Pengantar Pendek:
Di dunia yang penuh parodi ini, diskon datang lebih cepat daripada krisis. Mengapa kita begitu terpesona oleh barang-barang murah saat harga hidup semakin meroket? Inilah cerita, kisah satir yang hidup di antara kedua ekstrem itu.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir: "Di Tengah Diskon dan Krisis"
Oh, betapa indah dunia kita,
Di antara label harga yang menggiurkan,
Dan promo besar-besaran yang bersinar,
Diskon! Diskon! Diskon!
Sebuah mantra yang mengikat jiwa-jiwa lemah.
Saat malam turun, dan bintang-bintang memudar,
Di pusat perbelanjaan, langit pun terbelah.
Oh, lihat! Di sana ada diskon 50%!
Harganya setengah—hati kita penuh dengan janji.
Kita terbuai dalam himpitan kata-kata manis:
“Dapatkan lebih banyak dengan uang yang lebih sedikit.”
Lebih sedikit? Oh, tentu saja, lebih sedikit—
Kecuali kita berbicara soal utang,
Karena itu pasti lebih banyak!
Akan tetapi, siapa yang peduli dengan angka merah di buku tabungan?
Bukan kita. Oh tidak.
Krisis? Hah! Itu hanya cerita masa lalu.
Sekarang saatnya membeli sepatu baru
Untuk menutupi luka-luka lama
Di bawah jalanan yang semakin retak.
Kita sudah berdamai dengan kebangkrutan,
Tetapi, hei—bagaimana dengan harga promo itu?
Hidup kita terjebak dalam absurd,
Mendekap erat diskon dari sebuah krisis.
Beli satu, gratis satu.
Beli dua, habiskan tiga gaji.
Kehidupan kita adalah pesta belanja,
Dan setiap "pesta" harus dihitung dengan harga utang.
Krisis datang begitu tiba-tiba,
Seperti angin yang tak diundang ke pesta,
Namun, tetap kita lirik—
Krisis itu membuat kita lebih pintar.
Pintar mencari barang murah,
Pintar memakai wajah bahagia,
Pintar menyembunyikan duka di balik senyuman palsu,
Pintar mengabaikan kenyataan yang semakin tajam—
Seperti harga listrik yang naik tanpa henti,
Seperti kebutuhan yang semakin menjulang,
Namun kita tetap dengan kebiasaan lama:
Membeli barang yang tak kita butuhkan
Dan mengabaikan yang kita perlukan.
Diskon! Diskon! Diskon!
Oh, diskon adalah penyelamat, bukan?
Katakan padaku,
Apa yang lebih menarik daripada diskon yang 70%?
Tidak ada yang lebih menggembirakan daripada melihat
Barang yang kita impikan sudah "setengah harga".
Tetapi apakah kita lupa,
Setengah harga itu berarti
Kita hanya setengah mampu membayar hidup?
Setengah kenyang, setengah lapar—
Setengah bahagia, setengah sengsara.
Krisis itu bukan soal angka di buku besar,
Melainkan kebingungan yang kita telan setiap hari.
Hari demi hari, kita hidup dalam absurditas,
Menanti "penghematan" yang akan datang,
Sambil menggenggam kontrak utang yang semakin menumpuk.
Kita bersyukur dengan harga yang lebih murah,
Namun terkurung dalam janji palsu—
Bahwa kita akan selamat dari kebangkrutan dunia ini,
Sementara kita tak tahu
Bagaimana cara keluar dari penjara diskon ini.
Pandanglah mereka yang di luar sana,
Di bawah cahaya lampu neon yang berkilau,
Menghitung laba dan rugi dalam kepala,
Sambil menggelar diskon 90%.
Mereka berkata: "Krisis? Itu bukan masalah kami."
Oh, benar sekali, mereka benar.
Krisis itu hanya pada orang-orang bodoh
Yang masih percaya hidup dengan tabungan.
Kita? Kita hidup dengan kartu kredit.
Lebih modern, lebih canggih—lebih terjebak.
Dan kita bersorak: "Akhir bulan datang, diskon datang!"
Kita bersiap untuk melawan kemiskinan
Dengan membeli lebih banyak, lebih cepat.
Tetapi, lihatlah—
Kita hanya berputar dalam lingkaran yang sama,
Mengejar harga murah,
Namun akhirnya, harga diri kita yang paling mahal.
Apakah kita akan berhenti?
Atau terus menari di tengah puing-puing dunia yang menghilang?
Lihatlah! Dunia kita terperangkap dalam parodi
Di antara dua dunia yang bertabrakan:
Satu penuh dengan diskon,
Lainnya tenggelam dalam krisis.
Di sini kita tertawa—
Atau lebih tepatnya—tertawa miris.
Seolah-olah diskon akan menyelamatkan kita,
Padahal kita sendiri yang menjual diri kita pada kebodohan,
Hanya untuk mendapatkan barang yang tidak perlu.
Barang-barang itu mengikat kita lebih erat,
Dengan label harga yang lebih tinggi di hati kita.
Diskon, oh diskon,
Kau datang dengan janji manis,
Namun kau meninggalkan kita dalam kebingungan—
Siapa yang benar-benar kaya di dunia ini?
Yang punya barang atau yang memiliki kebijaksanaan?
Apa gunanya diskon besar jika jiwa kita tetap kosong?
Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah sebuah sindiran tajam terhadap masyarakat yang terjebak dalam kebiasaan konsumtif dan materialisme, terutama di tengah krisis ekonomi yang semakin mendalam. Diskon menjadi simbol dari penghiburan semu, sementara krisis adalah gambaran nyata dari ketidakpastian yang kita hadapi. Pesan moral dari puisi ini adalah untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan diskon atau barang material. Kita harus berhenti mengejar kesenangan sesaat dan mulai memperhatikan nilai-nilai yang lebih penting dalam hidup—nilai yang tidak dapat diukur dengan uang atau promosi.
Pengantar Pendek:
Di dunia yang terbalik, di mana kenyataan dan ilusi saling berkelahi, kita terjebak dalam perangkap diskon. Krisis ada, ya, tapi diskon lebih menarik, kan? Mari kita mulai menggali absurditas yang ada di dunia ini dengan sarkasme yang menggelegar.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Satir: "Di Tengah Diskon dan Krisis"
Coba lihat dunia ini,
Di mana orang-orang berjuang
Melawan inflasi, sambil merayakan diskon.
Oh, betapa ironisnya,
Di saat kita merasakan kehilangan,
Kita masih mencari cara untuk membeli kebahagiaan
Dengan harga yang lebih murah—lebih murah!
Bahkan lebih murah dari harga diri kita sendiri!
Diskon 50%!
Ayo semua, serbu!
Bersihkan rak-rak itu!
Karena kita hidup di dunia yang penuh dengan hal-hal yang setengah harga!
Kita tidak peduli bahwa gaji kita setengahnya,
Tapi barang yang kita beli,
Itu setengahnya—setengah lebih murah,
Atau setengah lebih menyakitkan,
Namun apa peduli kita?
Kita lebih suka menyimpan kebodohan
Daripada berpikir dua kali.
Krisis? Oh, kamu pasti bercanda.
Krisis adalah mitos yang diciptakan oleh mereka
Yang terlalu cerdas untuk mengerti kesenangan belanja.
Lihat! Lihat semua orang ini,
Mereka sedang berbaris untuk membeli barang yang
Mereka bahkan tidak tahu kenapa mereka membutuhkannya.
Oh, apakah ini baru? Tidak.
Ini adalah parodi hidup kita,
Di mana setiap diskon adalah pesta,
Setiap uang yang hilang adalah kemenangan,
Setiap cicilan yang bertambah adalah harapan yang lebih besar.
Apakah kamu merasa lapar?
Ambil diskon 30% untuk makanan cepat saji!
Matahari terbenam?
Dapatkan diskon 50% untuk barang-barang elektronik yang kamu beli
Hanya untuk mematikan dirimu secara perlahan!
Apakah kamu khawatir tentang masa depan?
Tak masalah! Diskon 70% untuk asuransi
Yang hanya akan menutup matamu lebih cepat!
Krisis? Oh, kamu hanya merasa tidak cukup cerdas.
Kita tahu, krisis itu hanya untuk orang bodoh.
Orang cerdas? Orang cerdas tahu bagaimana caranya
Memperpanjang kredit,
Menambah cicilan,
Menambah keruwetan yang membuatmu semakin terlihat sibuk,
Sambil memposting foto bahagia dengan tas baru di Instagram.
Tunjukkan dunia, "Lihat, saya hidup dengan baik!
Lihat betapa hebatnya saya,
Dengan segala diskon dan utang yang menumpuk."
Lihatlah dunia kita,
Kita membeli barang-barang murah dengan harga mahal,
Kita membeli kebahagiaan dengan uang yang dipinjam dari masa depan.
Kita berjalan di tengah keramaian,
Dengan belanjaan yang lebih banyak daripada otak kita,
Karena, hei, otak itu tidak bisa dibeli dengan diskon!
Atau bisa?
Mungkin, jika kita membeli lebih banyak barang yang tak perlu
Dan membayar lebih sedikit untuk hal-hal yang benar-benar penting!
Oh, kita memang pandai, bukan?
Pandai mengabaikan kenyataan.
Pandai membeli barang yang kita tidak butuhkan,
Dengan uang yang kita tidak punya.
Pandai melihat krisis di luar sana,
Tapi tetap membeli televisi 80 inci
Yang kita tonton sendirian di ruang tamu kosong.
Pandai membeli makanan yang kita tidak bisa makan,
Karena perut kita sudah penuh dengan utang!
Diskon! Diskon! Diskon!
Kita berteriak sekeras mungkin.
Beli satu, dapat satu.
Tapi apa yang kita dapatkan?
Apakah kita mendapatkan diri kita kembali?
Apakah kita mendapatkan kebebasan dari hutang?
Atau apakah kita hanya mendapatkan lebih banyak lagi
Dari kesalahan yang sama?
Apakah kamu merasa hidup lebih baik sekarang?
Dengan barang-barang baru yang kita bawa pulang?
Dengan kartu kredit yang kita gesekkan tanpa berpikir?
Tidak, kita hanya semakin terperangkap dalam kebohongan,
Di mana kenyataan ditutupi dengan diskon-diskon besar.
Kita tertipu dengan angka yang menggoda,
Sementara kita sudah terjerat di dalam utang yang lebih besar.
Krisis adalah kenyataan yang menunggu kita di sudut jalan,
Sementara kita sibuk memotret barang-barang yang kita beli
Dan mempostingnya di media sosial,
Menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah konsumen yang bijak.
Namun kenyataannya, kita hanyalah budak
Dari dunia yang mengajarkan kita untuk membeli lebih banyak,
Tetapi tidak mengajarkan kita untuk hidup dengan lebih sedikit.
Jadi, mari kita semua bersorak!
Diskon telah datang, krisis akan pergi.
Kita akan terus berlari dalam lingkaran yang sama,
Sampai kita semua terjatuh,
Tapi hei, kita jatuh dengan tas baru di tangan!
Kita jatuh dengan senyuman di wajah kita,
Meskipun hati kita sudah retak dan kosong.
Itulah hidup, bukan?
Krisis ada, tetapi kita lebih peduli dengan harga diskon!
Di mana krisis?
Di mana kita seharusnya peduli?
Tidak ada, tidak ada… hanya harga yang lebih murah!
Diskon 90% untuk ketidakpedulian!
Ayo, serbu!
Bawa pulang kebahagiaan semu,
Dan tinggalkan krisis di luar sana,
Sampai kita semua terbangun dari mimpi ini,
Dengan utang yang lebih besar dari gaji kita,
Dengan harapan yang lebih kecil dari rekening bank kita.
Dan kita akan tertawa!
Tertawa pada dunia yang telah kita ciptakan sendiri.
Karena siapa yang butuh krisis,
Ketika ada diskon 90% untuk kebahagiaan palsu?
Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah seruan untuk membuka mata terhadap dunia yang terbalik, tempat di mana diskon adalah pelarian dan krisis hanya menjadi latar belakang yang tidak kita pedulikan. Satir ini mengajak kita untuk merenung tentang kebiasaan buruk kita dalam membeli kebahagiaan dengan uang yang tidak kita punya, serta hidup dalam ilusi yang dibuat oleh sistem konsumtif. Diskon bukan solusi—itu hanya penundaan masalah yang lebih besar. Dunia ini membutuhkan lebih dari sekadar barang murah. Dunia ini butuh pemikiran jernih, bukan belanja impulsif.