Rakyatku, Sabar Ya... Aku Lagi Nyoblos Diri Sendiri
Pengantar: Di kotak suara yang sunyi, kejujuran tercebur lebih dulu daripada tinta. Mungkin sabar itu bukan pilihan, tapi keharusan yang terus dipelintir jadi lelucon nasional.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir:
Maaf, rakyatku tercinta, Aku belum sempat turun dari langit janji yang kutulis dengan pena tak bertinta, Sebab di bilik ini, aku sedang serius, Mencontreng namaku sendiri dengan cinta yang terus terang palsu.
Ssst... Jangan ribut ya di luar sana, Aku lagi mikir gimana caranya aku tetap menang meski kalah suara. Tuhan pun kutitip pada iklan, Dan demokrasi kutaruh di kantong celana belakang.
Ah, bilik ini sakral, lebih kudus dari altar, Lebih jujur dari pidato yang ditulis sekretaris dengan koreksi sponsor. Di sini aku bebas, seperti rakyat… Eh, maksudku, seperti diriku yang tahu cara membuat rakyat tetap merasa bebas padahal dikurung angka statistik.
CCTV menatapku, tapi matanya sudah kubeli. Saksi melirik, tapi sumpahnya sudah kuhapus pakai kopi pahit di meja bundar. Maka dengan khusyuk aku mencoblos, Namaku sendiri—lagi, dan lagi.
Lalu aku berdoa… “Ya Tuhan, kuatkan aku dalam godaan kejujuran, Agar aku tetap bisa berdiri atas nama rakyat yang belum sempat bersuara.”
Rakyatku, sabar ya, Aku lagi nyoblos diriku sendiri, Bukan karena sombong, tapi karena kalian terlalu percaya. Dan kepercayaan itu, biarlah jadi mainan, seperti puzzle yang kujual potongannya satu per satu.
Aku janji… akan berubah setelah dilantik, Berubah jadwal liburan, bukan kebijakan. Berubah mobil dinas, bukan moral. Berubah nomor rekening, bukan nasib kampung halaman.
Hei, kalian di luar pagar, Apa kabar? Masih makan garam dari subsidi yang hilang? Masih antre sembako yang difoto sebelum dibagi? Masih tepuk tangan setiap aku sebut kata “kesejahteraan”? Hebat, kalian memang sabar luar biasa.
Cinta tak harus logis, begitu juga loyalitas. Makanya kalian tetap pilih aku, meski aku cuma retorika berbalut jas. Dan hari ini aku senang, Karena aku bisa mencoblos diriku sendiri tanpa malu, tanpa takut, tanpa rasa bersalah.
Demokrasi? Ah, itu lagu lama yang sudah kudaur ulang, Judulnya baru, iramanya sama, Liriknya diganti tiap lima tahun, tapi nadanya tetap nyanyian penghibur luka rakyat.
Maaf ya, aku tak sempat turun ke sawah, Sepatuku baru, tanahnya kotor, Lagi pula aku sudah kirim foto traktor, bukankah itu cukup? Bukti cinta digital yang bisa dibagikan berkali-kali.
Oh ya, sabar ya, Jalan belum juga diperbaiki, karena aku sibuk rapat— Rapat membahas jadwal rapat berikutnya. Kalian pikir mudah jadi aku? Duduk di kursi empuk, berpikir cara agar terlihat kerja sambil main teka-teki anggaran.
Rakyatku, aku sayang kalian, Makanya aku bentuk tim buzzer untuk mencintai kalian atas namaku. Mereka pandai, mereka pintar, Mereka bisa bikin kalian lupa soal harga minyak yang naik seperti cita-cita yang tak pernah sampai.
Aku pernah janji turunkan harga, Dan kutepati—harga nurani turun drastis, Harga malu? Sudah lenyap di dalam lorong pemutih kata-kata.
Sabar ya, Kalian bilang ingin perubahan, Maka kubentuk komite perubahan dengan wajah lama yang kutata ulang pakai filter progresif. Semua terlihat segar… asal jangan disentuh.
Ini monologku yang kubuat jadi deklarasi: “Rakyat adalah cahaya,” Tapi kadang cahaya itu menyilaukan, Jadi kumatikan sebentar, demi kenyamanan pemerintah.
Jangan khawatir, ini semua demi kalian, Agar tak stres melihat realita, Karena dalam dunia yang kutata, Realita adalah ancaman bagi narasi besar yang kubangun dengan grafis dan jargon.
Kalian bilang aku tak adil? Aku adil, sungguh, Satu orang, satu suara, Tapi seribu suara bisa kubungkam dengan satu pidato, Dan satu suara (aku) bisa menentukan seribu nasib tanpa debat.
