Kami Bangga Jadi Rakyat yang Dipakai Saat Pemilu



 Judul: "Negara Kami Tercinta, Tempat Rakyat Dijual Murah Saat Diskon Demokrasi"

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Kami bangga dipanggil rakyat,
asalkan hanya saat kotak suara dibuka,
dan dilupakan saat APBN dibagikan.”


Pengantar
Kami ini rakyat, benalu terhormat yang tumbuh di dinding janji.
Bukan ingin memberontak—hanya ingin tertawa di tengah bencana berpakaian demokrasi.



1. Mantra Musiman

Kami bangga jadi rakyat,
yang hanya diingat saat langit mendung penuh baliho janji,
dan jalan desa diperbaiki pakai senyum palsu.
Ketika semua mendadak rajin salam tiga jari,
sambil membungkuk, walau bukan karena rendah hati
—melainkan strategi marketing hati.

Di musim pemilu, kami raja,
tapi hanya di spanduk—di realita, tetap kuli harapan.
Oh betapa indahnya demokrasi—
yang bisa dibeli murah,
cukup dengan mie instan dan kaus partai kedodoran.

2. Orasi dari Panggung Plastik

Kami bangga,
karena kami diajak pesta, walau cuma tamu selimut malam.
Di atas podium, orator bersajak:
“Rakyat adalah prioritas!”
Lalu setelah menang?
Rakyat adalah prioritas untuk dilupakan.

Kami bangga…
jadi data statistik, bukan manusia,
jadi angka survei, bukan suara,
jadi objek kampanye, bukan subjek negara.

3. Monolog Seekor Rakyat

Maaf, Pak!
Saya ini cuma rakyat kecil—bukan karena fisik,
tapi karena dilihat kecil, dihitung kecil, disuruh diam.
Tapi suaraku besar saat engkau butuh jabat tangan kekuasaan.
Luar biasa!
Aku yang dulu dianggap beban APBN,
tiba-tiba jadi penentu masa depan bangsa!
Ironis, ya?
Tapi ya begitulah… Negeri kami menyukai ironi sebagai gaya hidup.

4. Parodi Kotak Suara

Kotak suara bukan sekadar tempat surat cinta rakyat,
tapi juga kuburan harapan yang dikubur pakai tinta biru.
Ceklik…
Satu suara lepas,
terbang ke langit kekuasaan,
dan kembali sebagai pajak, bansos basi, atau kenaikan BBM.

Kami bangga…
karena memilih calon pemimpin seperti memilih jajanan warung—
asal murah, banyak bonus, dan bisa ngutang janji.
Esoknya sakit perut? Itu risiko demokrasi lokal.

5. Festival Rakyat Digunakan

Pemilu?
Ah, itu bukan pemilihan umum,
itu festival rakyat dipakai massal.
Kami ini influencer dadakan,
promotor tanpa fee,
konten kreator baliho.
Selamat datang di negeri penuh yel-yel,
yang lebih ramai dari logika.

6. Dialog Dalam Diri

Apa artinya suara,
jika hanya diminta saat pesta datang?
Apa gunanya bendera,
jika berkibar cuma tiap lima tahun sekali?

Mereka bilang aku penentu arah bangsa,
padahal jalan desaku tetap berlubang,
dan rumah sakit masih antre dengan bau alkohol murahan.

7. Metafora Demokrasi

Demokrasi itu ibarat sate keliling:
banyak tusuknya, sedikit dagingnya.
Kami kenyang asapnya,
kalian kenyang dagingnya.

Pemimpin itu seperti kopi sachet:
manis di awal, pahit di tenggorokan.
Dan kami ini air panas—
dipakai, lalu dibuang ke wastafel setelah hasilnya terekstraksi.

8. Paragraf Untuk Janji

Dulu janji itu ditulis pakai pena emas,
sekarang cukup di status WhatsApp.
Dulu pidato penuh harap,
kini cukup kirim sticker "Insya Allah" dan emot tepuk tangan.
Kami pun berdoa:
"Ya Tuhan, jadikanlah para caleg ini seperti hujan—
datang hanya sesekali, dan tidak menetap terlalu lama."

9. Sarkasme Keluarga Pemilu

Ayahku bilang:
“Nak, jangan percaya iklan politik—mereka lebih licin dari sabun mandi.”
Ibuku berbisik:
“Pilih yang kasih sembako dua kali lipat.”
Nenekku tertawa:
“Dulu zaman Belanda, kami dijajah. Sekarang dijanjikan.”

