Pengantar:
Kursi empuk itu tak pernah bersuara, tapi menyimpan lebih banyak dosa daripada naskah pidato yang dibacakan sambil menguap.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Aku duduk di sini, di kursi ini, kursi suci, katanya, warisan reformasi dan demokrasi, tapi debunya lebih tebal dari kitab undang-undang dasar yang sering dijadikan alat tidur.
Hai kursi, kau tahu betapa keras aku pura-pura kerja, bagaimana tanganku terangkat saat voting tanpa tahu soal apa, aku hanya ikut angin... angin dari pimpinan fraksi, bukan dari nurani.
Setiap hari kupakai dasi, wajahku dilumuri bedak janji, bicara soal rakyat, tapi hatiku getol menghitung fee proyek, kudeklamasikan nasib bangsa sambil memesan wine impor lewat asisten pribadi.
Kami, para wakil rakyat yang lebih suka liburan daripada sidang, kami jago rapat kosong, pandai menyapa kamera, kami suka sorotan—bukan solusi.
Apa itu aspirasi? Ah, itu seperti snack rapat: kadang datang, kadang habis duluan. Yang penting selfie, upload, dan tidur di balik palu sidang.
Kalian lihat kami tidur? Itu bukan tidur! Itu meditasi demi kepentingan bangsa! Tertidur di kursi dewan adalah bagian dari strategi negara tidur.
Rakyat bilang kami malas? Padahal kami hanya sedang sibuk di luar negeri, studi banding, kami bandingkan gedung-gedung mewah sambil belanja di outlet diskon.
Kami menulis UU seperti puisi abstrak, tak semua bisa mengerti, bahkan kami sendiri kadang lupa isinya.
Kami bicara soal moral dan etika, sambil merobek amplop bertulis "dana operasional". Kami kampanye pakai kaus sederhana, tapi hidup mewah bak drama raja-raja digital.
Di ruang ini, janji bukan untuk ditepati, tapi untuk dibudidayakan, dipanen lima tahun sekali, dan disajikan dalam pidato indah yang mengandung 75% imajinasi.
Kami pandai menyalahkan masa lalu, kami ahli membentuk tim investigasi untuk menyelidiki siapa yang lupa mencuci tangan sebelum makan korupsi.
Lihatlah kami, pahlawan tata bahasa politik, yang bisa bilang "penghematan" sambil membeli mobil dinas baru.
Oh kursi, kau penuh kenangan: bekas keringat dari yang menyesal tapi tak pernah mundur, dan tetesan air mata buaya yang mengaku bersih, tapi lengket tangannya oleh pungli.
Dewan ini seperti sandiwara, ada aktor utama, ada figuran, ada penonton dibayar tepuk tangan. Kadang naskahnya bocor, kadang endingnya sudah bisa ditebak sebelum adegan dimulai.
Kami punya ruang hening bernama "ruang aspirasi rakyat", tapi sepi, karena rakyat lebih sibuk bertahan hidup daripada menyuarakan hidup.
Kami bicarakan nasib petani dengan sepatu seharga satu ladang, kami bicara soal nelayan dari gedung kaca yang tak pernah mencium bau laut.
Kami hadir dalam demo, tapi sebagai spanduk dan kamera, kami merangkul rakyat saat kamera menyala, dan menghilang seperti sinyal saat listrik padam.
Kursi ini tidak panas, karena kami tidak terbakar malu. Kami sudah dilatih untuk kebal—terhadap kritik, logika, dan kenyataan.
Kami adalah produsen ilusi bersertifikat negara, kami cetak harapan palsu dengan tinta subsidi.
Oh kursi, kadang aku bicara padamu lebih jujur ketimbang saat aku bicara pada rakyat, kau diam, tapi mengerti—seperti rakyat yang sudah muak tapi tetap memilih.
