Cinta Tanah Air Tapi Jualan Tanah

 

"Tanah Air Dijual, Bonus Bendera dan Lagu Kebangsaan"


📌 Pengantar Pendek:
"Tanah airku bukan untuk dijual," katanya. Lalu ia tandatangani akta jual beli, sambil menyanyikan Indonesia Raya di ruang rapat AC dingin.

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


📜 PUISI SATIR MONOLOG: "Cinta Tanah Air Tapi Jualan Tanah"

Hai, aku patriot—
pejuang kopi tubruk,
yang setiap pagi mencintai negeri
dari balik jendela apartemen hasil relokasi warga.

Aku cinta tanah airku,
terutama tanahnya—
yang bisa dijadikan cluster premium
dengan nama-nama asing: Green Hill, Emerald View, dan Puri Cendana Lake Garden Resort.
Padahal lokasinya bekas persawahan Pak Tamin.

Negeri ini harum…
harum legalitas notaris dan surat-surat tanah,
semuanya rapi,
diatur seperti semangat nasionalisme yang bersponsor.

Apakah cinta tanah air itu berarti menyiramnya?
Tentu saja,
dengan concrete mixer,
dengan semen,
dengan alat berat yang menggusur memori dan mimpi kecil anak-anak kampung.

Aku nyanyikan Indonesia Raya,
sambil memandangi master plan township.
Tanah itu,
yang dulu tempat nenekku menanam singkong,
kini jadi kolam renang semi-Olympic
dengan air yang bersih dari akar sejarah.

Apakah kau tahu artinya merdeka?
Merdeka adalah saat bisa menjual tanah warisan leluhur
dengan harga tinggi kepada investor asing,
lalu mempostingnya di TikTok dengan caption:
“Proud Indonesian landowner 💰🌱🇮🇩”

Tapi jangan salah,
aku tetap cinta negeri ini,
cinta pada baliho,
pada jargon,
pada teks proklamasi yang sudah diframeshop untuk galeri.

Tanahku,
airku,
nasionalismeku—
semuanya punya sertifikat hak milik.
Dan siapa bilang cinta tak bisa diuangkan?

Aku, manusia Indonesia sejati,
yang bangga memakai batik
tapi geli lihat lumpur di sawah.
Yang rajin berdoa di tugu pahlawan
tapi mengutuk kalau harga tanah belum naik dua digit.

Aku adalah penjaga budaya,
penyambung lidah tanah air
asalkan tanah itu tak mengganggu proyek tol baru.

Kalau perlu,
ganti saja sila ke-5:
Keadilan Sosial untuk Seluruh Properti Developer Indonesia.

Jangan ganggu kami, para patriot properti.
Kami bangun negeri,
satu kavling demi kavling,
satu spanduk “Tanah Ini Milik Pribadi”
yang ditancapkan di bekas taman bermain.

Kami berdiri tegak,
di atas puing kampung tua
dan reruntuhan mushola,
karena pembangunan tak boleh kalah
oleh kenangan dan air mata.

Jangan bilang kami rakus—
kami hanya efisien.
Jangan bilang kami penghianat—
kami hanya tahu nilai tukar tanah
lebih dari nilai perjuangan.

Kalian bilang,
“Jangan jual tanah ke asing.”
Tapi saat investor datang dengan senyum dolar,
kalian bilang,
“Ini demi kemajuan bangsa.”

O, negeri yang mudah dibeli,
cinta tanah airmu terukur dari
berapa luas tanah yang bisa dibalik nama.

Dari Sabang sampai Merauke,
semua bisa dinego,
asal harganya cocok
dan izinnya diurus lewat kenalan.

Cinta tanah air itu penting,
tapi bayar pajak tanah lebih penting.
Merdeka, katanya—
selama tidak mengganggu rencana pembangunan mall.

Aku adalah anak bangsa,
yang mengganti sawah dengan cafe,
mengusir bebek demi Starbucks,
dan menamakan tower “Garuda”
agar tetap terasa nasionalis.

Anak-anak tak lagi main layangan,
mereka main simulasi jual-beli tanah di metaverse
karena tanah nyata sudah habis dibeli ayah-ayah berjas
yang bicara cinta tanah air,
dengan catatan: tanah itu sudah dipatok harga.

Apakah kalian marah?
Jangan.
Kami tak membunuh negeri ini,
kami hanya mencicilnya.


✍️ Refleksi Penutup

Puisi ini menyindir keras wajah hipokrit nasionalisme palsu: ketika cinta tanah air hanya dijadikan jargon, namun pada kenyataannya dijual secara perlahan-lahan untuk kepentingan komersial, politik, dan kapitalisme. Satir ini menyasar mereka yang mengibarkan bendera sambil menggadaikan bumi di bawahnya—pejabat, pengusaha, bahkan masyarakat yang diam. Pesan moralnya: Jika cinta tanah air hanya berhenti di mulut, maka tanah itu akan berpindah tangan, dan airnya akan mengering bersama nurani yang ikut dijual.


 "Negeri Dijual: Diskon Merdeka Sampai Habis Tanahnya!"

Pengantar Pendek: Pancasila dilafalkan, tanah air dijual perlahan. Di tiap akta, ada bait proklamasi yang tercecer.

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


PUISI SATIR MONOLOG: "CINTA TANAH AIR TAPI JUALAN TANAH (Versi Liar)"

Cinta tanah air? Iya, cinta mati! Mati sawahnya, mati hutannya, mati ingatannya. Tapi aku cinta, sungguh cinta— setiap senti tanah kubentangkan untuk tender terbuka.

Negeri ini indah, katanya. Indah sekali saat dilihat dari helikopter pribadi, kau bisa menunjuk: "Itu... proyek kita berikutnya."

