangnya: tangan boneka memegang cermin, biar rakyat lihat wajahnya sendiri."
Bagong: "Dan lagu kebangsaan kita... remix suara rakyat yang ngedumel."
Petruk: "Ah, andai puisi bisa jadi roti. Kita semua kenyang tiap pagi."
Gareng: "Tapi sekarang, puisi cuma jadi status. Dibaca setengah, dibagikan sepuluh kali, dipahami nol."
Bagong: "Yuk, kita akhiri dengan doa absurd: Semoga boneka-boneka itu sadar bahwa tali kendali mereka... bisa diputus dari dalam."
Refleksi Penutup
Dialog konyol Petruk, Gareng, dan Bagong adalah cermin bagi absurditas kehidupan bernegara di dunia yang terlalu dibungkus oleh kemasan, pencitraan, dan plastik politik. Di tengah kekonyolan mereka, terselip kritik tajam terhadap kemunduran akal sehat dan budaya diam yang membiarkan boneka berkuasa. Sindiran ini bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk membangkitkan kesadaran: bahwa nalar, keberanian, dan kebebasan berpikir tetap menjadi senjata rakyat—meski dalam bentuk obrolan warung kopi.
Mari berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cinta, walau dunia terus mencoba membuat kita tertawa demi lupa. Karena konyol bukan berarti tak bermakna.