📚 Judul:
“Universitas Bumi: Kuliah Gratis di Neraka Kapital”
✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
“Selamat datang di dunia di mana ilmu pengetahuan gratis… tapi kamu harus menjual ginjalmu untuk bangku kelas.”
Pendidikan bukanlah hak, tapi permainan lotere berbiaya tinggi dengan hadiah: utang abadi.
🪶 Puisi Satir: Pendidikan Gratis, Tapi Mahal Biayanya
(I. Kuliah Gratis: Iklan Surga dari Neraka Dunia)
“Selamat datang, Mahasiswa Baru!
Kampus kami tidak memungut bayaran—hanya jiwa dan waktu mu.”
Begitu bunyi spanduk raksasa di gerbang,
dengan latar wajah senyum boneka menteri,
yang tak pernah tahu rasanya
mengangsur seragam sekolah dari hasil jual bensin eceran.
Gratis! teriak brosur digital itu,
dengan font Helvetica tebal dan hati palsu di ujungnya.
Tapi lupa bilang:
anda hanya perlu membayar listrik, kuota, buku yang disuruh beli tapi tak pernah dipakai,
praktikum virtual yang tetap kena potong uang lab,
dan tentu saja, mental breakdown mingguan
yang datang bersamaan dengan tugas PowerPoint tak berfaedah.
(II. Monolog Seorang Murid Berprestasi di Dunia yang Gagal Sekolah)
“Bu, aku lulus dengan nilai sempurna.”
Ibunya tersenyum, sambil menghitung sisa pinjaman koperasi.
“Aku dapat beasiswa penuh, Bu.”
Ibunya menatap dapur yang tak ada apinya:
“Penuh ya? Tapi kenapa kita tetap kosong?”
(III. Sarkasme dari Atas Mimbar Kampus Elit)
Di podium acara wisuda,
Rektor bersabda dengan toga dari merek luar negeri:
“Anak-anak bangsa, kalian masa depan!
Gunakan ilmu untuk mengabdi pada negara,
lalu bayar utang kalian dengan gaji magang tiga bulan.”
Tepuk tangan bergema,
karena semua tangan terpaksa bertepuk demi konten story.
Sementara itu, di belakang panggung:
Kantong kampus dibanjiri sponsor,
iklan multivitamin, logo mie instan,
dan kartu kredit untuk anak muda dengan bunga 29%.
(IV. Parodi Kelas Online: Ruang Belajar, Tapi Tetap Kosong)
Koneksi buruk,
suara dosen patah-patah seperti semangat mahasiswa.
“Mau jadi apa kalian kalau tak paham Pancasila?”
teriak Pak Guru dari layar 720p.
Padahal listrik kami tokennya sudah bunyi-bunyi sejak jam keempat.
Tapi tenang, negara menyediakan bantuan kuota,
cukup untuk unduh tugas,
tapi tidak cukup untuk unggah keluhan.
(V. Ironi Sebuah Sertifikat Bernilai Nol Rupiah)
Tiga tahun kuliah, empat kali magang,
lima puluh kali revisi skripsi,
dan enam ratus ribu rupiah untuk wisuda online,
hanya untuk menerima PDF bertuliskan:
“Selamat! Anda telah memenuhi syarat minimal untuk tidak diterima kerja.”
(VI. Satire dari Petugas Pendaftaran Kampus Terpandang)
“Syaratnya mudah, Kak!
Fotokopi ijazah, fotokopi KTP, fotokopi bukti pernah hidup,
dan formulir pendaftaran seharga tiga ratus ribu rupiah.”
Lalu senyum sang petugas sehangat pendingin ruangan 18 derajat,
menghantarkan calon mahasiswa ke ruang seleksi,
tempat nasib ditimbang dengan skala angka dan koneksi.
(VII. Monolog Para Orang Tua: Investasi yang Tak Kembali)
Ayah bekerja di proyek jalan tol,
berangkat jam lima, pulang jam sebelas.
Gajinya habis untuk biaya “gratis” anaknya kuliah.
Ibunya menjual kue di pinggir puskesmas,
berharap ada tambahan untuk bayar seminar nasional.
Tapi ijazah itu…
masih dilaminating,
ditaruh rapi di meja kecil,
sebagai pengingat:
bahwa mereka telah gagal menyelamatkan anaknya dari sistem yang pura-pura adil.
(VIII. Dialog Imajinasi dengan Menteri Pendidikan)
“Pak, katanya pendidikan gratis?”
“Betul! Tak ada uang pangkal, hanya uang samping dan uang tengah.”
“Lalu mengapa teman saya keluar karena tidak mampu beli laptop?”
