🪙 Judul: "Negeri Kredit: Monarki Cicilan dan Utang yang Bertahta"
Pengantar: Di negeri para pengutang, tahta bukan diwariskan, tapi dicicil. Kemewahan dibangun dengan limit kartu, dan rakyatnya berdoa kepada bunga berbunga.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir: "Negeri Kredit: Monarki Cicilan dan Utang yang Bertahta"
Selamat datang di Negeri Ngap-ngapan, Tempat Raja Nganjuk naik tahta dari mesin ATM, Disambut genderang notifikasi tagihan, "Selamat, Anda disetujui! Tapi tidak diselamatkan."
Ia duduk di singgasana dari lembar tagihan, Bertahtakan kartu platinum dan janji manis leasing, "Hidup adalah paylater yang terus tertunda," katanya, Sambil mengusap janggut bunga berbunga.
Rakyatnya? Bangga dalam antrean pengajuan, Mereka tak pernah kaya, tapi merasa mampu. "Cicilan ringan, beban berat!" jadi semboyan, Bergema di spanduk diskon dan iklan cicilan 0%.
Di sana ada Kaisar Utang, Dikenal mulia karena pinjaman online-nya banyak. Dahi berkerut, tapi wajah bersinar, Pakai sepatu mahal hasil 48x angsuran.
"Hidup tanpa utang itu fana!" pekik sang kaisar, Ia bersabda di mimbar podcast finansial, "Lunasi jiwamu dengan tenor yang panjang, Tapi jangan pernah bayar lunas pikiranmu."
Juarakredit pun datang menunggangi motor cicilan, Pahlawan TikTok, penyelamat Shopee PayLater, Followersnya jutaan, tabungannya nihil, Tapi wajahnya terpampang di billboard harapan semu.
Ia berkisah tentang perjuangan hidup: "Gue dulu miskin, sekarang... masih, tapi gaya!" Bajunya branded dari hasil pinjam dulu beli nanti, Dan rakyat meneteskan air mata... pinjaman.
"Kita harus bekerja keras," katanya bangga, "Untuk membayar bunga yang tak kita tanam."
Ada parade bulanan di kota utopia, Arak-arakan tagihan, musik dari suara notifikasi, Peti-peti berisi invoice dilayat dengan bunga duka cita, Dan kartu kredit disalib di altar pengampunan kasir.
Bank jadi kuil, debt collector adalah imam, Mereka tak melempar kutukan, hanya pengingat jatuh tempo, "Kami di sini bukan menghakimi, hanya mengingatkan" Senyumnya selembut angka denda keterlambatan.
Anak-anak sekolah belajar menabung dengan utang, "Nanti kamu beli rumah? Tenor 30 tahun aja!" Guru mengajar: "Rasio utang lebih penting dari etika." Moral ditukar dengan cicilan karakter.
Di media sosial, raja livestream soal investasi, "Beli saham? Ah, gue beli HP baru dulu deh!" Influencer keuangan dipuja karena trik menunda bayar, "Menunda kenyataan adalah bentuk kebebasan." katanya.
Di dapur istana, menteri keuangan bikin kebijakan, "Subsidi bunga lebih penting dari pendidikan," Anak-anak bertumbuh dengan gizi promo, Vitamin diskon, protein janji cashback.
Dan setiap minggu, Raja Nganjuk pidato: "Kita makmur... dalam persepsi!" Gelak tawa bergema seperti alarm pinjaman, Dan rakyat pun menyukai postingannya sambil gelisah.
Para pujangga zaman ini tak menulis sajak cinta, Mereka membuat thread cara utang bijak, "Cicil perasaanmu, jangan semuanya sekaligus, Nanti sakit hati... kena bunga emosi."
Ada ironi di taman bunga utang, Tempat pasangan pacaran sambil hitung cicilan, "Sayang, kalau kita nikah nanti, siapa yang bayarin KPR?" "Tuhan pasti kasih jalan... asal limitnya naik."
