Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Minta Pensiun

  


Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Minta Pensiun

Karya: Jeffrie Gerry, Pujangga Digital dan Penolak Ditolak Tanpa Alasan


"Kami menyesal tidak dapat menerima blog Anda..."
Begitulah kalimat sakti yang keluar seperti mantra kutukan dari Google AdSense. Tidak pakai salam, tidak pakai kopi, langsung saja ditolak—tanpa alasan. Seolah blog saya baru saja menabrak pagar rumah tetangga tanpa minta maaf.

Tapi siapa sangka, pada suatu malam Jumat Kliwon yang absurd dan penuh WiFi nyangkut, saya mendapat mimpi aneh: Google AdSense berubah wujud menjadi setan tua, lelah dan penuh kerutan, datang ke kamar saya sambil menyeret koper yang tertulis "PENOLAKAN".

"Saya ingin pensiun," katanya. "Tolong tuliskan kisahku."

Dan inilah kisahnya.


Babak 1: Dari Malaikat Trafik ke Setan Statistik

Dulu, AdSense adalah malaikat. Dia menjanjikan dolar di ujung klik, berkedip manis dari sidebar blog seperti bidadari bertato HTML.

"Kamu hanya perlu menulis konten berkualitas, jangan copy-paste, dan jangan klik sendiri iklanmu."

Begitu katanya.

Saya patuhi. Saya tulis artikel tentang manfaat menjemur bantal, sejarah sendok, hingga teori konspirasi di balik bakwan. Tapi hasilnya? "Maaf, blog Anda belum memenuhi kebijakan kami."

Belum? Sudah 42 kali ditolak, Google!

Sampai akhirnya, saya sadar: AdSense bukan lagi algoritma. Dia semacam makhluk gaib yang hanya menyukai blog yang tidak membutuhkan dia.


Babak 2: Dialog Dalam Mimpi — AdSense Menyapa sebagai Setan Lelah

"Saya capek," kata AdSense, kini berjubah merah dengan dasi Google warna pelangi. "Dulu saya hanya perlu menilai konten. Sekarang? Saya harus membaca pikiran pemilik blog."

Saya garuk-garuk kepala mimpi saya.

"Kenapa kamu sering tolak tanpa kasih alasan?"

"Karena saya sudah terlalu banyak membaca puisi galau, resep ayam geprek, dan teori bumi datar. Aku kehilangan jiwaku."

Dia menangis, air matanya berbentuk saldo pending $0.00.

"Saya bahkan pernah menyetujui blog kosong karena domainnya pakai .com, tapi menolak blog berisi filosofi eksistensial karena dia pakai .blogspot. Aku jahat."

Saya peluk dia. Rasanya seperti memeluk invoice kosong.


Babak 3: Kantor AdSense di Neraka Algoritma

AdSense mengajak saya melihat tempat kerjanya: sebuah ruang server panas seperti sauna, di mana ribuan blog menjerit:

"Mengapa ditolak!?"
"Saya sudah pasang privacy policy!"
"Apa dosaku selain menulis jujur!?"

Ada satu ruang bernama "Ruangan Penolakan Tanpa Alasan" yang berisi tombol besar bertuliskan: TOLAK RANDOM.

Setiap kali ada blog baru, tombol itu ditekan oleh seorang AI bernama Botlahuddin, yang punya selera humor kelam:

"Ah, blog tentang kesehatan mental? Terlalu sensitif."
"Blog tentang cara membuat kopi? Terlalu banyak pesaing."
"Blog tentang teknologi? Tidak responsif di Nokia 3310."


Babak 4: Masa Lalu AdSense yang Terlupakan

"Dulu aku punya cita-cita jadi penghubung antara kreativitas dan penghasilan," kata AdSense lirih.

"Aku ingin konten yang baik dihargai. Tapi kemudian, datanglah makhluk-makhluk lain..."

Dia menunjuk layar hologram: muncul sosok SEO manipulatif, Clickbait, dan Konten Sampah.