“Ah itu bukan urusan saya, mungkin kurang inovatif.”
“Jadi, siapa yang bertanggung jawab atas nasib pelajar miskin?”
“Bukankah sudah ada YouTube?”
(IX. Paradoks Institusi Ilmu: Kampus sebagai Komoditas)
Universitas kini seperti mall,
menjual program studi seperti fashion musiman.
“Bergabunglah di Prodi Digital Marketing!
Tanpa perlu bakat, asal punya tabungan.”
“Masuk jurusan Ilmu Data!
Biaya semester dua digit, masa depan belum tentu tiga.”
Dan perpustakaan?
Masih ada, tapi jadi tempat pameran lukisan dosen.
Sedangkan jurnal ilmiah terkunci di balik paywall berbayar,
karena ilmu kini milik yang mampu berlangganan.
(X. Penutup: Dosa Kolektif Bernama Sistem)
Anak bangsa dijejali mimpi besar,
di atas alas yang rapuh dan miring.
Mereka diajarkan untuk berpikir kritis,
lalu dihukum ketika mulai bertanya.
Pendidikan adalah hak, katanya.
Tapi seperti WiFi publik:
Gratis, tapi sinyalnya mati.
📍 Epilog yang Menggigit dan Mengingatkan
Pendidikan gratis bukanlah lelucon,
tapi jadi bahan lawakan nasional.
Ia diklaim sebagai solusi,
padahal adalah labirin hutang dan tipu daya yang disponsori oleh idealisme basi.
Anak-anak cerdas di negeri ini
tidak kalah oleh malas,
mereka kalah oleh sistem yang pura-pura buta
dan suka selfie dengan piagam penghargaan.
📢 Sebarkan jika kau pernah belajar dari keringat, bukan dari privilese.
Tag kawanmu yang pernah bertanya: 'Katanya gratis, kok rasanya ditipu?'
Diskusikan: Jika ilmu adalah cahaya, mengapa jalannya tetap gelap?
📛 Judul:
“Ngopi di Planet Belgedes: Obrolan Tentang Pendidikan Gratis yang Biayanya Kredit 24x Cicilan” ☕📚🪐
✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
“Ketika Petruk bayar SPP pakai daun singkong, dan Gareng bikin skripsi sambil jaga angkringan, maka Bagong pun bertanya: Di mana letak gratisnya?”
– Perenungan di Planet Belgedes, saat senja berwarna hijau keunguan.
🌌 Setting:
Warung Kopi “Pojok Ngutang”
Lokasi: Tepi jurang logika, pinggiran Kota Konoha sektor pendidikan
Galaksi: Samsoeng
Planet: Belgedes
Waktu: Jam istirahat akal sehat
🧠 Prolog Dialog Intergalaksi Bertema Pendidikan yang Katanya Gratis
Di sebuah warung kopi yang dindingnya terbuat dari ijazah gagal dipakai kerja,
berkumpullah Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry.
Mereka berdiskusi serius... dengan gaya absurd,
tentang puisi panjang sebelumnya yang katanya menyindir sistem pendidikan yang "gratis-tapi-memiskinkan."
☕️🗣️ Dialog Absurd dan Liar Tentang Puisi Satir
PETRUK 🦒 (sambil ngudud sambil ngelus perut)
"Je, puisimu itu ya... kayak nasi goreng mercon. Pedesnya bukan di mulut, tapi di tagihan semester."
GARENG 🧟♂️ (matanya merah karena kurang tidur, tapi katanya demi mimpi)
"Aku lulus kuliah, Je. Tapi hidupku tetap skripsi: direvisi terus sama keadaan."
BAGONG 🐷 (lagi ngitung duit receh untuk bayar parkir kampus)
"Lha aku malah kuliah gratis beneran! Cuma bayar pake nyawa, hati, dan masa depan."
JEFFRIE GERRY (Japra) 🧙♂️ (duduk di pojok dengan laptop yang baterainya cuma 5%)
“Saudara-saudaraku lintas galaksi, memang gratis itu relatif… tergantung siapa yang jual narasi.”
📚🔍 Potongan Monolog Konyol & Epik Dari Puisi Sebelumnya
PETRUK
"Aku baca tuh puisimu. Bagian wisuda online bayar enam ratus ribu,
padahal cuma nerima PDF—itu tuh... bener-bener kritik yang jleb."
(Petruk pun terdiam sebentar, lalu bersin karena debu dari tumpukan proposal beasiswa yang gagal lolos.)
GARENG
"Dan yang soal kuota belajar! Lha itu aku ngalamin.
Bantuan kuota turun, tapi cuma cukup buat buka Google Form.
