Pendidikan Tinggi, Moral Rendah

 


“Ijazah Tuhan dari Universitas Neraka”

(Sebab Rupanya, Gelar Bisa Lebih Tajam dari Dosa, dan Lebih Bisu dari Nurani.)


✒️ Pengantar Pendek:

Mereka belajar untuk menang, bukan untuk benar.
Di menara gading, kebenaran dijual di kantin fakultas, pakai kupon beasiswa.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


I

Selamat datang di Akademia,
tempat guru besar lebih agung dari nabi,
dan dosen bisa lebih suci dari Yesus—asal disitasi.
Ruang kelas penuh teori kebajikan,
namun di parkiran: tipu-menipu atas nama "magister etika".

"Salam hormat, Prof!"
ucap mahasiswa yang nilai A-nya dibeli pakai kopi sachet
dan proposal skripsinya—hasil fotokopi dua universitas tetangga.

**

II
Oh, Pendidikan Tinggi,
yang katanya puncak akal manusia,
tapi isi kepala hanya jargon seminar dan kutipan tua.

Mereka lulus cumlaude,
tapi tak tahu malu.
Mereka mengutip Plato,
lalu menyontek ujian berikutnya.

Dan ketika diminta membangun bangsa,
mereka sibuk membangun feed Instagram,
pakai toga, filter bunga, dan caption:
"Merendahlah, meski dalam hati ingin menginjak kepala semua."

**

III
Aku mendengar monolog seorang rektor,
di ruang megah ber-AC central,
"Anak-anak, bangunlah karakter!" katanya.
Sembari dia tandatangani kerja sama:
pembangunan mall di lahan kampus,
dengan alasan “mahasiswa butuh tempat healing.”

Paradoks tertanam rapi di silabus:
Bab 1: Etika Profesional
Bab 2: Cara Mencari Celah pada Undang-Undang

**

IV
Ada mahasiswa pintar,
yang setiap semester jadi juara.
Tapi juga jadi juru ketik dosen korup,
karena "pengalaman itu penting."

Ada dosen pintar,
tulis jurnal internasional,
tapi tak kenal wajah mahasiswanya sendiri,
sebab mereka hanya deretan NIM—dan saldo tambahan.

Dan ada alumni bijak,
yang kini jadi koruptor terselubung,
menyumbang ke almamater:
dengan gedung bernama "Gedung Integritas"
(lengkap dengan logo KPK yang dipajang setengah malu).

**

V
Oh, ijazah, benda sakral nan berbingkai emas,
yang lebih dihormati dari moral ibu kandung.
Kini kau dijual di toko online,
dengan bonus transkrip nilai dan surat keterangan aktif.

Dulu orang tua berkata:
“Sekolah tinggi, biar jadi orang benar.”
Sekarang, sistem menjawab:
“Yang penting dapat kerja, moral bisa disusul nanti.”

Dan anak-anak generasi alpha-omega,
belajar cara memanipulasi CV sebelum belajar menulis nama Tuhan.

**

VI
Aku bertanya pada Tuhan—yang mungkin juga muak:
"Kenapa gelar makin panjang, tapi hati makin sempit?"
Lalu Tuhan menjawab lewat meme viral:
“Karena ilmu tak lagi di dada, hanya di slide presentasi.”

**

VII
Kampus kini seperti reality show,
yang paling manipulatif, dialah yang lulus duluan.
Buku-buku etika jadi tumpukan hiasan di rak dosen,
tak pernah dibuka, kecuali untuk keperluan visitasi akreditasi.

Dan ruang sidang skripsi...
Ah, ruangan penuh sandiwara:
Mahasiswa berpura-pura paham,
dosen berpura-pura mendengar,
dan penguji berpura-pura peduli pada metode penelitian.

**

VIII
Ini bukan kampus lagi.
Ini kebun binatang:
Ada tikus berdasi, ada singa berkuasa,
ada buaya akademik yang lihai main proyek.
Dan ada burung beo bersuara teori,
mengulang-ulang:
"Berpikir kritis! Inovasi! Literasi digital!"
Tapi diam saat dosennya plagiat jurnal dari Google Scholar.

