Kursi Ini Bukan Untuk Dudukmu, Tapi Untuk Egoku

 


KURSI INI BUKAN UNTUK DUDUKMU, TAPI UNTUK EGOKU

"Kursi itu empuk karena diisi mimpi orang lain yang dilipat dan dibakar." "Kekuasaan bukanlah ladang amal, tapi panggung opera ego yang tak pernah selesai pertunjukannya."

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Di sudut panggung dunia yang letih, ada kursi dengan sandaran dari janji, kaki-kakinya diukir dari suara rakyat, dan dudukannya dilapisi empedu harapan.

Tapi jangan salah. Itu bukan kursi untukmu. Itu kursi untuk egoku.

--

Aku—yang menyebut diri pemimpin karena menang kuis popularitas, berkata: “Rakyat itu indah—dari jauh. Dari layar, dari grafik, dari hasil polling yang bisa disulap.”

Senyumku bukan cermin kejujuran, melainkan semacam senjata optik untuk menyilaukan kenyataan.

--

Tiap kali kupijak podium, kupijak pula akal sehatmu yang tersisa. Tiap pidato, adalah opera sabun beraroma parfum kekuasaan.

Kupakai naskahmu, kucuri narasi perjuanganmu, kudekorasi ulang jadi monumen untuk egoku.

--

Oh, kau ingin keadilan? Tunggu, aku harus selfie dulu. Dengan naskah "transparansi" di tangan kanan sementara tangan kiri menghitung kontrak dari belakang panggung.

--

Lihatlah taman bermain demokrasi kita: semua anak boleh main, selama mereka anak dari sepupu kroni pejabat atau alumni geng alumni yang itu-itu juga.

--

Di kursi ini, aku tak duduk—aku bersemayam, seperti dewa kecil yang dipuja dalam upacara potong pita sambil mencicipi nasi kotak rakyat dengan tangan ber-jas.

--

Kadang rakyat bersuara: "Kapan guru kami diangkat?" "Kapan sawah kami panen, bukan banjir?" "Kapan subsidi bukan jadi rebutan buzzer?"

Dan aku menjawab: “Luar biasa! Saya apresiasi aspirasinya.” Lalu kulemparkan jargon seperti confetti dalam pesta sunyi: “Digitalisasi! Transformasi! Sinergi dan Kolaborasi!”

Tak ada makna, hanya gema. Tapi suaramu tertelan tawa studio.

--

Pernah aku bertanya pada bayanganku: “Apakah aku pemimpin?” Bayanganku tertawa: “Kau aktor, bung. Pemeran utama di drama swadaya berjilid-jilid.”

--

Bangunan megah bernama ‘kantor pelayanan publik’ tak lebih dari galeri potretku. Setiap sudutnya adalah pigura dengan wajahku tersenyum penuh empati editan.

--

Ketika rakyat berkata: “Kursi itu seharusnya tempat kami menyandar,” aku menjawab: “Kursi ini bukan untuk dudukmu, tapi untuk egoku yang harus tampil nyaman.”

--

Pernah ada janji dalam kampanye: “Setiap anak berhak sekolah.” Maka dibangunlah 1.000 sekolah, tanpa guru, tanpa buku, tanpa listrik, tapi penuh papan nama besar dan foto bagaskara.

Dan rakyat bertepuk tangan. Entah karena gembira, atau karena tidak tahu cara membedakan kemajuan dan kemasan.

--

Kupanggil diriku reformis, padahal cuma ganti baju lama dengan logo baru. Kupanggil diriku inovatif, padahal cuma pakai istilah asing untuk kebijakan kadaluwarsa.

Kupanggil diriku pelayan, tapi lebih sering meminta dilayani oleh rakyat yang harus antre membayar pajak demi proyek swafoto pembangunan.

--

Kursi ini bukan kursi biasa. Ia bersuara, berbisik tiap malam: "Kau hebat. Jangan dengarkan kritik. Mereka hanya iri."

Dan aku percaya. Karena kejujuran adalah tamu asing di ruang tamu kekuasaan.

--

Gareng pernah berteriak: "Kursi kok dipuja, bukan dijadikan titian." Petruk nyengir: "Namanya juga kursi ego, bukan kursi rakyat." Bagong mengunyah kerupuk: "Yang penting warung kopi tetap buka."

Dan aku tertawa. Karena mereka lebih jujur dari lembar-lembar laporan evaluasi.

