Judul: "Dibangun Seribu Sekolah, Tapi Tak Ada Guru: Teater Edukasi Tanpa Pemeran Utama"
Pengantar: Katanya pendidikan pilar bangsa, tapi bangunannya kosong—seperti harapan yang dibingkai, tapi tak pernah diisi. Maka marilah kita menyusuri lorong kelas, di mana kapur masih putih, tapi tak pernah menari.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir:
Di atas bukit beton dan anggaran trilunan, berdiri gagah seribu sekolah tanpa suara, pintu-pintunya terbuka untuk angin, dan jendelanya menatap sawah, bukan murid.
Tapi siapa yang mengajar? Kursi guru berdebu, papan tulis menangis kesepian, dan lonceng sekolah berbunyi hanya untuk kenangan.
"Tenang," kata pejabat berjas motif batik digital, "Kami sudah bangun infrastrukturnya, buku sudah dicetak, lengkap dengan tanda tangan menteri, pakai tinta emas, supaya anak-anak bisa membacanya dalam mimpi."
Lalu datang kamera, menangkap suasana belajar yang dimanipulasi, ada bocah memegang pensil terbalik, ada wali kelas bayangan yang tak tahu ejaan kata ‘cita-cita’.
"Yang penting viral dulu," ujar buzzer pendidikan, "Biar nanti bisa trending, soal isi ajaran belakangan."
Taman sekolah penuh hiasan prestasi, tapi medali tergantung di leher patung, bukan anak-anak.
Di ruang guru, sunyi lebih kencang daripada tawa, kursi kosong berbicara sendiri, berdebat tentang gaji, honor, dan janji manis yang selalu asin.
"Kenapa guru tak datang?" tanya anak kelas satu yang masih percaya alfabet. "Karena guru jadi driver ojek online, biar bisa beli nasi kotak dan kuota."
Pemerintah senyum tiga jari, berpose di depan mural Pahlawan Tanpa Tanda Tangan, "Kami bangga telah membangun sekolah pintar, pintarnya ada di spanduk, bukan di kepala."
Ada sekolah yang mewah, kursi ergonomis, AC tiga suhu, tapi muridnya tinggal dua: satu anak pejabat, satu anak cleaning service.
Dan guru? Guru hilang dalam revisi anggaran, menjadi item kecil di catatan kaki, bisa dicoret kapan saja, seperti mimpi yang tak punya lobi.
Kurikulum terbaru? Dinamakan "Cerdas Tanpa Sentuhan," belajar langsung dari robot AI, karena katanya, guru itu terlalu manusiawi, suka protes, minta hak, dan kadang masih punya hati.
"Kami ingin sistem efisien," ujar pemilik suara di balik layar, "Guru tak bisa diatur seperti algoritma, mereka baca puisi di kelas, bukan hanya silabus."
Murid pun jadi penumpang waktu, menghafal tanpa makna, mengisi LKS seperti mesin tik, tak tahu mengapa, dan satu-satunya pelajaran moral yang diajarkan adalah: "Jangan percaya pada janji visi misi."
Gedung tinggi, tapi isi kosong, sama seperti pidato tiap peringatan Hari Pendidikan. "Pendidikan adalah cahaya masa depan!" kata mikrofon yang tak pernah sekolah.
Tapi siapa yang menyalakan lampu, kalau petugas PLN pun tak bisa baca meteran?
Seribu sekolah, seribu kisah absurd. Ada yang diresmikan dua kali, ada yang belum dibuka tapi sudah direnovasi, ada yang jadi tempat foto prewedding pejabat muda, dan semua itu dianggap kemajuan.
"Kenapa guru tak diangkat jadi PNS?" Karena katanya, "Pendidikan bukan investasi, tapi subsidi." Dan subsidi tak layak diberi hati.
Monolog kapur: "Aku hanya sebatang putih kecil, mengabdi sampai habis, ditinggal sebelum selesai."
Monolog papan tulis: "Aku sudah tuliskan ratusan rumus, tapi tak satu pun diajarkan, hanya dihapus, dan diganti dengan slogan."
Monolog kursi kayu: "Aku sudah menopang generasi, tapi kini disingkirkan demi kursi empuk rapat."
Parodi upacara: "Hormat, grak! Kepada bendera pendidikan plastik, dengan guru hologram dan siswa CGI."
Ironi terbesar: Negara yang katanya ingin ‘cerdas’, tapi takut pada kecerdasan yang benar-benar hidup.
Guru kritis dianggap subversif, digorok dengan narasi ‘tak sesuai ideologi’. Lalu ditukar dengan modul baku beraroma birokrasi, seperti buku resep tanpa koki.
