🧱 Judul: "Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Terima Gaji – Sebuah Upacara Ironi di Negeri Bernama Sekolahlah!"
"Karena di balik papan tulis yang berdebu, berdiri seorang patriot yang tak pernah minta tepuk tangan – hanya cukup kapur dan kadang listrik menyala."
"Negeri ini terlalu sibuk menghafal nama-nama pahlawan, sampai lupa menanyakan kabar guru yang masih hidup."
✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
📜 Isi Puisi Satir:
Wahai engkau yang berdiri di depan kelas, Dengan blazer warisan dan spidol pinjaman, Kau bukan guru, kau mesin pengisi absen, Petugas upacara mental di negeri tanpa upah mental.
Tak perlu kau tanya tentang gaji, Karena gaji hanyalah mitos seperti unicorn dan keadilan sosial, Bulan datang dan pergi, tapi slip gaji hanya singgah di mimpi.
Mereka bilang: "Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa!" Tentu, karena jasa tak bisa ditandai jika tak pernah dibayar. Mereka dirikan patung untukmu, tapi dompetmu tetap seperti buku nilai – kosong kecuali harapan.
Sekolah bukan rumah ilmu, tapi panggung drama, Di mana kepala sekolah jadi sutradara sinetron anggaran, Dan guru menjadi figuran yang lupa dilunasi.
Kau mengajar sejarah tentang revolusi, Sementara di ruang guru terjadi evolusi – Dari semangat menjadi kebiasaan, Dari harapan menjadi pengunduran diam-diam.
Kau dituntut mencetak generasi emas, Padahal kau sendiri tak mampu beli perhiasan imitasi untuk istri. Diminta mengajar dengan laptop dari zaman dinosaurus digital, Yang jika dihidupkan, mengeluarkan suara seperti keluhan veteran perang.
Kau ajarkan anak menulis puisi, Sementara puisimu sendiri berisi tagihan listrik dan air, Anak-anak belajar membuat mimpi besar, Sedang kau menghitung detik pulang karena perut sudah berdiskusi.
Ada murid menangis karena nilai buruk, Tapi tak tahu gurunya menangis karena isi kantong yang lebih buruk. Murid-murid protes soal PR, Sedang guru harus merangkap jadi operator Dapodik dan tukang cetak raport.
Guru honorer: makhluk setengah nyata, Ada di sekolah, tapi tak tercatat dalam anggaran. Mereka berkata: "Tunggu SK turun!" SK itu seperti bintang jatuh – dilihat sekali, dipercaya oleh anak-anak.
Kau dituduh tak kreatif dalam mengajar, Padahal kau sudah mengubah dus bekas jadi proyektor, Menggunakan internet tetangga untuk download materi, Dan menjadikan senyummu sebagai satu-satunya tunjangan tetap.
"Mengapa tak pindah kerja saja?" Kata mereka yang nyaman di balik meja dan asuransi penuh. Tapi siapa yang akan menulis masa depan anak-anak desa? Siapa yang akan mengajarkan moral saat moralitas dijadikan lomba pidato?
Saban Hari Guru, kau diberi bunga plastik dan nasi kotak, Lalu kembali ke rumah dengan cucian dan PR anak sendiri. Sekolahmu jadi tempat reses politisi, Tapi bukan tempat resepsi untuk guru menikahkan impiannya.
Kau bukan hanya guru, Kau juga tukang sapu kelas, pendamai konflik, admin WhatsApp orang tua, Kau mentor, pelatih, pengganti orang tua, Tapi di mata sistem, kau hanyalah 'NUPTK belum aktif'.
Kau tidak punya LHKPN karena hartamu hanyalah prinsip, Tidak disorot media karena skandalmu hanyalah mencintai profesi terlalu dalam. Kau bangga ketika muridmu jadi orang sukses, Meski mereka lupa cara mengeja namamu.
"Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa!" Kata mereka yang hidup dari jasa pinjaman online. "Guru adalah pondasi bangsa!" Kata iklan rokok yang disponsori beasiswa berjangka.