Demokrasi itu indah, kalau aku yang menang. Kalau kalah? Kita bahas lagi hukum dan regulasinya. Karena hukum itu fleksibel, seperti cita-cita kalian yang bisa kutunda lagi dan lagi.
Wahai rakyatku, Teruslah sabar, Karena sabar itu pahala, Dan pahala kalian, aku yang ambil duluan.
Aku senang melihat kalian tersenyum dalam kampanye, Walau itu senyum pinjaman, Dipaksa oleh nasi bungkus dan kaos partai yang ukurannya selalu kebesaran untuk kenyataan.
Sabar ya, Aku tahu listrik mahal, tapi lihatlah betapa terang baliho wajahku. Aku tahu BBM naik, tapi tak mengapa, mobilku solar disubsidi.
Kalian masih tanya kapan giliran kalian? Giliran kalian adalah ketika aku butuh suara. Setelah itu? Giliran kalian untuk diam, dan aku kembali menyusun puisi berikutnya.
Jangan khawatir, rakyatku, Aku akan kembali… dengan janji yang lebih baru, Lebih harum, lebih modern, lebih bohong, Karena kejujuran kini adalah barang koleksi, bukan konsumsi.
Jangan lupa, sabar ya, Aku masih nyoblos diriku sendiri, Sebab siapa lagi yang bisa kupercaya dalam dunia yang kuatur penuh cermin? Dan cermin itu sudah ku-retak-retakkan, Agar kalian tak bisa lihat bayangan kalian sendiri.
Tapi aku lihat jelas bayanganku, Besar, megah, dan tak terbantah, Seperti patung pahlawan yang kutegakkan demi nama jalan, Bukan demi perjuangan.
Selamat menunggu ya, Tunggu gaji tak naik, subsidi menguap, dan etika yang terselip di bawah meja. Tunggu janji yang datang dengan pita merah dan kamera. Tunggu aku, selalu aku, Karena di setiap bilik suara, hanya aku yang tertulis dengan tinta yang tak bisa kalian hapus.
Rakyatku, sabar ya… Karena kali ini, aku nyoblos diriku sendiri. Dan mungkin, lima tahun ke depan, Kalian juga akan kulatih… Untuk ikhlas.
Refleksi: Puisi ini menyindir praktik kekuasaan yang memanfaatkan sistem demokrasi hanya untuk melanggengkan kepentingan pribadi. Dengan gaya satir dan penuh ironi, sindiran ditujukan pada para pemimpin yang bersembunyi di balik retorika dan janji palsu, sementara rakyat diminta terus bersabar tanpa hasil nyata. Pesan moralnya: Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi memahami siapa yang pantas dipercaya dan siapa yang hanya pandai mencoblos dirinya sendiri.
Judul: "Kotak Suara Berisi Cermin: Rakyatku, Sabar Ya... Aku Lagi Nyoblos Diri Sendiri
Pengantar: Kepada rakyat yang setia menunggu perubahan dari kursi plastik, izinkan aku curhat dari balik bilik suara yang penuh parfum ambisi. Ssst... kali ini aku mencoblos sosok yang paling aku kenal: Aku.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir:
Aku datang dengan jas hasil pinjaman, sepatu mengilap karena amplop semalam, berdiri gagah di depan kotak suara, katanya demokrasi, tapi aku lebih suka monarki selfie.
“Coblos yang terbaik!” katanya, kertas suara menggigil di tangan, satu nama, satu janji, satu wajah: Aku.
Bilik suara jadi cermin, setiap harapan rakyat menguap oleh napas ambisi, aku tersenyum, menandatangani masa depan pakai tinta ego yang tak luntur tujuh turunan.
Rakyatku, sabar ya, aku lagi nyoblos diri sendiri, biar aman anggaran jajan anakku, biar lancar proyek paving block buat tetangga elit.
Lihat mereka antre sejak subuh, bawa harap dan sarapan seadanya, sementara aku sarapan dengan nasi janji dan lauk tipu-tipu.
Kotak suara? Itu mah koper ideologiku, tiap tahun kutukar dengan model terbaru, kadang nasionalis, kadang religius, kadang cuma pesimis tapi berkoar idealis.
Kampanye kemarin penuh spanduk senyum, bak selebgram puasa filter, aku peluk nenek-nenek, kecup bayi seperti kecup kuasa.
Tapi maaf, rakyatku, aku udah janji ke diriku duluan. Kalian urutan ketiga—setelah keluarga, kemudian kroni.
Suaraku kutanam dalam kotak plastik, bukan buat wakilkanmu, buat jagain kursi empuk yang kuminum tiap senin pagi.
Lihatlah aku di baliho itu, bukan malaikat, cuma manusia berlabel diskon, "Beli satu dapat lima proyek."
