Pengantar
"Bersatu kita teguh, tapi jangan lupa kaos partai siapa yang kamu pakai."
— Sebaris ironi dari warung kopi yang lebih jujur daripada gedung parlemen.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir:
I
Di negeri yang penuh jargon dan juru kampanye,
Persatuan tumbuh… dalam baliho.
Berseri di lampu merah, bersinar di spanduk,
Senyum lebar bak nabi yang tak turun ke bumi,
Janji manis seperti diskon toko furnitur,
“Hanya sampai pemilu, lalu habis sudah.”
II
Lihatlah!
Para patriot berkemeja batik digital,
Bicara Bhineka sambil mencoret mural tetangga,
Debat di panggung megah,
Tapi anaknya nyolong kuota rakyat.
Kata mereka:
"Kami rumah besar semua golongan."
Tapi pintunya dikunci rapat—
Jika kau tak seiman, sewarna, sekotak suara.
III
Mereka berkhotbah tentang kesatuan,
Tiap kali mikrofon menyala.
Tapi saat kamera mati—
Satu-satu saling bisik:
“Potong dia di dapil dua.”
“Hancurkan dia di medsos.”
Negeri ini bukan arena debat ide.
Tapi ladang klik dan troll.
IV
Ah, persatuan, kata agung itu—
Kini tinggal pengisi kolom tagline,
Disisipkan manis di akhir pidato,
Lalu dibuang ke tong sampah bersama nasi kotak sisa kampanye.
Yang bersatu kini hanya buzzer dan algoritma,
Membabat opini dengan senyum 4K dan caption islami.
V
Apa kabar petani di ujung sawah?
Ia juga bersatu—
Bersatu dalam kecewa,
Karena pupuknya dikorupsi oleh mereka
Yang selfie di tengah lumpur dua menit
—Lalu kembali ke hotel berbintang delapan belas janji.
VI
Ini negeri yang luar biasa:
Kita merayakan “Hari Persatuan Nasional”
Dengan dua kubu orasi dan satu mobil terbakar.
Karena katanya:
"Berbeda itu indah—selama kamu tak berbeda denganku."
VII
Mereka bilang cinta tanah air,
Tapi tanahnya dibeli asing lewat firma siluman.
Mereka bilang bela rakyat,
Tapi rakyat cuma statistik PowerPoint.
Coba buka kantor kelurahan,
Lihat spanduk ucapan ulang tahun partai,
Ukuran 3x6 meter,
Bersanding manis dengan lubang got yang tak pernah ditutup.
VIII
Bicara persatuan,
Tapi saat kampanye:
Orang Batak dijual untuk suara dari Timur,
Orang Jawa dikhianati oleh suara Jawa lain,
Orang Papua diundang nyanyi lalu diusir saat bicara.
Katanya "NKRI harga mati"
—Tapi harga mati ternyata harga kontrak dukungan.
IX
Sungguh indah negeri ini,
Tempat kita diajari membenci dengan gaya paling santun,
Berbeda pilihan—maka kau kafir,
Berbeda pemimpin—maka kau antek asing,
Berani bertanya—maka kau penghianat negara,
Padahal pertanyaanmu hanya:
"Kenapa air bersih susah?"
X
Pahlawan bersatu angkat senjata untuk merdeka,
Anak cucu bersatu angkat twibbon untuk eksis.
Kita tak lagi mencari jalan keluar,
Kita hanya cari konten untuk disebar.
“Bersatu kita viral, bercerai kita tak trending.”
XI
Cinta bangsa?
Tentu!
Selama dapat proyek,
Selama bisa endorse dana publik,
Selama bisa lewati antrian pakai ID khusus.
Bangsa ini adalah panggung megah,
Dan kami, para aktor—
Berlatih tangis palsu dan marah yang dikurasi.
XII
Yang bersatu kini hanya suara toa di hari Jumat dan lonceng gereja di hari Minggu,
Saling bersahut, tapi bukan saling memahami,
Hanya saling menggema,
Tanpa tahu maknanya.
XIII
Dan kita rakyat?