Setiap bayi lahir dapat akta kelahiran dan brosur pinjaman, "Selamat datang di dunia! Ini brosur DP rumah dan stroller." Bayi menangis bukan karena lapar, tapi karena utang turun temurun.
Di hari ulang tahun negara, parade digelar: Dimeriahkan oleh parade cicilan mobil, Lagu kebangsaan dinyanyikan dengan nada minor, "Indonesia... tanah air... leasing..."
Ada museum ekonomi berisi bon-bon sejarah, "Inilah bukti kejayaan kredit bangsa!" Pengunjung terharu melihat slip gaji leluhur yang tak pernah cukup, Dan surat cinta: "Maaf, pinjaman Anda ditolak."
Raja Nganjuk akhirnya menua di istananya yang disita, Dikelilingi anak-anak muda yang belum punya rumah, Tapi punya 12 aplikasi pinjaman, Dan satu mentalitas: hidup adalah utang yang diromantisasi.
Dalam monolog terakhirnya ia berkata: "Aku tak pernah ingin jadi raja, Tapi hutang membuatku berjaya... lalu menelan semuanya."
Ia wafat dalam status: "Menunggak 3 bulan." Dikubur dengan kartu kredit di dada, Dan nisan bertuliskan: "RIP: Raja Nganjuk, pahlawan cicilan tanpa bunga surga."
Refleksi Penutup
Puisi ini adalah gambaran distopia ekonomi konsumtif yang dibungkus dalam satir dan ironi. Sindiran ditujukan kepada budaya masyarakat yang mulai mengagungkan utang sebagai gaya hidup, melupakan nilai kerja keras dan pengelolaan keuangan sehat. Ini bukan hanya tentang individu, tapi sistem yang membentuk mentalitas “lebih baik tampil kaya daripada hidup tenang.” Pesan moralnya jelas: bijaklah dalam mengelola uang, hargai kejujuran finansial, dan mari bangun masyarakat yang tidak lagi jadi budak bunga berbunga. Saatnya berbuat baik, membantu sesama, dan tidak menilai orang dari limit kreditnya, tapi dari integritasnya.
🪙 Judul: "Ngopi Cicilan di Pojok Ngutang: Obrolan Konyol Semar & Kawan-Kawan di Konoha yang Bangkrut"
Pengantar: Di Planet Belgedes, di sebuah warung kopi pojokan, utang jadi candaan, tapi juga kenyataan. Mari tertawa getir bersama Semar, Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry di galaksi penuh bunga... bunga keterlambatan.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir Dialogal: "Ngopi Cicilan di Pojok Ngutang"
☕️ Warung Pojok Ngutang, jam 9 malam waktu Konoha Selatan.
🌌 Galaxy Samsoeng mulai dingin, bulan memantulkan cahaya dari layar smartphone yang nyicil.
Semar: "Wis tak bilang, utang itu kaya mie instan. Cepet, panas, kenyang sebentar, lalu bikin mencret pikiran. 💩"
Gareng: "Tapi enak, Mar... Aku kemarin beli sandal bersuara Bluetooth. Ada cicilannya 24x!"
Bagong: "Aku malah daftar pinjol buat beli gorengan. Lha wong ada cashback 2%! 🤑"
Petruk: "Nggak salah sih, tapi kalian sadar gak? Sekarang semua nyari bahagia lewat belanja, bukan lewat bernafas."
Jeffrie Gerry: "Di negeri ini, kartu kredit lebih dipercaya daripada kartu keluarga. 🧾"
Semar menghela napas, lalu menyeruput kopinya yang dibayar pake scan QR dari aplikasi yang masih utang juga. *
Semar: "Zaman makin edan. Wong-wong ora adol sawah, tapi adol jiwa ke sistem cicilan."
Bagong: "Tapi tenan, aku liat anak SMP udah ngerti tenor, tapi gak ngerti tenor suara Indonesia Raya. 🇮🇩"
Petruk: "Anak sekarang pacaran bukan tanya 'kamu sayang aku?', tapi 'limitmu berapa? 🥲'"
Gareng: "Kalo dulu, cinta diuji waktu. Sekarang diuji DP."
