Sumpah Pemuda Dikenang, Tapi Tak Dilanjutkan



 "Sumpah Pemuda, Kini Jadi Meme yang Manis di Pajangan Instastory"

Pengantar: Sumpah itu dulu lahir di medan keyakinan, kini terdampar di lautan peringatan. Apakah sumpah tinggal jargon, atau kita yang terlalu betah jadi penonton?

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

Aku bersumpah, tapi password-nya lupa. Entah yang ke berapa kali aku mengganti kata sandi nasionalisme hanya demi login ke tren terbaru.

"Kami putra dan putri Indonesia..." kata mereka, sambil scroll TikTok, menari ala k-pop, sambil memaki di kolom komentar: "Apaan sih, bendera di avatar? Norak!"

Sumpah Pemuda? Oh, tentu aku tahu, itu yang sering dibaca dengan mata melotot oleh MC upacara yang dibayar nasi kotak dan peluh.

Satu tanah air? Aku lebih suka satu lokasi terdekat di aplikasi ojek. Biar cepat, biar praktis, biar gausah mikir.

Satu bangsa? Mungkin kalau ada diskon gopay. Bangsaku kini bergantung pada kuota. Ketika sinyal hilang, nasionalisme ikut memudar.

Satu bahasa? Tentu, bahasa emoji, dan sticker berpelukan. Bahasa Indonesia terlalu panjang buat caption, terlalu formal buat ngemis like, dan terlalu basi buat jadi konten viral.

Aku anak muda yang bangga, bangga dengan gaya hidup multitasking: menatap layar sambil lupa sejarah, menjadi aktivis daring, tapi alergi turun ke jalan.

Dulu mereka berjuang dengan pena dan darah, kami cukup dengan hashtag dan latar belakang Zoom.

Kami adalah kaum rebahan yang bijak, dalam komentar, kami heroik, di dunia nyata? Kami sibuk nyari WiFi.

Sumpah Pemuda kami rayakan tiap tahun, dengan lomba-lomba yang memeriahkan semangat kompetisi... untuk snack dan hadiah hiburan.

Kami tak tahu arti sumpah, tapi kami hafal tanggalnya, karena tiap 28 Oktober kami wajib unggah twibbon agar tampak berjiwa bangsa.

Kami hormat, sambil selfie. Kami upacara, sambil live streaming. Kami menyanyikan lagu kebangsaan, sambil bisik-bisik: "Eh, liriknya apaan ya?"

"Satu nusa, satu bangsa..." Sementara di kolom komentar YouTube, kami saling melaporkan, membawa bendera perasaan, berperang demi fanbase idol dan idola politik.

Kami anak bangsa, tapi saat ditanya siapa Gadjah Mada, kami jawab: “Itu snack pedas, kan?”

Kami pemuda masa kini, dengan cita-cita jadi selebgram, pekerjaan impian: endorse skincare, panggilan jiwa: viral!

Kami tak memerdekakan tanah, tapi kami kuasai algoritma. Kami bukan pahlawan nasional, tapi kami bisa trending dalam semalam.

Pemuda dulu bersumpah demi persatuan, kami kini bersumpah demi engagement. Biar views naik, biar akun centang biru.

Apakah salah jika nasionalisme bertransformasi? Bukankah dulu juga mereka demo, kini kami juga... demo skincare di Shopee Live?

Kami bicara kebangsaan, sambil pakai filter anjing di wajah. Kami berdiskusi politik, sambil curhat di instastory. Kami cinta negeri ini... jika disponsori oleh minuman energi.

Kami tak angkat senjata, tapi kami angkat hashtag. Kami tak mati di medan perang, tapi mati gaya kalau sinyal hilang.

Kami bersatu... kala ada konser gratis. Kami berbaris... kalau ada job freelance. Kami membela... kalau yang dihina adalah artis favorit.

Inilah sumpah pemuda era baru: Satu nusa, satu kuota, Satu bangsa, satu feed Instagram, Satu bahasa, satu grup meme.

Kami adalah pewaris yang lupa wasiat, penyair yang hanya paham puisi dalam lirik lagu K-pop. Kami baca buku sejarah hanya saat butuh caption quotes bijak.

Kami seringkali mengutuk masa lalu yang berdarah, sembari malas membangun masa depan yang jelas.