--

Sore itu di ruang rapat, kami bahas rencana anggaran: 5 miliar untuk perayaan, 2 miliar untuk studi banding ke Maladewa, 100 ribu untuk pelatihan guru honorer—tapi ditunda.

“Efisiensi!” kataku lantang sambil menyeruput kopi luwak.

--

Terkadang, aku baca puisi juga. Yang ditulis stafku, tapi kubaca dengan penuh penghayatan. Tentang rakyat, perjuangan, dan harapan. Lalu kututup dengan kalimat sakti: “Demokrasi adalah milik kita semua.”

Semua tepuk tangan. Padahal isi puisinya hilang di saringan mikrofon mahal.

--

Saat ada bencana, kucari kamera terlebih dulu, bukan korban. Karena berita tanpa wajahku adalah kerugian branding.

--

Kursi ini, seakan melekat di tubuhku. Seperti tentakel yang menumbuhkan napas dari tepuk tangan palsu. Jika bisa, akan kubikin warisan dinasti, agar anakku pun bisa duduk di egoku.

--

Kau tanya, sampai kapan? Sampai kau lupa bahwa kursi ini pernah milikmu. Sampai ingatanmu tenggelam dalam siaran ulang pencitraan.

Dan saat kau sadar, kursinya sudah jadi altar, tempat rakyat datang membawa bunga dan kenangan.


Refleksi Akhir: Puisi ini menyampaikan bahwa kekuasaan yang mestinya menjadi amanah sering berubah menjadi panggung ego, tempat janji dikemas, kritik dibungkam, dan rakyat hanya dijadikan latar. Sindiran ini menyasar mereka yang menjadikan jabatan sebagai alat kepentingan pribadi, bukan pelayanan. Pesan moralnya: Kursi kekuasaan bukan trofi, tapi ujian. Hanya mereka yang sanggup mendengarkan jerit sunyi rakyat yang pantas mendudukinya.

Mari kembali melihat jabatan sebagai titipan, dan sesama sebagai cermin kemanusiaan. Karena tak ada kursi abadi, kecuali yang tertulis dalam sejarah nurani.


☕📜 Ngopi Satir di Pojok Ngutang: Kursi Ego dan Kaki yang Ngilu

👽📍_Lokasi: Warung Kopi "Pojok Ngutang", Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng_

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


"Kursi itu empuk, tapi bukan untuk menopang tubuhmu. Ia menopang mimpi-mimpi orang yang sudah kehilangan rasa malu."

☕🌌 Sebuah obrolan absurd nan getir terjadi di pojok warung kopi legendaris, Pojok Ngutang. Di sana berkumpul empat insan (atau makhluk?) unik: Petruk, Gareng, Bagong, dan sang penulis puisi: Jeffrie Gerry.

🪑✨ Tema Puisi: 'Kursi Ini Bukan Untuk Dudukmu, Tapi Untuk Egoku'


🎭 Adegan 1: Warung Kopi Dibuka oleh Suara Perut Bagong

🍽️ Krucukkkk...

Bagong: "Waduh, perutku kayak DPR... kosong tapi banyak janji. Mana kopi, mana utangku kemarin?!"

Petruk: "Bagong, jangan samakan perutmu dengan lembaga! Itu penghinaan buat perutmu!"

Gareng: "Ngomong-ngomong, kalian udah baca puisi Japra? Yang soal kursi ego itu?"

Bagong: "Baca? Aku sampai duduk di bangku taman buat merenung... tapi bangkunya minta surat tugas."

😂 Semua tertawa... lalu diam. Lalu merenung. Lalu pura-pura ngantuk.


💺 Adegan 2: Kursi dan Ego Berdialog di Kepala Petruk

Petruk (monolog internal): "Kursi... kau simbol kemuliaan yang dibeli dengan nyinyir. Tak semua pantat pantas duduk di atasmu, tapi kenapa justru pantat palsu yang menang tender?"

🧠💭 Suara Kursi: "Aku bukan untuk dudukmu, Nak. Aku dirancang untuk menopang ego, bukan logika."

Gareng (menyela): "Petruk, kau kenapa bicara sama bangku? Nggak trauma pas di sekolah kan?"

Petruk: "Trauma itu saat kita disuruh hafalin Pancasila oleh orang yang tak pernah mengamalkannya."

🫢☕ Gareng tersedak kopi. Bagong tepuk tangan pakai sandal.