Aku ingat satu kali, ada rakyat menangis di hadapanku, kisahnya tentang anaknya yang meninggal karena rumah sakit menolak tanpa deposit. Aku peluk dia, difoto, lalu aku buang formulir pengaduannya di tong yang sama dengan draft revisi anggaran pendidikan.
Ironi? Sarkasme? Ah, itu hanya nama lain dari keseharian kami. Kami tertawa di atas bangkai kejujuran, kami menari di atas pusara integritas.
Kami sahkan undang-undang yang kami sendiri tidak pahami, kami bilang, "demi rakyat", tapi kami sendiri tak tahu nama-nama mereka.
Kami bicara tentang generasi muda, tapi menyuruh mereka diam jika berbeda pendapat. Kami hormat bendera sambil menjual tanahnya sedikit demi sedikit.
Negara ini bukan gagal, negara ini hanya terlalu sibuk dipoles agar tampak baik dalam laporan indeks global.
Kami senang jika rakyat sibuk bertengkar soal agama dan budaya, kami tak terganggu, karena itu berarti mereka tak punya waktu mengawasi rekening kami.
Kami buat aturan demi aturan, seperti jaring laba-laba: hanya kuat menangkap yang kecil, tapi yang besar terbang bebas dengan surat sakti dan senyum manis.
Oh kursi, maafkan jika kadang aku kentut di atasmu, tapi itulah satu-satunya gas yang keluar dari tubuh ini tanpa disensor.
Sekarang, aku akan bicara untuk terakhir kali hari ini, sebelum pulang dengan mobil dinas dan kembali jadi tokoh heroik di story Instagram:
"Rakyat, tetaplah percaya, meski kami sudah lama berhenti mendengarmu. Karena tanpa kepercayaanmu, bohong kami akan kehilangan audiens."
Refleksi: Puisi ini adalah cermin tajam yang memantulkan absurditas ruang kekuasaan. Sindiran ini menyasar wajah-wajah yang tertidur di balik jas formal dan gelar kehormatan, tapi gagal memahami makna amanah. Pesan moralnya sederhana: kekuasaan tanpa kesadaran adalah pertunjukan tragikomedi tanpa akhir. Dan rakyat, seharusnya bukan lagi penonton pasif, tapi pengarang babak selanjutnya.
"Parodi Parlemen: Lelucon yang Bernapas dengan Pajak"
Pengantar: Di kursi empuk yang dibeli dari utang, suara rakyat diperas jadi anggaran perjalanan dinas.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Aku duduk di sini, Tuan dan Nyonya, di kursi dewan yang lebih nyaman dari kasur rakyat, dikelilingi oleh pendingin ruangan dan pendingin nurani, kami semua saling tepuk tangan, bukan karena setuju, tapi karena ada kamera.
Aku monolog pada mikrofon yang lebih mahal dari biaya rumah sakit ibu kota, "Kesejahteraan!" kataku dengan dada membusung, sementara kantongku menggembung.
Wahai bangsa yang kutemui hanya saat kampanye, lihat aku kini: bersorban nasionalisme, berkacamata retorika, bertas kulit dari dana aspirasi.
Aku bacakan undang-undang tanpa membacanya, kau tak perlu tahu isinya, kau hanya perlu percaya bahwa aku tahu apa itu demokrasi— walau aku pikir itu nama minuman energi.
Kami, para wakil rakyat, sungguh sibuk! Menyusun RUU TikTok, menetapkan anggaran influencer, mengatur sanksi bagi rakyat yang terlalu banyak bertanya.
Kursi ini empuk, tapi rasa malas kami lebih lembut lagi. Kami tidur saat rapat, dreaming of dollar dalam mimpi sidang paripurna.
Jangan sangka kami tak kerja, lihatlah laporan tahunan: seribu halaman grafis, nol substansi, warna-warni kemunafikan dalam bentuk tabel.
Kami adalah aktor sinetron harian, tiap debat kami penuh teriakan, tapi naskahnya sudah disetujui jauh-jauh hari.