Rakyatku, sabar ya, aku lagi sibuk bikin visi, yang penting bunyinya keren di podcast, biar bisa viral, biar dapat endorsement kebijakan.
Debat? Ah, itu cuma ajang stand-up politik. Aku hafal skrip: "Kami peduli rakyat," "Kami akan membasmi korupsi," padahal aku dan korupsi itu... semacam LDR yang selalu balik.
Rakyatku, sabar ya, aku lagi belanja kostum patriotik di e-commerce kebangsaan, biar saat naik panggung pelantikan, kalian lupa aku dulu pemain sinetron drama anggaran.
Pendidikan? Kami akan gratiskan! (Bila kau mampu beli seragam dan beli sinyal) Kesehatan? Akan kami tingkatkan! (Jika kau bisa lewat antrean dan bayar parkir IGD)
Oh, rakyatku... kalian terlalu romantis mencintai politik, padahal ini cuma serial TV tanpa season terakhir.
Kalian pakai hati, aku pakai data polling. Kalian bawa doa, aku bawa drone. Kalian ciprati air mata, aku siram dengan dana aspirasi.
Ssst, jangan ribut, kamera sedang merekam, aku perlu footage tangisan nenek-nenek buat feed Instagram perjuangan palsu.
Rakyatku, sabar ya, aku lagi nyoblos diri sendiri, supaya masa depan tetap seperti sekarang: kalian kerja, aku yang cuan.
Jika nanti jalanan rusak, itu tanda kalian harus bersabar, sedang kami sibuk rapat—di hotel berbintang.
Jika harga sembako naik, bilanglah ini cobaan nasionalisme, biarkan aku urus kontrak impor sama sahabat SMA-ku.
Oh, rakyatku, kalian baik-baik saja 'kan di rumah petakmu? Sementara aku sedang menentukan warna karpet ruang kerja baru.
Lihat, slogan-slogan itu hanya gincu, dibubuhkan dengan kuas palsu empati, bila kalian percaya, itu hak kalian, karena aku cuma menawarkan khayalan legal.
Sekali lagi, sabar ya, saat kalian rebutan minyak goreng, kami sedang menyusun rencana membuat iklan keberhasilan.
Oh, andai kalian tahu, kursi kekuasaan ini bukan sekadar kursi, ini adalah ranjang mimpi buruk yang kujadikan tempat tidur nyaman.
Jadi tenanglah, kalian boleh demo, kalian boleh bikin petisi, kami punya buzzer, kami punya pasal karet, kami punya sabun cuci tangan untuk bersih dari tanggung jawab.
Hari ini aku menang lagi, karena aku pencoblos sejati, kalian pemilik suara yang kubutuhkan, kecuali saat kalian mulai bertanya.
Rakyatku, sabar ya, aku akan turun ke pasar, tapi cuma buat selfie dengan bakul sayur, bukan buat belanja, itu kerja ajudan.
Aku tahu kalian kecewa, tapi kecewa itu bisa dikelola, ada seminar gratis berjudul: “Cara Bersyukur Meski Disiksa Sistem.”
Nanti aku janji, kubangun jalan tol menuju masa depan, tapi jangan tanya kapan, cukup retweet dan diam.
Jadi hari ini aku mencoblos aku, demi kalian yang tetap percaya meski tiap tahun kena prank, aku titipkan amanat rakyat di lemari besi, kuncinya kubuang, tapi kuncinya juga punya password.
Oh rakyatku, kalian puasa demi hidup, sedang aku berbuka dengan hasil kebijakan. Kalian tawar nyawa di rumah sakit, kami tawar anggaran dengan gaya audit kreatif.
Rakyatku, sabar ya, aku akan bicara tentang integritas, sambil menghapus jejak-jejak digital masa lalu.
Kalau kalian minta keadilan, kami beri simbol timbangan di gedung tinggi, kami beri jaksa yang doyan nyanyi di TikTok.
Aku tahu, aku tahu, aku bukan malaikat, tapi setidaknya aku bukan rakyat biasa, itulah sebabnya aku mencoblos diri sendiri.
Refleksi Penutup:
Puisi ini menyampaikan sindiran tajam tentang fenomena elite politik yang menjadikan proses demokrasi sebagai panggung personal. Sindiran ini menyasar pada politisi munafik, birokrat haus kuasa, dan pemilih yang mudah dipoles janji manis tanpa realita. Pesan moralnya sederhana namun penting: demokrasi seharusnya bukan tentang mempertahankan kekuasaan pribadi, melainkan memperjuangkan hak rakyat yang kerap kali hanya jadi latar foto kampanye. Bila suara rakyat terus dibungkam oleh ego elit, maka kotak suara akan terus jadi cermin, bukan pintu perubahan.