Judul: SURAT IZIN KRITIK NASIONAL (SIKN) – WAJIB DILAMPIRKAN SEBELUM BICARA KEBENARAN
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Di negeri yang katanya demokratis, kata 'kebebasan' dicetak miring, diberi catatan kaki, dan disisipkan syarat administrasi."
"Kritik itu boleh, asal sudah diuji laboratorium perasaan dan tak mengganggu kenyamanan kasta atasan."
Di kota yang jam dindingnya hanya berdetak untuk elit, Kami rakyat harus antre untuk berkata jujur, Isi formulir A-17: Permohonan Menyampaikan Keresahan. Lengkapi dengan materai, QR-code, dan air mata.
Kritikku tak bisa langsung terucap, Ia harus lewat kantor sensus persepsi, Disetujui tujuh lapis birokrasi emosi, Dan jangan lupa: disumpah untuk tak menyakiti perasaan perabotan istana.
“Jangan kasar,” kata pembina etika daring, Sambil mengunggah selfie di depan mobil dinas, “Kalau mau mengkritik, pakailah pantun, bukan peluru,” Lalu ia nyalakan sirine, padahal cuma mau beli parfum.
Sampaikan keluhanmu dengan sopan, Dalam bentuk puisi, lagu, atau isyarat burung merpati. Jangan frontal, nanti dituduh radikal, Jangan realistis, nanti dianggap pesimistis.
Rakyat itu mesti manis, Seperti es teh di ruang rapat paripurna, Tak boleh pahit meski airnya penuh lumpur janji. “Ngomonglah santun, meski hakmu dirampas halus.”
Aku pernah mengeluh soal listrik padam, Dibilang kurang bersyukur, Katanya gelap itu romantis, Dan lilin bisa menumbuhkan ekonomi mikro.
Aku protes harga beras naik, Dibilang hoaks, karena statistik bilang turun, Tapi statistik tak pernah belanja ke warung, Ia hanya rapat di PowerPoint.
Kau tak boleh berkata "Kami lapar", Sebelum dapat izin dari departemen selera, Karena rasa lapar bisa menyinggung stabilitas negara.
“Kalau tak suka sistem ini, keluar saja dari negeri,” Ucap tuan berpakaian adat sambil menyantap keju impor, Ia lupa, kami rakyat bukan turis di tanah kelahiran sendiri.
Kritik itu harus diaudit oleh tim pengendali narasi, Jangan sampai merusak estetika propaganda nasional. Kritik yang baik adalah yang tak terdengar, Seperti doa orang yang sudah menyerah.
Buat kritik yang bisa ditertawakan, Tapi tak menyentuh akar masalah, Seperti sinetron yang lucu tapi tak mendidik, Atau talkshow yang sibuk tertawa tapi lupa bertanya.
Jika kau ingin bicara soal korupsi, Pastikan kau tak menyebut nama, angka, atau dampaknya, Karena transparansi sudah diatur dalam perjanjian rahasia negara.
“Kalau Anda benar, tak perlu takut bicara,” Tapi saat bicara, kami diancam pasal karet, Pasal yang lentur seperti janji kampanye, Yang bisa memelintir siapa pun yang bernapas terlalu kritis.
Kritik tak boleh menyakitkan, Kecuali kamu rakyat. Karena hanya rakyat yang punya daya tahan terhadap luka tanpa pelindung.
Sementara para penguasa, Adalah bayi-bayi besar bermental beludru, Yang menangis jika disentil realitas, Dan minta disusui validasi dari buzzer berbayar.
Kami diajari moral sejak SD, Tapi mereka melanggarnya saat disumpah jabatan, Kami dilarang mencuri pensil ujian, Tapi mereka menggondol subsidi dan tak mengaku.
Jangan bilang pejabat korup, Nanti dibilang tak punya etika jurnalisme warga, Lebih baik bilang: beliau sedang melakukan diversifikasi aset.
Ketika kota banjir, Mereka bilang: airnya belum disosialisasikan, Ketika sekolah roboh, Mereka bilang: itu bentuk pembelajaran di luar ruang.
Mereka menyebut kritik sebagai hama, Dan para pengkritik sebagai gulma liar, Padahal justru kritiklah pupuk tanah demokrasi, Yang mereka taburi pestisida kata-kata manis.
Aku ingin bertanya: Mengapa rakyat harus bijak, Sedang yang memimpin tak bijaksana? Mengapa kami wajib sabar, Sedang mereka buru-buru bagi kuasa?
Negara ini seperti opera sabun, Penuh drama, sedikit sabun, Kami disuruh bersih, tapi mereka mandi uang.
Dalam talkshow televisi nasional, Seorang wakil berkata: “Negara ini baik-baik saja,” Sambil menyeka peluh dengan dolar.
Kami disuruh diam demi ketenangan, Katanya kritik mengganggu investasi, Tapi korupsi tak pernah dianggap distraksi, Padahal ia menghancurkan pondasi.
Kritik yang menyakiti? Haram, Kecuali bila itu kritik ke rakyat, Maka ia sah, mulia, dan menjadi headline. “Kalian malas, bodoh, tak mau usaha,” Ucap mereka dari kursi empuk subsidi.
Rakyat itu harus tahan banting, Harus tabah tanpa subsidi, Harus cerdas tanpa buku, Harus sukses tanpa koneksi.
Dan jika kau mengeluh terlalu lantang, Akan datang petugas ketertiban moral nasional, Dengan senyum dan surat penahanan, Bersama pasal yang fleksibel dan penuh makna ganda.
Ini negeri penuh paradoks: Bersih tapi kotor, Tertib tapi semrawut, Bersatu tapi saling tuding, Kaya tapi miskin akal.
Lalu kami ditanya: “Apa yang kalian mau?” Kami jawab: “Didengar, tanpa syarat, tanpa sanksi.” Tapi jawaban kami disensor demi kestabilan citra digital.
Terkadang aku bertanya, Apakah kritik adalah dosa baru? Sementara kebohongan justru jadi kurikulum unggulan?
“Bersyukurlah masih bisa hidup,” Ucap influencer kenegaraan sambil endorse skincare politik, Katanya bahagia itu pilihan, meski kami hanya punya utang dan nasi basi.
Kritik itu harus didesain grafis, Dipoles agar cocok dengan feed media sosial pejabat, Karena bila terlalu jujur, dianggap tidak cinta negeri.
Cinta negeri versi mereka adalah memuji tak kenal waktu, Menyembah struktur, menutup mata pada retakan fondasi, Lalu menjual patriotisme dengan harga diskon.
Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah cermin retak dari wajah kita bersama—tentang bagaimana kritik dimonopoli oleh mereka yang tak tahan dikritik. Sindiran ini menyasar pada budaya ketakutan yang dilestarikan, pada sistem yang menertawakan keluhan dan menyanjung pengabaian. Kritik yang seharusnya menjadi vitamin demokrasi kini dibungkus dengan prosedur, sensor, dan ancaman. Mari berani bersuara dengan cara yang cerdas, estetis, dan tanpa kekerasan. Karena suara rakyat bukan sekadar gema gaduh—ia adalah penanda bahwa bangsa ini masih hidup, meski kadang pura-pura mati rasa.
Judul: RAKYAT BOLEH KESAL, ASAL DENGAN SOPAN & BERIRAMA DI WARUNG "POJOK NGANJUK"
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Jangan ngeluh terlalu keras, nanti sinyal 5G kecewa."
"Di Planet Mbelgedes, kritik perlu stempel Raja dan restu dari Dewa Paragraf."
📍Lokasi: Warung Kopi "Pojok Nganjuk" 🪐 Negara: Konoha 🌌 Planet: Mbelgedes 📡 Galaxy: Samsoeng
☕️ Pagi itu, aroma kopi sachet bersaing dengan sinyal Wi-Fi gratis. Di kursi panjang yang hanya bisa diduduki miring karena paku-pakunya goyang, duduklah tiga tokoh absurd yang serius tapi ngawur: Petruk, Gareng, dan Bagong. Di pojokan, si Jeffrie Gerry menyimak sambil nyeruput kopi rasa durian 🌰☕️.
Dialog Satir & Absurd
👺 Petruk: "Jeng jeng jeng… Aku baca puisi si Japra kemarin, judulnya ‘Kritik Harus Berizin’. Aku langsung nyari notaris buat ngeluh sama ayam tetangga!"
🤓 Gareng: "Lho, lho, lho… Jangan sembarang kritik, Truk. Di Konoha, mengeluh itu hak istimewa para bangsawan digital. Kita rakyat hanya boleh berbisik. Itupun, lewat aplikasi yang teregistrasi."
🐷 Bagong: "Kritikku pernah disensor, lho! Cuma bilang 'jalan rusak', eh, besoknya aku disuruh nulis ulang: 'jalan sedang menjalani introspeksi karakter permukaan' 🙄"
☕️ Jeffrie Gerry: "Bro, itu belum seberapa. Aku pernah bilang 'harga cabe naik', langsung muncul notifikasi: ‘Pernyataan Anda melukai stabilitas emosi kabinet’ 🌶️🚫."
👺 Petruk: "Di Mbelgedes, kritik mesti disampaikan pake pantun!
Kalau bisa jangan nyinyir, Kalau marah jangan melotot, Kalau protes harus taksir, Jangan nyolot, nanti dicopot."
🤓 Gareng: "Dan jangan lupa, kalau mau kritik: ✅ Pakai jas formal, ✅ Senyum ramah, ✅ Ucap salam tiga kali, ✅ Sertakan bunga dan sedikit pujian palsu."
🐷 Bagong: "Aku heran, kenapa rakyat dilarang nyolot, tapi pejabat boleh ngawur kayak ayunan bocah mabuk gula? 🤯"
☕️ Jeffrie: "Karena di Planet ini, logika itu pakai sistem token. Rakyat cuma dapet 3 token logika per hari, sementara pejabat bisa beli paket premium unlimited nalar."
