Orkestra Dungu dalam Jas Mahal: Terima Kasih, Tuan!

 


Pengantar:

Kami rakyat yang dibimbing dengan tongkat selfie, mengikuti komando dari ponsel para penentu negeri.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir Distopia:

Terima kasih, Pemimpin, kami bersyukur dibodohi dengan gaya yang aduhai— senyum manismu di baliho seharga tiga rumah subsidi, belum banjir datang dan menyapu janji.

Kami bangga, oh sangat bangga, melihat engkau menari di panggung demokrasi imitasi, sambil menyembunyikan fakta di balik blazer Armani, sementara kami antre beras campur batu di pasar subsidi.

Terima kasih, Tuan, atas literasi kami yang kau bentuk dengan sinetron, kami tidak perlu buku, kami punya juru bicara yang bersyair tiap lima tahun.

Terima kasih, Tuan, atas kebebasan kami yang dikawal algoritma, kami bisa bicara—asal tak menyentuh topik negara.

Lihatlah kami, berbaris sopan dalam parade mimpi murah, berteriak "hidup rakyat" sambil menggadai gaji esok hari, karena KPR lebih penting dari harga diri.

Lihatlah kami, bertepuk tangan untuk pidatomu yang disusun agensi, berisi kata-kata "kerja, kerja, kerja" sementara kami mencari kerja dari pagi hingga lupa pulang ke rumah.

Wahai Tuan Pemimpin, kami tahu semua ini sandiwara, tapi karena tiket masuknya cuma secarik harapan, kami rela duduk di kursi penonton sambil menjual suara demi selembar amplop.

Tak perlu revolusi, kami sibuk mengisi kuota. Tak perlu logika, kami percaya pada yang viral saja.

Terima kasih pula, karena undang-undang kami kau tulis dengan tinta bisnis. Setiap pasal terasa seperti nota pembelian, setiap ayat adalah harga diskon kebebasan.

Apa kabar istana, yang dikelilingi rakyat dalam bentuk hologram? Kami hanya bisa berfoto dari luar pagar sambil memberi tagar: #BanggaDipimpin.

Oh Tuan, oh Raja Demokratik, kau latih kami menjadi pasukan jempol, kami berperang di kolom komentar, membela nama-mu, tanpa tahu kenapa.

Terima kasih, kami sekarang mahir memaki kawan, karena itulah cara menjaga persatuan, saling blokir demi kesatuan.

Terima kasih, karena telah mengajari kami bahwa cinta tanah air = follow akun resmi. Bahwa mencintai bangsa = repost janji.

Terima kasih, kami kini tahu, kebenaran tak lagi dicetak di buku sekolah, melainkan disusun di ruang podcast dengan backsound dramatis.

Negara ini bukan lagi tanah tumpah darah, melainkan lokasi syuting citra dan suara rakyat palsu.

Kami tidak marah, kami hanya lapar. Dan syukur, kau beri kami nasi kotak dengan stiker wajahmu.

Oh betapa agung tipu daya ini: kau jadikan kami pintar memilih, tapi tak sadar tak pernah memiliki apa-apa.

Kini kami mengerti, mengapa listrik naik tiap tahun, karena setiap kebohongan butuh cahaya panggung lebih terang.

Terima kasih, karena telah memperkenalkan kami pada distopia versi lokal, di mana utang adalah prestasi, dan kritik dianggap makar.

Terima kasih, kami bisa hidup dalam simulasi bahagia, dengan penghasilan pas-pasan dan mimpi yang disubsidi.

Engkau bukan hanya pemimpin, kau juga kurator absurditas, menggubah simfoni kebodohan yang kami tepuki dengan tulus, karena kami takut kehilangan satu-satunya hiburan nasional.

Oh Tuan, kau bukan lagi manusia, kau mitos yang bisa disewa untuk lima tahun, kau dewa di billboard, tapi hilang saat puskesmas tutup.

Terima kasih, karena kau bentuk kami jadi generasi tangguh— tangguh menghadapi omong kosong. Tangguh hidup dari cicilan, tangguh berharap pada debat yang tak pernah jujur.

Lihat, anak-anak kami mulai bermain jadi "anggota dewan-dewanan," mereka pura-pura tidur di rapat imajiner, mereka minta amplop mainan, mereka belajar meniru, bukan menakar moral.

Oh Pemimpin, kau ajarkan kami bahwa ketulusan itu bisa ditulis dalam caption, dan integritas cukup dengan slogan.

Terima kasih karena tak pernah benar-benar hadir. Kehadiranmu terlalu besar untuk menyentuh tanah, kami tahu kau hanya hadir saat kamera menyala.

Tuan, kami rakyatmu, terima kasih untuk keheninganmu saat kami berteriak. Terima kasih untuk senyummu saat kami mengeluh. Terima kasih untuk lukamu yang kau balut dengan pencitraan.

Terima kasih untuk kebebasan pers asal tak menyentuh kronimu. Terima kasih untuk demokrasi asal kami tahu siapa majikannya.

Kami tak berharap keadilan, kami hanya ingin dijadikan lebih dari sekadar angka survei.

Tapi terima kasih, kau sudah mengajarkan satu hal: bahwa kecerdasan tak penting, selama rakyat tetap mudah dihibur.


Refleksi: Puisi ini menyindir keras para pemimpin yang membungkus manipulasi dan kebohongan dalam kemasan elegan. Sindiran ini menyasar siapa saja yang menganggap rakyat bisa dibeli dengan simbol dan citra tanpa substansi. Pesan moralnya: kecerdasan kolektif rakyat tidak boleh dikorbankan demi kenyamanan elite yang pandai bersolek namun miskin etika.


