Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR

 


🛡️ Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR 🛸

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Di negeri kami, kebenaran pakai kostum, dan logika wajib izin rapat.”
Katanya bebas bicara, tapi mikrofon diikat pakai palu.


(Monolog Satir: Mode Aktif, Sensor Otomatis Menyala)

Salam hormat, rakyat biasa.
Saya Superhero Anti-Kritik, dari Planet DPR—
tempat di mana kursi lebih sakral daripada kitab,
dan sidang adalah ritual untuk memperpanjang umur jabatan.

Saya bukan tokoh fiksi, saya fiksi yang menjabat.
Berseragam jas, berkekuatan imunitas,
bisa menangkis kritik pakai pasal,
dan menghilang di balik “hak angket” yang tak kunjung tiba.

Bab 1: Asal-Usul yang Tidak Penting Tapi Dibikin Penting

Saya lahir dari gelombang suara—bukan rakyat, tapi buzzer.
Dibesarkan oleh kampanye, disusui dana reses,
bermain di taman aspirasi yang penuh janji,
dan sejak kecil sudah diajari:
jika ada yang bertanya, beri undang-undang sebagai jawaban.
Jika rakyat menjerit, kirim influencer.
Jika dicecar data, panggil polisi.

Di Planet DPR, kritik adalah asteroid,
dan saya adalah sistem pertahanan berbasis revisi undang-undang.
Saya tidak menyelamatkan manusia,
saya menyelamatkan citra.

Bab 2: Kostum Saya Adalah Ketebalan Muka

Tak perlu topeng.
Muka saya sudah cukup elastis untuk menampung lima versi kebenaran.
Saya bisa bicara soal kemiskinan
sambil duduk di mobil dinas.
Saya bisa bersumpah demi rakyat
lalu mengetuk palu untuk menaikkan tunjangan sendiri.

Mata saya bisa menyala jika disorot media.
Telinga saya hanya menerima suara mayoritas yang mendukung.
Lidah saya berbisa lembut, berbicara “untuk kebaikan bersama”
lalu menutup ruang diskusi.
Dan hati saya? Tenang saja, sudah lama dipensiunkan.

Bab 3: Jurus-Jurus Andalan Superhero

📜 Jurus Kabut Aspirasi:
Setiap kali rakyat protes, saya lempar kata “sedang dikaji”.
Jika terus teriak, saya tambahkan “kami menyerap masukan”.
Kalau makin ramai, saya kirim tim survei—
yang hanya menyurvei isi grup WhatsApp saya sendiri.

🦺 Jurus Kebal Kritik:
Saya dilindungi imunitas dan jaringan yang kompleks.
Cuitanmu tentang saya? Hati-hati, bisa jadi pelanggaran digital.
Demo mahasiswa? Saya bilang itu bagian dari demokrasi,
lalu saya tutup jalan aksesnya.

🔒 Jurus Sensor Berkedok Etika:
Kritik disebut ujaran kebencian,
lelucon dianggap ancaman negara.
Dan satire, wah, itu makar terselubung!
Tentu saja, semua atas nama “ketertiban umum”—
yang artinya: ketertiban posisi saya di parlemen.

🧠 Jurus Pura-Pura Bingung:
Ketika disodori data: “Kami perlu telaah lebih dalam.”
Ketika ditanya tanggung jawab: “Itu wewenang pihak lain.”
Ketika dipertanyakan logika: “Sudah dibahas dalam forum resmi.”
Lalu forum itu... entah di mana, dan dengan siapa.

Bab 4: Musuh Terbesar Saya Adalah... Rakyat Melek

Oh, betapa saya benci jika rakyat mulai membaca.
Bila mereka mulai bertanya, saya gelisah.
Bila mereka memviralkan, saya buat klarifikasi
yang panjang tapi tidak menjawab apa pun.

Saya lebih suka rakyat yang sibuk TikTok,
asal jangan bahas draf undang-undang.
Saya dukung pendidikan,
selama kurikulumnya tidak mengajarkan berpikir kritis.
Saya cinta demokrasi,
asalkan jangan terlalu cerewet.

Bab 5: Dunia Tanpa Kritik adalah Surga Para Penjilat

Bayangkan negeri di mana kritik dilarang,
dan semua poster saya dipasang wajib di sekolah.
Di mana rakyat antre bukan untuk pangan,
tapi untuk selfie dengan baliho saya.
Di mana aplikasi e-kritik diblokir karena “rawan hoax”,
dan pasal penghinaan lembaga digunakan sebagai pelindung harga diri saya yang rapuh.

Di sana, saya terbang tinggi,
di atas grafik kepercayaan publik yang dimanipulasi,
di atas anggaran yang disetujui tanpa diskusi,
dan di atas rakyat yang sudah letih berharap.