**

IX
Satu mahasiswa berteriak,
“Pendidikan ini palsu!”
Lalu dia dikeluarkan karena “mencemarkan institusi.”
Dia kini kerja sebagai penjual kopi,
dan baristanya lebih jujur dari para pengampu mata kuliah etika politik.

**

X
Selamat datang,
di wisuda moral—bukan intelektual.
Tempat orang merayakan kelulusan
dari tanggung jawab sosial.

Tempat CV dibentuk, tapi empati dihancurkan.
Tempat pintar dimuliakan, tapi jujur dibungkam.
Tempat gelar dipajang, tapi hati dibiarkan lapuk seperti perpustakaan offline.

**

XI
Mereka mencetak sarjana hukum,
yang kelak jadi mafia hukum.
Mereka mencetak sarjana teknik,
yang jembatannya roboh sebelum pemotongan pita.
Mereka mencetak sarjana ekonomi,
yang licin seperti spreadsheet kosong.
Dan sarjana teologi...
yang lebih senang debat di medsos daripada melayani sesama.

**

XII
Aku bertanya:
Apakah kita terlalu banyak tahu,
hingga lupa rasa malu?

Apakah nilai IPK lebih penting
daripada nilai sebagai manusia?

Mereka menjawab:
"Ya, sebab kemanusiaan tak masuk dalam kurikulum SKS."
Dan empati tak bisa diujikan dalam bentuk pilihan ganda.

**

XIII
Satu generasi penuh gelar:
S.Pd yang tak pernah mau mengajar,
S.H yang takut bicara keadilan,
S.Kom yang tak tahu etika digital,
S.T yang tak tahu merancang masa depan,
dan M.Pd yang percaya bahwa disiplin adalah intimidasi berwajah akademik.

**

XIV
Maka marilah kita berdiri,
di atas puing-puing menara gading,
yang kini lebih cocok jadi menara pemantau untuk influencer.
Karena siapa tahu, satu status viral
lebih berharga dari 10 semester penuh penderitaan.

**

XV
Lihat mereka:
Para alumni hebat,
yang kini memamerkan gelar
dengan bangga seperti medali perang
—perang melawan integritas.

Mereka berkata,
“Yang penting survive di sistem!”
Sambil lupa bahwa sistem itu juga diciptakan
oleh mereka yang survive tanpa nurani.

**

XVI
Dan dalam sepi malam,
kampus itu menangis,
dindingnya mengelupas,
papan visinya jadi sarang laba-laba,
dan mimpi para pendiri
terkubur bersama arsip ijazah yang tak pernah dibuka.

Tapi tak apa.
Asal tetap dapat akreditasi A.
Karena mutu moral tak ada di kolom evaluasi BAN-PT.


📍 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah jeritan sarkastik untuk dunia pendidikan tinggi yang kehilangan arah. Sindiran ini menyasar sistem, institusi, dan individu yang memuja gelar tapi melupakan karakter. Moral jadi barang diskon, integritas tinggal slide pembukaan seminar. Pesannya sederhana namun menampar: jangan biarkan kecerdasan menggantikan nurani, dan jangan bangga pada gelar jika hati kosong seperti soal pilihan ganda tanpa jawaban yang benar.


"Universitas Setan: Di Mana Tuhan Gagal Jadi Dosen Tamu"

(Karena di kampus ini, kebenaran hanya lulus bila mampu suap Panitia Ujian Akhir.)

Pengantar Pendek:

Kampus tempat otak diasah, tapi hati ditaruh di laci arsip.
Di sini, moral bisa dikorup sebelum skripsi disidang.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

I. Fakultas Kemunafikan Terapan Selamat datang, mahasiswa baru. Isi formulir, bayar uang pangkal, dan buang idealismemu di tong sampah dekat pintu gerbang. Karena di sini, nilai bukan hasil jerih payah, tapi hasil koneksi, kolusi, dan keahlian menyalin Google Scholar dengan gaya bebas.

Moral? Sebuah mata kuliah tanpa SKS, tapi penuh konsekuensi absurd: "Jangan curang," kata dosen yang jual jawaban UTS via grup WhatsApp alumni. "Jujurlah," kata rektor yang proyek kampusnya penuh mark-up dan markup.

II. Toga Berdarah dan Skripsi Berdosa Skripsi bukan lagi karya ilmiah, tapi transaksi. "Ketikkan 50 halaman, harga spesial: dua ratus ribu dan kopi pahit." Judul boleh bombastis: "Transformasi Sosial Berbasis Etika Keadilan", tapi isinya? Copas dari tesis zaman Orde Baru.

Sementara itu, dosen pembimbing tidur di balik setumpuk laporan praktik, menunggu amplop motivasi dan voucher belanja. Mereka tak peduli metode penelitianmu, asal kamu paham metode menyenangkan hati mereka.

III. Rektor yang Lulus Sumpah Setan Rektor kami lulusan Harvard, katanya. Tapi lebih lihai mengatur tender renovasi toilet, dari pada membangun karakter anak bangsa. "Integritas? Itu urusan LSM." "Pendidikan karakter? Nanti setelah akreditasi internasional."

Ia pidato panjang soal "Revolusi Industri 4.0", sambil mencuri ide mahasiswa startup untuk dipatenkan atas nama institusi. Kampus jadi ladang proyek, bukan laboratorium nurani.

IV. Mahasiswa: Hamba Gelar, Bukan Pengetahuan Mahasiswa jadi mesin pencari beasiswa, bukan pencari makna. Mereka ikut seminar demi sertifikat, bukan demi dialog. Mereka tampil berani dalam debat kelas, tapi diam saat teman dilecehkan dosen favorit.

Mereka rajin kutip Habermas dan Derrida, tapi tak tahu cara minta maaf dengan tulus. Mereka menulis essay tentang keadilan sosial, sambil mem-bully teman satu kelompok yang lambat kerja.

V. Dosen: Malaikat Jatuh Berkedok Akademisi Dosen kini bukan pendidik, tapi selebriti mikro. Mereka lebih rajin mengisi webinar berbayar, dari pada membalas email mahasiswanya.

"Saya sibuk," katanya, padahal sibuk jadi konsultan korporat. "Saya mendidik karakter," katanya, padahal sedang menulis endorse politisi korup untuk pemilu berikutnya.

Mereka menilai makalah dengan filter politik, bukan logika. Mereka lebih cepat menilai dandananmu, dari pada isi argumentasimu.

VI. Fakultas Agama: Altar Kapitalisme Bahkan fakultas agama tak luput: doa diajarkan, tapi tak pernah dilaksanakan. Iman jadi materi ujian, bukan jalan hidup. Etika diajarkan sebagai wacana, tapi ditinggalkan saat proyek kerjasama dengan pemilik tambang dimulai.

Mereka ajarkan kasih, tapi musuhi yang beda tafsir. Mereka khotbahkan kejujuran, sambil mengganti nilai mahasiswa titipan pejabat daerah.

VII. Fakultas Hukum: Belajar Membengkokkan Keadilan Kampus hukum jadi inkubator mafia baru. Di sana, pasal bukan soal keadilan, tapi soal celah dan tarif.

"Belajarlah hukum agar kau bisa selamatkan rakyat," kata brosur pendaftaran. Tapi dosennya berkata lain: "Belajarlah hukum, agar kau bisa lolos jika tertangkap basah."

VIII. Fakultas Ekonomi: Kapitalis Kecil yang Belum Cukup Serakah Mereka belajar ekonomi pembangunan, tapi tak pernah turun ke desa. Mereka bahas CSR perusahaan tambang, sambil menikmati ruangan ber-AC dari uang hasil perusakan hutan adat.

Gelar S.E, tapi tak tahu rasa lapar orang di ujung jalan. Paham supply-demand, tapi tak tahu cara berbagi rezeki tanpa kalkulasi pencitraan.

IX. Fakultas Kedokteran: Hippokrates yang Disponsori Farmasi Mereka sumpah menyelamatkan nyawa, tapi sejak awal tahu bahwa: kuliah ini bukan tentang jiwa, tapi tentang status dan gengsi keluarga.

Mahasiswa belajar anatomi manusia, tapi kehilangan empati terhadap pasien miskin. Mereka paham cara menjahit luka, tapi tak bisa melihat luka sosial di sekitarnya.

X. Fakultas Ilmu Komunikasi: Sarjana Basa-basi Ilmu komunikasi? Banyak bicara, sedikit makna. Pandai presentasi, tapi lari saat konflik butuh penyelesaian. Mereka belajar teori dialog, tapi tak tahu cara minta maaf ke mantan.

Influencer jadi role model mereka. Caption motivasi lebih penting dari riset lapangan. Ilmu dijadikan strategi konten, bukan alat pembebasan.

XI. Alumni: Penebar CV Kosong dan Janji Abal-abal Alumni kembali ke kampus, tak untuk menginspirasi, tapi memamerkan pencapaian.

"Kerja di BUMN, tapi tetap humble," katanya, sambil memberi amplop ke dosen favorit. Mereka datang dengan mobil mewah, menyumbang AC baru, bukan beasiswa.

Mereka ceramah tentang pentingnya kerja keras, padahal dulu lulus lewat skripsi yang dikerjakan abang rental komputer.

XII. Kampus: Monumen Ijazah, Kuburan Nurani Kini kampus bukan tempat berpikir, tapi pabrik ijazah cepat saji. Kamu bayar, kamu dapat. Nilai seperti nasi goreng: bisa tambah, asal tahu siapa kokinya.

Perpustakaan sunyi seperti kuburan. Diskusi tergantikan oleh presentasi PowerPoint dengan template lucu. Dan dosen lupa, bahwa ilmu itu menuntun jiwa, bukan hanya perut.

XIII. Tawa Terakhir Iblis Akademik Di suatu ruang seminar, iblis tertawa. "Aku tak perlu merekrut banyak manusia." "Cukup biarkan pendidikan tinggi mencetak generasi tanpa hati."

Dan setan pun pensiun dini,
karena kerja dosen sudah sangat membantu.


Refleksi Penutup: Sindiran ini adalah jeritan untuk sistem pendidikan tinggi yang semakin kehilangan tujuan luhur. Kritik ini bukan untuk mencemooh belajar, tapi untuk membuka mata: bahwa pendidikan bukan sekadar memperoleh gelar, tapi membentuk karakter. Ketika moral dijadikan pilihan, bukan fondasi, maka kampus tak lebih dari pabrik gelar tanpa ruh. Puisi ini menyentil siapa saja—dosen, mahasiswa, alumni, hingga birokrasi kampus—yang membiarkan kecerdasan menjauh dari kebaikan.

Moral itu bukan soal nilai, tapi nilai-nilai.


"Akademi Akal-Akalan: Sarjana Goblok Berjas Rapi"

(Tempat di mana logika ditidurkan, dan skripsi bisa dibeli seperti gorengan di pinggir jalan)

Pengantar Pendek:

Inilah negeri di mana kampus jadi taman bermain para penipu intelektual.
Di sini, gelar lebih penting dari akal sehat, dan dosen lebih takut kehilangan honor dari pada kehilangan kehormatan.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

I. Selamat Datang di Akal-Akalan University Pintu gerbang dihiasi slogan Latin, artinya bahkan rektor pun tak tahu. "Scientia potentia est," katanya dengan aksen gado-gado. Tapi kenyataannya? Yang berkuasa tetap siapa yang punya orang dalam dan uang suapan.

Mahasiswa baru berseragam, dengan senyum optimis seperti anak ayam baru menetas. Tapi dosennya lebih mirip elang lapar, mencari siapa yang bisa dijadikan mangsa untuk program magang abal-abal.