Kita bersatu…
Dalam lelah yang sama,
Dalam janji yang serupa,
Dalam harapan yang dikubur tiap lima tahun.
Karena tiap kampanye adalah drama agung,
Dan kita adalah figuran yang dikasih nasi bungkus.
Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah cermin bengkok dari negeri yang bangga bicara persatuan, tapi membiarkan dirinya retak tiap kali warna partai berbeda. Ia menyindir para elite politik yang menjadikan rakyat sebagai alat propaganda, bukan tujuan kebijakan. Pesannya jelas: persatuan sejati tidak lahir dari mikrofon kampanye atau spanduk di tiang listrik, tapi dari kejujuran yang jarang, dari keadilan yang dirindukan, dan dari kesadaran bahwa negeri ini bukan warisan satu golongan, tapi tanggung jawab semua warga.
Satir ini menyasar mereka yang menjual persatuan tapi membeli perpecahan,
dan mengingatkan kita semua:
jangan sampai kita hanya bersatu…
dalam ilusi.
"Demokrasi Dagelan: Tuhan Kami Adalah Elektabilitas"
Pengantar
"Kami bersatu di panggung, tapi menikam di belakang panggung. Negeri ini bukan lagi soal rakyat, tapi soal rating, polling, dan akal bulus yang dilumuri glitter nasionalisme."
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir Distopia
I. Mantra dari Mikrofon Suci
Persatuan, katanya.
Dikhotbahkan tiap Jumat di layar kaca,
Dikumandangkan tiap Minggu dari panggung megah,
Disucikan tiap lima tahun sekali—
Lalu dikubur dengan amplop tebal dan senyum palsu penuh nasi kotak basi.
Mereka naik ke podium seperti nabi,
Turun seperti sales asuransi gagal kuota.
Sumpah mereka terdengar indah:
"Kami bersama rakyat."
Tapi detik mikrofon dimatikan,
Rakyat jadi sandera statistik—
Untuk dijual ke lembaga survei.
II. Persatuan adalah Produk, Beli 2 Gratis Cacian
“Bersatu!”
teriak mereka,
sambil menggedor podium dari kayu jati hibah rakyat.
Sementara jari mereka sibuk menunjuk:
“Kau cebong!”
“Kau kampret!”
“Kau kadrun!”
“Kau nasi bungkus!”
Inikah persatuan?
Rupanya ini:
Pasar malam hujat-menghujat beraroma sate dan bensin.
Satu suara, satu tujuan:
Bikin gaduh agar mereka naik panggung lagi.
Persatuan di negeri ini seperti mie instan—
Cepat matang, tapi bikin darah tinggi.
III. Baliho-baliho Berdoa di Tiang Listrik
Persatuan?
Tergantung siapa yang nyetak baliho lebih besar.
Siapa yang bisa peluk bayi lebih banyak
—tanpa tahu siapa ayahnya.
Siapa yang bisa tersenyum paling palsu
—tanpa kehilangan gigi emasnya.
Kita ini bangsa selfie:
Setiap kampanye adalah sesi pemotretan massal,
Dengan rakyat sebagai properti visual.
Lihat!
Calon bupati cium tangan nenek-nenek,
Lalu pulang pakai Alphard ke vila pribadinya.
Mereka bilang cinta rakyat.
Tapi GPS mereka tak pernah masuk gang sempit
kecuali saat pemilu.
IV. Konser Demokrasi dengan Musik Tukang Buzzer
Kita hidup di zaman luar biasa:
Ada konser kampanye lebih heboh dari konser Coldplay.
Ada panggung megah, artis sensasional,
Dan... janji-janji yang lebih absurd dari sinetron azab.
“Bersatu atau mati!” kata sang orator.
Padahal di belakang tenda,
Tim suksesnya sudah pesan bot dari Rusia dan India
Untuk nyerang akun lawan.
Persatuan digital, bray.
Pakai template, pakai fake account,
Pakai tagar dan kebencian massal.
Medsos jadi neraka—dan kita semua narapidananya.
