🏴☠️ Bendera di Atas Kuburan Nurani
“Di negeri ini, bendera berkibar lebih tinggi dari nurani yang terkubur.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Monolog Sang Penjaga Kuburan Nurani
I. Prolog
Di tanah ini, aku berdiri,
Menjaga kuburan nurani yang sunyi.
Bendera berkibar megah di atasnya,
Simbol kebanggaan, namun tanpa makna.
II. Bendera dan Nurani
Bendera itu berkibar dengan gagah,
Menutupi nurani yang telah lelah.
Dulu, nurani bersinar terang,
Kini, terkubur dalam diam yang panjang.
III. Parade Ironi
Lihatlah parade yang meriah,
Dengan janji manis dan wajah cerah.
Namun di balik senyum yang terpahat,
Tersimpan dusta yang terselamat.
IV. Sarkasme di Balik Slogan
"Keadilan untuk semua," mereka teriak,
Sambil menutup mata pada yang berteriak.
Slogan-slogan penuh semangat,
Menutupi fakta yang sesungguhnya pahit.
V. Parodi Demokrasi
Pemilu datang seperti pesta,
Dengan janji manis yang menggoda.
Namun setelah suara diberikan,
Rakyat kembali dilupakan.
VI. Paradoks Kemajuan
Kita maju dengan teknologi canggih,
Namun nurani kita semakin ringkih.
Gedung-gedung tinggi menjulang,
Tapi empati kita menghilang.
VII. Epilog
Di atas kuburan nurani yang sunyi,
Bendera berkibar tanpa henti.
Simbol kebanggaan yang hampa,
Menutupi luka yang tak pernah reda
Refleksi
Puisi ini menggambarkan ironi dan paradoks dalam kehidupan sosial-politik, di mana simbol-simbol kebanggaan nasional sering kali menutupi kenyataan pahit tentang hilangnya nurani dan empati dalam masyarakat. Sindiran ini ditujukan kepada mereka yang lebih mementingkan citra daripada substansi, serta kepada kita semua yang terkadang lupa untuk mendengarkan suara nurani.
“Patriotisme Plastik dan Doa Beraroma Formalin”
Bendera Di Atas Kuburan NuraniPengantar Pendek:
"Satu lembar kain bisa lebih agung dari seribu tangisan, asal dijahit dengan propaganda."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🩸 Isi Puisi Satir: “Patriotisme Plastik dan Doa Beraroma Formalin”
Aku,
penjaga setia bendera,
bukan karena cinta,
tapi karena gajinya lumayan.
Kain merah putih ini,
pernah dijahit oleh ibu-ibu dengan jari terluka,
tapi kini dicetak massal dari pabrik plastik
—lebih tahan air mata.
Katanya:
“Jangan kotori bendera dengan kritik!”
Padahal di balik kibarnya,
ada kuburan nurani yang sunyi,
penuh tulang-tulang janji.
Ah, Nurani!
Ia meninggal diam-diam,
dipukul pakai pasal,
disumpal pakai slogan,
didoakan dengan mikrofon ber-echo.
Aku hadir di upacara kematian itu.
Semua berdiri tegak,
bibir mengucap “Indonesia Raya”,
sambil menatap sepatu masing-masing
—takut kalau nurani mereka ikut tergali.
“Siapa membunuh Nurani?”
tanya bocah kecil sambil memegang nasi basi.
“Aku tak tahu,” jawab pejabat di televisi,
“yang jelas bukan saya, saya hanya melanjutkan program!”
Di bawah tiang bendera,
ada makam kecil dengan tulisan:
Di sini bersemayam Nurani, wafat karena kelelahan dijanjikan.
Bunganya plastik.
Doanya: copy-paste dari template pidato nasionalis minggu lalu.
Dan benderanya,
merah darah yang dikhianati,
putih tulang yang dilupa,
dikibarkan oleh tangan-tangan
yang terbiasa memotong anggaran.
Lihat!
Ada pahlawan baru,
namanya “Netijen Budiman”,
berjuang dari kasur, bersenjata meme,
melawan ketidakadilan dengan hashtag doang.
Kami menyanyikan lagu wajib
sambil menahan lapar,
karena katanya:
“Cinta Tanah Air lebih penting dari isi perut!”
Tentu saja yang berkata itu baru saja buka puasa di hotel bintang empat.
Wahai bendera,
kau tetap gagah di puncak tiang,
sementara rakyatmu
bertahan hidup di tiang listrik,
karena PLN belum lunas.
Di istana sana,
mereka berdiskusi tentang kemiskinan
di ruangan ber-AC yang wangi parfum kebijakan,
sambil menyisipkan kata “empati”
seperti garnish di makanan fine dining.
Di jalanan sini,
ibu-ibu masih jualan air mata,
tapi dibungkus plastik,
biar higienis dan tidak mengganggu estetika kota.
“Cintailah tanah airmu!”
teriak juru kampanye sambil meludah di jalan.
Padahal tanah itu sudah dijual ke investor,
dan airnya…?
Ah, sudah jadi bahan baku air kemasan berlabel lokal rasa global.
Kami sudah terbiasa,
mencintai negara sambil menunggu antrean BPJS,
merasa bangga sambil isi ulang tabung gas tiga kilo
yang harus ditukar dengan harga harga harga.
Dan Nurani?
Ia pernah menulis surat,
isinya: “Aku lelah jadi simbol. Aku ingin jadi nyata.”
Surat itu tak pernah sampai,
karena disensor oleh divisi branding nasional.
Kematian Nurani bukan berita utama,
karena tak ada video viralnya.
Kalau saja ia mati sambil joget TikTok,
mungkin kita akan peduli.
Tapi bendera tetap berkibar,
mewakili segelintir yang masih percaya,
atau setidaknya berpura-pura percaya,
karena di negeri ini,
optimisme adalah tuntutan sosial.
Lihatlah monumen,
dibangun dari beton dan retorika,
diresmikan oleh mereka yang tak tahu
cara mengeja kata “jujur” tanpa salah satu hurufnya hilang.
Dan kita semua…
menjadi penonton yang sopan,
bertepuk tangan atas pidato-pidato indah
yang tak pernah menyentuh meja makan.
“Merdeka!” katanya,
dengan mikrofon penuh gema,
padahal ia tak pernah tanya:
“Apa yang kamu makan hari ini, Nak?”
Aku ingin menangis,
tapi sudah habis air mata,
digunakan untuk membasuh dosa-dosa nasionalisme kosmetik
yang dijual di iklan rokok dan minuman energi.
Kini,
bendera itu dikibarkan di atas kuburan Nurani.
Dijaga oleh satpam idealisme,
dikelilingi pagar moralitas digital.
Tertulis di batu nisannya:
“Di sini dikubur nurani yang terlalu jujur untuk zaman ini.”
“Ia bersaksi, tapi tak laku.”
“Ia bicara, tapi tak viral.”
“Ia mencintai negeri ini tanpa subsidi.”
🕯️ Refleksi Penutup
Puisi ini adalah monolog jenaka yang getir,
sebuah eulogi untuk Nurani yang mati pelan-pelan karena dibungkam oleh seragam, aturan, dan kemasan patriotisme palsu.
Sindiran ini menyasar mereka yang menjual nasionalisme lewat slogan, tapi mengabaikan kenyataan.
Nilai yang ingin disampaikan?
Bangunlah Nurani yang hidup, bukan hanya simbol yang dikibarkan setiap tanggal merah.
Karena cinta tanah air bukan hanya soal bendera di angin, tapi perut yang kenyang dan hati yang jujur.