"Miskin Ilmu di Negeri Mewah Sekolah: Sebuah Opera Seragam dan Kesia-siaan"
Kalau semua bangunan sekolah megah, mengapa pikiran tetap kumuh? Kalau ijazah bisa dicetak indah, kenapa hidup tetap nganggur dan resah?
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Selamat datang di Republik Lulusan, Negeri yang mencetak ijazah seperti mencetak gorengan: panas, berminyak, dan cepat dingin.
Kami, para murid, bukan generasi emas, kami cuma kontainer kosong berlabel "sudah terdidik", tapi lebih paham filter Instagram dari pada substansi Undang-Undang.
Di depan sekolah berdiri patung Dewi Ilmu, mata ditutup, telinga ditutup, mulut terbuka, menguap. Kantinnya lebih ramai daripada perpustakaan, dan meja guru lebih sibuk mencetak lembar nilai ketimbang mengeja logika.
"Pelajaran hari ini adalah: menghafal tanpa mengerti." Guru berkata sambil membaca dari slide PowerPoint berjudul: "Raih Prestasi, Meski Tak Tahu Apa yang Diraih."
Anak-anak mencatat seperti zombie, merekam isi papan tulis yang tak tertulis makna. Mereka lebih hafal tahun kelahiran penjajah ketimbang hari lahirnya ide.
Setiap kelas adalah mimbar pengulangan, kita dididik untuk tidak berpikir, tapi untuk lulus. Lulus apa? Ya, lulus dari akal sehat.
Di negeri ini, ilmu adalah komoditas, dijual eceran di kios bimbel, lebih mahal dari bensin, tapi lebih ringan dari angin saat diuji.
"Kamu pintar ya, dapat nilai sempurna." "Nggak, Bu. Saya cuma jago menghafal kunci jawaban."
Kurikulum diganti seperti tren fashion, kurikulum 2024: "Belajar Berbasis Kecemasan dan Overthinking."
Sementara anak-anak desa belajar pakai lampu minyak, Anak kota sibuk menyalin Wikipedia.
Ilmu di negeri ini sudah lama dipenjara dalam silabus, kebebasan berpikir disensor, karena terlalu berbahaya jika rakyat paham.
"Apa cita-cita kalian?" "Menjadi ASN, Bu. Aman dan rutin." "Kenapa tidak menjadi penemu?" "Kami takut gagal dan tidak ikut ujian nasional."
Di perpustakaan sekolah, buku-buku menunggu dibaca, tapi lebih sering dijadikan ganjalan lemari.
Anak-anak diuji dengan soal HOTS, tapi guru belum tentu tahu singkatannya.
Ironi? Bukan. Ini lebih buruk dari satire. Ini adalah kenyataan yang terstruktur.
Negeri ini kaya akan sekolah, miskin akan pengajaran. Banyak kelas, sedikit diskusi. Banyak seragam,\t sedikit pemikiran bebas.
Sekolah adalah panggung untuk lomba cepat tepat. Siapa cepat hafal, dia juara. Yang lambat berpikir, dianggap pembuat masalah.
"Kamu harus ikut Olimpiade Sains!" "Tapi saya suka seni." "Itu tidak menjanjikan masa depan."
Di negeri ini, ilmu harus menjual. Ilmu yang tidak bisa diuangkan, dibuang.
Guru-guru digaji cukup untuk tetap hidup, tapi tidak cukup untuk tetap berpikir.
Murid-murid belajar agar bisa keluar negeri, karena negeri sendiri lebih suka mengimpor diploma ketimbang menciptakan ekosistem ilmu.
"Sekolah adalah rumah kedua," katanya. Tapi rumah yang listriknya sering padam, WC-nya jorok, dan isinya penuh tekanan.
Kami duduk di bangku kayu tua, mengisi soal tentang teknologi digital sambil kertasnya bolong.
"Ulangan besok ya. Materi dari halaman 1 sampai 100." Belajar seperti maraton buta. Siapa yang kuat bertahan, dia dapat ranking.
"Nilaimu jelek, kamu tidak belajar?" "Saya belajar, Bu. Tapi soalnya tidak nyambung."
Pendidikan di negeri ini lebih percaya akreditasi daripada akal sehat. Sekolah favorit itu yang toiletnya ber-AC, bukan yang gurunya penuh dedikasi.