Kami adakan webinar nasionalisme, kami desain poster patriotisme, kami cetak ulang semangat Sumpah Pemuda dalam bentuk tote bag dan gantungan kunci.

Kita mengenang, tapi tak melanjutkan. Kita merayakan, tapi tak mewujudkan. Kita menghafal, tapi tak memahami.

Kami menyalahkan pemerintah, kami menyindir generasi sebelumnya, kami bersembunyi di balik meme dan sinisme.

Kami memuja pemuda masa lalu, sambil mengejek teman yang berani bicara politik. Kami menyebutnya sok idealis, padahal kami iri karena dia berani.

Kami hidup di negeri yang katanya merdeka, tapi tiap opini harus seizin algoritma. Kami katanya bebas bicara, sampai konten kami di-takedown.

Kami mencintai negeri ini selama tidak menyulitkan, selama tidak menyuruh antre, selama tidak menyuruh berpikir.

Sumpah Pemuda kini kami kenang, seperti lagu nostalgia di playlist yang tidak pernah diputar, kecuali saat upacara atau lomba pidato.

Kami sibuk, tapi entah sibuk apa. Kami produktif, tapi tak tahu hasilnya apa. Kami ingin perubahan, tapi takut kehilangan kenyamanan.

Kami ingin revolusi, tapi harus setelah sarapan dan scrolling pagi. Kami ingin Indonesia maju, tapi sambil rebahan, ngopi, dan skip iklan.

Oh, para pemuda tahun '28, lihatlah kami kini: kami generasi konten, kami pemuda yang viral, kami Indonesia yang punya banyak cita-cita, selama tidak terlalu repot mencapainya.

Kami mengenang Sumpah Pemuda, sama seperti mengenang mantan: emosional, dramatis, dan tetap diulang di setiap story.


Refleksi: Puisi ini bukan sekadar ejekan, tapi panggilan untuk bercermin. Sindiran ini menyasar kita semua—yang gemar mengenang sejarah namun enggan meneruskan semangatnya. Bukan untuk mempermalukan generasi, tapi untuk menggugah: bahwa sumpah bukan hanya kenangan seremonial, tapi janji yang harus kita jalani. Jika pemuda dulu menulis sejarah dengan darah dan tekad, mungkinkah kita menulisnya dengan sinyal dan satire?


📛 Judul: "Sumpah Pemuda: Kami Bersumpah Tak Akan Menepati!"

📝 Pengantar Pendek: "Dulu mereka bersumpah di atas tanah yang belum dibagi-bagi. Kini kami bersumpah juga—di kolom komentar, dengan capslock dan emoji menangis."

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


📜 

Kami adalah pemuda-pemuda hasil cetakan TikTok, Dipoles filter, disaring algoritma, Berjanji setia pada tren, bukan pada cita-cita, Karena cita-cita tidak bisa di-like atau diview.

Dulu Sumpah Pemuda lahir dari dada bergelora, Kini kami bersumpah sambil rebahan, Dengan headset di kuping dan jempol yang gesit, Bersatu dalam sinyal, bukan tanah air.

Satu nusa? Kami lebih kenal lokasi pacar di shareloc, Satu bangsa? Kami lebih percaya fanbase K-Pop, Satu bahasa? Kami lebih fasih berkata: "anjay", "gaskeun", dan "cringe!"

Bahasa Indonesia kini jadi tugas remedial, Sedang bahasa basa-basi naik pangkat di podcast motivasi, "Bangun pagi demi mimpi!" kata konten kreator—yang dibayar karena tidur siang.

Kami bangga jadi pemuda, Karena itu gelar yang tetap berlaku sampai usia 40, Kami bisa demo dengan gaya dan colokan powerbank, Dan ketika capek, kami upload story, "Rakyat lelah!"

Apa kabar teks Sumpah Pemuda? Dikopi-paste ke caption IG, Dilafalkan saat lomba pidato tanpa tahu siapa yang menulis, Tapi hei, siapa peduli? Yang penting dapat sertifikat.

Kami membela tanah air seperti gamer membela server, "Bangsa ini milik kita!" teriak netizen dari rumah kos, Lalu skip iklan beasiswa dan langsung klik konten prank, Karena belajar itu berat, sementara prank itu viral.

Oh wahai Sumpah Pemuda, Engkau kini jadi sabun cuci otak di acara TV, Diperas, dipelintir, dicampur nostalgia murahan, Dan kami tonton sambil makan mi instan, tiga bungkus.

