📸 Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
“Anak-anak kita belajar menghitung bintang,
tapi tak tahu cara menghitung uang jajan.”
Pengantar
Di negeri kami, ijazah lebih penting dari ilmu,
dan toga lebih sakral dari guru.
Isi Puisi Satir
Selamat datang di Sekolah Internasional Negeri Tanpa Akal,
tempat di mana visi dan misi dicetak di spanduk, bukan di kepala.
Di sini, murid diajari menghafal lambang negara,
tapi tak pernah paham makna hidup bersama.
Setiap Senin pagi kami menyanyi dengan mulut, bukan hati,
karena lagu kebangsaan tak ada di kurikulum empati.
Bendera dikerek tinggi,
sementara harga diri tergadaikan di koperasi.
"Ayo, Nak, masuk sekolah!" kata ibu-ibu penuh harap,
agar bisa upload foto anaknya pakai seragam lengkap.
Caption-nya: #PendidikanAdalahSegalanya
Padahal PR-nya dikerjakan asisten rumah tangga.
Guru berdiri di depan kelas seperti wayang,
suaranya tenggelam dalam dengung kipas angin rusak yang malang.
Ia bicara tentang revolusi industri keempat,
sementara gajinya masih revolusi abad empat belas.
Anak-anak kami pandai menulis cerpen,
asal jangan tentang kehidupan mereka sendiri yang membingungkan.
Mereka tahu semua rumus fisika,
tapi tak bisa menjelaskan kenapa ayahnya depresi tiap tanggal lima.
Kami ajarkan demokrasi dengan soal pilihan ganda,
semua jawaban benar asal sama dengan kunci jawaban negara.
Diskusi? Debat? Argumen?
Tunggu dulu, itu hanya untuk murid yang ikut lomba dan menang.
Lembar jawab komputer adalah kitab suci baru,
dan guru agama berubah menjadi proktor ujian berbulu.
"Jawab A, karena Nabi juga manusia," katanya,
lalu mengoreksi dengan hati resah sambil mengisi absen ganda.
Rapot kami penuh angka cantik dan pujian palsu,
karena sistem berkata:
“Lebih baik anak bodoh naik kelas, daripada bikin gaduh.”
Kecerdasan bukan tentang nalar,
tapi tentang kecepatan menyontek tanpa tertangkap radar.
Murid yang banyak tanya dicap “kurang ajar”,
karena guru lebih suka murid penurut dan pintar menatap papan tulis yang kosong sabar.
Sekolah bukan tempat mencari kebenaran,
tapi ajang gladi resik jadi pegawai kantoran.
Kelas kewarganegaraan mengajarkan cinta tanah air,
tapi anak-anak diajari bahwa KTP bisa dibeli di pasar loak dengan diskon akhir tahun.
Kami menanamkan semangat nasionalisme,
tapi hanya saat upacara bendera dan foto selfie di depan mural Garuda.
Kami punya laboratorium komputer tanpa internet,
dan buku digital yang harus di-print dulu baru bisa dicerna.
Kami bangga pada ruang kelas yang dicat ulang setiap semester,
walau toilet tetap bau dan tak ada tisu di dispenser.
Prestasi terbaik sekolah?
Ranking di Instagram, bukan di hasil ujian nasional.
Alumni terbaik?
Yang sukses di TikTok, bukan yang sukses berpikir logis.
Anak-anak kami takut gagal,
karena sistem hanya kenal dua jenis manusia:
Juara umum dan bahan lelucon grup WhatsApp keluarga.
Mereka tidak belajar jadi manusia,
hanya belajar jadi fotokopi dari silabus tua.
“Pendidikan karakter,” kata brosur sekolah swasta,
yang biaya masuknya setara dengan DP rumah di pinggiran kota.
Tiap pagi, ada mobil SUV menurunkan anak-anak bersepatu mahal,
yang nanti tumbuh jadi pemimpin tak tahan kritik padahal kulitnya tebal.
Kami ajarkan sejarah dari buku cetak tahun 2005,
karena anggaran beli buku baru tersedot buat renovasi pagar sekolah yang tiada habis.
Anak-anak hafal nama menteri dan tanggal proklamasi,
tapi tidak tahu caranya bertanya tanpa takut dibully teman sekelas yang fanatik literasi.
Ada program “Guru Penggerak”,
tapi geraknya dibatasi oleh ribuan laporan dan dokumen berformat Excel yang menjebak.
Mereka ingin menginspirasi murid,
tapi harus mengikuti Bimtek tentang cara membaca PowerPoint yang kaku dan murid tak minat.
Anak-anak dengan mimpi jadi pelukis
dipaksa ikut OSN Matematika.
Yang ingin jadi petani,
dipaksa hafal Teori Evolusi dan Hukum Newton, tanpa pernah memegang tanah.
Bakat tidak punya ruang di sekolah,
kecuali kalau sudah viral lebih dulu di dunia maya.
Sekolah hanya tertarik mendidik yang bisa menaikkan akreditasi,
bukan yang butuh dibimbing jadi manusia asli.
Kami punya sistem zonasi,
agar anak-anak dekat rumah bisa sekolah tanpa harus bayar mafia.
Tapi yang terjadi,
hanya ganti nama jalan demi akta domisili instan dari calo tak bersertifikasi.
“Pendidikan adalah investasi,”
kata pejabat dalam pidato peringatan Hari Guru.
Tapi kami tidak tahu,
investasi untuk siapa? Untuk guru? Murid? Atau untuk vendor proyek-proyek absurd yang absurd dan semu?
Refleksi: Kenapa Puisi Ini Ditulis?
Puisi ini adalah jeritan satir dari ruang kelas yang telah kehilangan maknanya.
Sindirannya menyasar sistem pendidikan yang menjadikan sekolah lebih sebagai panggung estetika sosial daripada ladang pematangan jiwa.
📌 Pesan moralnya jelas:
Jika pendidikan hanya dijadikan alat pencitraan,
maka kita tidak sedang mencetak generasi masa depan,
melainkan hanya mencetak undangan perayaan kelulusan yang penuh foto tapi kosong makna.
Jika kamu ingin tertawa, silakan.
Jika kamu merasa malu, lebih baik.
Karena hanya rasa malu yang bisa membuat kita mengubah cara mendidik anak bangsa.
🖋️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup
🎓 Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Kami tidak dibesarkan oleh sistem, tapi oleh kegagalan sistem itu sendiri."
Pengantar
Mereka bilang sekolah itu kunci masa depan. Tapi kenapa kami tetap dipenjara setelah membukanya?
Selamat datang di Institusi Ketertundukan Nasional, sekolah tempat kamu belajar cara duduk diam, berpura-pura paham, dan tersenyum saat bodoh dianggap normal.
Kami takjubi gedung bertingkat, tapi otak kami datar. Kami puji nilai seratus, tapi moral kami kosong seperti formulir tanpa nama.
Sekolah? Ah, itu tempat kami diajari menekan tombol, bukan membuka pikiran. Dikasih soal yang jawabannya sudah disediakan, sebab bertanya sendiri adalah ancaman.
Kami ikut try out, try hard, try survive. Tapi tak pernah diajari cara menangis tanpa malu.
Guru kami robot setengah manusia, takut absen, takut dikritik, takut menyimpang dari silabus. Guru yang baik? Yang nurut atasan. Murid yang baik? Yang nurut semua kebodohan.
Kelas kami penuh teori, tapi lapar tidak bisa dinalar pakai definisi. Kami tahu rumus luas lingkaran, tapi tidak tahu luasnya kemunafikan kurikulum negara.
Di sekolah, kami tak boleh salah, karena salah berarti nilai jatuh, dan nilai jatuh lebih buruk dari moral jatuh.