"Kamu harus ikut try out." "Lalu kapan saya tidur, Pak?" "Tidur setelah sukses."
Sukses itu apa? Ijazah? IPK? Atau postingan wisuda dengan caption panjang, "Terima kasih untuk semuanya, padahal tak tahu belajar apa."
Kami adalah produk sistem: tahu semuanya, kecuali alasan kenapa kami belajar.
Sekolah mengajarkan kita sejarah kolonialisme, tapi lupa bahwa kita masih dijajah—oleh kebodohan yang dilegalkan.
Negeri ini membuat sekolah lebih banyak dari taman, lebih banyak dari mimpi anak-anak.
Satu gedung sekolah berdiri, seribu kepala pusing mencari arti.
"Apa itu pendidikan karakter?" "Menjadi patuh dan tak bertanya."
Di negeri ini, kritik dianggap makar, mengeluh dianggap malas, berpikir bebas dianggap sesat.
Satu guru berkata: "Anak-anak, berpikirlah kritis!" Lalu marah ketika ditanya balik.
Kami hafal semua nama menteri pendidikan, tapi tak tahu apa yang mereka ajarkan.
Sekolah bukan lagi tempat bertanya, tapi tempat diberi jawaban yang tak perlu dipertanyakan.
Kami berpacu dalam ranking, saling injak dengan senyum, saling tipu demi nilai.
Semua ujian adalah hukuman kolektif, bagi mereka yang berani malas berpura-pura sibuk.
"Apa kalian tahu fungsi akar kuadrat dalam hidup nyata?" "Tidak, Bu. Tapi kami tahu fungsinya dalam UN."
Seragam kami rapi, baju dimasukkan, dasi dikencangkan, namun kepala kami kosong.
Sementara para pejabat berdasi memotong anggaran riset untuk beli podium baru.
Pendidikan adalah parade tahunan, penuh jargon, spanduk, foto-foto di Instagram.
Tapi laboratorium tetap kekurangan mikroskop, buku tetap satu untuk lima siswa, guru tetap satu untuk seratus murid.
Di negeri ini, kami mencintai ijazah seperti pecandu mencintai dosis terakhir.
Kami dididik agar paham semua hal, kecuali tentang diri sendiri.
Kami belajar PPKN, tapi tak pernah tahu apa arti kejujuran yang tidak lulus sensor.
Kami belajar agama, tapi tetap korup ketika sudah bekerja.
Kami belajar seni, tapi lukisan kami dianggap buang-buang waktu.
Kami belajar biologi,\ntapi tidak tahu kenapa kami tidak bahagia.
Kami belajar ekonomi, tapi tak pernah diajari cara mencari makan dengan bermartabat.
Kami belajar fisika, tapi logika kami tetap melayang.
Kami belajar bahasa, tapi komunikasi kami mati.
Kami belajar komputer, tapi tak tahu cara menggunakan akal.
Sekolah di negeri ini seperti pabrik: produksi massal, tapi tidak ada garansi mutu.
Refleksi: Puisi ini adalah cermin retak dari wajah pendidikan kita—yang megah dalam bentuk, tapi miskin dalam isi. Sindiran ini bukan hanya untuk para birokrat pendidikan, tapi juga untuk sistem, budaya, dan kita semua yang membiarkan pembodohan ini terus jadi rutinitas. Pesan moralnya: Sekolah seharusnya tempat tumbuhnya akal, bukan kuburan bagi nalar.
📛 Judul: "Negeri Seragam, Otak Diparkir: Akademia Miskin di Istana Sekolah Emas"
🎠Pengantar: Sekolah menjulang, ilmunya menghilang. Di antara gigi besi pagar sekolah dan seragam yang wangi setrikaan, ilmu bersembunyi di kolong meja ujian.
✒️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
📜 Puisi:
Halo papan tulis putih yang tak tahu malu, Masih menampung kata-kata guru yang dibayar bukan untuk berpikir, Tapi menghafal jadwal, mengganti spidol, dan menatap jam pulang.
Di negeri ini, Setiap sekolah adalah istana, Penuh kipas angin dan kabel USB, Tapi kosong dari rasa ingin tahu.