Dari Sabang sampai Merauke, yang dijaga bukan tapal batas, tapi tapal SHM dan HGB.

Aku anak bangsa. Anak yang tahu bahwa bendera merah putih cocok sekali dikibarkan di depan cluster elit, berdampingan dengan baliho: “Only Few Units Left!”

Aku cinta pada Merah Putih, sepanjang tidak menghalangi prospek properti, selama tetap bisa ditaksir per meter perseginya, karena cinta sejati itu tak buta, justru melek valuasi.

Negeri ini kaya raya— kaya karena bisa dijual berkali-kali, kaya karena bisa dipecah sertifikatnya, kaya karena warganya bisa dipecah haknya.

Aku bukan pengkhianat! Aku nasionalis bergaya milenial, berjiwa investor, berpikir strategis: "Kalau tak dijual sekarang, siapa tahu nanti terlalu murah."

Aku cinta tanah air, tapi lebih cinta ROI, dibanding mimpi petani, lebih suka margin ketimbang mata bening anak-anak pengungsi relokasi.

Tanah ini tanah warisan, bukan untuk dikeramatkan, tapi dikembangkan, dimarketingkan, di-rebrand menjadi Eco-Living Nusantara.

Aku bangga jadi warga negara, bangga saat ikut tender tanah negara, bangga saat memenangkannya dengan surat siluman, dan mencicil nasionalisme lewat DP 30%.

Hutan? Sawah? Sungai? Jangan sentimen, Bung! Itu hanya ruang kosong menunggu fungsi: kolam renang? golf? town center? Semuanya demi bangsa, selama ada kontribusi BPHTB dan IMB.

Kami patriot pembangunan! Kami bukan jual negeri— kami hanya membuka kesempatan agar lebih banyak warga asing bisa merasakan hangatnya matahari tropis, di atas lahan adat.

Apa kau tak bangga? Bangga bahwa dulu penjajah rebut tanah, kini kita jual sendiri dengan legalitas kuat dan brosur eksklusif?

Apa kau masih pikir cinta tanah air berarti menjaga? Oh tidak, kawan, cinta sejati justru membiarkan tanah itu berkembang menjadi potensial investasi!

Apa gunanya membiarkan tanah menganggur, kalau bisa disulap jadi pusat perbelanjaan dengan 3 lantai parkir dan rooftop café? Merdeka itu bisa memutus ikatan sejarah, demi mengikat perjanjian baru dengan developer global!

Aku cinta negeri ini, buktinya setiap proyekku punya nama nasionalis: Graha Pahlawan, Villa Merdeka, Cluster Tugu Persatuan.

Padahal yang tinggal? Orang-orang yang tak pernah antri minyak tanah. Yang makan quinoa, bukan tempe.

Dan kau bilang aku pengkhianat? Jangan picik, Bung! Kami pelaku ekonomi makro, yang mendongkrak GDP, mengatur tata ruang, sekaligus menata ulang sejarah.

Kami bukan koruptor, kami katalis pertumbuhan. Buktinya, semua ini legal. Ada tandatangan, ada materai, ada restu dari pejabat berkemeja putih yang bicara tentang cinta rakyat.

Mereka bicara cinta tanah air dari podium, sementara di belakang panggung mereka mengukur tanah pakai kalkulator margin.

Semua sah, asalkan pembangunan jalan, asalkan investor nyaman, asalkan rakyat diam.

Dan kami tahu, rakyat akan diam, asal diberi kompensasi selembar spanduk: "Pindah Demi Masa Depan Lebih Baik."

Cinta tanah air? Tentu saja! Cinta yang penuh tanda tangan, berkas, negosiasi, dan konferensi pers. Cinta yang dibayar lunas lewat kredit.

Anak bangsa tak lagi bertanya, "Ini tanah siapa?" karena sudah tahu jawabnya: Tanah itu milik siapa yang bisa beli dan amankan izinnya.

Dan negeri ini, masih tetap berdiri, walau tanahnya terkikis, peta-peta berubah, sejarah dipoles, dan lagu kebangsaan hanya jadi soundtrack video promo.

Apa kalian takut? Jangan. Ini bukan penjajahan. Ini hanya versi modern dari perampasan: yang sopan, yang elegan, yang bertanda legal.

Apa yang lebih patriotik daripada menjual tanah demi membuka lapangan kerja? Kalau perlu, jual pulau sekalian, demi fasilitas tax holiday dan investor bahagia.

Tanah airku tidak untuk dijual, kecuali jika harganya cocok. Negara tidak dijajah, kecuali jika kita yang tawarkan duluan.

Dan kalau kalian tanya apa artinya cinta, aku akan tunjukkan grafik kenaikan harga tanah per kuartal. Aku akan perlihatkan launching perumahan baru setiap bulan. Aku akan kirimkan brosur cluster yang menamakan dirinya "Bumi Pertiwi Residence."

Karena mencintai tanah air, tak harus berarti memeluknya, bisa juga berarti melepasnya, ke tangan yang lebih mampu—katanya.


Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah cermin retak untuk wajah kita sendiri—bangsa yang mengaku cinta tanah air, tapi tak segan menggadaikannya demi nilai tukar. Sindiran ini menghantam siapa saja yang memelintir nasionalisme jadi alat legitimasi eksploitasi. Ini bukan sekadar kritik pada para pengembang atau pejabat, tapi juga pada kita semua yang diam, yang membenarkan, atau bahkan bangga menjadi bagian dari mekanisme perampasan terselubung. Pesan moralnya? Tanah air bukanlah benda dagangan. Jika kita terus jual, suatu hari kita akan tinggal di negeri yang tidak lagi punya tanah... dan tak lagi punya air.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.