🎓 "Jadi Sarjana, Tapi Gagal Jadi Manusia"
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
🧭 Pengantar
Ilmu ditinggikan, akhlak ditinggalkan. Gelar dicapai, nurani ditanggalkan.
Maka lahirlah generasi cerdas tanpa kesadaran, pintar tanpa arah, dan hidup dalam ilusi keberhasilan.
📜 Puisi Satir: "Jadi Sarjana, Tapi Gagal Jadi Manusia"
Aku lulus cum laude, katanya.
Ijazahku segede peta dunia,
tapi kalau disuruh senyum ke satpam—aku lupa caranya.
Sarjana sastra, tapi tak bisa membaca air mata.
Sarjana hukum, tapi mulutku penuh pasal palsu.
Sarjana teknik, tapi jiwaku retak sejak bangku S1.
Tiap foto wisuda, kutulis: “Alhamdulillah”
Tapi lisan tak pernah tanya kabar ibu
di kampung yang menjahitkan togaku dari tabungan dapur.
Aku pernah belajar etika,
tapi dosenku mencontek waktu ngisi absen.
Aku belajar filsafat,
tapi ujian akhirnya cuma hafalan tokoh dan tahun kematian.
Lalu kami pun lulus, serentak seperti bom waktu
meledak di linimasa,
berteriak: “Mana kerjaan untukku, aku lulusan terbaik!”
Tanpa sadar, nilai tertinggi tak menjamin hati yang hidup.
Lalu menyalahkan sistem, menyalahkan negara,
tanpa tahu cara menyapu halaman rumah sendiri.
Sarjana ekonomi,
tapi ngutang di lima aplikasi.
Sarjana kedokteran,
tapi kalau lihat pengemis, buru-buru tutup kaca mobil.
Sarjana pendidikan,
tapi lebih sering menggurui daripada mengajar.
Aku menulis skripsi tentang "Keberpihakan Sosial",
tapi menolak bayar parkir lima ribu.
Aku menulis tesis tentang "Keadilan Gender",
tapi menyuruh adikku di dapur sambil main PUBG.
Mereka bilang: “Sekolah tinggi biar hidup tinggi!”
Aku turuti.
Lalu kubangun menara ego di atas reruntuhan empati.
Kubungkus akal dalam toga,
dan kupajang foto itu di semua CV dan bio Tinder.
Aku sarjana,
yang bangga menulis caption bijak,
lalu menjatuhkan rekan kerja di kolom komentar.
Yang lancar pidato integritas,
tapi menyontek soal TOEFL pakai earphone kecil di telinga kiri.
Monolog di pagi hari:
“Aku harus sukses, harus kaya.”
Tapi tak pernah tanya: “Apa aku sudah layak dipercaya?”
Paradoks pun menari di otak:
Gelar bertambah, rasa malu berkurang.
IPK naik, tapi nalar justru makin pendek.
Aku sarjana manajemen,
tapi lupa memanajemen amarah di jalanan.
Aku sarjana komunikasi,
tapi saat pacarku menangis, kupilih main game.
Aku hafal teori pembangunan,
tapi lupa membangun karakter.
Kupelajari budaya bangsa lain,
tapi tak pernah tahu nama tetangga sendiri.
Sarjana, katanya.
Padahal aku hanya robot akademik:
diprogram untuk mengejar angka, bukan makna.
Kupelajari statistik,
tapi tak bisa hitung berapa kali aku menyakiti orang tua.
Dunia kampus: tempat kata “idealisme” dijual murah
di kantin fakultas,
di mana senior bisa berkata: “Pancasila itu penting,”
lalu memalak adik tingkat demi uang rokok.
Dosen bilang:
“Buatlah perubahan!”
Lalu menghilang di balik proyek penelitian fiktif.
Kami para mahasiswa, disuruh berinovasi
dalam ruang kelas yang jendelanya tak bisa dibuka.
Aku sarjana ilmu politik,
tapi takut debat jujur.
Lebih pilih main aman: jadi buzzer atau influencer.
Yang penting viral,
soal nilai moral, bisa diskon di akhir tahun.
Aku tahu semua teori konstitusi,
tapi tetap lempar botol waktu nonton bola.
Aku tahu semua istilah “human right”,
tapi teriak “salah sendiri!” saat melihat berita pelecehan.
Aku lulus!
Kupajang ijazah itu seperti medali perang,
padahal tak pernah berjuang untuk siapapun selain diriku.
Kutuju dunia kerja bukan untuk memberi makna,
tapi untuk cari kursi empuk dan AC kantor.
Saat wawancara kerja,
aku berkata: “Saya pekerja keras dan jujur.”
Padahal aku copy-paste surat lamaran dari ChatGPT.
Sarjana modern:
lebih canggih googling jawaban daripada mengakui kesalahan.
Kepalaku penuh dengan kutipan Steve Jobs dan Elon Musk,
tapi hatiku miskin dari rasa hormat.
Aku tertawa sinis pada penjaga parkir,
tapi tersenyum manis pada HRD yang kusuap dengan CV palsu.
Aku pernah ikut seminar "Menjadi Manusia Visioner",
tapi tak tahan mendengar saran tanpa sertifikat.
Kupotong bicara orang tua,
karena katanya, ilmu mereka tak linear dengan zamanku.
Kita ini sarjana,
tapi lebih pandai mengkritik daripada memperbaiki.
Kita bicara soal perubahan besar,
tapi lupa menyapa tukang sapu kampus.
Di media sosial:
aku tampak keren, filosofis, dan tercerahkan.
Tapi di dunia nyata,
aku tak bisa membedakan adab dan pencitraan.
Sarjana, tapi gagal jadi manusia.
Bukan karena tak tahu,
tapi karena tahu terlalu banyak—
hingga lupa merasakan, lupa menyentuh,
dan lupa mengaku salah.
Kita bangga dengan kampus unggulan,
tapi gagal jadi anak yang bisa dipeluk.
Kita lancar presentasi,
tapi gagap meminta maaf.
Dunia sudah penuh gelar,
tapi kekurangan hati.
Penuh aplikasi,
tapi miskin aksi.
Penuh kata-kata,
tapi kehabisan rasa.
🪞 Refleksi Penutup
Puisi ini menyentil mereka yang mengejar gelar akademik, tapi lupa menjadi manusia seutuhnya. Sindiran ini tak hanya untuk satu pihak—melainkan untuk kita semua yang kadang lupa bahwa pendidikan sejati bukan soal ijazah, tapi soal bagaimana kita memperlakukan sesama.
Pesan moralnya:
Mari belajar lebih dari sekadar lulus. Belajarlah menjadi manusia: yang tahu malu saat sombong, yang tahu empati saat menang, dan yang tetap rendah hati saat tahu banyak.
Karena dunia tak butuh lebih banyak sarjana,
tapi lebih banyak manusia yang layak dicontoh.
Berikut adalah puisi satir kedua yang lebih liar, buas, konyol, dan absurd—namun tetap mengandung kritik sosial yang tajam. Kali ini dikemas dalam dialog antara tokoh pewayangan Petruk, Gareng, dan Bagong, serta si "Pujangga Digital" Jeffrie Gerry, di sebuah warung kopi unik bernama "Pojok Ngutang" yang berada di Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng.
🎓📚 “Wisuda di Planet Belgedes: Sarjana Kagak, Cuan Juga Belum” 📱🌀
Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
🌀 Pengantar Pendek
“Di kampus kami belajar jadi manusia. Tapi pas lulus, lupa cara jadi manusia.”
—Petuah nenek dari Planet Belgedes yang sudah lama pensiun dari tugas menasihati.
☕️ Tempat Kejadian Aneh: Warung Kopi “Pojok Ngutang” 🪐
Di sinilah segalanya dimulai. Warung sederhana dengan kursi miring, colokan abal-abal, dan WiFi yang hanya menyala kalau ditendang tiga kali.
Tokoh:
-
Petruk (sang tinggi satir)
-
Gareng (si kritik penuh gaya)
-
Bagong (yang pura-pura bodoh tapi tajam)
-
Jeffrie Gerry (Pujangga Digital dari Bumi yang nyasar ke Belgedes)
☕️ Dialog Awal: Ngeri-Ngeri Lucu
Petruk:
“Gareng, kemarin aku lulus S3 dari Universitas Kosmik Internasional jurusan Ilmu Menyalahkan Orang Lain.” 🎓👽
Gareng:
“Sah! Lulus dengan tesis: ‘Kenapa Semua Salah, Tapi Aku Tetap Benar.’” 📘😂
Bagong:
“Lha aku malah baru jadi sarjana dari Kampus Kehidupan. Jurusanku: Bertahan Hidup dengan Utang dan Toleransi.” 💳🤷♂️
Jeffrie Gerry:
“Santuy, kawan. Di bumi, banyak sarjana lupa caranya jadi manusia. Gelar segede galaksi, tapi empati sekecil titik koma.” 🤖❓
🧨 Isi Puisi Satir Gaya Warung Kopi Penuh Lelucon Berdarah
💬 Puisi ini bukan sekadar bait, ini obrolan absurd dari hati yang ngopi kebanyakan, tapi sadar separuh jalan.
Bait 1: Sarjana Itu Hebat
📘
Sarjana berdiri gagah di atas panggung,
Kamera fokus, orangtua terharu, guru bengong.
