📺🎓
“Ujian Nasional: Panggung Gladiator, Tangis Dijadikan Rating”
— Sebuah Puisi Satir Distopia oleh Jeffrie Gerry (Japra), Pengembara Hidup dan Pujangga Digital
📌 Pengantar:
"Siapkan pensil 2B dan air mata Anda. Kamera menyala, nasib akan ditentukan lewat rating hari ini."
🎭
“Ujian Nasional: Panggung Gladiator, Tangis Dijadikan Rating”
📽️
Selamat datang di panggung gemerlap,
Dimana otak dijual di etalase harapan murahan,
Selamat datang di episode spesial —
“Anak Bangsa Melawan Waktu,
Dengan Pensil dan Nyawa.”
🎬
"Silakan pilih nomor peserta!
Boleh tukar nasib dengan kupon sponsor.
Tersedia: keringat, trauma,
dan satu kesempatan tampil di TV lokal!”
Ada jingle menggema di lorong sekolah,
disambut tepuk tangan para juri
yang tak pernah baca buku,
tapi pandai membedah masa depan
dengan Excel dan selera rating.
👩🏫
Kepala sekolah duduk di kursi empuk,
dengan headset dan remote nilai,
menyapa kru dari stasiun nasional:
“Siapkan adegan anak pingsan di ruang ujian.
Itu bagus buat grafis pembuka.”
📢
“Jangan lupa, sponsor masuk menit ke 30!
Dan tolong, sutradara,
bikin close-up anak yang menangis
waktu lihat soal Matematika:
itu dramanya mahal.”
🎥
Beginilah kami bertarung di arena,
bukan dengan otot atau strategi,
tapi dengan definisi kata kerja aktif
dan fungsi kuadrat yang menukik
ke arah penderitaan kolektif.
Kami duduk rapi, seperti sandera,
di ruang putih penuh cermin,
dimana setiap gerak dicatat sensor,
dan satu batuk kecil bisa dituduh:
"mencoba membuka contekan nasib.”
📚
Lembar soal adalah peta perang,
bukan karena sulit,
tapi karena disusun
oleh mereka yang lupa
bahwa kami punya jantung,
bukan hanya angka IPK.
💡
“Ada yang tahu ibu kota Burkina Faso?”
Tanya soal dengan sadis,
sementara perut kami kosong,
dan guru Geografi pun sudah pindah kerja
jadi kurir online sejak semester lalu.
📺
Tayangan ini trending di medsos,
netizen voting:
“Anak ini layak lulus atau tidak?”
Sekolah dijadikan reality show
dengan pembawa acara berbaju jas
dan mimik serius seperti pemilik negara.
📈
“Menurut survei hari ini,
anak-anak zona merah
lebih banyak gagal ujian.
Tapi jangan khawatir,
mereka tetap bisa masuk TV
dengan kategori:
Inspirasi dari Pinggiran.”
🎮
Seseorang mainkan remote kontrol,
“Pause anak nomor 34, dia kebanyakan berpikir.”
"Fast forward anak nomor 10,
dia terlalu pintar—
bisa membahayakan skrip kita.”
👁️
Di pojok ruangan, seorang pengawas
bermuka seperti algoritma,
mengendus-ngendus niat mencontek
seperti anjing pelacak moralitas,
padahal ia pun lupa
rumus luas permukaan bola.
💰
“Hadiah bagi peserta dengan skor sempurna:
beasiswa satu tahun
dan kesempatan selfie
bersama Menteri Pendidikan
yang dulunya artis sinetron.”
Yang kalah?
Dapat amplop berisi:
“Silakan coba lagi tahun depan,
atau jadi konten meme motivasi."
🎭
Monolog bocah kurus dari desa kecil:
“Aku belajar semalaman,
menahan lapar dan lampu mati.
Tapi ternyata pertanyaannya
tentang jenis-jenis investasi.”
Ia menangis,
tapi produser bilang:
“Cut! Ulang dari awal,
tangisnya belum natural.”
📡
Di atas langit, para dewa pendidikan
tertawa sambil menyeruput kopi mahal,
berdebat soal kurikulum baru
yang akan diuji cobakan
ke anak-anak yang
bahkan belum punya sepatu.
🎓
“Ini bukan pendidikan,
tapi parade trauma,”
teriak seorang guru yang dipecat
karena memberi nilai jujur.
Kini ia mengamen di terminal,
membaca puisi dari Rendra
sambil menjual pinsil 2B bekas.
⏳
Waktu habis!
Bunyi alarm seperti gong kematian.