II. Fakultas Tipu Daya dan Retorika Ngibul Di jurusan ini, kamu belajar: – Cara berkata jujur tanpa pernah jujur, – Cara mengkritik dengan kutipan palsu, – Cara diskusi yang tak ada isinya tapi penuh kata-kata keren seperti "interseksi post-modern"

Tugas akhirnya? Debat kusir dengan intonasi British dan argumen sekelas status WhatsApp.

III. Jurusan Manajemen Muka Dua Kurikulum semester ini: pura-pura sopan 1, cara mengelak tanggung jawab, dan teori menjilat profesional. Kamu akan lulus dengan nilai A untuk setiap kebohongan yang kamu lakukan dengan senyum lebar.

Proyek kelompok? Bukan untuk belajar kerjasama, tapi latihan menyalahkan anggota yang tidak hadir.

IV. Skripsi: Karya Ilmiah atau Buku Masak? Bab 1: Pendahuluan yang menjiplak. Bab 2: Tinjauan pustaka yang dipinjam dari teman fakultas lain. Bab 3: Metode penelitian? Tanya abang warnet saja. Bab 4 dan 5? Ajaib muncul setelah lembur semalam dengan kopi sachet dan YouTube.

Dan dosennya? "Yang penting format margin kamu 4-4-3-3."

V. Dosen: Makhluk Setengah Tuhan, Setengah Netizen "Panggil saya Profesor, tapi jangan tanya saya soal teori." Dosen kami lebih aktif di Instagram dari pada di kelas. Suka selfie sambil beri caption motivasi spiritual, padahal baru saja menolak bimbingan karena sibuk jadi narasumber di stasiun TV.

Mereka mengajar tentang integritas, tapi diam saat mahasiswa dibully pejabat kampus.

VI. Rektor: Presiden Republik Muka Tebal Rektor kami pidato panjang soal pendidikan karakter, sambil menandatangani kerjasama dengan pabrik rokok. "Kita harus maju secara holistik," katanya sambil membuka rekening baru untuk fee proyek paving block.

Ia pakai batik mahal dari hasil perjalanan dinas ke Dubai, dengan tujuan utama: posting foto di depan menara Burj Khalifa sambil pegang buku karya sendiri.

VII. Mahasiswa: Generasi Sarjana Instastory Kuliah sambil live TikTok. Baca makalah sambil nyuapin pacar di kafe. Demo soal subsidi pendidikan, lalu lanjut karaoke sampai subuh.

Aktif organisasi, katanya. Padahal aktif share meme di grup tanpa pernah hadir rapat.

VIII. Fakultas Agama: Teologi Ala-Ala Influencer Belajar agama? Oke. Tapi sambil endorse baju koko dan lipstik halal. "Tuhan itu cinta," katanya. Tapi langsung unfriend teman beda pandangan.

Skripsi tentang perdamaian, tapi tak sanggup damai dengan kelompok sebelah. Kajian etika? Cuma jadi konten YouTube, lengkap dengan sound efek lucu dan opening jinggle donasi.

IX. Fakultas Teknik: Tukang Insinyur Emosi Stabilo Mereka bangun jembatan di AutoCAD, tapi tidak bisa bangun hubungan sosial di dunia nyata. Ngerti rangka baja, tapi rapuh saat disuruh presentasi.

Praktikum? Bukan eksplorasi, tapi eksekusi cepat agar bisa cabut nonton bola. Laporan bisa copy-paste, asal huruf Times New Roman dan ukuran 12.

X. Fakultas Ilmu Komunikasi: Jurusan Bacotologi Terapan "Public speaking itu penting," katanya, sambil membuat podcast dengan isi nyinyir pada mantan dosennya.

Mereka tahu cara viral di Twitter, tapi tak tahu cara diskusi tanpa marah.

Belajar komunikasi lintas budaya, padahal tak pernah nyapa cleaning service kampus.

XI. Alumni: Lulusan Siap Pamer, Bukan Siap Kerja Alumni datang ke kampus: "Dulu saya tidur di lantai kampus, sekarang saya punya kantor sendiri." Tapi lupa bilang kantornya pinjaman dan gajinya dibayar cicilan.