Wahai negara yang bijak dalam pidato, Tapi pelupa dalam aksi nyata. Apakah sulit menukar satu karangan bunga dengan honor layak? Apakah terlalu utopis memberi gaji yang tak bikin sesak?
Guru bukan ingin kaya raya, Mereka hanya ingin tak dihina oleh rekening. Mereka hanya ingin dianggap manusia, Bukan hanya statistik dalam laporan semester.
Dan di kelas, guru tetap datang pagi, Meski malamnya ia lembur jadi ojek online, Ia tetap tersenyum saat murid datang, Meski ia baru saja menerima pesan: "Maaf, honor ditunda."
Ada guru yang mati karena stres, Ada guru yang hidup karena cinta. Ada guru yang mengajar dengan detak terakhir, Karena mengajarlah satu-satunya nyawa yang ia punya.
Ini bukan puisi – ini laporan tak resmi, Ini bukan satire – ini transkrip kehidupan, Ini bukan sekadar sindiran – ini surat cinta dengan tinta perlawanan.
📌 Refleksi Akhir: Puisi ini adalah potret ironis tentang profesi yang diagungkan dalam ucapan, tapi dilupakan dalam tindakan. Sindiran ini menyasar kebijakan dan sistem yang abai, dan masyarakat yang terlalu sibuk mengidolakan tanpa benar-benar peduli. Pesannya jelas: Guru adalah cahaya – jangan biarkan mereka padam karena sistem yang gelap. Mari bersikap lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih peduli pada mereka yang membentuk dasar karakter bangsa. Sudah saatnya kita berhenti memberi bunga dan mulai memberi penghargaan yang nyata.
🧱 Judul: "Raport Tanpa Nilai, Gaji Tanpa Nominal: Doa-Doa Guru yang Tercecer di Kolong Meja Negara"
"Di negeri yang sibuk bikin regulasi, guru hanya sempat bikin kopi."
"Jika malaikat pencatat amal duduk di ruang guru, mungkin mereka pun akan minta cuti."
✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
📜 Isi Puisi Satir:
Salam hormat, wahai engkau,
Tukang dongeng masa depan, yang tak pernah diundang dalam rapat masa depan.
Setiap pagi kau datang bukan karena absen,
Tapi karena iman.
Kau tidak digaji untuk berkorban,
Tapi tetap mengajar dengan buku bertahun yang menua lebih cepat dari rambutmu.
Sekolahmu bukan gedung ilmu,
Tapi reruntuhan akal sehat yang diangsur dengan proposal BOS.
Kau bukan guru,
Kau petapa, bertapa di ruang kelas penuh doa dan jam dinding rusak.
Monologmu:
"Tuhan, berikan aku spidol yang bisa menulis harapan.
Karena pena sekolah hanya tahu mencatat beban.
Setiap hari kau pergi ke medan perang,
Dengan senjata papan tulis dan tameng semangat.
Muridmu membawa gadget mahal,
Kau membawa hati lapang dan dompet robek.
Buku teks adalah fiksi ilmiah,
Sementara kenyataan adalah ujian karakter,
Yang tak masuk dalam kurikulum.
Sarkasme pertama:
"Pahlawan tanpa tanda jasa?"
Tentu! Bahkan BPJS-mu pun harus mandiri.
Negara memberimu upacara,
Tapi tak memberimu upah.
Negara memberimu piagam,
Tapi lupa kamu punya perut.
Anak didikmu tumbuh jadi pejabat,
Lalu melupakanmu seperti PR yang tak dikumpulkan.
"Bu, nilai saya belum keluar!"
Kau tersenyum,
Karena nilai rekeningmu lebih kosong dari nilai siswa yang tak hadir.
Guru honorer,
Makhluk mistis yang cuma muncul saat ada anggaran,
Lalu hilang ketika SK berubah menjadi akronim: Sedang Kabar-kabar.
Ironi:
Kau mengajarkan kejujuran,
Dalam sistem yang mengajarkan mark up.
