Beli 2 Gratis 1, Kok Beli 1 Gak Gratis 2?



 Karya Reflektif & Tak Waras: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Singkat:

Pernahkah kamu masuk restoran cepat saji dan keluar dengan perasaan: "Aku kenyang... tapi jiwaku kosong?" Ini kisah tentang promo yang absurd, kasir yang lebih jujur dari pengacara, dan kentang goreng yang lebih berminyak dari politik kampus.


Cerita Parodi:

Di sebuah sudut kota bernama Distrik Lapar—tempat di mana kolesterol lebih mudah ditemukan daripada cinta sejati—berdirilah megah sebuah restoran cepat saji legendaris bernama MekaDonat. Lambangnya dua garis melengkung, seperti alis tante-tante yang habis sulam, membentuk huruf "M" yang konon artinya: "Makanlah walau hatimu hampa".

Hari itu, aku masuk ke MekaDonat karena dompetku hanya mampu berteman dengan promo. Di pintu masuk, tertulis besar-besar dengan font Comic Sans yang bikin mata sakit:

"PROMO GILA! BELI 2 GARIS 1!"

Aku terpaku. Garis 1? Apa ini tes kehamilan? Apakah jika aku beli dua burger aku akan mendapatkan kejelasan hidup?

Dengan langkah percaya diri dan IQ 78, aku maju ke kasir. Kasirnya seorang remaja tanggung bernama Joni, rambutnya seperti kentang goreng—tipis, keriting, dan selalu berminyak.

"Selamat datang di MekaDonat, mau pesan apa, Kak?"

Aku mencondongkan tubuh, berbisik layaknya agen rahasia:

"Saya mau beli 1 burger. Tapi kok beli 1 gak gratis 2? Padahal beli 2 garis 1. Nggak adil, ya kan?"

Joni memandangku seperti aku baru saja membaca mantra kuno dari kitab promo.

"Eeeh, maksudnya promo itu, Kak, kalau beli 2 burger, dapat 1 garis... eh, maksudnya dapat 1 minuman gratis."

Aku termenung. Jadi selama ini... 'garis 1' adalah bahasa isyarat untuk minuman soda ukuran medium?

"Tapi kenapa nggak ditulis aja 'beli 2 burger, gratis 1 soda'? Kenapa harus garis? Ini iklan atau soal ujian TPA?"

Joni menghela napas. "Soalnya, Kak, kepala marketingnya dulunya pelukis surealis. Jadi semua harus simbolik."

Oh tentu, aku paham sekarang. Mereka tidak menjual makanan. Mereka menjual teka-teki kehidupan.

Akhirnya aku putuskan beli 2 burger demi mendapatkan 'garis' hidup itu. Tapi ketika makan, aku menyadari sesuatu...

Burger pertama: dagingnya lebih tipis dari prinsip moral dosen killer. Burger kedua: lebih banyak selada daripada isi. Soda: kombinasi antara gula, pewarna, dan harapan yang pupus.

Namun puncaknya adalah ketika aku menemukan kupon baru dalam struk:

"BELI 3 GRATIS 1 YANG DIBELI TEMEN KAMU!"

Sungguh... sistem promo ini seperti hubungan toxic. Semakin kamu coba mengerti, semakin kamu sakit kepala.


Refleksi Tak Masuk Akal:

Dalam dunia makanan cepat saji, logika dan kalori tidak berjalan seiring. Kita tertawa, kita makan, kita kenyang... tapi juga dikhianati oleh ekspektasi.

Moralnya? Jangan percaya pada dua hal: janji politisi dan promo fast food yang pakai metafora. Sebab kadang yang kamu beli bukan burger, tapi kebingungan filosofis dalam bentuk roti bundar.

Dan aku pun pulang, kenyang, tertawa... dan sedikit menangis.


"Promo Akal-akalan: Beli 2 Garis 1, Kok Beli 1 Gak Gratis 2?!"

Karya Parodi oleh: Jeffrie Gerry (Japra), Penikmat Logika yang Sudah Tidak Percaya Lagi Pada Logika


Pengantar: Di dunia di mana keju dijual lebih mahal dari janji kampanye, dan saus sambal dihitung per tetes, muncul sebuah pertanyaan filosofis yang mengguncang nurani rakyat kecil: "Kalau beli dua dapat satu, kenapa beli satu gak dapat dua?!"


Babak 1: Dilema di Pojok Waralaba

Namaku Tito, mahasiswa tingkat akhir yang hidup dari diskon dan nasi sisa seminar. Suatu hari, aku terpeleset masuk ke sebuah restoran cepat saji—yang namanya sudah seperti mantra, kita sebut saja: "BuncitFriedMonster".

Di depan kasir, tertulis besar dengan font Comic Sans: PROMO SPESIAL: BELI 2 GRATIS 1

Hatiku melonjak. Aku pikir ini saatnya pesta. Aku menghitung receh di dompet, dan dengan penuh keyakinan, berkata ke mbak kasir:

"Mbak, saya beli SATU aja dulu. Jadi dapet DUA, ya kan? Kan kalau beli dua dapat satu, berarti logikanya beli satu dapat dua?"