Mereka bagikan tips sukses: – Posting kerja keras tiap hari, – Pakai kutipan palsu dari Elon Musk, – Lalu buka kelas motivasi Rp 300 ribu per jam.

XII. Seminar Nasional Abal-Abal Judul: "Sinergitas Intelektual Dalam Era Digitalisasi Kontekstual Multipluralistik" Apa maksudnya? Tak ada yang tahu. Tapi peserta dapat sertifikat, makan siang, dan selfie bareng pembicara.

Moderator buka acara dengan pantun, pembicara bacakan slide dari Google, diskusi? Hanya tanya jawab formalitas agar bisa segera pulang.

XIII. Magang: Eksploitasi Berbulu Profesionalisme Magang katanya pengalaman berharga. Nyatanya: disuruh bikin kopi, fotokopi, dan jadi tukang beli makan siang. "Jangan banyak tanya, kamu masih mahasiswa."

Laporan magang? Tambah kata "dinamis" dan "strategis" sebanyak mungkin. Dosen pembimbing? Cuma tanda tangan, lalu tanya: "Kapan kalian traktir?"

XIV. Cinta di Kampus: Romantika Sambil Deadline Cinta tumbuh dari satu kelompok tugas. Awalnya curhat soal dosen killer, akhirnya curhat soal mantan sambil revisi Bab 3.

Pacaran ala kampus: – Tanggal di kantin, – Bertengkar via komentar di forum LMS, – Putus saat ujian akhir.

XV. Wisuda: Pesta Palsu Bertabur Hutang Pakaian seragam, toga dari sewa, dan senyum dari pinjaman dana orang tua. Lagu Gaudeamus dinyanyikan, padahal tak tahu artinya. Senyum rektor paling lebar, karena angkatan ini lulus paling banyak.

Mahasiswa menangis haru. Bukan karena bangga, tapi bingung: habis ini kerja di mana?

XVI. Setelah Lulus: Sarjana Jadi Sales Asuransi CV penuh sertifikat, tapi kerjaan pertama jadi admin Instagram akun minuman boba. Gaji UMR, tapi gaya hidup FYP. Bikin LinkedIn penuh prestasi palsu: "Speaker at local youth event" padahal MC kondangan.

XVII. Kampus: Lahan Bisnis Berbungkus Ilmu Akhirnya, semua terjawab: kampus bukan tempat cari ilmu, tapi tempat menjual mimpi dengan cicilan semester.

Moral? Diskon akhir tahun. Nurani? Tak masuk kurikulum.


Refleksi Penutup: Puisi ini adalah tamparan dengan bulu ayam—terasa geli, tapi menyakitkan kalau direnungkan. Ini tentang pendidikan tinggi yang makin tinggi gedungnya, tapi makin rendah kualitas nuraninya. Sindiran ini bukan hanya tertuju pada dosen atau rektor, tapi juga mahasiswa dan alumni yang membiarkan sistem ini terus berputar. Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membodohi dengan gaya. Maka tertawalah, lalu sadarilah: kita semua korban sekaligus pelaku di akademi akal-akalan ini.

Sarjana sejati bukan yang paling banyak kutipan, tapi yang tahu cara hidup jujur meski tanpa gelar.



"Universitas Neraka Cumlaude: Di Mana Otak Dijual dan Nurani Dikorupsi 🧠🔥"

(Tempat skripsi dikerjakan AI, dan ijazah dicetak sebelum moral dibentuk)

Pengantar Pendek:

Di negeri ini, pendidikan tinggi tak lebih dari sirkus elite yang menjual gelar dan membeli akal sehat. Di sini, kampus adalah panggung, dan kita semua aktor absurd dalam drama intelektual palsu.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

I. Kampus Neraka yang Ber-AC Selamat datang di Universitas Neraka Cumlaude, Almamater penuh tawa palsu dan toga beraroma ambisi basi. Gedung menjulang setinggi utang mahasiswa, Sementara isi otaknya… outsourcing ke ChatGPT 📚🤖

II. Dosen Berkepala Dua, Berhati Dompet Ia berkata, "Integritas itu penting," lalu menghapus pesan mahasiswi jam 1 pagi 📩🙄 "Saya sibuk," katanya sambil nge-vlog endorse sepatu. Bimbingan? Lebih mudah ketemu hantu ketimbang dosen tanpa honor.