Kau mengajarkan kebebasan berpikir,
Dalam ruang kelas dengan plafon bocor dan WiFi yang tak pernah hadir.
Lelucon klasik:
"Mau jadi guru?
Siapkan nyali, iman, dan kerendahan hati.
Karena gaji akan selalu rendah, tapi ekspektasi tinggi."
Kau disebut pelita bangsa,
Tapi PLN tetap memutuskan listrik saat kau presentasi.
Kau guru sejarah,
Tapi namamu tak tercatat dalam sejarah anak-anak yang kau selamatkan dari kegelapan.
Kau guru matematika,
Tapi tak pernah bisa menjumlahkan tunjangan yang dijanjikan.
Kau guru seni,
Tapi hidupmu hitam putih seperti fotokopi RPP.
Kau guru PPKn,
Tapi negara lupa padamu saat bagi-bagi kebijakan.
Kau bukan cuma guru,
Kau juga bendahara kelas yang menalangi kapur,
Kau juga penyuluh gizi saat kantin tutup,
Kau juga tukang parkir saat acara sekolah.
Parodi:
"Guru mulia karena tugasnya berat."
Kata pejabat yang datang hanya untuk foto dan vlog.
"Teruslah mengabdi, Pak/Bu,"
Kata mereka yang mengabdi pada anggaran dan fasilitas negara.
Kau mendidik anak petinggi,
Tapi tetap harus nebeng motor tetangga.
Kau membimbing juara olimpiade,
Tapi tak pernah menang lotre insentif.
Paradoks:
Semakin banyak kau berikan,
Semakin kecil kau diterima.
Semakin tinggi pengorbananmu,
Semakin sunyi penghargaannya.
Suatu hari,
Kau pingsan di depan kelas karena maag,
Dan siswa-siswamu menulis status: "Sedih... Semoga cepat pulih."
Tapi lupa membawa air putih.
Kau tetap datang meski hujan,
Kau tetap senyum meski utang,
Kau tetap menulis LKS meski laptop-mu sudah pensiun sejak G-20 belum ada.
Kau terus mengajar,
Meski kebijakan silih berganti seperti musim tanpa jeda,
Meski kompetensi diuji seperti kontes kecantikan kurikulum.
Mereka bilang:
"Upgrade kompetensimu!"
Tapi siapa yang upgrade komputermu?
"Inovasi pembelajaran!"
Padahal muridmu bahkan tak punya kuota.
"Digitalisasi!"
Padahal honor-mu masih analog.
Kau bukan marah,
Kau muak.
Tapi kau diam.
Karena hanya diam yang diajarkan oleh sistem pada mereka yang bersuara.
Di ruang guru, tak ada musik,
Hanya suara printer yang serak dan mimpi yang patah.
Meski begitu,
Kau tetap menyapa pagi dengan salam,
Tetap menulis absen meski tak dibayar.
Karena hatimu tak bisa dilumpuhkan oleh birokrasi.
Dan pada akhirnya,
Yang tersisa hanyalah catatan harian yang tak dibaca siapa-siapa,
Rapor siswa yang penuh angka,
Dan kehidupan guru yang penuh luka tak terdata.
📌 Refleksi Akhir:
Puisi ini adalah jeritan yang dibungkus tawa getir, sapaan keras bagi sistem dan masyarakat yang memuja guru di podium, tapi meninggalkannya di lorong-lorong waktu. Sindiran ini untuk mereka yang nyaman duduk memutuskan, tapi tak pernah merasakan duduk di ruang guru dengan AC rusak dan honor tertunda. Pesannya sederhana namun nyaring: guru bukan hanya pelita, mereka adalah bara. Jika kita terus diam, bara itu bisa padam. Mari mulai dengan satu aksi kecil: hargai mereka secara nyata, bukan hanya lewat spanduk dan puisi. Karena pendidikan adalah kemuliaan, dan guru adalah wajah paling jujurnya.
Mari bersikap lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih peduli pada mereka yang membentuk dasar karakter bangsa.
ReplyDelete