Kami dicekoki pendidikan karakter dalam bentuk poster, sementara karakter asli kami dibunuh dengan jam pelajaran 45 menit x 14 kali sehari.
Kami tidak belajar berpikir. Kami belajar menghafal, melafal, menjawab tanpa bertanya. Sebab sekolah benci murid yang penasaran.
Kami dididik jadi karyawan, bukan pemikir. Kami didorong buat lulus, bukan tumbuh. Kami diajari membuat CV, bukan membuat arti hidup.
Sekolah adalah pabrik. Kami adalah produk. Sama bentuknya, sama warnanya, sama diamnya. Siapa berbeda? Dibuang ke sekolah luar biasa, bukan karena istimewa, tapi karena tidak laku.
Ujian Nasional? Nama lain dari ritual nasional menghina logika. Yang penting nilai bagus, bukan proses bagus. Yang penting bisa foto pakai toga, bukan bisa baca realita.
Anak-anak kami menang lomba puisi, tapi tidak tahu rasanya ditinggal orang tua kerja ke luar negeri. Menang cerdas cermat, tapi tak tahu harga beras hari ini.
Kami hafal nama-nama menteri, tapi tidak kenal nama tetangga. Kami hormat bendera, tapi tidak pernah hormat pada petani yang mengisi perut kami.
Sekolah mengajarkan kami jadi sukses, tapi sukses itu didefinisikan oleh brosur universitas dan iklan lowongan kerja. Tak ada pelajaran gagal dengan elegan, tak ada ruang menangis tanpa disanksi.
Pendidikan seks? Haram. Tapi pelecehan di sekolah? Biasa. Diskusi filsafat? Dilarang. Tapi pembacaan dogma setiap pagi? Diwajibkan.
Kami punya bimbel, punya tutor, punya aplikasi belajar jutaan rupiah. Tapi kami tak punya waktu duduk bersama keluarga tanpa layar.
Sekolah mengajarkan budaya antri, tapi kepala sekolah selalu memotong barisan untuk proyek BOS yang fiktif.
Kami belajar sejarah dari satu versi, versi yang sudah disensor, dirapikan, dan dikemas seperti makanan kaleng.
Di sekolah kami, kritik dianggap makar, mikir dianggap ancaman, dan kejujuran? Hanya slogan di dinding kelas yang catnya mulai mengelupas.
Sekolah formal adalah tempat paling formal untuk mematikan informalitas jiwa.
Kami diajari hukum, tapi hukum tidak berlaku bagi anak pejabat yang bawa mobil ke sekolah dan tabrak tukang becak.
Kami diminta jujur, tapi sekolah sendiri memalsukan data demi akreditasi. Kami diajari demokrasi, tapi pemilihan ketua OSIS saja diatur oleh guru yang sudah tunjuk siapa yang paling penurut.
Kami punya ekskul pencinta alam, tapi tak pernah diajari mencintai diri sendiri. Kami punya marching band, tapi tak tahu cara berbaris di hidup yang tidak berirama.
Guru terbaik adalah yang bisa pura-pura tegas, tapi tetap tunduk saat wali murid marah di grup WhatsApp.
Anak-anak kami dibentuk jadi mesin lomba, peraih medali, butuh foto di majalah sekolah, tanpa tahu kenapa dia senyum saat menerima piala.
Mereka tamat dengan ijazah, tapi tidak tamat dari rasa takut dikecewakan hidup. Mereka hafal semua ayat, tapi tidak tahu kenapa tetangganya lapar tiap malam.
Lebih baik sekolah kehidupan: sekolah yang tidak ada kurikulum, tapi mengajarkan kamu untuk tidak mati dalam diam.
Sekolah kehidupan tidak ada rapot, tapi kamu belajar membaca wajah orang yang penuh luka. Sekolah kehidupan tidak ada remedial, tapi setiap gagal adalah pelajaran tak ternilai.
