Bersatu Dalam Bendera, Terpecah Dalam Warna

 


📛 Judul: “Bersatu di Spanduk, Terbelah di Spasi”
— Parade Warna di Negeri Pelangi Abu-Abu


🪶 Pengantar Pendek:
“Di negeri yang mengklaim satu bendera,
warna justru jadi mata uang kekuasaan.”

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


📜

(1)
Salam sejahtera, wahai rakyat termanja,
yang bersyukur dalam unggahan,
dan mencaci dalam kolom komentar.

Di bawah langit merah putih berdebu,
kita menyanyi lagu persatuan dengan nada cekcok,
berpegangan tangan—dengan sarung tinju di balik punggung.
Pancasila kami eja, sambil nyaris saling bacok di timeline.


(2)
Kami satu bangsa,
berpuluh kubu,
satu tujuan:
menang debat—meski salah.

Kami satu tanah air,
berhektar-hektar ego subur,
disiram hujan hoaks dari pagi hingga primetime.

Kami satu bahasa:
Bahasa nyinyir.
Sastra sarkas dari genggaman.


(3)
Di sekolah, kami belajar bendera
di kehidupan, kami dibakar warna.

Merah darahmu, putih tulangmu?
Tidak!
Merah: geng A.
Putih: kubu B.
Hitam: netral, tapi disangka musuh oleh semua.
Biru?
Penyamar.
Hijau?
Pembisik.
Kuning?
Licin.
Abu-abu?
Terlalu ragu untuk dicintai.


(4)
Ah, andai Merah Putih bisa bicara,
mungkin ia sudah muntah warna.
Disobek jadi dasi partai.
Dijahit jadi baliho.
Diperas jadi jargon.
Lalu dilempar—ke tumpukan arsip janji kampanye.


(5)
Negeri ini menyebut dirinya "Satu",
namun logikanya pecah seperti kaca review toko online.
Yang bintang lima: buzzer.
Yang bintang satu: oposisi.
Yang netral: tidak dibaca.


(6)
Aku bicara pada dinding,
lebih rasional daripada politisi.
Setidaknya, dinding tidak tiba-tiba ganti warna,
hanya karena disiram survei.


(7)
Negeri ini bukan demokrasi,
ini “demokrasih”—
“Kasihan sekali yang masih percaya suara hati.”


(8)
Kami punya sidang wakil rakyat,
tapi yang mewakili hanya kartu ATM mereka.
Rakyat?
Tampil di video kampanye.
Habis itu, masuk arsip.


(9)
Bendera kami berkibar gagah,
di tiang baja tahan gempa,
sementara rakyat meringkuk di bawahnya
dalam tenda tahan lapar.

Kami hormat saat lagu dikumandangkan,
lalu mencuri dalam senyap setelahnya.
Yang penting: footage masuk TV.


(10)
Lihatlah parade:
Bendera merah putih sepanjang jalan tol,
dari utara ke selatan,
sementara tikus got dari barat ke timur
berlari bawa karung proposal anggaran.


(11)
Kami hidup dalam Republik Ironi:
Dimana janji lebih nyata dari realisasi,
Dimana koruptor dihukum kutipan buku motivasi,
Dimana pelajar dilarang demonstrasi
tapi diharapkan jadi pemimpin revolusi.


(12)
Wahai pewaris warna-warni,
kenapa saling mencakar dalam balutan kata “netral”?
Apakah warna terlalu suci untuk berbagi tempat
dalam satu pelangi yang seharusnya bersahabat?


(13)
Ah, jangan salahkan kami,
kami dibesarkan dengan bendera,
tapi diajari benci sejak TK.
“Jangan main sama dia, warnanya beda.”
“Jangan nikah sama sana, pohonnya lain.”
“Jangan percaya yang itu, partainya bukan kita.”


(14)
Dan kini, kami jadi generasi bingung:
Menjunjung persatuan di bio Instagram,
tapi memblokir teman SMA
karena status politiknya tak seirama.


(15)
Kami tawar-menawar kebenaran
dalam lelang opini mingguan.
Yang paling keras?
Dapat panggung.
Yang paling jujur?
Dapat blokir.


(16)
Kami pernah bersatu saat nonton bola,
lalu saling bantai saat hitung suara.
Kami memeluk saat bencana,
tapi menjegal saat pemilihan.


(17)
Negeri ini tidak pecah,
ia teriris perlahan,
oleh pisau opini yang tumpul tapi dipaksakan tajam.