👨‍🎓 Adegan 3: Jejak Kaki dan Jejak Janji

Jeffrie Gerry: "Aku tulis puisi ini setelah melihat seorang pemimpin bicara soal integritas, lalu naik mobil mewah yang dibeli dari fee proyek."

Bagong: "Jadi kursi itu bukan untuk duduk, tapi untuk melangkahi rakyat?"

Gareng: "Atau untuk menjauh dari kenyataan. Seolah rakyat cuma statistik, bukan manusia."

📊 Statistik: 1 kursi empuk = 1000 harapan mati suri.


🪞 Adegan 4: Cermin di Warung Retak tapi Jujur

Cermin warung retak 3 bagian, refleksinya absurd.

Petruk (bercermin): "Siapa yang ada di cermin itu? Rakyat? Wakil rakyat? Tukang selfie?"

Gareng: "Cermin itu jujur. Tapi yang bercermin kadang pakai filter."

Bagong: "Makanya, lebih baik selfie dengan cermin retak daripada wawancara dengan kamera bohong."

📸✨ Filter: #LembutTapiLicik #KursiPalsuAsli


🧠 Adegan 5: Kursi Bicara Sendiri

Di sudut warung, ada kursi tua yang suka monolog. Jangan tanya kenapa, ini Konoha.

Kursi (dengan suara berat penuh drama teater 80-an):

"Aku bukan sekadar kayu dan paku. Aku sejarah berdarah, janji yang jadi lelucon, dan alasan orang rela menjilat tanpa garam."

Jeffrie: "Luar biasa. Kursi ini lebih jujur dari pejabatku."

Bagong: "Berarti kita harus duduk bersila aja. Biar nggak ketularan penyakit ego."

🪑🚫 Kursi diberi tanda: 'Dilarang Duduk, Ego Masih Panas'.


🎪 Adegan 6: Debat Kosong Penuh Tepuk Tangan

Petruk: "Gareng, kalau kursi jadi simbol kuasa, kenapa kita gak bikin saja kursi dari kaca? Biar pecah kalau bohong."

Gareng: "Atau kursi yang punya sensor detak jujur. Kalau berbohong, kursinya menyetrum."

Bagong: "Gak usah repot. Kursinya kasih audio: 'Anda sedang berbohong, silakan mundur'."

🎙️🔊 "Sambutan Anda terdeteksi palsu. Sistem sedang restart moral..."


🎤 Adegan 7: Open Mic Malam Minggu, Judul: Ego Dibalut Blazer

Jeffrie (naik ke atas drum bekas):

"Selamat malam. Malam ini kita rayakan absurditas. Tentang kursi yang lebih banyak bicara daripada penduduk negeri."

"Tentang politik yang jadi teater, dan kita semua penontonnya."

Penonton (tikus-tikus warung, beberapa kursi plastik, dan satu ekor kucing yang skeptis): "Meow."


⏳ Adegan 8: Warung Tutup, Ego Masih Lapar

Lampu warung redup. Tapi diskusi masih nyala di kepala.

Petruk: "Gimana kalau kita ubah definisi kursi jadi: 'tempat sementara menumpuk dosa'?"

Gareng: "Atau: 'kuburan mini untuk integritas'?"

Bagong: "Aku sih lebih milih tikar. Bisa gulung kalau bosan."

😴🌀 Tikar lebih jujur daripada sofa negara.


🪶 Refleksi Akhir (Sambil Ngopi Tanpa Gula)

Dalam dunia yang penuh simbol dan pertunjukan, kursi bukan sekadar tempat duduk. Ia adalah alat, panggung, bahkan topeng. Puisi ini dan dialog absurd ini menyasar ego yang duduk terlalu nyaman di atas penderitaan orang lain. Sindiran ini bukan hanya untuk penguasa, tapi untuk siapa saja yang menjadikan kekuasaan sebagai altar pemujaan diri.

Mari kita ajarkan anak-anak kita bahwa duduk bukan soal naik pangkat, tapi soal menunduk pada amanah. Bahwa yang layak duduk di kursi adalah mereka yang tak takut untuk berdiri membela kebenaran. 💡

🙏 Mari duduk bersama, bukan saling menjatuhkan. Mari tegak dalam niat baik, tanpa harus menginjak siapa pun.

☕ Terima kasih telah mampir ke Warung "Pojok Ngutang". Besok ada diskusi baru: "Mimpi di Negeri yang Lupa Terbangun". 🪄

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.