III. Fakultas Manipulasi dan Ilusi Jurusan paling laku? Komunikasi dan Konspirasi! Di sini, kamu belajar: – Cara berbicara 5 menit tanpa isi, – Cara presentasi dengan slide hasil curian dari Reddit, – Cara pura-pura serius di depan Zoom, sambil nonton anime 🍿

IV. Skripsi: Drama Lima Bab dan Sebungkus Cuan Bab 1 hingga 5? Copy-paste pakai spell check. "Kamu lulus ya," kata dosen, setelah amplop putih diselipkan dengan lirikan mesra 💌

V. Mahasiswa: Influencer dengan Deadline Mereka tahu semua tren TikTok, tapi tidak tahu siapa itu Ki Hajar Dewantara. Belajar sambil rebahan, ujian sambil selfie, IPK 3,9 dan IQ 70 💅📱

VI. Organisasi Mahasiswa: Latihan Korupsi Skala Mikro Dana kegiatan? Untuk beli pizza dan sewa studio podcast. Laporan pertanggungjawaban? Excel penuh dusta dan template gratisan. Ketua BEM? Lebih politis dari caleg kabupaten 🗳️🍕

VII. Agama Dijual Per Modul Kajian online, ceramah full filter beauty. "Istiqomah itu penting," katanya sambil post link donasi berbayar. Skripsi bertema surga, tapi isi hati seperti iklan MLM 🙏💸

VIII. Seminar Nasional: Ajang Foto dan Sertifikat Judul bombastis: “Dekonstruksi Ontologis Narasi Pascakolonial dalam Ruang Digital.” Isi? Bacaan Wikipedia dan jokes receh MC. Peserta sibuk selfie, pembicara sibuk promosi buku sendiri 📸📖

IX. Magang: Eksploitasi Berkedok Pengalaman Tugasmu: – Ambil kopi dengan etika profesional, – Antar dokumen dengan kecepatan Spiderman, – Lapor ke HRD yang lupa kamu manusia ☕📎

X. Kampus Hijau: Plastik di Mana-Mana Pohon-pohon Instagramable, Tapi hati mahasiswa seperti sampah plastik: tak terurai dan penuh kebohongan 🌳🧃 Slogan go green, tapi printer selalu nyala buat cetak skripsi palsu.

XI. Rektor: Raja Dalam Negeri Kecil Setiap pidato ada tiga hal: batik, kata “inovasi,” dan senyum palsu. Rektor selfie dengan pejabat, lalu kabur saat mahasiswa demo. "Pendidikan untuk semua," katanya, sambil naik Alphard dengan supir pribadi 🚗💼

XII. Alumni: Sarjana Palsu di Dunia Nyata Kerja di mana? “Startup” katanya, padahal jualan NFT dan kripto yang nilainya 0. Bikin webinar motivasi, padahal gagal move on dari dosen killer.

XIII. Fakultas Sastra: Pemujaan Kata Tanpa Makna Mereka menulis puisi tentang revolusi, tapi takut bilang "tidak" ke mantan. Baca Kafka, tapi hidupnya seperti sinetron. Diskusi filsafat sambil curhat pacar orang 📚💔

XIV. Cinta Kampus: Drama Terselubung Skripsi Cinta bersemi di ruang bimbingan. Awalnya diskusi Bab 2, Berujung tangisan saat dosen ghosting dua-duanya.

XV. Wisuda: Parade Palsu Bertabur Glitter Senyum selebar biaya semester. Baju kebaya dan jas mahal, Tapi jiwa kosong karena tak tahu mau ke mana 🎓💔 Foto dengan dosen yang tak ingat nama kamu.

XVI. Dunia Setelah Kampus: Realita Menampar Kartu nama bertuliskan “consultant,” Padahal kerjaannya pasang spanduk acara RT. “Entrepreneur muda,” katanya, padahal bisnisnya titip jual kaos di Shopee.