Mbak kasir terdiam. Matanya seperti Windows 98 yang lagi loading.

"Maaf, Mas. Beli satu ya tetap satu. Beli dua, baru dapat satu tambahan."

Aku menatap papan promo itu lagi. Lalu kembali menatap mbak kasir.

"Jadi... kalau saya beli satu, saya gak dapat dua? Tapi kalau saya beli dua, saya malah dapat tiga?!"

"Iya, Mas."

"Jadi sistem di sini menghukum orang miskin seperti saya yang cuma bisa beli satu?!"

Mbak kasir mulai panik. "Saya cuma kerja, Mas, bukan bikin promo."

Babak 2: Filosofi Nugget dan Teori Marx Ayam

Aku duduk di pojokan, memandangi ayam goreng yang sendirian. Ia terlihat kesepian, seperti tokoh utama sinetron yang ditinggal pas hari hujan.

Kupikirkan ulang:

  • Beli dua = dapat tiga.

  • Beli satu = tetap satu.

Jadi aku dihukum karena tidak mampu membeli lebih banyak? Di mana letak keadilan ekonominya?

Kupanggil teman sekelasku, Deno, yang kuliah di jurusan Filsafat Digital.

"Bro, gue kena sistem kapitalis ayam. Beli satu gak dikasih apa-apa, beli dua malah dikasih bonus."

Deno mengangguk sambil menyeruput es teh refill.

"Itu bentuk eksploitasi keinginanmu untuk kenyang. Mereka menciptakan kelangkaan rasa puas, lalu memanipulasi pikiran lewat diskon."

Aku hampir tersedak ayam.

"Jadi nugget ini... bagian dari konspirasi kelas sosial?"

"Ya. Ayam itu proletar. Kamu diminta membelinya banyak supaya kamu merasa menang, padahal kamu hanya dipaksa beli lebih dari yang kamu butuh."

Babak 3: Revolusi di Ruang Makan

Aku berdiri. Penuh semangat revolusi. Kujungjung tinggi ayam satu-satunya di atas nampan plastik.

"Saudara-saudara! Kenyang bukan hanya hak orang yang bisa beli dua! Kita, pembeli satu, menuntut hak bonus kita juga!"

Orang-orang mulai melirik. Seorang anak kecil mulai tepuk tangan. Seorang bapak terbangun dari tidur siang di kursi keras. Seorang ibu nyengir sambil ngevlog.

Mbak kasir buru-buru manggil supervisor. Muncullah Mas Supervisor, dengan dasi merah yang tidak sinkron dengan sepatu crocs-nya.

"Ada masalah, Mas?"

Aku mengangkat ayam.

"Saya menuntut kebijakan promo yang adil dan setara! Jika beli dua dapat satu, maka beli satu seharusnya dapat dua! Itu matematika moral!"

Mas Supervisor tersenyum tipis. "Mas, itu bukan bagaimana promo bekerja."

Aku menggeleng. "Tapi itu bagaimana logika rakyat bekerja!"

Babak 4: Aksi dan Akhir yang Tak Terduga

Kami sepakat, aku dan beberapa pelanggan yang ikut tercerahkan, untuk demo damai di depan restoran. Kami bawa banner bertuliskan:

  • "SATU ITU JUGA RAKYAT!"

  • "BERIKAN BONUS UNTUK SEMUA!"

  • "NUGGET UNTUK KAUM TERTINDAS!"

Tiga anak SMA bergabung karena katanya pengen viral. Seorang YouTuber lokal datang untuk konten. Seorang ibu muda ikut demo sambil promosi dagangan di IG.

Restoran mulai panik. Akhirnya mereka kirim satu staf humas, yang sepertinya baru lulus training.

Dia berkata: "Baiklah, kami akan kasih tambahan satu saus gratis untuk pembeli satu!"

Kerumunan hening.

Aku menatap saus mungil itu. Isi 7 mililiter. Wajahku penuh campuran antara kekalahan dan rasa asin.

Babak 5: Refleksi, Tapi Masih Lapar

Akhirnya aku pulang. Perutku masih lapar, tapi hatiku kenyang oleh perjuangan.

Temanku bertanya, "Jadi gimana ending-nya?"

"Gue dapat satu ayam, satu saus... dan satu pelajaran."

"Apa itu?"

"Kalau lo miskin, logika gak akan bantu apa-apa di dunia promo."

Kami tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena kenyataannya konyol.

Refleksi Penutup: Promo memang tidak bisa diukur dengan kalkulus, apalagi akal sehat. Ia dirancang untuk membuat kita merasa beruntung saat membeli lebih dari yang kita butuhkan. Tapi dalam absurditas ini, ada cermin sosial yang memantulkan realitas: kadang keadilan tidak hadir dalam porsi ayam, tapi dalam keberanian kita mempertanyakan sistem.

Dan ingat, kalau kamu cuma mampu beli satu, jangan sedih. Minta saus dua. Minimal kamu tetap bisa berasa menang meskipun kenyataannya tetap kalah.





Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.