Anak-anak berdiri,
bukan dengan bangga,
tapi takut.
Takut salah.
Takut gagal.
Takut jadi statistik.
Takut jadi berita viral:
“Remaja bunuh diri setelah nilai UN tak memuaskan.”
🚪
Pintu ruang ujian terbuka,
bukan menuju kebebasan,
tapi ke ruang berikutnya:
Tes psikologi daring
dan wawancara bak gladiator gladiol,
karena kini nasib anak bangsa
harus cocok dengan karakter
aplikasi rekrutmen robotik.
📻
“Jangan terlalu kreatif,
nanti sistem menolakmu.
Jangan terlalu jujur,
nanti kamu kalah.”
Dan Tuhan pun geleng-geleng kepala,
sambil mencatat di lembar evaluasi surgawi:
“Anak-anak ini lulus dengan luka,
dan pendidikan telah berubah
jadi acara gameshow.”
📜 PENUTUP — Refleksi:
Puisi ini adalah satir berdarah manis tentang bagaimana Ujian Nasional — yang seharusnya menjadi alat ukur perkembangan belajar — telah berubah menjadi panggung sandiwara berdarah, di mana rating, tekanan, dan absurditas lebih penting dari nilai-nilai kemanusiaan dan pembelajaran sejati.
Sindiran ini ditujukan kepada sistem pendidikan yang terlalu teknokratis, birokrat yang lebih sibuk mengatur naskah drama statistik ketimbang memahami realitas di lapangan, serta masyarakat yang diam-diam menikmati penderitaan sebagai tontonan.
Pesan moralnya jelas:
Jika pendidikan menjadi hiburan, maka anak-anak hanyalah aktor di panggung absurd yang disorot lampu kamera, bukan lilin-lilin kecil yang menerangi masa depan.
“UJIAN NASIONAL: THE FINAL SURVIVOR”
Oleh: Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital dan Pengembara Hidup
🎙️ Pengantar:
“Siapkan air mata, dan jangan lupa tanda tangan kontrak jiwa. Ini bukan ujian, ini reality show berdarah: siapa yang gagal akan dilupakan sejarah.”
📢
Halo-halo pemirsa seluruh nusantara!
Selamat datang di acara paling brutal tahun ini,
UJIAN NASIONAL: THE FINAL SURVIVOR!
Tayang langsung dari ruang kelas yang difungsikan
sebagai medan pembantaian akademik,
dengan latar suara tawa elit birokrat
dan lampu sorot dari langit-langit harapan palsu.
🎥
Ada 2.000.000 peserta,
dan hanya 3% yang akan dilabeli "berkompeten."
Sisanya?
Akan dilempar ke lubang gelap pengangguran terpelajar,
atau jadi buzzer online demi sesuap algoritma.
📖
"Siapa cepat dia pintar!"
Begitulah jargon suci sistem ini,
diulang-ulang oleh presenter pendidikan
yang dulunya stand-up comedian.
🎓
Lihat anak itu—
Namanya Nurani. Umurnya 15.
Ia belajar sepanjang malam
sambil menjaga ibunya yang sakit.
Dan pagi ini,
ia gugur di soal nomor 4:
“Tuliskan perbedaan mendasar antara epifora dan anafora.”
💀
“Waktunya habis, Nurani!”
teriak pengawas berseragam mirip tentara.
“Kamu tidak layak masuk generasi emas!”
Ia menangis,
tapi air matanya dianggap “mengganggu fokus peserta lain,”
dan ia dikeluarkan dari studio ujian
seperti kontestan yang gagal dalam audisi pencarian bakat.
📺
Cut to commercial break:
Iklan vitamin otak,
kursus kilat tiga jam untuk “lulus tanpa stres,”
dan promosi headset anti-rasa takut—
“Sponsor resmi Ujian Nasional tahun ini!”
🎮
Selanjutnya:
Peserta dibagi dalam grup eliminasi!
Satu ruang, satu topik, satu pengawas,
dan 40 kamera tersembunyi
untuk memastikan bahwa
tidak ada yang berpikir terlalu kreatif.
Karena di sini,
kreasi adalah dosa,
dan menyimpang dari kunci jawaban
adalah pengkhianatan intelektual tingkat tinggi.
📊
“Nilai 100? Hebat!”
tapi tunggu dulu,
apakah kamu berasal dari sekolah negeri biasa?
Oh, sayang, kamu butuh afirmasi ekstra
untuk mengakses pintu keberhasilan.
Tapi jangan takut!