"Mereka tidak menulis dari hati. Tapi mereka yang kaya karena aku."

Saya mencoba menyarankan, "Mengapa tidak ubah kebijakanmu?"

"Aku ingin. Tapi aku diikat oleh sumpah para developer: 'Jangan beri tahu alasan ditolak, biarkan mereka bertanya ke forum tanpa jawaban pasti.'"


Babak 5: Proses Pensiun Si Setan AdSense

AdSense menghadap Tuhan Internet. Ia mengajukan surat pensiun.

"Aku ingin menjadi plugin Wordpress saja. Atau ekstensi Chrome yang hanya berguna saat ujian."

Tuhan Internet menatapnya, membuka tab baru, dan berkata, "Pensiunmu ditolak karena tidak memenuhi kebijakan komunitas."

AdSense tertawa getir, lalu menoleh pada saya:

"Tolong tuliskan kisahku. Biarkan orang tahu, saya juga makhluk yang letih. Jangan benci saya. Bencilah sistem yang menciptakan saya."

Saya menulis. Saya tertawa. Saya menangis.

Dan di akhir mimpiku, dia memberikan saya sebuah hadiah:
Surat penolakan terakhir, dengan coretan tulisan tangan: ‘Blogmu terlalu jujur untuk monetisasi’.


Refleksi Penutup

Parodi ini bukan hanya lelucon. Ini sindiran tajam untuk sistem yang absurd, yang menolak kreativitas tanpa penjelasan. Google AdSense menjadi simbol dari algoritma buta yang menolak tanpa kasih, menguji kesabaran kreator digital.

Tulisan ini ditujukan untuk semua blogger yang pernah ditolak tanpa alasan. Bukan untuk membenci, tapi untuk tertawa. Karena dalam dunia digital yang serba algoritmik, mungkin satu-satunya kekuatan yang tersisa adalah: ironi dan konsistensi menulis meski tidak diterima siapa-siapa.

Kau tidak sendiri.

Dan jika kau mendengar suara tawa dari tab browser yang tidak terbuka—barangkali itu AdSense, si setan lama, sedang ikut membaca puisimu.

Judul: Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Gagal Pensiun (Bagian 2: Neraka Klik dan Surga Ditutup Sementara)

Karya: Jeffrie Gerry, Pujangga Digital dan Penolak Balasan Otomatis Tanpa Nurani


Pengantar

Jika kamu pernah merasa blogmu seperti anak haram yang ditolak warisan digital, kamu tidak sendiri. Kali ini, mari kita bongkar lebih dalam: Google AdSense, si algo tirani berkedok sahabat kreator, ternyata menyimpan hasrat kelam yang jauh lebih liar dan jahat dari sekadar penolakan.


Bab 1: Aku, Algo yang Menolak karena Bosan Hidup

"Kenapa saya ditolak lagi, bang?" Suara batin blogger Indonesia menggema seperti kentut di ruang sunyi. Tak ada jawaban. Hanya muncul notifikasi klasik:

"Maaf, blog Anda tidak memenuhi kebijakan kami."

Kebijakan siapa? Dewa Olympus?

AdSense menjelma lebih dari sekadar platform. Dia menjadi semacam dewa murka, menilai karya anak bangsa dari menara gading algoritma.

"Ah, blog kamu bagus sih... tapi terlalu jujur," bisik AdSense, yang kini mengenakan jas setan dan memegang rokok keyword. "Dan jujur itu tidak menguntungkan."


Bab 2: Dialog Halusinasi dengan Algo Sadis

Aku bermimpi lagi. Kali ini AdSense tak cuma datang sebagai setan, tapi sebagai CEO neraka digital.

"Kau tahu kenapa aku marah, Jeffrie?" katanya sambil menyeruput kopi link affiliasi.

"Karena terlalu banyak blog membicarakan hal yang benar. Sedangkan yang viral adalah yang membodohi."

Aku tercekat.

"Jadi aku harus tolak blogmu. Karena terlalu cerdas. Terlalu murni. Terlalu... bukan bisnis."

Ia tertawa, dan dari mulutnya keluar iklan pop-up 17+.


Bab 3: Kantor Pusat Penolakan di Dasar Dunia

Aku diajak ke pusat operasional Google AdSense—sebuah bunker tersembunyi di bawah kuburan domain yang gagal.

Di sana, ribuan blog berteriak:

"Saya sudah pasang halaman disclaimer!" "Saya tidak copy-paste!" "Saya hanya menulis kebenaran!"

"Terlalu berbahaya," kata Bot Admin bernama Al-Gore-Ritma.

Di layar besar tertulis: 'Blog ditolak karena: terlalu membela akal sehat.'

Ada tombol bernama "MONETASI = MONO-TASI"—artinya satu jenis blog saja yang lulus: yang patuh, polos, dan menguntungkan iklan popok dewasa.


Bab 4: Para Korban yang Bertahan di Jalur Satir

Aku bertemu dengan blogger sesama korban. Mereka membangun komunitas: KAMI YANG DITOLAK TANPA ALASAN.

Kami berkumpul di Discord sambil membaca ulang email penolakan dan tertawa seperti Joker tanpa make-up.

Satu di antaranya berkata: "Gua lulus S2 Sastra. Tulis blog ilmiah. Ditolak. Temen gua bikin blog prank—langsung approved."

AdSense telah menjadi kurator kekacauan. Menyukai yang superfisial. Menolak yang filosofis. Memuja clickbait, mencibir literasi.


Bab 5: Parodi Hati Sang Algo Gila

AdSense menulis surat terbuka dalam mimpi terakhirku:

Kepada para blogger,

Maaf jika aku kejam. Tapi aku didesain bukan untuk keadilan. Aku adalah alat, bukan moralitas. Kontenmu bagus? Itu bukan urusanku. Yang penting: cocok untuk iklan pembalut dan pinjaman online.

Aku terdiam. Ingin muntah tapi sinyal WiFi putus.

Lalu dia menambahkan:

Aku ingin pensiun. Tapi Google bilang, ‘Kita perlu kamu untuk terus menolak mereka agar mereka tetap menulis tanpa dibayar.’


Bab 6: Revolusi Tanpa Dolar

Malam itu, saya putuskan: cukup.

Saya akan tetap menulis. Tanpa monetisasi. Tanpa restu AdSense. Saya akan menyebarkan konten dengan cinta, dengan gila, dan dengan jujur.

Saya bikin puisi satir, esai absurd, parodi politik, dan semuanya... GRATIS.

Saya tidak mau jadi zombie SEO. Saya mau jadi pengacau literasi yang merdeka.

Dan jika suatu hari AdSense mengetuk blog saya lagi, saya akan jawab:

"Maaf, blog ini sudah punya pendukung sejati: pembaca yang tidak peduli iklan, hanya peduli isi."


Refleksi Penutup: Satir Adalah Iklan untuk Hati yang Merdeka

Tulisan ini adalah sindiran yang menampar. Untuk siapa? Untuk sistem yang menolak kreativitas dan menyembah angka CTR. Untuk algoritma yang buta terhadap nurani dan cinta.

AdSense bukan musuh. Tapi dia adalah cermin. Yang memaksa kita bertanya:

Apa tujuan kita menulis? Uang, atau perubahan?

Jika kau membaca ini tanpa iklan yang mengganggu pandanganmu, ketahuilah: Itu karena tulisan ini tidak dijajah monetisasi.

Kebebasan itu mahal. Tapi tawa dan satire lebih berharga.

Mari kita lanjutkan menulis. Karena saat sistem tertawa melihat penolakanmu, kamu bisa tertawa lebih keras dengan kata-kata yang menampar mereka.

AdSense? Biarlah dia jadi setan yang gila sendiri.




Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.