Sekolah kehidupan tidak pakai seragam, tapi kamu tahu cara berpakaian bermartabat. Tidak ada guru tetap, tapi siapa pun bisa jadi guru—tukang parkir, pemulung, bahkan kesalahanmu sendiri.
Sekolah formal mengajarkan cara sukses dalam sistem, sekolah kehidupan mengajarkan cara hidup dalam kekacauan.
Sekolah formal memberi kamu gelar, sekolah kehidupan memberimu makna.
Sekolah formal takut pada murid yang aneh, sekolah kehidupan mencintai semua keanehanmu.
Refleksi Penutup
Puisi ini adalah hantaman bagi sistem pendidikan yang lebih cinta pada foto upacara daripada proses belajar sejati. Sindirannya menyasar sekolah formal yang terlalu sibuk mengejar nilai, peringkat, dan pencitraan, sampai lupa esensi mendidik manusia.
🎯 Pesan moral: Jika sekolah hanya melahirkan manusia yang bisa menjawab soal, tapi tak bisa menjawab kehidupan—maka kita perlu lebih banyak belajar dari kehidupan itu sendiri.
🖋️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup
🎓 Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
"Jika sekolah adalah surga, kenapa banyak lulusannya jadi setan berkemeja?"
Pengantar
Sekolah katanya cahaya, tapi nyatanya lampu neon berkedip. Ini bukan tentang belajar, ini tentang bertahan di ruang tunggu yang disebut masa depan.
Selamat datang di Kebun Binatang Berizin Resmi, atau orang-orang menyebutnya: sekolah. Tempat anak-anak diajari duduk diam, mengunyah silabus, memuntahkan definisi, dan menyuap nilai demi rapot yang akan dibakar waktu.
Kita masuk dengan rasa ingin tahu, keluar dengan rasa ingin mengakhiri semua. Kita datang membawa mimpi, pulang membawa hutang semester dan trauma kurikuler.
Sekolah itu penting, katanya, karena kalau tidak sekolah, kamu tidak bisa sukses. Tapi siapa bilang semua direktur lulus matematika? Siapa bilang semua guru bahagia hidupnya?
Di kelas ekonomi, kami diajari inflasi, tapi uang saku kami tetap stagnan. Di kelas biologi, kami belajar organ manusia, tapi tidak pernah diajari bagaimana menyembuhkan luka hati karena dibully wali kelas.
Sekolah adalah sarkasme paling sukses abad ini: Kamu masuk untuk jadi pintar, tapi sistemnya menyuruh kamu berhenti berpikir.
Guru mengajar tentang pentingnya kejujuran, sambil mengubah nilai agar sekolah tidak malu. Kepala sekolah pidato soal moral bangsa, sambil main proyek dengan oknum pejabat lokal.
Anak-anak kami diajari menghitung luas sawah, padahal sawah sudah jadi mal. Diajarin sejarah pahlawan, tapi tidak boleh bertanya kenapa koruptor tetap bebas tersenyum di berita TV.
Anak baik adalah yang bisa membaca buku teks, bukan yang membaca wajah ayah yang menangis diam-diam karena biaya SPP.
Sekolah bukan tempat belajar, sekolah adalah arena kompetisi topeng: siapa paling patuh, siapa paling tidak bertanya, siapa paling bisa pura-pura baik.
Kelas inspiratif? Isinya proyektor rusak, papan tulis dari zaman penjajahan, ruang kelas bocor, tapi tetap diwajibkan pakai dasi merah hati.
Kami dibiasakan berbohong sejak kecil: "Saya cinta Pancasila" padahal tidak tahu sila keempat itu makan pakai tangan atau sendok.
Kami diberi pelajaran agama, tapi tidak pernah diajari bagaimana mengampuni diri sendiri saat gagal. Kami dilatih jadi nasionalis, tapi tidak tahu bendera bisa dibeli per kodi saat kampanye.