Bab 6: Dialog Khayalan Saya dengan Tukang Parkir

— "Pak, saya cuma kritik sedikit, kok dibilang merusak negara?"
— "Nak, negara ini seperti parkiran. Kau boleh masuk, tapi hati-hati bicara, nanti diderek."
— "Tapi bukankah Bapak wakil rakyat?"
— "Saya wakili yang memilih saya... dan yang membiayai kampanye."
— "Lalu bagaimana nasib kami yang tak setuju?"
— "Doa terbaikku: semoga kalian tetap diam."

Bab 7: Saat Saya Disanjung, Saya Merasa Tuhan

Ah, ini bagian favorit saya.
Ketika saya dipuji, saya retweet.
Ketika saya dikritik, saya laporkan.
Ketika saya ditantang debat, saya sibuk rapat.
Ketika saya disindir seni, saya sensor.
Tapi ketika saya disanjung?
Saya merasa lebih tinggi dari hukum.
Karena saya tahu, kekuasaan yang rapuh
butuh lebih banyak pujian daripada prestasi.

Bab 8: Refleksi dalam Cermin Emas

Saya tahu, saya bukan superhero.
Saya adalah refleksi sistem yang malas dikritik,
dan takut pada kejujuran rakyatnya sendiri.
Saya memakai lambang wakil rakyat,
tapi hanya wakili kursi dan fasilitas.
Saya menolak debat,
karena saya tahu saya rapuh di hadapan logika.

Saya menulis puisi ini di tengah hening,
bukan untuk mengubah,
tapi untuk mengingatkan bahwa
setiap kekuasaan tanpa kritik
adalah distopia yang kita bangun bersama.


(Penutup: Suara Tanpa Mikrofon)

Jangan takut pada saya,
tak perlu takut pada “Superhero Anti-Kritik”—
karena saya hanya kuat
selama kalian diam.

Jika kalian mulai bicara,
mulai menulis, mulai bertanya,
maka saya pun akan kembali jadi biasa—
sekadar manusia yang pernah duduk,
dan kini berdiri di hadapan kebenaran
yang tidak bisa lagi dibungkam dengan palu.



🩸 Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR 

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

“Jangan kritik saya, saya trauma debat logika.
Lebih baik saya palu meja, daripada palu hati nurani.”


📍 Pendahuluan Pendek

Di dunia ini, ada dua jenis pahlawan:
Yang menyelamatkan rakyat, dan yang menyelamatkan nama baiknya sendiri dengan pasal berlapis.


(Monolog Distopia: Mode Brutal Diaktifkan)

Selamat datang di semesta di mana kenyataan dan parodi adalah saudara kembar.
Saya, superhero anti-kritik, berkostum tebal muka dan bersenjata pasal elastis.
Saya tidak perlu kekuatan super,
cukup WiFi, stempel, dan kursi empuk ber-AC yang dibayar dari pajak rakyat yang katanya malas kerja.


Bagian I: Asal-Usul Saya, Sang Pahlawan Daur Ulang

Saya terlahir dari pemilu yang seperti sinetron:
penuh drama, penuh air mata—
tapi semua skenario saya yang tulis.
Kampanye saya seperti pengakuan dosa:
janji-janji yang saya tahu tidak akan saya tebus.
Rakyat bilang, “kita butuh perubahan.”
Saya jawab, “betul, makanya saya ubah semua jadi milik saya.”

Saya makan uang harian rapat yang tak saya hadiri,
minum dari gelas retorika kosong,
dan bersendawa saat rakyat bertanya:
“Kok harga sembako naik terus, tapi upah kami stagnan?”
Saya jawab:
“Kami sudah membentuk panitia kecil untuk membentuk panitia besar untuk membahas itu nanti.”


Bagian II: Kostum Saya Terbuat dari Arogansi yang Dijahit oleh Buzzer

Topeng saya bukan menutupi wajah,
tapi menutupi data.

Saya punya jubah dari karpet merah yang disedot dari APBD,
dan sepatu saya menginjak akal sehat publik yang terlalu banyak membaca.

Saya tidak perlu terbang,
karena saya sudah cukup tinggi dari kritik,
dan cukup jauh dari realita.

Mata saya disetel hanya untuk melihat pujian,
dan telinga saya dikhitan dari suara rakyat yang menyakitkan.

Kalau ada yang kritik pakai data,
saya akan bilang: “hoax.”
Kalau mereka ulangi pakai grafik,
saya jawab: “fitnah.”
Kalau makin viral, saya terbitkan regulasi baru—
yang isinya cuma larangan-larangan bagi mereka yang bisa berpikir.


Bagian III: Saya Tidak Anti-Rakyat, Saya Cuma Anti Mereka yang Masih Waras

Siapa bilang saya anti-rakyat?
Saya cinta rakyat!
Tapi yang patuh.
Yang diam.
Yang like, share, dan komen dengan emoji tepuk tangan.