Para pemuda zaman dulu menggenggam senjata, Kami menggenggam smartphone dan powerbank, Mereka menulis dengan darah, Kami menulis dengan autofill.

Bersatu? Kami hanya bersatu saat flash sale, Berjuang? Kami berjuang mendapatkan kuota unlimited, Berbahasa? Kami hanya paham bahasa endorsement, "Yuk beli produk lokal! Tapi diskon Shopee dulu ya!"

Kami anak-anak peradaban instan, Dimana idealisme dicetak di kaos distro, Dan nasionalisme hanya muncul saat timnas menang penalti, Sumpah Pemuda? Maaf, kami sibuk jadi seleb tweet.

Kami rapatkan barisan... di kolom komentar, Kami bela keadilan... dengan share thread panjang, Kami lawan penindasan... dengan ganti profil jadi hitam, Dan itu cukup, karena dunia maya adalah medan perang suci.

Kami bersumpah takkan lupa tanah air, Tapi kami bingung, mana tanah air? Yang dimiliki siapa? Yang dijual siapa? Yang disewa siapa? Yang disikat siapa?

Ah, kami bangga jadi warga negara digital, Dimana paspor bisa hilang tapi password tak boleh lupa, Dimana berita lebih cepat disebar daripada dicek kebenarannya, Dimana sumpah adalah status temporer, bukan komitmen.

Dulu pemuda adalah bara, Kini kami adalah barista—meracik omong kosong dengan latte art, Melayani audiens dengan jargon-jargon empowerment palsu, "Jangan menyerah!" kata kami, sambil menyerah pada setiap kerja keras.

Kami adalah anak didik iklan, Tumbuh dari slogan dan buzzer, Penuh idealisme berbasis konten sponsor, "Cinta Indonesia!" kata kami, sambil daftar job freelance dari luar negeri.

Kami tak lagi baca buku, Kami scroll komentar YouTube, Kami tak lagi berdiskusi, Kami buka polling Instagram dan pilih emoji api.

Sumpah Pemuda? Kini jadi fashion statement, Kaos merah putih, syal batik, topi bendera, Dipakai setahun sekali, difoto, diunggah, lalu dilupakan, Seperti janji janji kampanye yang ikut merayakan hari libur.

Kami bukan tidak cinta bangsa, Kami hanya terlalu sibuk mencintai diri sendiri, Dalam dunia selfie dan story, Dalam realita yang dikurasi agar tampak bahagia.

Dan bila ditanya: “Apa arti Sumpah Pemuda bagimu?” Kami jawab sambil senyum: "Itu kan yang trending tiap 28 Oktober?"

Kami pemuda yang dimanja sinyal, Yang haus validasi tapi takut konsekuensi, Yang teriak "reformasi!" tapi enggan berpanas-panas, Yang menginginkan perubahan asal tak merusak feed.

Kami hanya ingin segalanya cepat, Termasuk revolusi mental, Tolong kirim lewat ojek online, Dan beri rating bintang lima, kalau bisa.

Sumpah Pemuda kini jadi konten nostalgia, Bukan ideologi, Kami rayakan dengan lomba story terbaik, Bukan aksi kolektif.

Kami bersumpah untuk tetap hidup, Tapi bukan hidup seperti dulu, Bukan hidup dengan keberanian, Melainkan hidup dengan likes dan view.

Kami adalah generasi yang disebut harapan bangsa, Tapi lebih bangga disebut content creator, Karena pahlawan sudah terlalu jadul, Dan pendapat dibayar dengan kerjasama brand.

Apakah kami malu? Tentu tidak, Kami justru akan mengedit puisi ini, Jadikan reels, beri caption: "Sumpah Pemuda vibes, bro!"


🧩 Refleksi / Penutup: Puisi ini adalah sindiran tajam namun jenaka untuk generasi muda yang terlalu terjebak dalam budaya instan dan pencitraan. Sindiran ini menyasar siapapun—pemuda, penguasa, pengajar—yang melupakan makna hakiki dari perjuangan dan sumpah itu sendiri. Tujuannya bukan mencaci, tapi menyentil agar kita bangun dan kembali memaknai sumpah bukan sebagai peringatan seremonial, tapi sebagai komitmen kolektif.

📢 Sebarkan, jika kamu merasa geli... lalu berpikir.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.