🩸 Judul: "Doa Kami untuk Tiran Berpoles Parfum Demokrasi"


Pengantar:

Jika kebodohan adalah seni, maka kami adalah lukisan kolektif karya Tuan Pemimpin.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir Distopia:

Terima kasih, Tuan, kau bentuk kami jadi boneka kayu, berbibir senyum, bermata kaca, berlogika tunggal: asal bukan oposisi, kami dukung semua absurditasmu.

Kami haturkan salam hormat dari lorong-lorong gelap tempat janji-janji usang bersemayam, dari tikungan kampung yang selalu kau janjikan perbaikan, tapi malah kau biarkan jadi kolam kutukan saat hujan datang.

Tuan, kau pandai sekali mengendalikan hasrat kami dengan aplikasi. Sekarang, kami memuja pemimpin lewat tombol like, melapor tetangga lewat live streaming, dan berdebat soal moral lewat stiker WhatsApp.

Terima kasih, Pemimpin, kau jadikan kami manusia setengah sadar, tak butuh kompas moral, cukup QR code buat makan gratis, agar kami lupa sedang dikurung dalam penjara bernama subsidi.

Kau ciptakan utopia dari tumpukan retorika, yang jika disentuh, rapuh bagai spanduk basah di tiang listrik.

Tuan, betapa hebatnya engkau: berkhotbah tentang kemiskinan dari balkon hotel bintang tujuh, mencicipi penderitaan rakyat lewat laporan PowerPoint berwarna biru langit.

Engkau menghapus sejarah dengan senyum, membakar arsip dengan metafora puitis, menulis ulang kebenaran lewat buzzer dan komik edukatif versi propaganda.

Kau suci, Tuan, suci dari kritik dan pertanyaan, kau steril dari logika, seperti iklan pembersih lantai, menyilaukan, memantulkan cahaya palsu ke wajah rakyat letih.

Kami tahu, Pemimpin, kau bukan pembohong—kau hanya seniman, mengukir dunia baru di mana dosa adalah investasi, dan tipu daya adalah inovasi digital.

Oh, betapa anggun caramu menyamar: berdasi merah putih, namun hatimu ditenun dari saham dan sponsor.

Kami tahu di balik jas itu, adalah kontrak-kontrak haram yang ditandatangani dengan pena emas, sementara tinta rakyat sudah lama kering oleh keputusasaan.

Terima kasih atas sensor halusmu, yang menjadikan kami pengecut penuh gaya, berani bersuara hanya di kamar mandi, berani berteriak hanya di belakang akun palsu.

Kami bahkan mulai meniru gaya pidatomu: "Saudara-saudara sebangsa... mari kita hadapi kenyataan dengan selfie..."

Tuan, kami tak lagi manusia utuh, kami adalah statistik dengan senyum template, pernah marah, lalu kau beri kuota, dan kami tenang kembali.

Kami percaya padamu, seperti kami percaya bahwa hujan adalah berkat, meski setiap banjir merenggut rumah kami.

Kami menyanyikan lagu kebangsaan dengan nada ironis, mengibarkan bendera dari sisa-sisa iklan caleg, kami hormat bendera, tapi tak lagi tahu kenapa.

Terima kasih karena membiarkan pendidikan kami disulap jadi panggung tiktok, kini guru-guru kami takut bicara, takut digeser oleh selebgram bersertifikat negara.

Terima kasih pula, kau berikan kami stadion megah, tapi tak ada yang bisa kami makan dari beton. Kau bangun jembatan ke pulau-pulau tak berpenghuni, sambil membiarkan bayi-bayi mati di lorong IGD karena oksigen habis.

Oh Tuan, kami tahu hatimu terbuat dari data, tiap detik kau monitor emosi kami, tapi hanya untuk tahu kapan harus mengumbar janji lagi.

Kami tak butuh cinta, kami hanya butuh kejujuran—tapi itu sudah langka, sama langkanya dengan harga cabai yang masuk akal.

Kami hidup dalam parodi nasionalisme plastik, di mana lagu wajib dinyanyikan sebelum konten hoaks disebar.

Kami adalah generasi yang kau lahirkan: mereka yang mencintai negeri lewat merchandise, yang membela bangsa lewat story Instagram.

Dan bila suatu hari kami mati kelaparan, tulisan terakhir kami akan berbunyi: "Jangan salahkan pemimpin, mungkin kami kurang bersyukur."

Terima kasih, Pemimpin, kau ajari kami bahwa demokrasi adalah dekorasi pesta, tak peduli siapa menang, asal bisa selfie di bilik suara.

Kami lihat engkau terbang ke luar negeri, membawa nama bangsa, meninggalkan hutang baru, kami tepuk tangan, karena kami sudah terbiasa menepuk apa pun yang berbunyi.

Kini kau pulang, bukan membawa kemakmuran, tapi brosur investasi yang menjual paru-paru kami kepada industri.

Oh Tuan, kau mungkin tak baca puisi ini, kau lebih suka laporan grafik dan like palsu. Tapi izinkan kami mengakhiri ini dengan doa:

"Ya Tuhan, jika Engkau tak bisa turunkan pemimpin yang jujur, setidaknya turunkan keberanian untuk menyadarkan kami, bahwa kami bukan sapi, meski kandang ini luas dan rumputnya gratis."


Refleksi: Puisi ini adalah jeritan sadar dari mereka yang sudah terlalu lama dibodohi dengan elegan. Sindiran ini menampar wajah sistem yang berpura-pura peduli, namun rakus dalam diam. Pesan moralnya: rakyat bukan pion dalam permainan citra, dan suatu hari nanti, kesadaran bisa lebih berbahaya dari revolusi.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.