Streaming video? Halah, buffering-nya aja bisa bikin kita merenung soal hidup."
BAGONG
"Bagian paling keren? Itu pas si Menteri jawab: ‘Bukankah sudah ada YouTube?’
Je, itu satire paling lezat, kayak sambal yang pedesnya nggak ilang walau udah minum es kelapa."
🤖🧾 Parodi Pendaftaran Mahasiswa Baru di Konoha Kampus
Disponsori oleh Bank Utang Sambil Senyum™ dan Asuransi Masa Depan Abu-abu™
-
“Biaya masuk? GRATIS!” 🥳
-
“Cuma isi formulir Rp350.000” 🧾
-
“Beli seragam Rp800.000 (wajib, walau kuliah online)” 👕
-
“Uang pengembangan fasilitas: Rp5 juta (fasilitas hanya ada dalam imajinasi)” 🏗️
-
“Kartu identitas mahasiswa? Cuma Rp125.000, sudah termasuk foto latar merah & rasa malu.” 🪪
📖📉 Dialog Tambahan: Skenario di Kelas Kosong Tapi Penuh Beban
GARENG (mimisan karena presentasi PowerPoint gagal buka)
“Pak, presentasi saya rusak karena file-nya corrupt.”
DOSEN (via hologram 2D)
“Jangan salahkan sistem, salahkan usaha kamu.”
PETRUK (bisik-bisik ke Bagong)
“Sistemnya rusak, malah kita yang disuruh install ulang semangat.”
🔁🎢 Paradoks dan Sirkus Akademik
JEFFRIE
“Di kampus Konoha, mahasiswa diajarkan berpikir kritis,
lalu ditendang keluar kalau mulai bertanya kenapa uang pertemuan daring lebih mahal dari nasi bungkus.”
BAGONG
“Eh iya! Kenapa sih seminar daring biayanya setara motor bekas?
Padahal isinya slide yang kita bisa googling sendiri.” 🛵
🎭🎪 Teater Mini: Debat Kusir Tugas Akhir
PETRUK
“Skripsiku tentang peran negara dalam pendidikan.”
GARENG
“Akhirnya dapet apa?”
PETRUK
“Revisi Bab 3 dan depresi ringan.”
BAGONG
“Aku malah bikin Tugas Akhir tentang pentingnya minum kopi sambil meratap.”
JEFFRIE
“Kamu lulus?”
BAGONG
“Lulus sih… lulus dari harapan.”
📦📜 Kutipan Filosofis Ala Warung Kopi Absurd
“Ilmu pengetahuan adalah cahaya… tapi stop kontaknya dikuasai sponsor dan pihak ketiga.” ⚡
“Murid pinter dihargai, asal jangan terlalu sadar.” 🧠
“Pendidikan gratis itu nyata… seperti pelangi yang hanya bisa dilihat saat kita berhenti bayar listrik.” 🌈
🧨🚀 Bagian Buas: Ijazah, Utang, dan Gaji Magang
PETRUK
“Aku ngutang buat bayar semester terakhir.”
GARENG
“Sama, aku ambil KTA demi ujian.”
BAGONG
“Lalu setelah lulus, kita dapat gaji magang yang cukup untuk beli... 3 gorengan dan satu teh tawar.”
JEFFRIE
“Itu pun kalau HRD-nya nggak bilang: ‘Kamu overqualified, tapi belum punya pengalaman kerja’.”
🛸📡 Interupsi dari Satelit Galaksi Samsoeng
📢 Breaking News:
“Kampus Terbaik di Konoha mengumumkan akan menaikkan biaya semester,
karena katanya ‘untuk digitalisasi fasilitas’—yang artinya beli AC baru buat ruang dosen.” 🥶
🎬 Epilog Kocak Tapi Menohok:
Mereka menatap senja ungu Planet Belgedes.
Secangkir kopi dingin,
hati yang hangat oleh tawa dan kepahitan hidup.
JEFFRIE
"Kalau pendidikan memang hak,
kenapa rakyat harus merasa seperti maling setiap kali nuntut haknya?"
PETRUK
“Karena di negeri ini, menuntut ilmu lebih sulit daripada menuntut keadilan.”
GARENG
“Dan yang gratis itu cuma mimpi.”
BAGONG
“Atau sarkasme, kayak puisi si Japra ini.”
📢 Ajakan Absurd Penuh Makna
🌀 Sebarkan obrolan absurd ini ke seluruh galaksi!
🎭 Tag temanmu yang pernah bayar seminar Rp200k cuma buat foto bareng narasumber.
📚 Jadikan bahan diskusi: Apakah ilmu masih layak dicari, atau cukup ditonton di TikTok?