Bajunya toga, wajahnya penuh bangga,
Tapi dompetnya? Kosong seperti janji negara.
“Aku sarjana, tapi disuruh jaga parkiran dulu ya,”
kata seseorang dengan ijazah yang jadi tatakan es teh dua tahun belakangan.
Bait 2: Ironi yang Penuh Sensor Palsu
⚠️
Belajar filsafat tapi takut debat,
Belajar hukum tapi takut ditilang,
Belajar ekonomi tapi belum paham diskon.
Belajar komputer tapi suka nyalahin WiFi tiap gagal login ke hidup.
📉 “Login Error: Hati Anda Tidak Ditemukan.”
Bait 3: Parade Kebanggaan Kosong
🎭
Foto di Instagram: #Lulus!
Caption: “Terima kasih Tuhan dan coffee shop favorit.”
Tapi lupa berterima kasih pada petani kopi dan ibu kos yang selalu ngasih nasi sisa semalam.
🧓 “Sarjana, tolongin ibu angkat galon dulu dong.”
🎓 “Maaf Bu, saya sudah S2. Itu bukan jobdesk saya.”
Bait 4: Dialog di Planet Belgedes
🪐
Gareng:
“Aku pernah tanya ke sarjana teknik, cara benerin kipas angin rusak.”
Petruk:
“Terus dia jawab?”
Gareng:
“Katanya: ‘Maaf, itu sudah di luar ranah akademis saya.’”
Bagong:
“Halah, aku tanya ke sarjana komunikasi, malah diblokir!”
Bait 5: Pabrik Ijazah dan Minim Manusia
🏭
Di negeri kosmik, kampus seperti pabrik,
Menghasilkan lulusan tiap menit seperti bakso keliling.
Tapi ketika dunia terbakar oleh kebencian dan ego,
Sarjana hanya sibuk bikin podcast dan review tempat ngopi baru.
Bait 6: Gelar yang Menyesatkan Google Map
🧭
Profesor di dunia maya,
Tapi tak bisa membedakan mana yang nyata.
Mengetik panjang di kolom komentar,
Tapi diam saat tetangga kelaparan.
🥴 “Pinter itu relatif, tapi bebal itu konstan.”
Bait 7: Konyol tapi Jujur
🌀
Petruk:
“Kenapa banyak sarjana kesepian?”
Gareng:
“Soalnya dulu skripsi diselesaikan sendirian. Sekarang hidup pun begitu.”
Bagong:
“Cieee yang ngejar IPK, tapi dikejar debt collector.”
Bait 8: Catatan dari Pujangga Digital
📜
“Sarjana bukan soal ijazah,
Tapi soal bagaimana kau berdiri ketika dunia menyuruhmu jongkok.
Bukan tentang teori dalam makalah,
Tapi tanganmu yang rela menolong orang kalah.”
Bait 9: Wisuda di Galaxy Samsoeng
🌌
Gelar master, tapi hidup kacau,
Baju toga, tapi jiwa kosong.
Wisuda jadi perayaan,
Padahal hidup setelahnya ujian yang tak pernah diulang.
Bait 10: Satire Terakhir Sebelum Listrik Mati di Warung
⚡
Gareng:
“Bagong, kamu nulis puisi tentang hidup?”
Bagong:
“Iya, judulnya: ‘Kopi Hitam, Harapan Tipis.’”
Petruk:
“Saya bikin novel: ‘Dari Sarjana Jadi Tukang Cuci Piring Interstellar’”
Jeffrie Gerry:
“Tenang. Yang penting kita nggak kehilangan manusia di dalam diri.”
🌟 Refleksi & Penutup
Puisi ini adalah cermin retak dari zaman kita. Tentang gelar yang dielu-elukan tapi lupa bahwa empati, kebaikan, dan akal sehat tidak bisa dicetak di ijazah. Sindiran ini ditujukan untuk siapa saja yang merasa pintar tapi lupa cara menjadi manusia biasa yang peduli.
🔔 Pesan moralnya sederhana:
Mari belajar menjadi manusia yang lebih baik, lebih rendah hati, lebih ringan tangan, dan tidak menyalahgunakan gelar untuk menginjak sesama.
💬 “Karena di akhir cerita, bukan siapa yang paling pintar yang dikenang, tapi siapa yang paling tulus yang dirindukan.”
🫶 Mari ngopi dengan hati, bukan cuma dengan gelar.
Salam dari Warung Pojok Ngutang, tempat di mana gelar dan tawa bisa duduk sejajar. 😄☕📚
Jika kamu suka karya ini, silakan bagikan, diskusikan, dan ngopi bareng puisi ini.
Tag: #PuisiSatir #SarjanaTapiGagalJadiManusia #PujanggaDigital
🌀🧠📜👣💔✨📚💡