Di sebuah desa bernama Kampung Tanduk Lembut, hiduplah seorang tokoh legendaris pewayangan yang kini pensiun jadi pengamen lintas genre: Petruk. Dengan hidung sepanjang janji kampanye dan pikiran seluas perut kosong, hari-harinya dihabiskan dengan hal sederhana: mencari makan gratis.
Suatu hari, ketika ayam berkokok dengan nada minor dan matahari belum sempat mandi, Petruk duduk di beranda sambil membaca undangan.
Bukan satu, bukan dua, tapi lima undangan pesta menumpuk di tangannya: ada yang ulang tahun, sunatan, nikahan, pesta syukuran beli blender, dan arisan emak-emak yang katanya full catering.
Matanya berbinar. Hatinya berdegup. Perutnya? Berorasi.
“Ini rejeki langka, Truk. Tuhan tahu kamu kelaparan,” katanya sambil mengelus perut.
Tapi Petruk bukan sembarang lapar. Ia bukan manusia sembarang mengunyah. Ia punya prinsip: "Kalau bisa pilih makanan paling enak, kenapa harus makan sembarangan?"
Dan begitu, tragedi dimulai.
Babak I: Rencana Kuliner Sang Ahli Strategi
Petruk merancang rencana bak jenderal di medan perang:
-
Jam 11 ke pesta ulang tahun si Rojali – katanya ada spaghetti dan kue tart tiga tingkat.
-
Jam 12 ke nikahan Mbak Sarmi – dijanjikan kambing guling dan es dawet pelangi.
-
Jam 13 mampir ke sunatan si Ucup – ada nasi kebuli dan sate ayam lima tusuk per orang.
-
Jam 14 ke syukuran beli blender – katanya ada puding susu dan gorengan isi.
-
Jam 15 penutupnya: arisan emak-emak – "Makanan terakhir itu harus yang ringan", pikirnya, sambil membayangkan lemper dan pastel.
Ia cium undangan satu per satu. “Tenang... kalian semua akan kuhadiri... asal tidak hujan dan tidak ada gempa.”
Babak II: Pesta Pertama, Kue Palsu dan Teriak Bocah
Petruk meluncur ke ulang tahun Rojali.
Tiba di sana, ia melihat balon warna-warni dan bocah-bocah berlarian. Tapi... makanan belum disajikan! Si ibu Rojali bilang, “Makanannya nanti ya, nunggu badut datang dulu.”
Petruk gelisah. Ia melihat kue tart besar di meja. Ia dekati... dan nyaris pingsan.
“HAAAH? Ini kue dari sterefoam?! Hiasan doang?!” teriaknya, sambil nyaris menggigit meja.
Satu anak kecil bilang, “Om, itu buat pajangan. Kuenya asli ada di kulkas. Tapi belum dipotong.”
Petruk merinding. Ia cek jam.
“Waduh! Jam 11.58! Harusnya udah di nikahan!”
Ia kabur tanpa salam. Bocah-bocah mengejarnya karena dikira maling kue.
Babak III: Nikahan yang Ditinggal Mempelai dan Nasi Bungkus Kosong
Tiba di pesta nikahan Mbak Sarmi, Petruk lari tergopoh-gopoh.
Tapi... yang tersisa hanya piring-piring kosong. Pengantin sudah kabur ke hotel. Tamu tinggal dua, dan satu dari mereka tidur di bawah pohon.
Petugas katering berkata, “Maaf ya, Pak. Makanannya ludes. Tapi ini masih ada nasi bungkus.”
Petruk membuka satu bungkus... nasi kosong tanpa lauk! Ternyata nasi sisa. Lauknya entah ke mana.
Ia menatap langit. Mendung. Tapi hatinya lebih gelap.
Babak IV: Sunatan yang Bikin Sunyi
Petruk ke pesta sunatan Ucup.
Sayangnya, jalan ke sana ditutup karena ada lomba tarik tambang antar RT. Ia memutar arah, dan tiba saat tukang sate baru saja pulang.
Ibunya Ucup menawari minuman: “Air putih aja ya, Pak. Biar sehat.”
Petruk menolak halus, “Saya sehat karena makan, bukan minum air mata.”
Babak V: Blender dan Bencana
Petruk menghela napas. “Sudahlah, ke syukuran blender aja. Minimal dapet gorengan.”
Tapi begitu sampai... rumahnya sepi.
Ada kertas ditempel di pagar:
“MAAF, SYUKURANNYA DITUNDA. BLENDERNYA RUSAK.”
Petruk mulai melihat dunia sebagai mimpi buruk berulang. Tapi masih ada satu harapan: Arisan emak-emak.
Babak VI: Arisan Tanpa Aroma
Ia ke rumah Bu Jum, lokasi arisan.
Tapi oh, tragedi puncak: emak-emak sedang diet keto!
Makanan diganti dengan irisan timun dan wortel mentah.
Petruk menangis dalam hati, menggigit wortel seperti menggigit masa depan yang pahit.
“Mana lemperku? Mana pastelku? Mana sosis solo dan martabak mini?”
Ternyata, hanya ada air lemon tanpa gula dan senyum palsu.
Babak VII: Pulang, Gigit Jempol, dan Pelajaran Hidup
Petruk pulang dengan langkah gontai.
Di perjalanan, ia melihat tukang bakso lewat. Tapi dompetnya hanya berisi foto mantan dan kupon diskon laundry.
Sampai rumah, ia tiduran di lantai. Lapar. Lesu.
Ia menatap jempolnya. Menggigit pelan.
“Inilah balasan karena tamak...”
“Kalau saja tadi aku fokus satu pesta... mungkin aku kenyang makan mie goreng ulang tahun atau sate sunatan.”
Tapi semua sudah terlambat. Ia mencatat pelajaran hidup di dinding rumahnya:
“Lebih baik satu piring pasti, daripada lima undangan fiktif.”
Refleksi Penuh Konyol dan Makna
Kisah Petruk ini bisa jadi terdengar jenaka, konyol, dan absurd.
Tapi begitulah hidup. Kadang kita seperti Petruk—terlalu sibuk memilih, terlalu takut kehilangan yang lain, sampai-sampai kita kehilangan segalanya.
Dalam hidup, ketetapan hati itu penting. Apalagi dalam memilih, baik itu pesta, makanan, pekerjaan, pasangan, bahkan prinsip.
Pilih satu. Fokus. Jalani.
Karena kadang, terlalu banyak pilihan justru bikin kita lapar lebih lama.
Penutup
Sejak hari itu, Petruk belajar. Ia tak lagi rakus undangan.
Dan ketika ada yang tanya, “Truk, ini ada acara makan gratis, mau ikut?”
Ia akan menjawab sambil tersenyum, “Tunggu dulu... saya kenyang pelajaran hari itu.”
Dan konon, sejak kejadian itu, Petruk selalu bawa roti sobek di tas, sebagai cadangan hidup.