V. Kampanye Adalah Drama Korea Versi Lokal
Setiap kampanye adalah season baru dari reality show yang sama.
Ada tokoh antagonis:
biasanya mantan menteri yang tobat mendadak.
Ada tokoh protagonis:
anak konglomerat yang ngaku dari rakyat.
Dan ada tokoh figuran:
kita semua, yang disuruh tepuk tangan dan diam kalau kecewa.
Para tokoh utama ini tak bicara soal solusi,
Mereka bicara soal siapa yang lebih bersih bajunya.
Padahal di kantongnya—
Terselip kwitansi dosa lama dan pin ATM dari partai gelap.
VI. Dari Panggung ke Parlemen: Perjalanan Cinta dan Dusta
Setelah pesta kampanye selesai,
Spanduk pun turun,
Tenda roboh,
Nasi basi dibuang,
Dan rakyat kembali jadi bayangan.
Yang bersatu hanya mereka,
Para elite politik yang dulu saling cakar
Kini satu meja makan malam,
Berdiskusi sambil tertawa soal "rakyat-rakyat lucu itu."
Mereka bersatu di meja kontrak,
Berpisah saat rating turun.
VII. Kami Rindu Jadi Bodoh Secara Merdeka
Kami ini rakyat:
Dulu dibilang tulang punggung bangsa,
Sekarang dibilang beban fiskal.
Kami rindu jadi bodoh,
Tapi bodoh dengan bahagia.
Bukan bodoh karena disuapi narasi TV tiap malam
—dengan naskah dari biro PR partai.
Kami ingin bersatu juga,
Tapi bukan untuk jadi boneka atau suara di Excel.
Kami ingin bersatu
Untuk bilang “cukup”
Pada negara yang menjadikan kami bahan dagangan.
VIII. Parodi di Tengah Parade Bendera
Mereka gelar parade persatuan.
Pakai seragam nasionalisme buatan pabrik tekstil milik tante pejabat.
Semua nyanyi lagu wajib dengan mulut,
Tapi kaki mereka melangkah ke arah berbeda.
Persatuan kini jadi ritual.
Seperti pernikahan di sinetron:
Penuh pelaminan,
Tapi tak pernah tidur di ranjang yang sama.
IX. Tuhan Kami Bernama Elektabilitas
Tiap lima tahun, agama berubah:
Dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha—
Menjadi Elektabilitas.
Tuhan kami bukan lagi pencipta semesta,
Tapi pencipta narasi yang disukai publik.
Kami tidak lagi sembahyang,
Kami survey.
Kami tidak lagi puasa,
Kami pending strategi.
Kami tidak lagi menunduk pada nurani,
Kami tunduk pada polling.
Dan jika nurani bertanya,
Kami bilang:
"Nanti saja, setelah menang."
X. Pasca Pesta: Sampah, Lumpur, dan Duka Lama
Saat kampanye usai,
Yang tertinggal hanyalah tanah becek,
Sisa nasi kotak,
Dan rakyat yang bingung kenapa masih miskin.
Para juru bicara hilang.
Mereka sudah naik jet pribadi ke ibukota,
Siap duduk di kursi empuk
Dan lupa cara menyebut nama desa kami.
Kami bersatu—
Dalam kesedihan kolektif.
Dalam trauma berulang lima tahunan.
Dalam tanya yang tak kunjung dijawab:
"Kapan negeri ini benar-benar satu?"
Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah jeritan gila dari bangsa yang kelelahan dimabuk janji.
Sindiran ini bukan hanya untuk para politisi,
tapi juga untuk kita—yang terus menonton drama yang sama,
tertawa, menangis, lalu lupa.
Ini tentang persatuan yang dikunyah, dikemas ulang, dan dijual mahal,
tanpa pernah kita benar-benar mengecap maknanya.
Nilai yang hilang di balik baliho,
Dan nurani yang dikubur di balik hashtag.
Jangan biarkan persatuan jadi jargon hampa.
Karena jika setiap kampanye kita terpecah,
maka pada akhirnya—yang kita wariskan bukan bangsa,
tapi panggung kosong dan naskah usang.