Aku Orator di Panggung Senyap: Ketika Mikrofon Dicabut, Tapi Lidah Tak Bisa Diam

 


📍Pengantar Pendek:

“Yang paling mematikan bukan sensor, tapi tepuk tangan palsu dari bangku kekuasaan.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🎭 PUISI SATIR: "Aku Bersuara, Tapi Mikrofon Mati"

I
Aku bersuara,
sekeras suara klakson truk yang tak pernah dibayar pajaknya.
Suara ini bukan bisikan mesra,
tapi gelegar perut lapar yang tak dapat ditukar subsidi.

Mikrofon mati.
Bukan karena listrik padam—
tapi karena kabelnya diselundupkan ke perut para pemilik panggung.

II
“Bicara yang baik-baik saja,” katanya.
Lalu dia menyumpal mulutku
dengan undang-undang yang ditulis pakai pensil,
tapi ditegakkan pakai palu godam.

Mereka bilang aku nyinyir.
Padahal aku cuma menyebut fakta yang tak bisa disunat.
Seperti gaji pejabat yang tumbuh subur
di tengah rakyat yang makan nasi beraroma utang.

III
Aku coba teriak lewat puisi,
tapi katanya itu ‘radikal terselubung dalam estetika’.
Aku coba bisikkan lewat lagu,
tapi katanya: “Liriknya tidak nasionalis.”

Aku tulis di status,
dibalas buzzer dengan puisi sarkas berbayar.
Katanya, “Kamu kurang bersyukur.”
Seolah bersyukur artinya membisu saat ditampar.

IV
Aku bersuara di TV,
tapi suaraku dicampur iklan mie instan
dan testimoni dari artis yang pernah salah sebut Pancasila.
Wajahku dimunculkan dalam kotak kecil,
sambil komentator bersuara serak membacakan skrip:
"Menurut pihak berwenang, semua baik-baik saja."

Ah, betapa damainya
negara yang penuh laporan damai palsu!
Di mana rakyat menangis dalam kolom komentar,
sementara wakilnya live dari kapal pesiar.

V
Aku bersuara—bukan demi viral,
tapi karena diamku dipalsukan jadi dukungan.
Mereka pakai wajahku di poster,
tapi lupa tanyakan izinku.

Aku pernah dipanggil 'provokator'.
Tapi siapa sebenarnya provokator?
Yang teriak lapar?
Atau yang senyum sambil telan anggaran banjir?

VI
Mikrofon mati.
Tapi jangan khawatir,
speaker para penguasa masih hidup
memutar lagu tema “Kemakmuran Semu”
dengan nada mayor dan backing vokal dari bank dunia.

Setiap kritik dianggap nyamuk,
makanya mereka pasang kelambu UU ITE.
Padahal yang menghisap darah bukan aku,
tapi si nyamuk berdasi yang selalu tidur di rapat.

VII
Aku pernah coba rapat warga.
Tapi digerebek karena katanya: “Berpotensi makar.”
Padahal kami cuma bahas harga telur dan jalan berlubang.

Coba bilang itu ke ibu-ibu yang cuci piring pakai air got,
atau bapak-bapak yang jadi tukang parkir liar
karena pabriknya pindah ke negeri yang lebih murah upahnya.

VIII
Aku orator dalam konser keheningan.
Di mana standing ovation diberikan
bukan untuk kejujuran,
tapi untuk akting kebijakan populis.

Dan saat kutanya, “Mengapa mikrofon mati?”
Jawabnya:
“Karena kamu tidak ikut akreditasi kebenaran versi pemerintah.”

IX
Mereka bilang:
“Kalau tak suka, pindah negara!”
Ironis. Negara ini aku bangun dengan pajakku
yang entah ke mana ujungnya.
Mungkin ke bibir manis influencer nasional
yang jadi duta damai tanpa pernah turun ke pasar.

X
Aku bersuara lewat mural,
tapi dindingnya dicat ulang oleh tangan gemetar,
takut kebenaran menular.

Aku bersuara lewat podcast,
tapi dituduh menyesatkan generasi muda
yang katanya lebih baik main TikTok
daripada baca sejarah.

XI
Aku tak butuh tepuk tangan.
Tepuk tangan kini seperti sensor baru.
Semakin kencang,
semakin mencurigakan.

Aku hanya ingin didengar,
bukan dikutip sepotong,
bukan dijadikan bahan analisis
oleh para ahli yang tak pernah makan nasi kucing.

XII
Mikrofon mati,
tapi lidahku hidup,
lebih hidup dari ruang dewan yang penuh kursi kosong.
Lebih hidup dari pidato 17 Agustus
yang diketik dengan gaya motivator tapi isi kosong melompong.

XIII
Jadi kuteriakkan ini,
bukan untuk mereka yang telinganya sudah ditutup saham dan saham:
Tapi untukmu—
yang masih bisa dengar jerit dari kolong jembatan,
dari lorong kelas bocor,
dari napas terakhir yang tertahan
di ruang IGD yang listriknya putus karena tunggakan.


📌 Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah suara untuk mereka yang tak punya panggung,
yang suaranya diredam oleh mikrofon yang sengaja dimatikan.
Sindiran ini menyasar mereka yang alergi kritik tapi doyan retorika.
Sebab dalam dunia di mana kejujuran dianggap subversif,
maka satire adalah satu-satunya alat bedah untuk membongkar absurditas.
Dan walau mikrofon mati,
jiwa ini masih bersuara—lebih nyaring dari apapun yang ingin dibungkam.



"Di Panggung Sunyi Aku Teriak: Tapi Mikrofon Sudah Dibekukan Jadi Patung Perunggu"

📍Pengantar Pendek:

“Kebebasan? Tentu boleh—asal isinya pujian, nadanya sopan, dan ditranskrip dulu ke Kementerian Senyum Palsu.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

 I

Aku bersuara—bukan berbisik seperti konspirasi dalam grup WA emak-emak.
Aku meledak,
seperti jerawat sistemik dari muka kekuasaan yang pura-pura bersih.

Tapi mikrofonku disulap jadi patung perunggu
dan diletakkan di museum demokrasi palsu,
dijaga oleh satpam berseragam "Netral Tapi Bisa Disewa".

II
Mereka bilang aku harus “bijak dalam bersuara.”
Padahal yang perlu dibijaki adalah isi dompet rakyat
yang tipis seperti kulit bibir pemimpin saat kampanye.

Aku dituduh menghina negara.
Padahal aku cuma baca tagihan listrik.
Itu saja sudah dianggap radikal,
karena katanya: rakyat bahagia tak butuh bukti.

III
Mikrofonku tak cuma mati—
ia digantung di bundaran HI,
dengan tulisan: “Contoh mikrofon pembangkang.”

Sementara suara pejabat mengalun lewat toa masjid,
toilet umum, dan iklan pulsa gratis.
Katanya: “Indonesia Maju!”
Tapi kaki petani masih tenggelam di lumpur subsidi palsu.

IV
Aku ingin bersuara seperti letusan meriam,
tapi mereka beri aku aturan yang menjebak
lebih rumit dari sandi WiFi DPR.

"Jangan kritik tanpa solusi!" katanya—
lalu saat kuberi solusi,
mereka jawab: "Kamu bukan ahli."
Lantas ahli mana?
Ahli tidur di sidang atau ahli meresmikan pabrik milik asing?

V
Aku lempar pertanyaan:
"Kenapa uang bansos dipotong?"
Jawabnya: "Itu bagian dari efisiensi spiritual."
Sial. Ternyata korupsi kini bertapa.

Aku bilang: "Pendidikan mahal!"
Mereka jawab: "Itu untuk meningkatkan kualitas."
Tapi kualitas apa?
Kualitas lemari arsip yang lebih banyak dari guru?

VI
Mikrofonku dimatikan oleh tangan-tangan
yang sudah biasa menyuap kebisingan.
Karena sunyi itu emas,
terutama jika emas itu diselundupkan lewat proyek fiktif.

Aku teriak: “Lapar!”
Tapi yang datang malah undangan webinar
tentang pentingnya bersyukur saat krisis.

VII
Lidahku kini tumbuh cabang,
satu untuk berkata jujur,
satu lagi untuk menjilat,
karena hanya lidah kedua yang bisa dapat akses media nasional.

Aku tanya: “Mana hak rakyat?”
Mereka tanya balik: “KTP-mu apa?”
Tiba-tiba demokrasi disensor oleh domisili dan NPWP.

VIII
Aku bukan lagi manusia,
aku monolog yang ditendang dari panggung,
karena panggung kini dimiliki oleh algoritma,
yang hanya menampilkan mereka yang fasih membacakan pujian.

Mereka katakan: “Kami mendengarmu!”
Tapi tangannya sibuk memencet tombol mute
dan matanya sibuk memfilter komentar netizen
yang dianggap terlalu ‘emosional’.

IX
Aku menulis opini.
Dihapus.
Aku buat mural.
Dicat ulang.
Aku pasang spanduk.
Dipotong.

Aku coba demo.
Langsung dibilang antek asing.
Padahal asing bagiku adalah kebijakan
yang tak pernah lewat kuping rakyat.

X
Tiap kali aku bicara,
sensor datang duluan,
lebih cepat dari paket kurir,
lebih tajam dari pisau bedah anggaran.

Bahkan suara hatiku kini
dianggap fitnah karena tidak menguntungkan citra.
Mereka ingin semua kritik berdandan,
pakai make-up natural,
berfoto selfie sebelum disampaikan.

XI
Aku belajar dari badut.
Karena ternyata badut kini lebih jujur
daripada pembicara resmi yang gemar melucu saat rakyat berduka.

Aku belajar dari sapi,
karena sapi disembelih dengan hormat,
sementara rakyat dipotong pelan-pelan lewat harga sembako.

XII
Mikrofon mati—
tapi pelantikan pejabat tetap tayang full HD.
Dan para pendukungnya tepuk tangan
pakai tangan yang kemarin digunakan memungut remah bansos.

Aku bersuara,
tapi negara ini sudah punya noise cancelling sendiri—
berbentuk program kerja lima tahun yang hanya bekerja dua minggu sebelum pemilu.

XIII
Mereka bilang:
"Kalau tak suka, buat partai sendiri!"
Padahal bikin KTP saja sekarang butuh akta loyalitas.
Partai?
Partai kini adalah arena rebutan kursi
bukan alat gerak rakyat.

Aku bersuara,
tapi ditanya dulu:
“Berapa followers kamu?”
Karena kebenaran kini ditimbang oleh jumlah likes,
bukan oleh isi kepala.

XIV
Aku menulis,
tapi tinta puisiku dibaca sebagai laporan intel.
Aku bernyanyi,
tapi laguku dicurigai kode sandi makar.
Aku diam,
dan diamku ditafsirkan sebagai dukungan penuh.

XV
Maka aku bersuara dengan cara lain:
Lewat jalan kaki,
lewat antrean panjang BPJS,
lewat anak-anak yang belajar pakai kertas koran.

Aku bersuara lewat napas kuli bangunan,
yang tiap kali batuk disangka batuk biasa—
padahal itu batuk dari debu mimpi yang gagal diwujudkan.

XVI
Dan ketika malam tiba,
aku berseru di bawah jendela kekuasaan:
"Ini negeri siapa?
Yang hanya bisa bicara jika suaranya dibungkus plastik sensor dan doa!"


📌 Refleksi Penutup:
Versi ini adalah teriakan yang sudah tak lagi bisa ditulis rapi.
Ia adalah satire yang tak menyembunyikan amarah,
karena terlalu banyak tawa palsu
yang menindih suara yang paling jujur.

Sindiran ini bukan hanya untuk penguasa,
tapi juga untuk kita yang mulai terbiasa dengan bisu.
Mikrofon boleh mati,
tapi kata-kata masih bisa jadi senjata—
asal tak kita kubur sendiri demi kenyamanan sesaat.

 

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.