Dan aku?
Aku ketik status:
“Demokrasi itu indah, jika kau tak terlalu berharap.”

10. Hiperbola Harapan

Kami ini lumbung suara,
yang dipanen tanpa diberi pupuk keadilan.
Kami ini matahari palsu,
yang bersinar hanya saat didekati kamera wartawan.

Lihat kami, wahai para penguasa pesta!
Kami bangga…
sebab kami tetap rela ikut antre,
meski tahu surat suara kami cuma jadi tiket VIP kalian ke istana tipu daya.

11. Personifikasi Duka

Negara kami menangis pelan,
di tengah tepuk tangan hasil quick count.
Keadilan tidur nyenyak,
berpelukan dengan amplop coklat.
Dan hukum duduk manis,
di meja makan elite partai.

Kami bangga…
jadi rakyat yang setia, walau selalu dikhianati.
Cinta kami pada republik ini buta,
tuli, dan kadang terlalu bebal untuk sadar bahwa ini cinta sepihak.

12. Ikrar Terakhir

Kami tidak marah, kami hanya lelah.
Kami tidak protes, kami hanya bosan.
Kami tidak kecewa, kami hanya realistis.
Bahwa pemilu bukan panggung keadilan,
tapi sirkus kekuasaan.

Dan kami, badut-badut lucu…
yang terus tertawa,
agar tidak menangis lagi.


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah cermin retak yang memantulkan wajah rakyat dalam pesta demokrasi yang sering kali lebih mirip sandiwara berbiaya mahal.
Sindiran ini bukan hanya untuk politisi, tetapi juga untuk kita—yang terlalu cepat melupakan, terlalu gampang tergoda janji, dan terlalu sering memilih berdasarkan perut, bukan prinsip.
Pesannya sederhana namun tajam: Jangan biarkan lima menit di bilik suara menghancurkan lima tahun masa depan bangsa.
Dan jika kita bangga jadi rakyat, maka saatnya bangga pula berkata "tidak" pada tipu daya yang dibungkus senyuman palsu.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


🔥 Judul: "Pemilu adalah Festival Bodoh Nasional, Tiketnya Cuma Sebungkus Mie & Tampang Tersenyum"
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)




“Negeri ini bukan kekurangan pemimpin,
tapi terlalu banyak badut yang bisa pidato.”


Pengantar
Saat demokrasi berubah jadi lelucon massal,
rakyat pun tertawa... sambil digoreng di wajan janji-janji basi.



1. Upacara Pembodohan Nasional

Selamat datang di Indonesia Raya Pemilu,
di mana kecerdasan libur panjang dan kepolosan dijadikan mata uang.
Lihat!
Mereka datang seperti malaikat berkampanye,
padahal sayapnya dari kertas partai,
dan niatnya?
Lebih licin dari jalan tol pas hujan pertama.

Kami bangga jadi rakyat,
duduk manis di kursi plastik saat orasi dimulai.
“Rakyat nomor satu!” kata mereka.
Padahal maksudnya:
Rakyat nomor satu untuk dimanfaatkan.
Nomor dua?
ATM berjalan.

2. Karnaval Seribu Janji

Setiap lima tahun, jalanan mendadak jadi runway janji,
lengkap dengan tarian baliho,
musik dangdut kampanye,
dan tenda gratis nasi bungkus basi.

Calon wakil rakyat datang,
berpakaian seperti kerabat nabi:
berpeci putih, senyum putih, tapi niatnya gelap.
Mereka datang memeluk bayi,
padahal dulu waktu pandemi,
liat rakyat sakit pun mereka tutup jendela mobil.

Kami bangga,
karena kami tahu:
ini bukan pemilu, ini ajang cosplay kejujuran.
Dan kami semua ikut menari,
dengan dompet bolong dan harapan tambal sulam.

3. Parodi Sumpah Rakyat

Kami bersumpah,
untuk tetap miskin dengan bermartabat,
asal diberi kaus baru dan spanduk untuk dijadikan taplak.

Kami bersumpah,
untuk tidak bertanya,
asal diberi amplop tebal dan selfie satu kali.

Kami bersumpah,
untuk memilih orang yang sama bodohnya dengan pilihan sebelumnya,
karena katanya "yang penting bukan si itu!"
Padahal dua-duanya beda kulit, sama isinya.

