Puisi Satir Monolog
📛 Judul:
"Demokrasi, Maaf... Parkir Dulu, Bayar Belakangan (Kalau Bisa)"
📜 Pengantar Pendek
“Katanya suara rakyat suara Tuhan, tapi belakangan Tuhan pun dicegat preman parkir.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🗣️ Monolog Satir: Ketika Demokrasi Minta Uang Parkir
Selamat datang di negara
di mana suara rakyat parkir paralel
dan parlemen jadi tukang karcis
pakai rompi oranye, senyum sinis
sambil tanya:
“Sudah bayar belum, bos?”
Ah, demokrasi...
kuduga kau dulunya malaikat,
tapi sekarang kau juru parkir di depan istana
berteriak-teriak minta receh,
dengan peluit yang nyaring tapi
tak pernah nyaringkan keadilan.
Kau dulu dipuja, sekarang dipajak
setiap mimpi dijaga Satpol retorika
yang menulis harapan di spanduk
tapi ngelap keringat dengan kertas suara.
Demokrasi, kau kini minta tips!
sebelum kuceploskan pendapat,
kau sodorkan kotak amal janji palsu
berstiker: "untuk kemaslahatan umum—dan beberapa elite."
“Silakan parkir idealismemu di sini, Bang.”
ujar penjaga logika
yang digaji oleh sponsor debat
dan alumni orasi kampus
yang kini jadi makelar opini publik.
Aku bicara pada mikrofon,
tapi yang menjawab malah invoice!
Ternyata berpendapat pun berbayar
dan tagihannya bukan berupa kebenaran
melainkan paket legislatif plus PPN harapan.
Katanya, "pilihlah pemimpin hatimu,"
tapi hatiku tak lulus verifikasi KPU
karena tak cukup saldo,
tak ada foto bareng jenderal,
dan belum pernah viral.
Tuan Demokrasi,
aku coba menyetir hak suaraku
tapi jalan menuju perubahan ditutup
karena ada acara internal partai.
Aku parkirkan kesabaran
di pinggir jalan harapan nasional
dan datanglah petugas berseragam wacana
menulis surat tilang bernama:
“Gagal Memahami Sistem.”
Wahai Demokrasi,
kau dulu seperti ojek moral,
tulus, cepat, mengantar rakyat ke tujuan
tapi kini kau lebih mirip taksi gelap
ber-plat kosong dan tarif fleksibel
tergantung siapa penumpang,
dan berapa yang ditawar.
Lihat!
kampanye berubah jadi kabaret
panggung sandiwara penuh janji jumbo
yang dijual obral saat pemilu,
dan didiskon jadi ilusi pasca dilantik.
Seorang anak bertanya:
“Apa itu demokrasi, Ayah?”
dan sang ayah menjawab:
“Itu... sistem di mana kau bebas memilih siapa yang akan melupakanmu setelah menang.”
Kini rakyat harus antre untuk berteriak,
dan ada barcode e-vote
yang tak bisa discan tanpa sumbangan
atau kode referral dari tokoh agama.
Demokrasi,
kau dulu punya mimpi
sekarang kau punya SPK
Surat Perintah Kecurangan.
Kau punya manifesto,
tapi dibaca hanya saat mau dilantik
lalu dibungkus lagi
pakai nasi kotak pertemuan fraksi.
Kau tahu apa paradoksnya, Demokrasi?
kau lahir untuk melawan tirani
tapi kini kau dipegang
oleh mereka yang pernah ditolak akal sehat
tapi lulus karena dapat endorse partai.
Kini demokrasi bukan soal siapa benar,
tapi siapa yang bisa bayar bendera
lebih banyak, lebih besar,
lebih tinggi dari logika.
Di negeri ini,
kursi kekuasaan tak dipilih,
tapi dilelang.
Dan pemilihnya?
Mereka yang paling tebal relasinya
bukan argumennya.
Jangan-jangan,
kita bukan sedang hidup dalam demokrasi
tapi dalam ‘demokarsis’—
yakni demokrasi yang harus bayar karcis
untuk sekadar duduk di tepi keadilan.
Dan lihat,
ketika rakyat protes,
demokrasi menjawab:
"Sabar, sedang macet di lobi-lobi anggaran."
Inilah republik tempat suara nurani
disensor oleh saldo rekening
dan moralitas pun tunduk
pada aturan cashflow.
Ketika hak jawab disunat,
dan diskusi dibatasi oleh durasi iklan,
apa bedanya demokrasi dengan sinetron?
Yang beda cuma:
di sinetron masih ada skenario.
Di sini?
Skenarionya sudah dibeli sebelum syuting.
Wahai Demokrasi,
kau mengajarkanku untuk bicara
tapi menagihku dengan pajak keberanian
dan jika aku terlalu keras
peluitmu berubah jadi peluru karet
dan aku jadi headline tanpa peliputan.
Katanya:
"Setiap suara penting."
Tapi mikrofonmu cuma aktif
kalau disambungkan ke amplifier kekuasaan.
Aku pernah percaya,
bahwa kita semua punya bagian
dalam membangun bangsa
tapi kini aku sadar,
bangunan itu punya lift khusus untuk elite
dan tangga rusak untuk rakyat.
Dan saat aku tanya:
“Kenapa semua harus bayar?”
Demokrasi menjawab sambil ngunyah amplop:
“Karena idealisme nggak bisa beli billboard.”
📌 Refleksi Penutup
Puisi ini adalah jeritan dari ruang tunggu demokrasi yang terlalu ramai oleh calo kekuasaan dan makelar suara. Sindiran ini menyasar mereka yang mengkavling demokrasi menjadi pasar bebas hasrat pribadi, dari para politisi yang berubah jadi sales, hingga rakyat yang dicekoki janji tapi disuruh bayar lunas. Pesannya jelas: demokrasi yang sehat tak boleh diseret jadi bisnis parkir. Ia seharusnya mengangkut nurani, bukan menarik karcis dari suara sunyi.
"NEGARA BERDEKAR: Demokrasi Kini Jadi Juru Parkir Stadion Omong-Kosong"
📜 Pengantar Pendek
"Kau kira demokrasi itu suci? Tidak, kawan. Ia kini merokok di pos parkir, sambil ngitung recehan dari janji-janji basi."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Halo rakyat,
aku Demokrasi.
Tapi hari ini, tolong panggil aku
Pak Karcis.
Aku tidak lagi duduk di tahta aspirasi,
melainkan berdiri bengkok
di bawah terpal payung partai,
berteriak pada idealismemu:
“5000! Untuk sekali parkir pendapat!”
Jangan sok polos!
Bukankah kalian sudah terbiasa
membayar kejujuran dengan utang budi?
Menukar suara dengan sembako
dan memilih pemimpin seperti milih token listrik:
asal nyala, tak peduli dari mana colokannya.
Aku dulu petarung,
sekarang penagih hutang ideologi.
Dulu menginspirasi revolusi,
kini menginspirasi diskon campaign.
Aku pernah jadi jalan,
sekarang aku jadi portal.
Yang lewat harus bayar,
atau dipentung
oleh preman berseragam konstitusi.
Lihatlah!
para wakilmu itu
berbaris di gedung gemerlap,
membagi jatah seperti bagi gorengan,
tapi yang dibagi bukan keringatmu—
melainkan akses, jabatan, dan kuasa.
Pemilu?
Itu bukan pesta rakyat.
Itu festival waralaba dusta.
Tiap lima tahun kita disuguhi brosur
berisi foto editan tokoh
yang wajah aslinya tak akan kau temui
sampai lima tahun berikutnya—
jika kau masih hidup,
atau belum pindah agama ke Apatisme.
Di kota ini,
demokrasi hidup dari ongkos wacana,
dan mimpi rakyat dicetak dalam kuitansi.
Saking rusaknya sistem,
bahkan cctv etika pun sudah digadaikan
ke tukang stempel lobi.
Mau demo?
Silakan.
Asal bayar izin,
beli air mineral,
dan siap mental
karena polisi akan menyemprotkan aqua batangan
beraroma bubar.
Rakyat kini bukan penentu.
Rakyat adalah penonton
di tribun stadion wacana,
yang tiketnya sudah di-markup
oleh calo konstituen,
dan disensor oleh sponsor utama:
Korporasi dan Koneksi.