"Kapan ada guru sungguhan?" "Tunggu janji kampanye periode berikutnya. Sementara itu, nikmati ruang kelas VR. Guru akan muncul sebagai NFT."
Sarkasme tak bisa menutupi tangis anak desa, yang harus menempuh 10 km untuk sekolah yang tak ada isinya. Bangunan megah, tapi ilmu hanya tinggal di pamflet.
Sementara itu di pusat kota, papan skor pendidikan dipamerkan ke dunia, "Kami terbaik ke-11 se-Asia Tenggara!" (Sepuluh negara lainnya tidak ikut ujian)
Paradoksnya begini: Mereka membangun sekolah untuk mencerdaskan rakyat, tapi guru tak diberi panggung. Seperti mendirikan rumah makan tanpa koki, dan mengharap pelanggan tersenyum kenyang.
Di pojok kelas, terdengar suara kecil: "Aku ingin jadi guru kalau besar nanti." Semoga tidak jadi berita duka, di masa depan yang penuh dekorasi tapi hampa.
Refleksi / Penutup:
Puisi ini menyentil keras wajah pendidikan kita yang gemar membangun simbol, tapi melupakan esensi. Sindiran ini tertuju pada para pengambil kebijakan yang lebih sibuk mengejar angka dan citra daripada memuliakan penggerak utama: guru. Pesan moralnya sederhana tapi tajam—sekolah tanpa guru hanyalah monumen kosong. Mari berbuat baik, memperjuangkan mereka yang benar-benar mendidik, bukan hanya mencitrakan. Karena tanpa guru sejati, bangsa hanya akan tumbuh tinggi tapi rapuh.
Judul: Ngopi di Pojok Ngutang: Obrolan Absurd Tiga Punakawan dan Satu Pujangga Digital
Pengantar: Ketika realitas terasa terlalu serius, barangkali tawa konyol lebih menyentuh nurani. Maka berkumpullah empat makhluk absurd di bawah langit Konoha, membedah puisi satir dengan gaya obrolan warung kopi galaksi.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Adegan dibuka di Warung Kopi "Pojok Ngutang"—sebuah kedai tua di Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng.
Ada empat kursi plastik, satu kipas angin yang hanya berputar kalau ditendang, dan teko kopi pahit dengan aroma masa lalu. Petruk, Gareng, Bagong, dan si pujangga digital Jeffrie Gerry duduk melingkar, mengelilingi ketidakwajaran semesta.
PETRUK: (menyeruput kopi, lalu bersendawa pelan) "Jadi begini, saya mau tanya, Mas Jeffrie... Itu puisi satir tentang sekolah tanpa guru itu, serius atau satire, atau satire yang terlalu serius sampe kita bingung mau ketawa atau nangis?"
JEFFRIE GERRY (JAPRA): (mengetuk sendok ke gelas kaca) "Justru di situ letak tragedinya, Truk. Kalau gedung ada, tapi guru tinggal legenda, anak-anak belajar dari brosur kampanye dan sinetron!"
BAGONG: (membuka plastik kacang) "Jadi maksudnya, kita bangun panggung megah tapi aktornya ngilang? Sama kayak aku nyari jodoh di Tinder tapi ketemunya akun robot dari Planet Venus."
GARENG: (menatap kosong ke langit-langit) "Bangun seribu sekolah, katanya. Tapi guru? Entah ke mana. Mungkin direkrut jadi influencer oleh kementerian rindu."
PETRUK: "Atau dibayar dengan janji-janji yang diketik pakai huruf kapital dan dibubuhi emot peluk."
JEFFRIE: (monolog, lirih) "Negeri ini mengira pendidikan itu cuma soal gedung dan seragam. Bukan proses mengasah nalar, membentuk watak, menumbuhkan akal sehat... Tapi tunggu, apa itu akal sehat di planet ini?"
BAGONG: (tertawa keras) "Akal sehat? Di Galaxy Samsoeng? Jangan bercanda, Mas. Di sini, yang sehat cuma pajak iklan!"
GARENG: "Sumpah, aku pernah liat brosur sekolah elit. Fasilitas: AC, WiFi, kolam renang, ruang teater. Tapi waktu kutanya siapa guru filsafatnya, jawabannya: 'Google'."
PETRUK: "Dan kalau kau masuk kelas, isinya projector memutar video motivasi dari orang yang pernah ditolak beasiswa tapi kini jadi miliarder karena jualan skincare."
