Dompetku Bersumpah Setia

  


Dompetku Bersumpah Setia (Tapi Cintanya ke Tuan Lain)

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

“Aku mencintaimu,” kata dompetku setiap tanggal muda.
Tapi ia selingkuh dengan tagihan listrik, utang cicilan, dan promosi diskon gila.


Pengantar

Ah, dompetku. Ia berkata tak akan pernah pergi. Tapi tiap aku buka mulut, ia minta isi.
Aku sang pemilik, tapi ia yang selalu minta dikasihani.


Puisi Satir: Dompetku Bersumpah Setia (Tapi Cintanya ke Tuan Lain)

Dompetku, oh dompetku,
makhluk kulit imitasi yang pura-pura loyal itu.
Kau bersumpah tak akan meninggalkanku,
tapi setiap aku membuka resletingmu,
angin saja yang menyambutku dengan pelukan beku.

Katamu: “Aku setia.”
Tapi setiap uang mampir, kau kabur lebih cepat dari janji pejabat saat kampanye.

Aku menengok ke dalammu,
ada kwitansi penuh nostalgia—
kopi tanggal 5, gorengan tanggal 7,
dan parfum diskon 80% yang katanya limited edition
tapi justru bikin bau bangkrut permanen.

Dompetku pintar berdiplomasi:
“Aku ini bukan kosong, hanya sedang bermeditasi.”
Ia seperti wakil rakyat: tampak elegan di luar,
tapi isinya janji, bon utang, dan kartu diskon kedaluwarsa.

KTP-ku pun malu tinggal bersamamu,
ia sering berbisik ke SIM:
“Haruskah kita pindah ke e-wallet saja?”

Oh dompetku yang sok setia,
kau tempat transit, bukan tempat tinggal.
Uang hanya mampir padamu untuk sekadar transit sebentar,
seperti pacar yang datang bawa bunga,
tapi pulang bawa nota kredit pinjaman.

Kadang aku dengar bisik-bisikmu di malam hari:
“Seandainya aku milik CEO startup yang gagal tapi dapat investor,
pasti aku jadi lebih berisi dan estetis.”

Sial, bahkan dompetku punya mimpi lebih besar dariku.

Dia cemburu pada rekening bank digital
yang punya cashback dan bunga harian,
sementara ia cuma punya kantong sobek dan sisa aroma recehan.

Dompetku, si drama queen.
Tiap kali kubuka di depan umum,
ia bersikap seperti diva pensiunan:
banyak lapisan, penuh rahasia, dan selalu menolak terbuka penuh.

Kartu BPJS duduk berdampingan dengan kartu tol
yang saldonya tinggal serpihan doa.
Foto mantan pun masih ada,
bukan karena aku rindu,
tapi karena dompet ini menolak move on.

“Kau pelit!” katanya padaku.
Padahal tiap bulan aku isi dengan harapan,
dan ia balas dengan pengkhianatan:
bayar listrik, pulsa, dan sedekah impulsif di kasir minimarket.

Ia ikut seminar finansial bersamaku,
tapi lebih tertarik pada sesi coffee break dan goodie bag.

Ia tahu cara kerja inflasi,
tapi tetap jatuh cinta pada diskon akhir bulan
yang katanya "hemat", padahal jebakan psikologis berjubah warna merah.

Dompetku pintar berakting,
di hadapan orang tua: jadi konservatif.
Di hadapan teman nongkrong: jadi royal.
Di hadapan diri sendiri: jadi korban.

Kadang aku memeluknya di malam sunyi,
dan berkata lirih,
“Maaf aku belum bisa membahagiakanmu.”
Tapi ia malah menjawab,
“Tenang, aku sudah terbiasa dibuang.”

Setiap aku berniat menabung,
dompetku langsung demam tiga hari tiga malam.
Ia alergi pada stabilitas,
dan mengidap sindrom: belanja dulu, mikir nanti.

Dompetku punya dua wajah:
di depan kasir: sok pahlawan.
di rumah: penuh trauma pengeluaran.

Ia mencintai promo cicilan nol persen
lebih dari komitmen nol drama dalam hidup.

“Dompetku bersumpah setia,”
katanya waktu upacara gajian.
Tapi beberapa menit kemudian,
ia melirik dompet online sebelah
yang lebih ramping, ringan, dan bersaldo penuh.

Dompetku kini tua,
berkerut karena dicubit berkali-kali,
menggelembung karena kartu-kartu tak berguna,
dan kempes karena uang hanya numpang lewat.

Tiap aku bawa dia ke ATM,
ia deg-degan, berharap sesuatu masuk,
tapi malah hanya melihat saldo trauma dan potongan admin.

Kadang aku ingin memberontak:
ganti dompet baru,
yang warnanya mewah, bentuknya tipis,
yang bisa bicara: “Tenang, aku siap menerima semua gajimu.”

Tapi aku tahu,
sebanyak apapun aku ganti kulit,
jika jiwa pengelolaanku tetap kacau,
dompet hanyalah korban dari hasrat yang tak pernah belajar menunda.


Refleksi Akhir

Sindiran ini untuk siapa? Untuk kita semua—para pahlawan dompet kempes yang setiap bulan berharap dompet menjadi rumah yang setia, bukan hotel semalam.
“Dompetku bersumpah setia” adalah ironi yang mencubit: ketika benda mati kita beri nyawa untuk disalahkan, padahal pengelolaan dan keputusan belanja ada di tangan kita sendiri.

Pesannya?
Uang tidak pernah kabur sendiri, ia hanya berjalan ke arah yang kita tuju.
Dompet tidak pernah berkhianat, kita saja yang sering menyuruhnya ikut ke medan perang impulsif tanpa senjata kesadaran.


Dompetku: Nabi Palsu Berkhotbah Tentang Kesetiaan

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

“Aku tak akan meninggalkanmu,” bisik dompet saat gajian pertama.
Tapi ia selalu tergelincir ke pelukan e-commerce di malam Jumat.


Pengantar

Dalam dunia yang digenggam oleh cicilan dan diskon,
dompet bukan lagi tempat menyimpan uang,
melainkan kuburan janji-janji keuangan.


Puisi Satir: Dompetku: Nabi Palsu Berkhotbah Tentang Kesetiaan

Dompetku adalah pendusta suci.
Ia tampil lusuh seperti rahib,
tapi rakus seperti iblis dalam promo 11.11.

Ia berceramah tiap akhir bulan:
“Jangan takut, aku akan selalu ada.”
Namun detik aku berniat menabung,
ia langsung kerasukan setan diskon dan lari ke warung sebelah.

Pernah suatu malam, aku bertanya:
“Dompet, kenapa kau selalu kosong?”
Dia menjawab dengan mata berkaca:
“Karena aku telah menyerahkan segalanya… demi kebutuhan palsumu.”

Dompetku suka bicara soal cinta,
tapi ia pelacur untuk marketplace.
Setia katanya?
Ia lebih setia pada voucher gratis ongkir daripada padaku.

Di dalamnya ada kisah penuh luka:
Kartu ATM dengan saldo luka batin,
Karcis parkir dari tanggal entah,
Koin receh penuh debu—sisa perjuangan jajan tahu bulat.

Di saku transparan itu,
KTP tersenyum pahit,
seolah berkata: “Aku warga negara penuh utang.”

Dompetku bukan tempat uang,
ia museum kegagalan finansial pribadi.
Ia menolak diisi dengan bijak,
karena katanya, “Fungsi uang itu untuk dinikmati, bukan dipenjara.”

Dompetku tak takut Tuhan,
tapi ia takut ketinggalan flash sale.

Ia benci stabilitas,
menganggapnya musuh keseruan hidup.
Kalau bisa bicara, ia akan menyumpah:
“Hidup ini terlalu singkat untuk tidak beli barang yang tidak kau butuh!”

Kadang ia berakting seperti korban:
Mengeluh tentang nasibnya yang miskin,
padahal diam-diam ia selingkuh dengan kartu kredit.

Aku pernah mengajaknya ke seminar perencanaan keuangan,
ia malah kabur ke kafe seberang,
memejamkan mata sambil memesankan latte dan croissant pakai PayLater.

Setiap kali kupeluk dompetku,
aku bisa dengar detak jantung utangku.
Ia berdetak cepat tiap melihat diskon,
dan berdetak pelan tiap bicara sedekah.

Dompetku mengidap bipolar ekonomi:
Penuh gaya di awal bulan,
penuh doa di akhir bulan.

Bahkan amplop kondangan pun menolaknya,
karena tahu ia cuma bawa niat, bukan isi.

Ia punya enam kompartemen,
semuanya kosong,
kecuali satu yang berisi kartu member toko bangkrut dan kupon potong rambut yang sudah expired.

Dompetku, si pahlawan kesiangan,
muncul saat aku ingin pamer,
tapi menghilang saat aku butuh bayar.

Ia adalah kapitalis kecil berbaju sobek,
idealis yang mencintai gaya hidup ‘cicil dulu sadar belakangan’.

Kadang aku iri pada dompet orang lain:
Yang gemuk, berdaging, dan penuh tujuan.
Sementara dompetku…
kurus kering seperti naskah skripsi yang ditolak tiga kali.

Ia sering menasihatiku:
“Jangan takut belanja, uang bisa dicari.”
Tapi saat aku betulan cari uang,
ia tidur di kantong,
malas bangun dari mimpi utopis tentang cashback.

Dompetku, penulis naskah tragedi.
Setiap kali aku buka,
drama baru dimulai:
Episode 1: Gaji masuk.
Episode 2: Bayar utang.
Episode 3: Beli yang tidak perlu.
Episode 4: Nasi dan garam, hidup hemat.
Episode final: Doa menunggu gajian berikutnya.

Dompetku adalah monumen kebodohan finansial,
tapi ia tetap kuajak ke mana-mana,
karena siapa lagi temanku
yang mengerti kesedihan tagihan pulsa tengah malam?

Ia tidak bisa menyembuhkan luka,
tapi bisa membukakan luka baru—
setiap kali saldo tinggal tiga digit,
dan tanggal masih remaja.

Aku pernah iseng bertanya padanya:
“Apa cita-citamu, Dompet?”
Ia jawab:
“Aku ingin mati di tangan sultan, bukan kau yang tiap isi saldo pakai pinjaman.”

Sial. Bahkan dompetku ingin pindah majikan.

Setiap kali aku bicara soal menabung,
ia batuk-batuk seperti orang tua renta yang alergi hidup teratur.

Dompetku benci perencanaan,
tapi cinta pengeluaran.
Ia menganggap spreadsheet keuangan itu mitos,
dan saldo ideal itu dongeng dari negeri unicorn.

Ia bahkan pernah ikut challenge 30 hari menabung.
Hari pertama ia bilang: “Oke, ayo!”
Hari kedua: “Besok ya.”
Hari ketiga: transaksi berhasil Rp 150.000.

Dompetku punya banyak pintu,
tapi tidak pernah jadi rumah untuk uang.
Uang datang,
masuk sebentar,
terus kabur tanpa pamit.


Refleksi Akhir

Sindiran ini bukan sekadar pada dompet yang kosong, tapi pada tangan yang tak pernah belajar berhenti menukar esensi dengan ilusi.
Dompet hanyalah cermin: ia menampilkan isi kepala dan nafsu kita yang sesungguhnya.

Puisi ini menyentil kaum urban yang hidup dalam pusaran "beli dulu, pikir nanti",
menyindir gaya hidup plastik berbalut promosi dan FOMO.

Pesan moralnya?
Bila kita ingin dompet yang benar-benar setia,
maka kita yang harus setia dulu—pada kesadaran, perencanaan, dan pengendalian.


Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.