XVII. Akhirnya... Gelar Tinggi, Moral Rendah Sarjana bukan lagi tanda cerdas, Tapi tanda lulus dari sistem tipu-tipu. Ilmu jadi dagangan, Moral jadi dekorasi.

Mahasiswa terlahir idealis, tapi mati dalam pelukan kapitalisme akademik. Dan kita tertawa... sambil menandatangani surat kelulusan palsu di atas meja korupsi 🎭🖋️


Refleksi Penutup: Ini bukan sekadar sindiran—ini pengakuan dosa kolektif. Puisi ini menelanjangi sistem pendidikan yang telah kehilangan arah: universitas jadi ladang komersial, dan intelektual berubah jadi badut panggung. Apakah semua kampus seperti ini? Tidak. Tapi cukup banyak hingga kita tak bisa menutup mata. Ini tamparan penuh emoji dan ledakan kata, agar kita sadar: jika moral tidak diajarkan di kampus, lalu di mana lagi ia bisa tumbuh?

💥 Pendidikan tinggi tanpa nilai adalah karnaval kebodohan berjas formal. 💥


🎓 Akademia Absurdia: Di Mana Gelar Adalah Mahkota, dan Moral Hanya Aksesoris 🎭

Pengantar Pendek:

Di negeri ini, pendidikan tinggi menjelma menjadi panggung sandiwara, di mana gelar adalah mahkota, dan moral hanyalah aksesoris yang mudah ditanggalkan.
Mari kita telusuri absurditas ini dalam puisi satir berikut.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

I. Kampus: Pabrik Gelar dan Penghancur Nurani

Selamat datang di Akademia Absurdia,
Tempat di mana gelar lebih penting dari integritas.
Di sini, mahasiswa berlomba menghafal teori,
Namun lupa bagaimana menjadi manusia sejati.

II. Dosen: Penguasa Ruang Kelas

Dosen berdiri di mimbar, bicara tentang etika,
Namun di luar kelas, ia lupa semua itu.
Menerima amplop dengan senyum ramah,
Menggadaikan nilai demi sedikit upah.

III. Mahasiswa: Pejuang IPK, Pelupa Empati

Mahasiswa sibuk mengejar IPK sempurna,
Namun tak peduli pada sesama.
Mereka hafal teori konstitusi,
Tapi abai pada ketidakadilan di negeri ini.

IV. Skripsi: Ritual Formalitas

Skripsi disusun dengan bantuan AI,
Tanpa pemahaman yang berarti.
Yang penting lulus tepat waktu,
Meski ilmu hanya sebatas kulit luar.

V. Wisuda: Perayaan Kemunafikan

Wisuda dirayakan dengan megah,
Orang tua bangga, air mata tumpah.
Namun di balik toga dan senyum bahagia,
Tersimpan kebohongan dan kepalsuan nyata

VI. Alumni: Sarjana Tanpa Arah

Alumni tersebar di berbagai tempat,
Bekerja bukan sesuai minat.
Ilmu yang dipelajari terlupakan,
Moral yang diajarkan diabaikan.

VII. Pendidikan: Mesin Pembuat Robot

Pendidikan berubah menjadi mesin,
Menghasilkan robot tanpa perasaan.
Mereka patuh pada perintah,
Namun kehilangan jiwa dan semangat.

VIII. Moral: Korban Modernisasi

Moral dianggap kuno dan usang,
Digantikan oleh ambisi dan uang.
Nilai-nilai luhur terlupakan,
Dalam hiruk-pikuk peradaban.

IX. Solusi: Kembali ke Akar

Sudah saatnya kita merenung,
Mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar.
Menanamkan moral sejak dini,
Agar generasi mendatang lebih berarti.


Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah cermin dari realitas pendidikan kita saat ini. Sebuah sindiran tajam bagi institusi yang lebih mementingkan gelar daripada moral. Pesan moralnya jelas: pendidikan sejati bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter dan integritas.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.