👺 Petruk: "Dan kalau kritikmu menyakitkan, siap-siap dapet label:
Tukang hoax 😷
Pembenci kemajuan 👺
Agen galaksi sebelah 👾
Pengganggu kenyamanan kolektif 😡"
🤓 Gareng: "Kritik versi negara tuh kayak mie instan: harus ada bumbunya dulu dari kementerian. Tanpa itu, dianggap mie ilegal."
🐷 Bagong: "Ngomong-ngomong, kemarin aku protes harga BBM naik. Eh, malah disuruh beli sepeda! Katanya: ‘Kalau cinta lingkungan, jangan manja.’ Aku langsung bayangin sepedaan ke kantor sambil bawa kulkas.🚲❄️"
☕️ Jeffrie: "Aku juga. Bilang 'jalan berlubang', malah dijawab: 'Itu akses visualisasi sejarah pembangunan yang dinamis.'"
👺 Petruk: "Jangankan infrastruktur, nyebut nama pejabat aja langsung kaya main Squid Game. Salah sebut, hilang sinyal kehidupan! 📴"
🤓 Gareng: "Aku pernah kritik di status WA, cuma emoji 😠 dan 🐌. Besoknya, ada surat cinta dari Satgas Emosi Nasional. Katanya: ‘Mohon kendalikan perasaan Anda, rakyat yang baik tidak emotikon sembarangan.’ 💌"
🐷 Bagong: "Kadang aku mikir, mungkin kita ini bukan rakyat, tapi figuran dalam sinetron panjang berjudul 'Demokrasi Tapi Jangan Macam-Macam'."
☕️ Jeffrie: "Bener Gong. Pemeran utama tuh pejabatnya, kita cuma cameo buat disorot pas pemilu. Abis itu, kita balik jadi hantu statistik. 👻📊"
👺 Petruk: "Tapi jangan salah, kalau pejabat mengkritik rakyat? Wuih, langsung viral, dianggap inspiratif, dikasih penghargaan! 🏅"
🤓 Gareng: "Ya iya lah! Kritik rakyat itu ibarat batu, sedangkan kritik pejabat itu ibarat permata, walau bilang hal sama: 'Kalian malas'."
🐷 Bagong: "Rakyat itu harus kuat: kuat lapar, kuat sabar, kuat utang, kuat disalahkan. Kayak superhero tapi gajinya minus. 🦸♂️📉"
☕️ Jeffrie: "Ada yang bilang, ‘Kritik itu konstruktif’. Tapi nyatanya? Kalau kritik kita terlalu pas, malah dianggap penghasut. Kalau terlalu halus, dianggap pujian."
👺 Petruk: "Makanya, aku sekarang bikin kritik lewat lukisan. Lukisan ayam bersayap bendera, dijilat kucing berjas. Banyak yang nggak ngerti, dan itu bagus. Aman.🎨🐔🐱"
🤓 Gareng: "Aku sih nulis sajak absurd:
Bendera berkibar di angin hutang, Pajak naik dalam alunan gamelan digital, Kereta cepat datang lambat, Kritik rakyat dijadikan iklan."
🐷 Bagong: "Aku nulis lagu rock:
‘Jangan kritik terlalu real, Bilang aja semua stabil. Atau nanti kau dianggap kriminal, Meski hanya nulis status digital.’ 🎸🎤"
☕️ Jeffrie: "Negara ini seperti taman bermain yang dikelola manajer trauma. Semua harus senyum, meski lantainya bolong dan perosotannya ke jurang. 🛝💥"
👺 Petruk: "Eh, eh, nih ada poster baru:
📢 ‘Kritik diperbolehkan antara pukul 01.00–01.05 pagi, selama tidak membuat pejabat merasa tersindir secara spiritual.’
Aku langsung setting alarm.⏰😴"
🤓 Gareng: "Besok kita kritik lewat mimesis aja yuk. Kita berperan jadi rakyat bahagia. Nanti direkam. Kita kasih judul: ‘Fantasi Demokrasi: Episode Rakyat Halusinasi’. 🎬"
🐷 Bagong: "Tapi ending-nya jangan tragis. Biar absurd aja, kayak kebijakan musiman."
☕️ Jeffrie: "Betul Gong. Karena satu-satunya yang konsisten di Planet Mbelgedes adalah inkonsistensi itu sendiri."
Refleksi Penutup:
Di balik canda absurd dan celoteh para tokoh warung "Pojok Nganjuk", tersimpan cermin jujur atas realitas yang tak ideal: rakyat kerap dibungkam atas nama ketertiban, sementara penguasa berlindung di balik retorika sopan santun. Kritik yang seharusnya jadi sarana tumbuh malah dibungkus sebagai ancaman. Tapi di tengah semua kekonyolan itu, harapan tetap ada: rakyat yang masih bisa tertawa, berarti belum benar-benar kalah.
🙏 Mari tetap kritis, cerdas, dan jenaka — karena suara rakyat, walau absurd, tetap punya kuasa untuk mengubah dunia.
🎭💬🇮🇩