Jeffrie Gerry: "Tadi pagi aku nulis puisi tentang Raja Nganjuk, Kaisar Utang, dan Juarakredit. Sekarang malah kayak kuliah ekonomi absurd!"
Semar: "Eh-eh, tak bacain ulang puisi-mu ya! Tapi pakai gaya wayang. Ahem!"
📜 Semar berdiri, mengangkat tangan seperti dalang galaksi.
"Raja Nganjuk duduk di singgasana tagihan, Diselimuti faktur, dimandikan bunga pinjaman. Ia bersabda: 'Utang adalah seni mencintai hari ini dan membenci besok pagi!'"
Bagong: "Wah itu dalem banget, Mar... kayak mangkok mie rebus tiga rasa! 🍜"
Gareng: "Tapi ya bener juga. Kita hidup dalam budaya 'punya dulu, mikir nanti'."
Petruk: "Negara Konoha sekarang berubah: ninja-ninja pensiun dan jadi debt collector. Shuriken diganti SP surat peringatan. 💌"
Jeffrie Gerry: "Bahkan Hokage ke-17 gak dipilih karena kuat, tapi karena punya skor kredit A++."
Semar: "Semua ingin jadi raja... tapi yang dibangun bukan kerajaan, melainkan keranjang belanja."
Bagong: "Mending jadi rakyat jelata tapi bebas dari cicilan, daripada jadi sultan virtual tapi ngutang pulsa. 📵"
🌀 Tiba-tiba warung bergetar...
Narator Suara Galaksi: "Perhatian! Promo baru: cicilan tanpa rasa bersalah selama 0 bulan pertama! 🛸"
Gareng: "Lha kok suara iklan bisa masuk ke warung kopi?!"
Petruk: "Karena semua sudah terhubung... bahkan mimpi kita diiklani!"
Semar: "Anak-anakku, kita harus bertanya: apakah kita hidup, atau sekadar menyicil kehidupan?"
Jeffrie Gerry: "Puisi ini bukan sekadar parodi. Ini realita. Distopia yang disajikan dengan susu kental manis dan cicilan 12x."
☕️ Mereka terdiam sebentar. Hanya suara kipas dan notifikasi pinjaman yang bersahut-sahutan.
Bagong: "Eh, kalau aku nanti mati, tulis di nisanku: 'Jangan bangunin aku sebelum semua lunas.' ⚰️💳"
Gareng: "Aku pengen kuburan yang bisa auto debit buat bayar bunga kehidupan selanjutnya."
Petruk: "Apa di akhirat juga ada BI Checking, ya?"
Semar: "Tenang. Di akhirat yang penting amal, bukan Shopee PayLater."
📚 Mereka mulai menulis puisi baru, di tisu warung, di notepad HP, di dinding galaksi.
"Tuhan memberi rezeki, tapi manusia memotongnya dengan margin pinjaman. Malaikat mencatat amal, bank mencatat skor. Neraka bukan api, tapi call center yang terus menagih." 🔥📞
Jeffrie Gerry: "Saatnya bangun, teman-teman. Tapi bukan bangun rumah lewat KPR 40 tahun. Bangun kesadaran."
Semar: "Mari kita pulang. Tapi jangan lewat pintu kasir. Lewat pintu kesadaran."
🛸 Mereka naik motor galaksi, helm dicicil, tapi harapan mulai lunas.
Refleksi Penutup
Obrolan absurd di Warung Pojok Ngutang menggambarkan kegilaan dunia yang perlahan melupakan nilai sejati kehidupan. Dengan gaya konyol dan satire, dialog para tokoh menjadi cermin kebudayaan absurd: konsumtif, penuh utang, tapi tetap ingin terlihat bahagia. Sindiran ini bukan sekadar lucu, tapi juga penuh perenungan: saatnya hidup dengan kesadaran, bukan sekadar memenuhi tagihan. Mari saling mengingatkan, menolong sesama, dan menghargai hidup yang sederhana namun merdeka dari cicilan.
🚀🙏💬 #PojokNgutang #PuisiDistopia #SemarGagalBayar