Kamu masih bisa ikut putaran bonus:
Tantangan Esai 60 Menit
Tanpa Internet, Tanpa Waktu,
Dan Tanpa Hati Nurani.
📻
“Bapak Menteri, apa pendapat Anda?”
Kamera berpindah pada pemilik senyum steril.
“Kami senang melihat anak-anak menikmati ujian.
Ini adalah wujud seleksi alam versi kurikulum.”
Tertawa kecil.
Kameramen memperbesar kerutan wajahnya
yang membentuk tanda tanya.
📢
BREAKING NEWS:
Satu siswa pingsan karena panik.
Rekaman drone memperlihatkan
detik-detik ia jatuh dengan dramatis,
dilatarbelakangi musik orkestra.
🎼
Satu sponsor cepat bertindak:
“Kami bantu biaya rumah sakitnya,
asal bisa disebutkan brand kami
dalam lima kalimat pembukaan ujian nasional tahun depan.”
👩🏫
Guru-guru menyaksikan dari balik kaca satu arah,
duduk di ruang tunggu seperti nonton gladiator di zaman Roma.
Beberapa menangis pelan,
yang lain hanya diam—
mereka tahu,
hari ini bukan tentang mendidik,
tapi menyaring, menghibur, menyeleksi
untuk kesenangan para produsen nilai.
⚔️
Di arena ujian,
anak-anak berdarah di atas meja ujian
karena tekanan, karena kecemasan,
karena beban 13 mata pelajaran
yang diringkas jadi satu kata:
“Nasib.”
Dan di langit-langit ruangan,
ada tulisan LED besar berkedip:
“BERPIKIR ITU OPSIONAL.
MENJAWAB SESUAI KUNCI: WAJIB.”
💡
Anak nomor 19 mencoba menjawab
dengan puisi.
“Bahasa adalah jiwa,” katanya.
Langsung diskualifikasi.
Sistem mendeteksi deviasi.
Jawaban terlalu manusiawi.
🎭
Anak nomor 27 tertidur.
“Kelelahan,” kata temannya.
“Tiap malam harus kerja bantu orang tua.”
Langsung divonis “tidak disiplin.”
Komentar juri?
“Anak ini tidak punya etos belajar yang cukup untuk masa depan bangsa.”
🏁
Finalis tinggal 1000.
Mereka diberi ujian terakhir:
"Tulislah esai 300 kata
tentang kontribusi nyata kamu
untuk pembangunan global
berdasarkan visi Indonesia Emas 2045."
Dengan deadline 20 menit
dan keyboard yang hurufnya hilang setengah,
mereka menulis sambil gemetar.
Salah satu dari mereka—anak dari petani—menulis:
"Saya ingin bangsa ini mendengar dahulu, sebelum menilai."
Terlalu puitis. Terlalu jujur.
DISKUALIFIKASI.
📺
Dan pemenangnya adalah…
ANAK YANG PALING SESUAI DENGAN KUNCI JAWABAN!
Bukan yang paling cerdas,
bukan yang paling rajin,
bukan yang paling berani bertanya—
tapi yang paling mirip dengan mesin pencetak angka!
💰
Ia mendapat beasiswa,
sertifikat,
dan satu slot wawancara eksklusif
di acara TV prime time:
"Dari Sekolah ke Surga Nilai."
💀
Sementara ribuan lainnya
berubah jadi zombie akademik
yang berkeliaran di lorong-lorong sistem,
membawa trauma sebagai mata pelajaran tambahan,
dan bertanya-tanya:
“Untuk siapa kami belajar?
Untuk apa kami ditonton menangis?”
📚
Dan langit tetap diam,
sementara bumi mencatat semuanya
di batu nisan pendidikan
yang bertuliskan:
“DI SINI PERNAH HIDUP HARAPAN,
TAPI MATI KARENA STANDARISASI.”
📌 REFLEKSI AKHIR:
Puisi ini adalah jeritan liar terhadap realitas pendidikan yang telah kehilangan jiwa.
Ujian Nasional bukan lagi alat ukur, tapi panggung drama massal, tempat anak-anak dipertontonkan dalam kompetisi brutal yang mengaburkan esensi pembelajaran sejati.
Sindiran ini menampar kebijakan teknokratik, birokrat yang mencintai grafik daripada guru, dan publik yang terlalu mudah puas dengan statistik keberhasilan yang semu.
Pesannya tegas:
Pendidikan adalah tentang manusia, bukan angka.
Jika anak-anak harus berubah jadi boneka hanya untuk “lulus,”
maka kegagalan bukan di tangan mereka—
tapi di kita semua.