Anak-anak dilatih mencatat mimpi orang lain Dengan tinta merah yang menyembelih imajinasi, Buku pelajaran disusun oleh dewa-dewa birokrasi Yang tak pernah mengajar tapi tahu semua rumus hidup.
Mari duduk di bangku berdebu ini, Yang lebih kenal panas bokong daripada panas debat. Seragam kami rapi, barisan kami lurus, Tapi pikiran kami seperti lemari tua: terkunci dan berjamur.
Selamat datang di Pesta Ilmu Tipuan, Di mana ranking lebih sakral dari nilai hidup, Dan ujian adalah ritual suci Untuk mencetak fotokopi manusia taat.
"Belajarlah, nak!" Kata kurikulum dari istana kaca, Sambil mencambuk kami dengan akreditasi dan kompetensi Yang tak pernah menjawab lapar dan pengangguran.
Guru berdiri seperti robot murah, Menyampaikan slide PowerPoint seperti mantra kuno, Dan ketika ditanya, matanya melirik ke Google Seperti pelajar yang ketahuan menyontek kehidupan.
"Cerdas itu dapat A!" teriak kepala sekolah, Sambil tanda tangan proposal renovasi toilet, Yang lebih harum daripada isi perpustakaan.
Kami miskin ilmu, karena kenyang formalitas. Kami lapar kebenaran, tapi disuapi fakta standar, Kami ingin bertanya, tapi dituduh durhaka. Kami ingin berpikir, tapi dibilang pembangkang.
Setiap Senin, kami menyanyikan lagu kebangsaan Di lapangan yang lebih luas dari cakrawala berpikir kami, Sambil dihitung jumlah absen, bukan pertanyaan yang meledak di kepala.
Ada CCTV di setiap sudut Tapi tak satu pun merekam kematian nalar kami. Ada WiFi di setiap kelas, Tapi tak satu pun membuka akal sehat kami.
Kami adalah generasi kompeten dalam ujian, Tapi gagap saat disuruh menjawab hidup. Kami bisa menjabarkan isi pasal, Tapi tak paham mengapa hukum selalu tumpul ke atas.
"Berprestasilah!" teriak spanduk kompetisi nasional, Yang digelar oleh menteri selfie, Dan diakhiri dengan piala plastik untuk guru yang burnout.
Kami diajari menyusun kalimat efektif, Tapi tak pernah diajari menyusun pendapat. Kami pandai membuat laporan praktikum, Tapi tak tahu apa yang benar-benar dipraktikkan oleh nurani.
Inilah negeri sekolah tanpa ilmu, Di mana SPP naik seperti inflasi, Tapi mutu turun seperti moral influencer edukasi.
Lulusan kami pandai debat di medsos, Tapi takut menyapa realitas. Mereka bisa menghafal teori kapitalisme, Tapi tak pernah sadar jadi budaknya.
Setiap tahun kami lulus berjamaah, Seperti kawanan kambing dari peternakan, Menuju ladang kerja tanpa padang rumput. Ijazah kami bergengsi, Tapi kepala kami hampa seperti amplop kosong.
"Jadilah guru!" kata negara, Sambil memotong gaji dan membebani tugas administratif. "Jadilah siswa!" kata sistem, Sambil menanamkan rasa takut dan lomba bodoh bernama PISA.
Kami miskin ilmu karena sekolah kaya acara. Ada seminar motivasi, tapi tak ada sesi refleksi. Ada lomba vlog, tapi tak ada ruang berpikir. Ada seleksi masuk, tapi tak ada seleksi niat.
Kami dijadikan komoditas ujian nasional, Kami dihitung dengan angka, Tapi tak pernah disapa sebagai manusia.
Sekolah kami bercahaya neon, Tapi hati kami remang. Setiap pagi kami disuruh hafal Pancasila, Tapi nilai gotong royong ditinggal di ruang OSIS.
Ada ruangan bimbingan konseling, Yang lebih sepi dari hati guru matematika. Anak depresi dianggap lemah iman, Bukan hasil dari tekanan sistem tanpa ampun.
Di negeri ini, Pendidikan adalah panggung drama kolosal, Dengan sutradara birokrasi dan naskah dari kementerian, Tapi pemain utamanya selalu gagal paham.