JEFFRIE: (tertawa getir) "Itu sebabnya puisiku bilang: 'Seribu ruang kelas dibangun, tapi papan tulis kosong, karena guru-guru menulis puisi di status Facebook.'"
BAGONG: (menarik napas panjang) "Aku paham, Mas. Tapi bukankah itu juga bentuk perjuangan? Setidaknya status mereka masih lebih berbobot dari acara debat politik di TV."
GARENG: "Waktu aku kecil, guru ngajarin cara berpikir. Sekarang? Anak SD disuruh bikin startup."
PETRUK: "Lah iya. Kurikulum sekarang kayak mesin kopi otomatis. Hasilnya pahit, tapi dianggap prestasi."
JEFFRIE: (berpuisi sambil berdiri di bangku warung) "Seribu sekolah berdiri tegak Tapi keilmuan menunduk lesu Di ruang yang gemerlap gaji kecil, Guru mengajar sambil menjual pulsa dan mie instan."
BAGONG: (bertepuk tangan dengan bungkus kacang) "MASUK! GILA! Itu... itu satire yang rasanya kayak disiram sambal rawit pas sahur."
GARENG: "Tapi bukankah ini juga tanggung jawab bersama, Mas? Kita semua membiarkan sistem jadi panggung komedi gelap."
PETRUK: "Kita terlalu sibuk selfie di depan mural sekolah baru, lupa tanya siapa yang akan berdiri di depan kelas."
JEFFRIE: "Dan jangan lupakan: guru adalah spesies langka. Mereka bukan hanya mengajar, tapi membentuk. Tapi hari ini mereka diukur dari like, ranking PISA, dan lembar presensi."
BAGONG: (mengunyah) "Lalu kita heran kenapa generasi muda lebih percaya seleb TikTok daripada buku. Ya gimana, gurunya sibuk jadi buzzer juga."
GARENG: "Ironi paling agung adalah ketika guru harus belajar bagaimana menjadi 'menarik secara visual', supaya siswa tidak skip mereka kayak iklan YouTube."
PETRUK: "Di negeri ini, kata 'pendidikan' telah dibajak oleh kata 'branding'."
JEFFRIE: (menarik napas dalam) "Aku menulis puisi ini bukan untuk menyindir guru, tapi menyindir sistem yang menjadikan guru seperti lilin: harus menyala tapi ditiup angin kebijakan saban minggu."
BAGONG: "Dan yang bikin aku bingung: setiap Hari Guru, pejabat berpidato panjang soal jasa guru. Tapi saat RAPBN dibahas, guru cuma catatan kaki yang kakinya kram."
GARENG: "Kita mendewakan sekolah, tapi melupakan makhluk di dalamnya. Kita cinta simbol, tapi alergi substansi."
PETRUK: "Makanya aku salut sama Mas Jeffrie. Puisinya bukan cuma rangkaian kata, tapi juga peluru emosional buat nurani kita."
JEFFRIE: (tersenyum getir) "Tapi ironinya: lebih banyak yang membagikan puisi ini karena rima lucunya, bukan karena maknanya."
BAGONG: "Jadi, puisi ini viral tapi nggak dipahami? Kayak kucing di TikTok yang main piano?"
JEFFRIE: "Tepat sekali, Gong. Dunia kita adalah opera sabun, tempat satire disulap jadi hiburan."
GARENG: "Mungkin memang kita harus lebih gila untuk tetap waras."
PETRUK: "Atau lebih konyol agar kebenaran bisa nyelip di antara tawa."
BAGONG: "Jadi, kita lanjut kopi atau mulai demo?"
JEFFRIE: "Kita lanjut ngopi dulu, Gong. Karena di negeri tanpa guru, warung kopi adalah universitas terakhir."
Refleksi Penutup:
Obrolan absurd ini adalah cermin dari kenyataan yang terlalu sering kita anggap lucu padahal tragis. Puisi dan dialog ini bukan menyasar individu, tapi sistem dan budaya yang menomorduakan esensi pendidikan. Di tengah pembangunan fisik yang megah, mari kita renungkan: siapa yang akan menyalakan lilin ilmu di ruang kelas itu? Mari hargai guru bukan hanya di pidato dan mural, tapi dalam kebijakan, perhatian, dan keberpihakan nyata. Ayo mulai dari hal sederhana: dengarkan, hargai, dan beri ruang bagi mereka yang telah mendidik kita jadi manusia.
Dan tentu saja... jangan lupa bayar ngopi di Pojok Ngutang. Karena utang budi ke guru takkan pernah lunas—meski cicilannya bisa dimulai dari hari ini.