“Suara rakyat suara Tuhan,” katanya.
Tapi Tuhan pun kini harus antre
di loket panitia pemilu,
karena mau menyampaikan doa
saja butuh barcode saksi partai.
Kalau kau tanya kenapa suaramu tak terdengar,
itu karena mikrofon sudah dicabut,
diganti toa digital
yang hanya memutar remix janji kampanye
dengan beat EDM—
Egoisme, Dinasti, Manipulasi.
Coba tengok ruang sidang,
tempat undang-undang dibacakan seperti mantra belanja.
Kata ‘kepentingan umum’ dipakai seperti celana dalam
yang bisa dibalik,
dicuci ulang,
dan tetap dipakai untuk menutupi aib.
Dan aku?
Aku kini mengenakan seragam bertuliskan:
“PETUGAS HATI-HATI!”
Bukan lagi petugas hati nurani.
Tugas baruku adalah memastikan
tak satu pun suara kritis lolos tanpa karcis.
Jangan heran jika nanti,
di masa depan,
hak memilihmu dipaketkan dengan voucher ojek,
dan hak bersuaramu diatur
oleh algoritma endorse politisi TikTok.
Negara ini bukan lagi republik,
tapi start-up kekuasaan.
CEO-nya duduk di sofa DPR,
CMO-nya adalah buzzer bersertifikat,
dan kita semua…
ya kita, para shareholder naif
yang tak pernah ikut RUPS.
Apakah kau pikir hukum masih tegak?
Tidak, ia sudah ngopi bersama pengacara partai,
membahas pasal yang bisa dilenturkan
seperti karet sandal jepit di musim hujan.
Ah, Demokrasi…
dulu kau panggilku sahabat.
Kini kau bilang aku ‘netizen ribut’.
Dulu aku rakyat.
Kini aku rating.
Jangan-jangan,
satu-satunya yang masih gratis di negeri ini
adalah
kekecewaan.
Ketika kau bertanya,
“Kenapa negaraku begini?”
jawabannya sederhana:
Karena sistem parkir lebih rapi daripada sistem pemerintahan.
Ya, parkir.
Paling tidak, tukang parkir jujur bilang,
“Bang, 5000 ya.”
Sementara politisi bilang,
“Saya tidak akan korup!”
tapi ternyata 5M itu baru uang muka.
Dan ketika aku menolak membayar karcis demokrasi,
aku diseret ke pos hansip opini publik,
dihakimi karena tak nasionalis,
karena tidak mencium tangan
mereka yang dulunya pernah mencuri masa depan.
Kini,
rakyat bukan sekadar dibiarkan bodoh—
tapi dididik untuk bangga dalam kebodohan.
Wahai Tuan Demokrasi,
kau kini tak lebih dari penyiar karaoke retorika,
berputar dari panggung ke panggung
membawakan lagu-lagu lawas:
“Wakilmu, Suaramu, Nasibmu.”
tapi tak satu pun liriknya kau pahami.
Kini, bahkan kebohongan pun punya SOP.
Dan kejujuran?
Masih di tahap uji klinis.
Kita hidup di negeri
di mana konstitusi dipakai untuk bungkus gorengan,
dan keadilan dibeli per kilo
dengan label:
“Segar, tapi hanya untuk elite.”
Dan aku?
Aku hanya ingin satu hal:
parkirkan tubuhku di tanah yang jujur
di mana suara tak perlu bayar tol
untuk didengar.
Tapi nampaknya,
itu hanya bisa kutemukan
di negeri fiktif bernama Pasal Satu Ayat Suci.
📌 Refleksi Penutup
Puisi ini adalah bentuk muntahan frustrasi dari rakyat yang terlalu sering diminta diam sambil disuruh bayar. Ia menyasar elit politik, makelar demokrasi, dan rakyat yang ikut bersorak untuk sistem yang menipunya saban tahun. Pesannya? Demokrasi tidak seharusnya menjadi pos parkir untuk suara—ia harus kembali menjadi jalan raya luas tempat rakyat bisa melintas tanpa ditodong ongkos janji.
Dengan memanfaatkan AI bisa membantu dalam pekerjaan saya menyusun soal materi pembelajarn untuk murid di sekolah saya
ReplyDelete