Kami mengisi Lembar Jawaban Komputer Tapi tak bisa menjawab siapa diri kami. Kami takut salah, Karena setiap kesalahan dihukum, bukan dipelajari.
Pendidikan? Ah, itu jargon di baliho kampanye. Di atas kertas itu suci, Tapi di kelas, ia menjadi sarkasme.
Kami tahu rumus luas segitiga, Tapi tak tahu luasnya kebodohan sistemik ini. Kami hafal sejarah kolonial, Tapi tak sadar dijajah oleh sistem pendidikan sendiri.
Guru kami letih, Bukan karena murid nakal, Tapi karena dikejar target tanpa makna. Murid kami lesu, Bukan karena beban buku, Tapi karena haus akan kejujuran.
Kami miskin ilmu karena kaya alasan, "Itu kurikulum dari atas, Nak." "Itu sudah ketentuan, Nak." "Jangan tanya, kerjakan saja!"
Kami dijadikan statistik, Bukan manusia. Kami dibentuk untuk taat, Bukan untuk merdeka.
Inilah negeri sekolah, Tempat di mana pintar artinya menurut. Tempat di mana pengetahuan artinya menyalin. Tempat di mana suara artinya berbisik.
📚 Refleksi: Puisi ini menyindir keras sistem pendidikan yang lebih fokus pada simbol, angka, dan formalitas ketimbang substansi, nalar, dan kemanusiaan. Satir ini menampar birokrasi pendidikan, kebijakan top-down yang menekan guru dan murid, serta masyarakat yang membiarkan generasi muda tumbuh dalam kemasan, bukan isi. Pesannya: pendidikan sejati harus membebaskan, bukan membentuk budak baru dalam balutan seragam rapi dan nilai rapor tinggi.
"Tuhan Kami Bernama Kurikulum, Nabi-Nabinya Bernama Kunci Jawaban"
Pengantar: Mereka berkata pendidikan membebaskan. Tapi di negeri ini, ia malah mencetak budak dengan seragam, lem, dan fotokopi suci.
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
Kami adalah umat dari kitab kurikulum revisi, Lembaran-lembaran suci yang dicetak saban tahun dengan anggaran surgawi, Kami sujud pada teks-teks yang katanya logika, Tapi lebih sering mirip mantra gelap dari negeri data palsu dan spidol merah.
Pendidikan? Ah, itu hanya dongeng purba di papan tulis reyot, Yang guru-gurunya setengah dewa, setengah lelah, Dibayar dengan janji dan disuruh menyembah administrasi, Hingga lupa cara mengajar, hanya hafal cara menandatangani.
Anak-anak? Oh, mereka bukan penjelajah ilmu, Mereka adalah gladiator Ujian Tengah dan Para Gladiator UNBK, Berperang melawan soal-soal pilihan ganda yang tak kenal ampun, Dengan senjata: bocoran WhatsApp dan kunci jawaban dari langit ketikan.
Selamat datang di negeri 1001 sekolah Yang lebih kaya warna cat dinding daripada isi kepala, Yang tiap gedung baru diresmikan oleh politisi Dengan potong pita, tapi bukan pita otak.
Kami disuruh pintar seragam, bukan pintar berpikir, Boleh bertanya, asal jawabannya sudah disiapkan, Boleh berdiskusi, asal tetap duduk diam dan menyalin papan Dengan taat seperti juru tulis zaman Firaun.
Ini negeri yang mengukur kecerdasan dari lembar LJK, Dan nilai rapor adalah paspor sosial, Anak yang rangking satu dielu-elukan Sambil anak berbakat menggambar dianggap pembangkang.
Kami punya menteri yang berganti tiap kabinet, Setiap ganti, ganti juga akidah kurikulum, Hari ini berbasis karakter, besok numerasi, Lusa mungkin pendidikan berbasis NFT dan emoji.
Guru diminta kreatif, tapi dicekik form penilaian, Inovatif katanya, tapi jangan terlalu beda, Nanti kamu dianggap makar, pengacau sistem, Padahal kamu cuma ingin anak-anakmu berpikir.
Apa itu logika? Tanya si Budi dalam soal cerita, Ia disuruh mencari selisih harga apel, Padahal di pasar nyata, dia belum pernah beli apel seumur hidup.
Anak-anak dikurung dalam kelas berpendingin, Sambil jendela dunia dikunci rapat oleh kisi kisi UN, Mereka menghapal, menghafal, mengulang, mengerang, Sampai akhirnya pintar jadi robot, bukan manusia.
Dan ayah-ibu mereka? Sibuk mencicil sekolah mahal, Dengan harapan: “Nanti kamu jadi orang!” Seolah saat ini mereka bukan orang juga.
Kami dibesarkan dengan ejaan baku dan logika absurd, Diminta kreatif, tapi nilainya tergantung rubrik, Diminta kritis, tapi kalau kritik sistem disebut tak tahu diri. Kami adalah produk final dari mesin sekolah, Diuji coba tiap semester seperti ayam potong.
Selamat datang di negeri dengan guru bersertifikat, Tapi tak punya waktu untuk bercakap dengan muridnya, Karena ia harus memenuhi target silabus, Dan laporan refleksi 4 halaman tiap minggu.
Sementara murid belajar soal demokrasi, Tapi dilarang menyanggah opini bapak guru, Belajar tentang HAM, tapi tak boleh keluar kelas untuk ke toilet, Sebelum lonceng suci berbunyi.
Ironi? Itu makanan harian kami di kantin pengetahuan, Kami tahu pahlawan nasional, tapi tak tahu cara menyapu sampah sendiri, Kami hapal Pancasila, tapi tak pernah diajak berbagi, Kami tahu teori ekonomi, tapi uang jajan tak cukup beli lem.
Pelajaran seni dibekukan demi jam tambahan matematika, Padahal anak itu ingin jadi pematung, bukan kalkulator, Tapi sistem ini tak percaya pada seni, Ia hanya percaya pada angka dan ranking.
Anak-anak kini pintar menyontek, bukan karena bodoh, Tapi karena itu adaptasi tertinggi di alam pendidikan purba, Kami belajar: yang penting lulus, bukan tahu, Yang penting nilai tinggi, bukan integritas.
Mereka bilang pendidikan karakter, Tapi yang diajarkan cuma nilai absensi dan kerja kelompok palsu, Dimana satu kerja, lima dapat nilai, Dan semuanya lulus dengan baju toga palsu.
Kami tak bodoh, kami hanya dibodohkan, Dengan sistem yang menjadikan kertas lebih sakti dari pengalaman, Yang menilai bakat dari jumlah kata per paragraf, Dan menghukum salah ejaan lebih keras daripada salah moral.
Kita hidup di negeri yang lebih bangga pada akreditasi A Daripada anak yang bertanya “Kenapa?” Negeri yang menganggap sukses adalah ketika anak diam, Tersenyum, dan mengangguk di depan pengawas.
Di ruang kelas ini, kritik adalah dosa, Ragu adalah sesat, Dan berpikir beda adalah penyakit, Yang harus segera disembuhkan dengan bimbingan konseling.
Di negeri ini, perpustakaan penuh buku, Tapi kosong pengunjung, Karena buku tak keluar di soal try out, Dan membaca tak termasuk indikator pencapaian.
Kami punya baju pramuka, dan topi upacara, Tapi tak tahu kenapa negara ini korup terus, Kami tahu nama menteri, tapi tak tahu kenapa bensin naik, Kami bisa pidato Hari Guru, tapi tak tahu siapa Socrates.
Kami bangga disebut generasi emas, Tapi tak tahu emas itu hasil tambang siapa, Atau hasil manipulasi survei prestasi internasional.
Kami lahir dari rahim industri nilai, Dibesarkan oleh feed Instagram motivasi, Dan dimakamkan di kuburan gelar sarjana Yang tak tahu cara melamar kerja.
Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah nyanyian sumbang bagi mereka yang masih menyebut pendidikan sebagai mercusuar harapan, padahal sudah lama jadi panggung dagelan birokrasi. Sindiran ini ditujukan kepada sistem pendidikan yang lebih mementingkan angka, administrasi, dan kosmetika prestasi ketimbang makna sejati pembelajaran. Pesannya sederhana namun keras: selagi kita sibuk menata ruang kelas, jangan lupa menata isi kepala. Karena sekolah tanpa ilmu, hanyalah pabrik gelar tanpa harga.