Kami mengaku cinta bangsa,
tapi hanya saat sedang live.
Setelah itu?
Beralih ke konten prank.


(18)
Ah, dunia maya kami lebih nyata dari Pancasila.
Dan like lebih bernilai dari sila kedua.
“Kemanusiaan yang adil dan viral.”


(19)
Mereka bilang:
“Bersatulah demi bangsa.”
Tapi di belakang panggung,
mereka nego posisi.

Rakyat?
Disuruh sabar.
Disuruh maklum.
Disuruh nyumbang konten.


(20)
Kami yang muda,
dipaksa memilih tua.
Kami yang kreatif,
dikebiri kurikulum.
Kami yang bersuara,
dicap bising.
Kami yang diam,
dicap apatis.


(21)
Negeri ini butuh revolusi,
tapi takut pada diskusi.
Butuh perubahan,
tapi trauma pada suara.


(22)
Kini kami hidup dalam naskah parodi:
Satu bangsa,
satu bahasa,
tapi sepuluh grup WA keluarga
yang semua isinya saling blokir.


(23)
Kami parade persatuan di spanduk,
tapi parade perpecahan di kolom komentar.
Kami bersatu di lagu wajib,
terpecah di aplikasi polling.


(24)
Bersatu dalam bendera,
terpecah dalam warna.
Karena warna tak lagi soal seni,
tapi soal siapa yang punya amplop lebih tebal.


(25)
Wahai Merah Putih,
jangan menangis karena kami
kami hanya terlalu sibuk menjadi citra
hingga lupa jadi manusia.


(26)
Di akhir bait ini,
izinkan aku bertanya, meski jawabannya jelas:
Apakah kita benar-benar satu
atau sekadar menyanyi dalam nada palsu?


🎭 Refleksi Penutup

Puisi ini adalah cermin retak yang menampilkan wajah kita: bangsa yang lantang mengklaim satu, tapi gagap ketika diuji perbedaan. Sindiran ini menyasar kita semua—rakyat yang mudah tersulut, elite yang gemar membakar. Pesan moralnya sederhana: persatuan bukan soal spanduk dan slogan, tapi soal kesediaan mendengar, memahami, dan merangkul—meski berbeda warna. Sebab jika kita terus menjadikan warna sebagai jurang, maka bendera hanya akan jadi kain tak bermakna.


📛 Judul: "Satu Negeri, Seribu Wacana: Republik Drama Berbendera Sama"

— Ketika Patriotisme Dijual di E-Commerce dan Diserahkan dalam Bentuk Voucher


🪶 Pengantar Pendek:
“Di negeri yang katanya satu,
semua setuju untuk tidak pernah benar-benar sepakat.”

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


📜 

(1)
Halo wahai penjaga negeri,
yang mencintai bangsa setengah hati,
sisanya diinvestasikan pada saham dan kursi.

Negara ini katanya satu,
tapi kok rasanya kayak warung kopi:
penuh debat,
sedikit solusi.


(2)
Kami ini rakyat,
kumpulan suara yang katanya berdaulat,
tapi cuma dipanggil pas pemilu dan dijemput pakai nasi kotak.
Setelah itu?
Nomor kita diblokir.


(3)
Kami bangga jadi warga negara,
dengan syarat:
Internet lancar,
subsidi cair,
dan konten viral tetap menghibur.

Kami terharu melihat upacara,
tapi sambil scroll TikTok,
dengan caption:
“Terharu banget, guys 🥹 #MerdekaChallenge.”


(4)
Di bawah bayang bendera,
kami berbagi quotes bijak,
namun berebut bangku bis pagi seperti gladiator Sparta.
“Bersatu kita teguh”—asalkan dapat tempat duduk duluan.


(5)
Satu tanah air?
Kami cek ulang di Google Maps.
Karena yang kami tahu:
jalan rusak,
akses sulit,
tapi semua pejabat selfie dari helikopter.


(6)
Kami satu bangsa,
dengan dua harga minyak,
tiga versi kebenaran,
dan empat belas ribu alasan untuk tidak percaya berita.


(7)
Negara kami dijahit oleh sejarah,
tapi robek oleh trending topic.
Setiap pagi kami buka berita:
bukan untuk pencerahan,
tapi untuk bahan debat warung kopi.


(8)
Kami punya kebebasan berpendapat,
asal tidak terlalu bebas.
Kritik boleh,
asal mengalir seperti air—ke saluran got.