Sekolah bukan pencetak masa depan, sekolah adalah museum masa lalu dengan pendingin ruangan.
Murid yang bertanya dianggap pembangkang. Guru yang jujur dianggap tidak loyal. Orang tua yang protes dianggap ancaman ideologi.
Anak-anak kami ikut lomba cerdas cermat, tapi tidak cerdas menangkap bahwa negara ini tidak cermat mengurus masa depan mereka.
Kami diajari bahasa Inggris, tapi tidak diajari cara bicara dengan diri sendiri. Kami hafal pasif voice, tapi tidak pernah tahu bagaimana bersikap aktif saat hidup menghantam.
Sekolah mengklaim mengajarkan logika, tapi justru tempat semua absurditas dibakukan: Buku wajib, tapi perpustakaan terkunci. Ujian penting, tapi jawabannya bocor. Siswa harus disiplin, tapi jam guru sering kosong.
Kami dilarang membawa HP, tapi guru main TikTok di ruang guru. Kami tidak boleh tidur di kelas, tapi wali kelas ngantuk saat pembekalan karakter.
Sekolah hanya mengajari untuk jadi sesuai kotak. Kotak itu bernama kurikulum. Kurikulum itu ditulis oleh orang yang tidak pernah ngajar, atau lebih sering rapat daripada membaca puisi anak SMA.
Kami diajari agar cinta ilmu, tapi tiap pelajaran disiksa seperti hukuman wajib. Pendidikan seni? Dihapus. Pendidikan rohani? Diminimalisasi. Tapi pelajaran nilai rata-rata tetap wajib 85 ke atas.
Sekolah adalah tempat di mana murid harus ikut upacara, tapi tak boleh ikut protes harga BBM.
Kami disuruh resensi buku sastra, tapi jika kami menulis puisi tentang penderitaan sendiri, kami dianggap depresi dan dikirim ke BK.
Kami punya baju seragam, tapi tidak punya suara berbeda. Kami punya ID murid, tapi tidak punya identitas.
Sekolah tidak peduli kamu belajar atau tidak, yang penting kamu datang, absen, dan jangan ganggu sistem.
Sistem yang tidak bisa membedakan antara anak genius dan anak yang trauma. Sistem yang mencetak raport digital, tapi tidak bisa membaca mimpi anak-anaknya.
Lebih baik sekolah kehidupan: Tempat kamu belajar bahwa tidak semua kesalahan perlu dihukum, dan tidak semua keberhasilan perlu disanjung.
Di sekolah kehidupan, kegagalan adalah guru tetap. Kekecewaan adalah wali kelas. Dan kamu adalah murid sekaligus kepala sekolah.
Di sekolah kehidupan, kamu belajar menangis dengan kepala tegak, bukan dengan nilai E di kertas ujian.
Di sekolah kehidupan, tidak ada jam istirahat, tapi kamu bisa rehat kapan saja, asal kamu tahu bagaimana bangkit lagi.
Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa nilai bukan angka, tapi apakah kamu masih bisa memeluk ibumu meski gagal SBMPTN.
Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa guru terbaik bisa jadi penjual gorengan, yang bilang: "Kalau panas, jangan kamu paksa. Tunggu hangat."
Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa wisuda sejati adalah ketika kamu bisa berkata: "Aku tidak apa-apa gagal, karena aku masih hidup."
Refleksi Penutup
Versi ketiga ini adalah teriakan dari lubuk paling jujur: bahwa sekolah formal bukan lagi ruang belajar, tapi panggung sandiwara nasional. Sindiran ini menusuk institusi pendidikan yang lebih suka foto upacara daripada memeluk luka muridnya.
🎯 Pesan moral: Jika sekolah tak sanggup mengajarkan hidup, maka jangan heran jika generasi berikutnya memilih mati dalam diam. Lebih baik belajar dari hidup, daripada pura-pura belajar di sekolah.
🖋️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup