🧨 Judul:
"Statistik Kenyang, Rakyat Kering"
✍️ Pengantar:
"Ekonomi kita tumbuh pesat, kata mereka. Tapi mengapa perutku terus menyusut?"
— Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
📝 Puisi:
Statistik Kenyang, Rakyat Kering
Ekonomi bertumbuh, katanya, hingga langit pun iri
Angka-angka menari di layar kaca, memukau hati
Investor bersorak, pejabat pun berseri
Sementara di dapurku, panci hanya berisi mimpi
Mereka bilang, "Inflasi terkendali, stabilitas terjaga"
Tapi kenapa nasi tinggal setengah, lauk pun tiada?
Anak-anak belajar dari perut kosong, bukan dari buku
Karena sekolah hanya mimpi bagi yang tak mampu
Subsidi dicabut, demi efisiensi katanya
Tapi kenapa listrik padam, air pun tak mengalir jua?
Mereka duduk di kursi empuk, berbicara tentang kemajuan
Sementara kami duduk di lantai, menunggu keadilan turun
Pembangunan merata, klaim mereka dengan bangga
Tapi jalan di kampungku masih berlumpur dan berlaga
Rumah-rumah mewah menjulang tinggi di kota
Sedangkan gubuk kami roboh diterpa angin semata
Mereka berkata, "Rakyat harus bersabar, ini proses"
Tapi sabar kami telah habis, tinggal sisa stres
Janji-janji manis seperti permen yang tak bisa dikunyah
Hanya menambah luka, bukan menyembuh luka parah
Media menyiarkan keberhasilan dengan megah
Sementara kami menonton dengan mata nanah
Mereka tertawa di balik layar, kami menangis di balik pintu
Karena kenyataan tak seindah yang mereka pamerkan itu
Mereka berkata, "Kami bekerja untuk rakyat"
Tapi kenapa kami merasa seperti budak?
Pajak naik, harga melambung, upah tetap
Kami tercekik, mereka tetap hidup enak
Kami bertanya, "Di mana keadilan?"
Mereka menjawab, "Sedang dalam perjalanan"
Tapi jalan menuju kami penuh lubang dan rintangan
Sehingga keadilan pun tersesat tanpa tujuan
Kami menjerit, mereka menutup telinga
Kami menangis, mereka tertawa bahagia
Kami lapar, mereka kenyang
Kami mati, mereka tetap tenang
Ekonomi bertumbuh, katanya, hingga langit pun iri
Tapi perut kami menyusut, hingga tulang pun terlihat ngeri
Mereka hidup dalam kemewahan, kami dalam kesengsaraan
Inilah paradoks negeri, yang katanya penuh harapan
🤔 Refleksi:
Puisi ini menyindir ironi pertumbuhan ekonomi yang tidak dirasakan oleh rakyat kecil. Statistik dan klaim keberhasilan seringkali tidak mencerminkan realitas di lapangan, di mana banyak orang masih hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Sindiran ini ditujukan kepada para penguasa dan pemangku kebijakan yang lebih mementingkan citra dan angka daripada kesejahteraan rakyat. Pesan moralnya adalah pentingnya empati dan tindakan nyata dalam membangun negeri, bukan sekadar retorika dan janji manis.
🧨 Judul:
"Ekonomi Meroket, Perutku Melempem"
✍️ Pengantar:
"Ekonomi kita tumbuh pesat, kata mereka. Tapi mengapa perutku terus menyusut?"
— Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
📝 Puisi:
Ekonomi Meroket, Perutku Melempem
Ekonomi meroket, katanya, hingga langit pun iri
Angka-angka menari di layar kaca, memukau hati
Investor bersorak, pejabat pun berseri
Sementara di dapurku, panci hanya berisi mimpi
Mereka bilang, "Inflasi terkendali, stabilitas terjaga"
Tapi kenapa nasi tinggal setengah, lauk pun tiada?
Anak-anak belajar dari perut kosong, bukan dari buku
Karena sekolah hanya mimpi bagi yang tak mampu
Subsidi dicabut, demi efisiensi katanya
Tapi kenapa listrik padam, air pun tak mengalir jua?
Mereka duduk di kursi empuk, berbicara tentang kemajuan
Sementara kami duduk di lantai, menunggu keadilan turun
Pembangunan merata, klaim mereka dengan bangga
Tapi jalan di kampungku masih berlumpur dan berlaga
Rumah-rumah mewah menjulang tinggi di kota
Sedangkan gubuk kami roboh diterpa angin semata
Mereka berkata, "Rakyat harus bersabar, ini proses"
Tapi sabar kami telah habis, tinggal sisa stres
Janji-janji manis seperti permen yang tak bisa dikunyah
Hanya menambah luka, bukan menyembuh luka parah
Media menyiarkan keberhasilan dengan megah
Sementara kami menonton dengan mata nanah
Mereka tertawa di balik layar, kami menangis di balik pintu
Karena kenyataan tak seindah yang mereka pamerkan itu
Mereka berkata, "Kami bekerja untuk rakyat"
Tapi kenapa kami merasa seperti budak?
Pajak naik, harga melambung, upah tetap
Kami tercekik, mereka tetap hidup enak
Kami bertanya, "Di mana keadilan?"
Mereka menjawab, "Sedang dalam perjalanan"
Tapi jalan menuju kami penuh lubang dan rintangan
Sehingga keadilan pun tersesat tanpa tujuan
Kami menjerit, mereka menutup telinga
Kami menangis, mereka tertawa bahagia
Kami lapar, mereka kenyang
Kami mati, mereka tetap tenang
Ekonomi meroket, katanya, hingga langit pun iri
Tapi perut kami melempem, hingga tulang pun terlihat ngeri
Mereka hidup dalam kemewahan, kami dalam kesengsaraan
Inilah paradoks negeri, yang katanya penuh harapan
🤔 Refleksi:
Puisi ini menyindir ironi pertumbuhan ekonomi yang tidak dirasakan oleh rakyat kecil. Statistik dan klaim keberhasilan seringkali tidak mencerminkan realitas di lapangan, di mana banyak orang masih hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Sindiran ini ditujukan kepada para penguasa dan pemangku kebijakan yang lebih mementingkan citra dan angka daripada kesejahteraan rakyat. Pesan moralnya adalah pentingnya empati dan tindakan nyata dalam membangun negeri, bukan sekadar retorika dan janji manis.