"Bangsa ini besar karena gotong royong!" kata kami sambil menolak potongan gaji.
Di ruang sidang ini, suara rakyat bergema... pelan sekali, hingga hanya bisa terdengar oleh janji, sementara kritik disapu bersih oleh cleaning service kebijakan.
Kami punya hak imunitas, yang kami pakai untuk imun dari akal sehat, karena logika di sini harus bayar parkir.
"Transparansi!" seru kami, sambil menutup semua rapat dengan kop surat rahasia negara.
Kami gemar studi banding, ke negara yang tak ingin meniru kami, kami pulang dengan oleh-oleh barang mewah, dan powerpoint kosong yang dipoles bahasa birokrasi.
Oh betapa indahnya jadi aku: berbicara panjang, tak perlu masuk akal, yang penting ada spanduk, media, dan nasi kotak.
Kami adalah para dewa kecil, mengangkat telepon dengan suara datar, tapi isi perintah penuh ancaman manis: "Kalau tak dukung ini, proyekmu tahun depan tak cair."
Negara ini bukan lagi republik, tapi persekutuan elit dalam grup WhatsApp tertutup. Setiap emoji kami adalah kebijakan, setiap forward adalah peraturan baru.
Birokrasi? Kami sebut itu seni menyiksa lambat, agar rakyat belajar arti kata "sabar" dari antrean panjang.
Setiap kali rakyat lapar, kami adakan festival kuliner, agar mereka kenyang oleh foto, bukan oleh nasi.
Ketika rakyat tanya tentang keadilan, kami beri mereka kuis trivia, dan hadiah berupa potongan harga di e-commerce nasionalisme.
Oh rakyatku yang malang tapi penuh harapan, kau masih percaya suara di kotak itu sakral, padahal di baliknya, kami main dadu anggaran.
Aku menulis pidato malam ini, bukan untuk menyentuh hatimu, tapi agar dapat rating tinggi dan dibagikan ulang oleh netizen yang putus asa.
Kami bukan anti kritik, kami hanya alergi terhadap pertanyaan sulit. Maka kami bentuk panitia khusus untuk menyelidiki siapa yang bertanya, bukan apa yang dipertanyakan.
Hidup kami bukan soal jabatan, tapi tentang jatah dan jalur cepat. Siapa cepat, dia dapat, siapa pintar, silakan mengajar—di desa.
Aku belajar paradoks di sini: kebohongan yang diulang bisa jadi kebijakan, dan kemiskinan yang difoto bisa jadi pencapaian.
Malam ini aku monolog lagi, di ruang sidang yang lebih mirip studio podcast, kami rekam suara, lalu edit nurani.
Kami berbicara tentang generasi muda, sambil memblokir akses pada buku yang mengajarkan bertanya. Kami bangga atas indeks demokrasi, sambil menghapus jejak demonstrasi.
Tuhan, maafkan kami, karena kami percaya Kau tak ikut pemilu, maka Kau tak punya hak bicara di sini.
Aku tahu suatu hari, kursi ini akan kosong olehku, namun penuh oleh warisanku: sistem yang membuat kebenaran jadi bahan candaan.
Kami menari di atas reruntuhan akal sehat, seperti badut dalam pesta akhir zaman, tapi dengan jazz instrumental agar terlihat elegan.
Terakhir, izinkan aku ucapkan salam hormat: untuk rakyat yang sabar, yang setia memilih walau tak pernah dipilih, yang percaya pada janji meski kenyataan terus mengingkari.
Refleksi: Puisi ini menyoroti bagaimana institusi kekuasaan bisa berubah menjadi panggung dagelan yang menyakiti akal sehat dan nurani publik. Sindiran ini diarahkan pada budaya politik yang kehilangan esensi pengabdian dan kejujuran. Pesan moralnya: kekuasaan tanpa etika adalah sandiwara yang menyakitkan, dan suara rakyat tak boleh terus-menerus dibius oleh retorika tanpa makna.

No comments: