Sandiwara Kemiskinan: Monolog Statistik di Panggung Negeri

 


📝 Pengantar Pendek

"Angka-angka menari di layar, sementara perut rakyat tetap kosong. Inilah kisah kemiskinan yang dipentaskan dalam statistik."

Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


🖋️ Isi Puisi Satir

Sandiwara Kemiskinan: Monolog Statistik di Panggung Neger

(Monolog seorang pejabat yang membacakan laporan kemiskinan di hadapan rakyat, dengan gaya penuh ironi dan sarkasme.)


Babak I: Prolog Angka

Selamat datang, hadirin sekalian
Di panggung megah penuh pencitraan
Hari ini saya akan membacakan
Laporan kemiskinan yang menawan

Lihatlah grafik yang menanjak tinggi
Menunjukkan kemiskinan yang menipis
Tapi jangan tanya soal nasi
Itu urusan dapur masing-masing


Babak II: Dialog Statistik

Kemiskinan turun, kata data
Meski di lapangan beda cerita
Anak-anak masih kurus kering
Tapi angka berkata mereka kenyang

Kami bangga dengan pencapaian ini
Meski rakyat masih mengantri
Bantuan datang dengan janji manis
Tapi sering hilang di tengah jalan


Babak III: Panggung Janji

Kami berjanji akan menuntaskan
Kemiskinan dalam lima tahun
Tapi jangan salahkan jika nanti
Janji tinggal janji, seperti dulu

Kami adakan seminar dan konferensi
Di hotel mewah dengan hidangan lezat
Membahas nasib si miskin yang malang
Sambil menikmati anggur dan steak


Babak IV: Epilog Ironi

Terima kasih atas perhatian
Semoga laporan ini menghibur
Jika ada yang merasa lapar
Silakan lihat grafik yang menawan

Karena di negeri ini, kemiskinan
Adalah angka yang bisa dimanipulasi
Dan rakyat adalah penonton setia
Dari sandiwara yang tak pernah usai

🤔 Refleksi / Penutup

Puisi ini menyindir bagaimana kemiskinan sering kali dijadikan bahan pencitraan oleh para pejabat. Statistik digunakan untuk menutupi kenyataan pahit yang dialami rakyat. Sindiran ini ditujukan kepada mereka yang lebih mementingkan citra daripada kenyataan. Pesan moralnya adalah agar kita lebih kritis terhadap data yang disajikan dan tidak mudah terbuai oleh angka-angka yang menyesatkan.


📜 Pengantar Pendek

"Angka tak bisa makan, grafik tak bisa diminum. Tapi itulah menu utama para penguasa saat berbicara tentang kemiskinan."

Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


✍️ Puisi Satir 

SANDIWARA KEMISKINAN: STATISTIK MEMBUAL, PERUT TETAP KOSONG

(Disuarakan oleh Pemeran Utama: Pejabat berdasi, wajah licin, lidah berlapis perak.)


Babak I: Langkah ke Panggung

Selamat datang di opera megah kemiskinan!
Tepuk tangan, kameramen siap? Cahaya dinyalakan!
Aku, tuan data, akan membaca puisi angka-angka
Sambil kalian di rumah menanak air dan mencium bayangan nasi.

Lihatlah! Grafik ini naik, naik seperti ego kami,
Sementara nasi di piringmu? Hilang entah ke mana.
Kami habiskan anggaran studi banding ke Swiss,
Untuk membahas mengapa kalian tetap lapar.


Babak II: Angka Berbusa-Busa

Menurut statistik, kemiskinan tinggal 9,99%!
(Lupakan fakta bahwa itu hanya catatan excel, bukan isi kantong.)
Kami bahagia, karena angka bisa kami potong,
Seperti kami potong jatah beras kalian tiap minggu.

Kemiskinan? Itu fiksi favorit kami!
Sumber konten, sumber dana, sumber drama.
Kami gelar konferensi dengan AC dingin menusuk tulang
Sementara kau merapat ke kompor tua untuk menghangatkan tulang.

Anakmu putus sekolah? Maaf, tak sesuai KPI!
Lebih penting kami foto bersama di panti asuhan.
Lalu upload, tag kementerian, kasih caption:
“Bersama rakyat, kita kuat!” (Asal tak terlalu dekat ya.)


Babak III: Parodi Perut Kosong

Dengar, wahai rakyat berjubel di kolong jembatan:
Kalian miskin karena malas, kata PowerPoint saya!
Slide kedua: “Solusi adalah kerja keras.”
Slide ketiga: Tanda tangan kontrak proyek dengan ipar.

Tolong jangan ributkan harga sembako,
Kami sedang sibuk bikin video testimoni:
“Ibu-ibu bahagia terima bantuan, walau cuma mie instan.”
Padahal saat itu mereka antre jenazah anak karena gizi buruk.

Kemiskinan itu romantis, kawan!
Bagus untuk naskah pidato, enak buat panggung drama.
Aku ulangi: enak buat panggung drama! Apalagi saat mendekati pemilu, ia jadi bumbu.


Babak IV: Ironi Terselubung

Kami bantu kalian keluar dari kemiskinan,
Dengan menyumbang kamera untuk bikin konten viral.
Kalian jadi influencer penderitaan,
Sementara kami influencer kemakmuran palsu.

Negeri ini ibarat reality show murahan:
Kalian kelaparan, kami makan sorotan.
Kalian ngemis di trotoar, kami ngemis like di TikTok
Dengan baju adat dan jargon “turun ke bawah.”

Kami adakan pelatihan: “Cara Menjadi Kaya”
Sementara kami kaya karena pelatihan itu sendiri.
Paradoks? Bukan. Itu strategi!
Strategi membuatmu terus butuh belas kasihan kami.


Babak V: Pidato Parodi Para Tuan

“Kita telah mengentaskan 3 juta orang dari garis kemiskinan.”
Benar, karena garisnya kami geser, bukan nasibnya.
“Kita akan berikan subsidi.”
Betul, setelah kami potong 70% untuk biaya rapat!

Kalian demo di jalan? Maaf, macet dong.
Lebih baik kirim surat dengan amplop tipis,
Lalu kami bawa ke media dan bilang: “Kami dengar suara rakyat.”
Lalu buang surat itu, karena tidak ada QR Code-nya.


Babak VI: Sang Rakyat Bersuara (Tapi Mikrofon Dimatikan)

Kami lapar, Pak!
Hah? Maaf, mikrofon rusak, silakan kirim email. Kami nganggur, Bu!
Tenang, pemerintah sedang rekrut staf ahli baru untuk anak menteri.

Kami butuh rumah, bukan janji.
Kami butuh makan, bukan foto di baliho.
Kami butuh keadilan, bukan jargon.
Kami butuh hidup, bukan jadi konten!


Babak VII: Klimaks yang Tragis (Tapi Dipotong Sensor)

Pada akhirnya, kalian tetap lapar
Tapi kami tetap kenyang—kenyang tepuk tangan.
Kalian tumbuh jadi statistik yang indah,
Tapi mati dalam kenyataan yang busuk.

Negeri ini terlalu pandai bersandiwara
Sampai Tuhan pun mungkin berpikir dua kali untuk turun tangan. Karena kalian ditinggalkan bukan oleh takdir,
Tapi oleh mereka yang bersumpah demi keadilan palsu.


🤔 Refleksi / Penutup

Puisi ini adalah suara pahit dari perut kosong yang tak mampu lagi mendengar pidato. Sindiran ini menyasar para penguasa yang menjadikan statistik sebagai kosmetik penderitaan. Ketika kemiskinan dijadikan konten dan bahan kampanye, maka rakyat tak lebih dari properti panggung. Nilai moralnya sederhana: Jika data lebih penting dari manusia, maka kita sudah gagal sebagai bangsa, dan lebih cocok jadi reality show dunia ketiga yang tayang tanpa akhir.


Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.