Saya gemas pada rakyat yang suka tanya.
Kenapa tanya APBN?
Kenapa tanya transparansi?
Kenapa tanya proyek tol, pabrik, tambang, bansos, dan kepentingan saya?

Rakyat yang cerewet harus dibina.
Kalau tak bisa dibina, dibinasakan karakternya.
Saya percaya demokrasi,
tapi yang bisa saya desain bentuknya.
Seperti puzzle, tapi hanya saya yang tahu bentuk akhir gambarnya.
Spoiler: tetap saya di tengah.


Bagian IV: Alat Tempur Saya Lebih Tajam dari Satirmu

Saya punya pasal karet yang bisa melar
sampai mencambuk siapa saja yang menertawakan saya.

Saya punya UU yang saya bisa putar semau saya—
hari ini demokrasi, besok democra-sih.
Saya punya sidang yang digelar bukan untuk mendengar,
tapi untuk mencatat siapa saja yang terlalu banyak bicara.

Saya punya senjata bernama "Etika",
yang hanya saya gunakan pada musuh.
Kalau saya langgar? Ya biasa saja.
Kan saya superhero.

Saya bukan tiran, saya hanya alergi disalahkan.
Saya bukan diktator, saya cuma ingin orang diam saat saya bicara.
Dan kalau rakyat bicara bersamaan?
Saya pencet tombol: “Matikan Mikrofon Semua.”


Bagian V: Planet DPR Adalah Surga bagi yang Tak Mau Disalahkan

Planet saya tidak mengenal salah—
karena kami punya mekanisme revisi sejarah.
Kami tidak berdosa—
karena selalu ada staf yang bisa disalahkan.
Kami tidak takut karma—
karena kami sudah jadi sistem itu sendiri.

Setiap kali rakyat menyindir lewat puisi,
kami datangi sekolahnya.
Setiap kali kartunis menggambar kami mirip tikus,
kami tuduh itu binatangisasi lembaga.

Kami ingin negeri ini bebas:
bebas dari kritik, bebas dari satire,
bebas dari analisis,
bebas dari rakyat berpikir.

Kami ingin generasi yang patuh,
yang lebih tahu siapa ketua komisi
daripada siapa pendiri republik.

Kami ingin rakyat seperti layar kosong,
yang bisa kami isi dengan poster, jargon, dan stiker biodata.


Bagian VI: Pidato Kemenangan Sang Pahlawan

Saya berdiri di mimbar, dikelilingi kamera.
Saya bilang: “Saya akan dengarkan aspirasi rakyat.”
Lalu saya balik badan, dan tanya ke ajudan:
“Mana polling terakhir? Posisi kita aman?”

Saya senyum di TV,
tapi di ruang tertutup saya ketik revisi UU.

Saya tampilkan infografis kinerja fiktif,
karena rakyat lebih suka gambar daripada angka.
Saya sponsorin lomba konten positif,
asal jangan tentang proyek gagal yang saya tandatangani.


Bagian VII: Kritik Terakhir Sebelum Saya Panggil Pasal

Rakyat, oh rakyat…
Kenapa sih kalian makin susah dikibuli?
Dulu cukup bilang “ini demi pembangunan”,
sekarang kalian tanya “siapa yang bangun dan siapa yang diusir?”

Dulu cukup kasih beasiswa seremonial,
sekarang kalian buka draf kebijakan.

Dulu cukup satu press release,
sekarang kalian minta pertanggungjawaban.

Kalian pikir ini republik?
Ini reality show yang saya produseri!


Bagian VIII: Pertemuan Terakhir Saya dengan Akal Sehat

Suatu hari, saya bertemu Akal Sehat.
Dia bilang: “Turunlah, rakyat sudah lelah.”
Saya tertawa: “Lelah? Mereka masih antre bansos kok.”
Dia lanjut: “Negara butuh kejujuran.”
Saya tertawa lebih keras: “Kejujuran tidak dapat suara.”

Dia menatap saya dengan iba,
seperti menatap rumah yang sudah retak
tapi pemiliknya masih sibuk cat ulang dinding luar.

Saya usir dia dari ruang rapat,
karena dia tidak punya tanda pengenal dan tidak bisa dibeli.


Penutup: Surat Terakhir dari Superhero Anti-Kritik

Kalau kelak saya tumbang,
bukan karena oposisi, bukan karena pasal,
tapi karena kalian mulai bicara satu sama lain.
Bukan dengan kemarahan,
tapi dengan tawa—tawa sinis yang merobek kesucian palsu saya.

Kalian tidak perlu membunuh saya,
cukup berhenti takut pada saya.

Karena saya, superhero anti-kritik dari Planet DPR,
hanya kuat karena kalian diam,
dan takluk saat kalian mulai menulis, tertawa,
dan menertawakan saya bersama-sama.


Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.