4. Monolog Tukang Parkir Demokrasi

Saya cuma tukang parkir, Bang,
tapi saya tahu, suara saya berharga…
sebentar doang.

Abis itu?
Saya balik lagi dipalak sama hansip,
dan dipanggil "pengganggu estetika kota."

Tapi waktu pemilu?
Saya dipanggil "pahlawan demokrasi."
Lucu, ya?
Katanya saya pahlawan,
tapi duit saya tetap habis buat bayar BPJS yang nggak jelas rutenya.

5. Dialog Hebat di Warung Kopi

“Bang, lu pilih siapa nanti?”
“Yang paling banyak kasih sembako, lah!”
“Tapi dia koruptor.”
“Ya, biarin. Yang penting dia korupsi setelah saya kenyang.”

Itu bukan kebodohan, kawan.
Itu survival mode.
Di negeri yang janji politik lebih banyak dari jumlah gigi palsu DPR,
rakyat belajar:
“Kalau gak bisa dapat perubahan, minimal dapat beras.”

6. Ilmu Hitam Pemilu

Politik di sini ilmu hitam berlabel halal.
Ada dukun elektabilitas,
pakai mantra: survei, buzzer, dan gimmick keluarga bahagia.

Ada calon yang tadinya penipu koperasi,
jadi calon bupati yang katanya "berjiwa sosial."
Bajunya saja berubah,
dari batik palsu ke jas kebesaran.
Tapi mulutnya tetap:
asal bunyi asal menang.

Kami bangga…
karena kami belajar tertawa saat kenyataan menyodok gigi depan.
Paling tidak, ketawa bisa jadi pelarian dari logika yang tertabrak truk muatan janji.

7. Pidato Kampanye: Versi Teater

Coba dengarkan pidato mereka:
“Rakyat tidak boleh lapar!” katanya.
Padahal yang kenyang duluan, ya dia dan keluarga—
dari proyek jembatan yang ambruk sebelum dipakai.

“Pendidikan gratis!” katanya.
Tapi anaknya sekolah di luar negeri,
sementara anak kita rebutan bangku SD pakai sistem zonasi yang lebih ribet dari daftar umrah.

“Bersama rakyat membangun negeri!” katanya.
Tapi rakyatnya disuruh gotong royong bangun kantor lurah
—sementara dia foto selfie pegang sekop bersih, tanpa debu.

8. Personifikasi Janji dan Bohong

Janji itu makhluk gaib di negeri ini.
Datang pas mau dipilih,
menghilang pas APBD turun.
Bohong pun punya rumah dinas,
dan tinggal bersama integritas yang kini jadi penunggu museum.

Kami bangga jadi rakyat,
karena sudah hafal semua lagu kampanye.
Versi pop, dangdut, bahkan remix TikTok.
Tapi lagu hidup kami tetap sama:
“Bangun pagi, antre bantuan, tidur lapar.”

9. Sindiran untuk Caleg Abadi

Caleg itu seperti bekas pacar:
datang saat butuh,
ngilang saat kenyang.
Mereka berjanji bikin perubahan,
padahal perubahan yang mereka maksud adalah:
rumah makin besar, rakyat makin ngutang.

Dan tiap kali gagal?
Mereka nyalon lagi.
Katanya, “Saya masih punya visi.”
Yang sebenarnya:
“Saya masih ngincar fee.”

10. Tawa Terakhir Kami

Tertawalah, kawan.
Tertawalah saat mereka datang mencium bayi,
padahal tangan mereka bau proyek gagal.
Tertawalah saat mereka janji buka lapangan kerja,
padahal yang mereka buka cuma lowongan buat saudara sendiri.

Tertawalah…
karena kalau tidak, kita akan menangis.
Menangis karena jadi rakyat,
yang dipanggil “saudara sebangsa dan setanah air,”
tapi hidupnya di atas tanah yang dijual ke investor asing.


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah tawa pahit yang disajikan dalam cangkir satire.
Sindiran ini menyasar para elite yang mengira rakyat bisa dibeli murah,
dan rakyat yang mengira demokrasi itu warung sembako lima tahunan.

Pesannya sederhana tapi dalam:
Jika kamu hanya digunakan saat pemilu,
maka kamu bukan rakyat—kamu adalah alat.
Tertawa boleh,
tapi jangan sampai lupa… bahwa suara bukan dagangan.
Kalau demokrasi ini festival,
setidaknya jangan sampai kita cuma jadi penonton yang disuruh bayar tiket.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.