(9)
Lihatlah bendera itu,
berkibar gagah di atas tiang,
sementara di bawahnya,
kami saling tuduh:
kamu PKI!
kamu antek asing!
kamu kurang nasionalis karena suka drama Korea!


(10)
Negeri ini satu,
tapi aturan dibuat sesuka.
Yang kaya kebal hukum,
yang miskin kebal lapar.
Yang berkuasa bisa salah terus benar,
yang bersuara bisa benar lalu hilang.


(11)
Kami dibekali sumpah pemuda,
lalu diadu dengan sumpah serapah netizen.
Lidah kami patah,
karena harus bilang “setuju”
padahal ingin bilang “capek”.


(12)
Monolog pagi di cermin:
"Hari ini aku cinta tanah air."
Sore harinya,
aku terjebak macet,
dan mengutuk pembangunan yang tak kunjung selesai
sejak zaman dinosaurus pun punah.


(13)
Kami punya wakil rakyat,
yang lebih sibuk selfie daripada sidang.
Yang bicaranya lebih rapi di podcast,
daripada di rapat paripurna.
Yang lebih mengenal polling daripada penderitaan.


(14)
Kami punya presiden?
Tentu.
Dan kami juga punya 300 juta presiden bayangan di media sosial,
siap memerintah dari balik layar HP.


(15)
Negeri kami sakral,
tapi urusan proyek suci jadi bancakan.
Rakyat diminta hemat,
sementara pejabat liburan pakai dana rakyat—
karena katanya "butuh healing".


(16)
Kami bersatu…
Saat diskon 11.11 tiba.
Kami damai…
Saat bareng-bareng rebut barang flash sale.
Kami patriotik…
Saat menonton sepakbola,
tapi langsung mengutuk negara
kalau timnas kalah adu penalti.


(17)
Di bawah bendera,
kami diajak hormat.
Tapi setelah lagu habis,
kami diabaikan.
Rakyat dijanjikan “reformasi”,
tapi malah dikasih “revisi”.


(18)
Satu warna di bendera,
tapi ribuan warna di layar.
Setiap akun jadi tribun.
Setiap cuitan jadi peluru.
Setiap tagar jadi perang.


(19)
Negeri ini lucu:
Kita protes soal harga naik,
lalu selfie depan billboard promosi influencer yang digaji dari pajak.


(20)
Kami ingin keadilan,
tapi isinya “syarat & ketentuan berlaku.”
Kami ingin kesejahteraan,
tapi menunya cuma saran dan motivasi.


(21)
Negeri ini puitis,
tapi tragis.
Setiap pidato penuh metafora,
tapi nasi di piring masih metafaktanya: tinggal kerak.


(22)
Kami bersatu dalam doa,
terpecah dalam daftar penerima bansos.
Bahkan bencana pun jadi panggung,
untuk pamer empati yang disponsori lembaga.


(23)
Dan kini, wahai pembaca,
lihatlah ke kanan,
lihat ke kiri,
semua mengibarkan bendera yang sama—
tapi punya agenda berbeda.

Satu berdiri untuk rakyat.
Satu berdiri untuk proyek.
Yang lain berdiri hanya karena kamera menyala.


(24)
Bersatu kami dalam slogan,
terpecah dalam perut kenyang dan lapar.
Bersatu dalam desain kaos kampanye,
terpecah dalam kebijakan absurd.


(25)
Lalu kami disuruh “jangan benci negeri ini.”
Kami tak benci.
Kami cuma lelah.
Lelah pura-pura satu,
padahal kami tahu:
warna itu bukan sekadar pelangi,
tapi seringkali—taktik strategi.


(26)
Tanyalah kami, anak bangsa:
Apakah cinta tanah air itu nyata?
Kami jawab:
Ya, kami cinta negeri ini...
dengan catatan kaki sepanjang KTP.


🎭 Refleksi Penutup

Puisi ini bukan sekadar sindiran,
ini adalah pengingat keras yang dibungkus jenaka:
Bahwa persatuan sejati bukanlah proyek pencitraan,
melainkan proses pengakuan terhadap perbedaan.

Sindiran ini menyasar siapa saja yang mengaku cinta negeri,
tapi menjual loyalitas demi kursi.
Nilai moralnya?
Jika terus bersatu hanya dalam spanduk dan baliho,
sementara isi hati retak karena warna,
maka kita bukan bangsa—melainkan hanya brand kampanye.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.