📌 Pengantar Pendek:
"Kau bilang ingin ubah dunia? Tapi jempolmu tak pernah keluar dari layar. Revolusi kini bukan lagi berdarah – cukup pakai hashtag dan filter dramatis."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
📜 Puisi Satir: Revolusi Cuma di Instagram
Aku berdiri di tengah medan juang,
Dengan ring light menyala terang,
Lip tint merona dan caption membara,
"Justice for All" katanya, dari coffee shop Jakarta.
Keringat pejuang? Ah, itu terlalu sticky,
Lebih baik keringat boomerang di story,
Aku tag tiga temanku,
"Join the movement, tapi jangan lupakan aesthetic-nya dulu."
Dulu, revolusi bersenjatakan batu,
Kini, senjata utamanya adalah jempol dan fitur repost itu,
Darah? Ah, kami tak ingin kotor,
Cukup lihat feed penuh tragedi, lalu swipe untuk humor.
Pahlawan dulu menjeritkan nama bangsa,
Kami menjerit karena sinyal lemot saat live drama.
Petisi digital kami tabur seperti confetti,
Dengan harapan dunia berubah hanya dengan klik dan hati.
"Solidaritas tanpa keluar rumah!"
teriak influencer berambut cerah,
Sambil minum latte organik lokal
dan pose ala Che Guevara digital.
Kami ikut demo,
tapi hanya separuh badan—yang muat di frame,
Polisi mengacungkan pentungan,
Aku pun reflek: ambil angle, tambahkan filter dramatis,
"Perjuangan nyata 💪 #resistantrasaLuxe."
Bicara moral dari ranjang empuk,
Mengetik kritik dari iPhone mahal,
Scroll, klik, marah, tidur.
Besok? Ulangi. Dengan template baru yang lebih viral.
Kau tanya aku tentang revolusi?
Itu sesuatu yang kupost tiap Kamis pagi,
Diiringi quote Mandela dan emoji menangis,
Lalu kuabaikan DM minta donasi.
Jangan salah, aku peduli—sangat,
Asal tak mengganggu algoritma dan insight.
Aku peduli Palestina,
Tapi lebih peduli feed yang senada warnanya.
Aku pernah menangis melihat tragedi,
Sambil tetap mencocokkan tone feed-ku, tentu saja,
Karena penderitaan, sayang,
Harus cocok dengan grid Instagram yang cerah.
Apakah ini zaman kebangkitan?
Entahlah, aku terlalu sibuk buka polling.
"Mau aku bahas topik apa minggu ini?"
Pilihannya: Rasisme, Kemiskinan, atau Body Positivity?
(semua akan di-wrap dengan filter vintage dan ending motivasi)
Jangan tanya aku soal membaca buku,
Aku sudah nonton semua video edukatif berdurasi 30 detik.
Revolusi, katanya, harus cerdas dan cepat—
Tapi jangan terlalu panjang, nanti skip dan lewat.
Kalau dulu rakyat lapar karena tirani,
Kini lapar karena kontennya basi.
Kami demo dalam bentuk carousel,
Dengan tips jadi aktivis tanpa bikin repot jadwal travel.
Aku punya strategi gerilya:
Tag akun besar, biar mereka repost perjuangan kita.
Biar jadi trending, biar viral,
Biar revolusi ini terasa nyaman dan digital.
Karena siapa butuh turun ke jalan,
Jika bisa naik follower dengan posting kebakaran?
Kami gelar perang dari sofa,
Dengan komentar tajam dan kaos bertema luka.
"Ayo ubah dunia!" katanya.
Sambil rebahan, pakai kaus 'equality' dari brand ternama.
#BoikotProdukPenjajah katanya lagi—
Tapi checkout belanja dari merek yang sama.
Kami ini generasi sadar,
Sadar akan pentingnya kesadaran.
Tapi terlalu sibuk sadar diri untuk benar-benar sadar pada yang lain,
Karena ya… hidup sudah cukup berat tanpa mikirin orang lain.
Kami posting anak jalanan,
Tapi block mereka kalau minta sumbangan.
Kami selfie di tempat banjir,
Caption-nya: "Bersyukur masih bisa tersenyum, meski duka mengalir."
Kami ini pejuang keadilan,
Asal adil buat brand deal dan exposure tambahan.
Karena kalau tak bisa mengubah dunia,
Minimal bisa naik engagement secara konsisten, bukan?
Jadi, revolusi kami bukan di barikade,
Tapi di kolom komentar dan utas panjang penuh parade.
Parade analisis dan kesadaran palsu,
Yang meledak secepat trending lalu menguap ke debu.
Dunia terbakar? Kami post meme,
Dunia tenggelam? Kami bikin reels keren.
Tertawa dulu, tangis kemudian,
Atau sebaliknya—asal dapat perhatian.
Kami ini generasi aktif:
Aktif mencari konten, bukan solusi.
Aktif berpose, bukan beraksi.
Aktif dalam wacana, pasif dalam risiko nyata.
Karena kami ingin perubahan,
Asal tidak menyita koneksi dan kenyamanan.
Ingin keadilan, asal tidak mengganggu desain layout halaman.
Ingin revolusi, asal bisa diedit dan dihapus bila gagal rencana.
✍️ Refleksi Penutup:
Puisi ini menyindir generasi yang ingin disebut progresif namun hanya bersuara di dunia maya. Sindiran ini ditujukan kepada para "aktivis" digital yang lebih peduli pada penampilan aktivisme ketimbang dampak nyatanya. Pesan moralnya adalah: revolusi sejati tidak bisa hanya berhenti di jempol dan layar, karena perubahan dunia bukan sekadar urusan estetika—tapi aksi nyata yang terkadang tidak fotogenik.
“Revolusi Filter: Ketika Perlawanan Butuh Caption Menarik”
Pengantar Pendek
“Zaman berganti: senjata bukan lagi bambu runcing, tapi jempol dan kamera depan. Revolusi kini menunggu sinyal, bukan komando.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Aku berdiri di tengah pusaran digital
Dengan hoodie Che Guevara hasil diskon musim gugur,
Di tangan kanan, kopi susu 40 ribuan,
Di tangan kiri, layar yang retak oleh notifikasi perjuangan.
“Revolusi itu penting,” kataku,
Sambil retake selfie keempat,
Karena yang pertama terlalu kusut,
Yang kedua terlalu jujur,
Yang ketiga ada jerawat.
Dulu revolusi butuh nyali,
Sekarang cukup nyalakan WiFi.
Dan jika sinyalnya lemah,
Kita tunda pemberontakan sampai next post.
Aku teriak soal kemiskinan
dari apartemen sewa harian,
Sambil buka Grab buat pesan sushi—
karena revolusi butuh energi, bro!
Aku suka posting anak jalanan,
Tapi tak pernah tanya namanya.
Karena yang penting itu likes,
Bukan identitas.
Aku terharu dengan krisis dunia,
Sambil cari angle terbaik dari balkon.
Latar senja. Wajah penuh luka pura-pura.
“#PrayForSemuaNegara” tulisnya,
Disertai emotikon api dan hati.
Aku ikut demo,
Tapi hanya selama powerbank cukup.
Karena kalau baterai habis,
Apa gunanya marah tanpa story?
Tentu, aku marah.
Marah pada ketidakadilan!
Tapi juga marah pada shadowban,
Dan algoritma yang kurang menghargai aktivisme glossy-ku.
Kami generasi sadar—
Sadar estetika, bukan etika.
Kami berjuang demi equality,
Selama tak mengganggu jadwal gym dan syuting podcast.
Dulu pahlawan ke penjara,
Kami ke coffee shop yang mirip sel isolasi,
Biar dramanya terasa nyata.
Barista tanya: “Mau kopi pakai rasa revolusi?”
Tentu! Asal ada oat milk-nya.
Kami buat puisi untuk buruh,
Tapi lupa membayar editor konten.
Kami bicara soal hak asasi,
Tapi mute teman sendiri karena beda opini.
Kami tandatangani petisi,
Tanpa membaca isinya,
Asal desainnya clean,
Dan font-nya cocok dengan tone akun.
Aku memblokir suara-suara kritis,
Karena vibraku harus positif,
Dan feed-ku harus harmonis,
Meski dunia tak pernah benar-benar sinkron.
Kami bicara soal feminisme,
Tapi endorse produk pelangsing.
Kami bela kaum miskin,
Tapi unfollow jika terlalu "keras".
“Revolusi adalah gaya hidup!”
teriak seorang model politik,
Sambil berpose dengan tangan terkepal,
Di depan mural grafiti yang dipesan khusus.
Kau tanya aku tentang pemahaman?
Oh, aku punya banyak kutipan,
Dari Mandela sampai Malala,
Hanya saja… aku belum sempat membaca bukunya.
Aku paham kolonialisme,
Dari serial Netflix terbaru.
Dan aku anti-kapitalis,
Asal barangnya ada diskon spesial.
Kami menari di atas luka dunia,
Dengan musik remix penderitaan.
Kami paradekan tragedi,
Karena tangisan lebih viral dari solusi.
Kami adalah pejuang digital,
Dengan bio bertema petir dan kesadaran.
Kami bicara tentang bumi,
Tapi naik mobil sendiri ke setiap event hijau.
Kami bagikan video kelaparan,
Lalu pesan pizza dua topping.
Kami upload banjir,
Lalu tanya: "Filter yang cocok yang mana ya?"
Kami hashtag semuanya:
#Solidaritas, #Bebas, #Berani,
Tapi isi DM penuh promosi dan afiliasi.
Kami update soal genosida,
Tapi skip berita yang tidak trending.
Karena empati kami berbatas trending topic,
Dan idealisme kami berbasis traffic.
Revolusi kini berukuran 1080 x 1350,
Harus muat di frame, harus catchy.
Karena kalau tak bisa swipe up,
Apa gunanya memperjuangkan?
Kami menulis manifesto,
Di caption 2200 karakter.
Kami berpuisi,
Tapi tak tahu siapa Chairil.
Kami demo,
Asal bisa pulang sebelum golden hour.
Kami berteriak,
Asal tak merusak make-up.
Kami menyusun strategi konten,
Untuk setiap penderitaan.
Karena tangisan yang dikurasi,
Lebih laku dari solusi yang basi.
Revolusi kini adalah branding,
Dan idealisme jadi niche.
Yang penting followers naik,
Biar bisa jual kaos bertema “Lawan!”
Kami tak ingin mati demi negara,
Kami ingin monetize duka manusia.
Karena kalau penderitaan tak bisa diiklankan,
Untuk apa peduli?
🎠Refleksi Penutup
Puisi ini menelanjangi wajah generasi yang katanya sadar, tapi lebih peduli estetika ketimbang etika. Ini sindiran untuk para “pejuang instan”—yang mengira keadilan sosial bisa tercapai lewat carousel dan emoji menangis. Ironinya: semakin banyak yang bersuara, semakin sunyi perubahan itu sendiri.
➡️ Pesannya sederhana: revolusi bukan tentang seberapa sering kau posting, tapi seberapa jauh kau berani kehilangan kenyamanan demi kebenaran.