📚 Judul: “Tuhan, Kami Hafal Rumus Tapi Lupa Manusia”
(Sebuah Satir Pendidikan Tanpa Pedoman)
🧩 Pengantar Pendek:
Kami dilatih berpikir cepat,
tapi tidak diajari kapan harus berhenti dan peduli.
🖋 Isi Puisi Satir:
Buku kami tebal, dijilid dengan air mata gizi buruk,
Setiap halamannya wangi tinta—bukan karena ilmu,
tapi karena parfum industri pencetak bodoh berjilbab cerdas.
Kami duduk tegap di kursi, menatap papan tulis,
seolah dari sana akan turun wahyu
tentang cara menjadi manusia tanpa pernah melihat contohnya.
Ibu guru mengajarkan Pancasila,
tapi lupa memberi contoh sila kedua.
Sementara Bapak kepala sekolah berdasi rapi,
meneriakkan nilai moral sambil menendang tukang parkir
yang menghalangi mobilnya yang dicicil dengan uang pungli.
Kami hafal sejarah bangsa,
tapi dilarang bertanya mengapa sejarah itu selalu
ditulis oleh mereka yang menang tender proyek buku ajar.
Perang disucikan,
kolonialisme dimaklumi,
dan para pahlawan selalu berjanggut lebat
dan wajahnya mirip ketua OSIS yang pernah bolos tapi cerdas.
Matematika mengajarkan logika,
tapi tak bisa menjelaskan kenapa 1 orang bisa punya 9 jabatan
sementara 9 juta orang rebutan kerja sebagai penjaga gerbang pabrik.
Kami hitung kecepatan kereta dari A ke B,
tanpa tahu harga tiketnya hanya bisa dibayar oleh A dan B
yang sekolah di luar negeri dan pulang cuma untuk selfie.
Bahasa Indonesia kami nilai 100,
tapi kami lebih fasih mengeja toxic, cancel, dan gimmick.
Puisi Chairil dipaksa kami hafal,
tapi dilarang kami teriakkan bila isi puisinya memaki tiran.
Kami mencintai sastra—tapi dari jarak aman.
Jangan sampai puisi menuntut kami menolak upacara bendera
yang dilakukan di tengah genangan air banjir.
Ilmu Pengetahuan Alam begitu memukau,
kami tahu sel, mitokondria, dan lapisan ozon.
Tapi tak pernah belajar bagaimana menghadapi
ayah yang marah karena tidak bisa beli LPG.
Kami tahu tentang rotasi bumi,
tapi tak tahu arah pulang saat kawan depresi dan ingin menghilang.
Pendidikan Kewarganegaraan begitu khusyuk,
setiap bab penuh kata 'hak' dan 'kewajiban'.
Tapi kami hanya dijadikan angka NIK
untuk kepentingan pemilu dan utang negara.
Kami tahu demokrasi artinya suara rakyat,
tapi disuruh diam bila suara kami tak sesuai nada nasional.
Agama kami diajarkan dengan tatapan malaikat,
dengan tangan mengajar yang penuh syarat.
Disuruh taat,
tapi dilarang bertanya kenapa kotak amal di masjid
lebih sering dipegang bendahara yang rumahnya bertingkat dua.
Tuhan kami dijadikan soal pilihan ganda:
Siapa nabi ke-5?
Berapa jumlah rakaat?
Tapi tak pernah ada soal:
"Bagaimana menyayangi orang miskin tanpa memotret dulu?"
Pelajaran Seni diajarkan dengan kertas dan krayon,
tapi tak pernah mengajari kami membedakan mana kritik dan kebencian.
Poster kami diberi nilai 90,
asal menggambar bendera dan slogan "Semangat Belajar!".
Yang melukis tangisan ibu penjual nasi
hanya mendapat 55—karena terlalu menyedihkan.
Kami diajari menjadi generasi emas,
tapi tak diberi cetakan.
Dibentuk jadi pekerja, bukan pemikir.
Dihargai karena ranking, bukan empati.
Setiap ulangan adalah gladi resik jadi mesin,
bukan arena jadi makhluk bernama manusia.
📌 Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah jeritan ironi dari generasi yang dijejali ilmu, tapi kehilangan teladan.
Sindiran ini bukan untuk guru yang tulus,
melainkan untuk sistem pendidikan yang memuliakan nilai tapi membiarkan moral jadi nilai tukar.
Pesannya jelas:
Ilmu yang besar tanpa panutan,
adalah senjata tajam tanpa arah.
Saat buku pelajaran hanya mengajar kepala,
dan tak menyentuh hati,
maka kita hanya mencetak pemikir pintar
yang bingung ketika harus menjadi manusia.
Apakah kau masih percaya bahwa kita belajar untuk hidup,
atau sekadar hidup untuk menghafal soal yang tak pernah ditanya kehidupan?
📚 Judul: “Kitab Suci Kurikulum: Ajaran Sempurna, Umatnya Bingung”
(Puisi Satir Liar Tentang Pendidikan Tanpa Teladan)
🧩 Pengantar Pendek:
Di sekolah kami, dosa itu salah menjawab soal pilihan ganda.
Bukan memalsukan rapor, asal tertib administrasi.
Di buku kami,
guru adalah nabi kecil yang tak boleh salah,
meski ia datang telat dua jam,
duduk minum kopi dan bicara soal judi online sambil menyuruh kami "berakhlak".
Kami dicekoki bab demi bab,
tentang kebaikan, kejujuran, dan nasionalisme,
sambil menonton kepala sekolah menerima amplop
dengan senyum yang lebih suci daripada khutbah Jumat.
Pelajaran pertama: Integritas
Kata mereka: jujur itu utama.
Tapi siapa yang menyontek soal ujian negara?
Bocoran kunci jawaban dijual lebih mahal dari buku asli.
Dan kami—murid-murid yang ingin lulus—
dipaksa memilih:
jadi suci dan tinggal kelas,
atau berdosa dan masuk universitas negeri.
Pelajaran kedua: Empati
Kami disuruh menyumbang ke panti asuhan.
Bukan karena cinta kasih,
tapi demi nilai tambah untuk Lembar Penilaian Proyek.
Senyum yatim piatu difoto, dicetak, dan ditempelkan di mading
sebagai bukti bahwa kami peduli—
sekali setahun,
dalam format PPT berwarna pastel.
Pelajaran ketiga: Sejarah Bangsa
Kami diajarkan tentang pahlawan:
dari yang berpedang sampai yang berdasi.
Tapi pahlawan lokal kami,
ibu yang jualan sayur sambil nyuapin tiga anak—
tidak pernah masuk soal ujian.
Tak masuk kurikulum,
sebab tak punya monumen.
Lalu datang pelajaran Ekonomi.
Kami diajarkan tentang pasar bebas,
padahal kantin sekolah hanya menjual produk milik anak koperasi guru.
Kami tahu istilah "supply and demand",
tapi tak bisa menjelaskan kenapa harga buku naik saat semester baru,
dan turun saat tidak dibutuhkan lagi.
Pendidikan Agama mengajari kami
untuk mencintai sesama dan menjaga mulut dari fitnah,
tapi grup WhatsApp wali murid lebih beringas dari kolom komentar YouTube.
Semua berlomba jadi paling suci,
sambil mengolok ibu si Ani karena bajunya tak syar’i.
Kami diminta meneladani tokoh-tokoh inspiratif
yang dipajang di dinding sekolah:
tokoh-tokoh yang dulu dipenjara karena melawan arus.
Ironisnya,
kami dilarang menulis opini
yang berbeda dari diktat milik dinas pendidikan.
Di kelas Geografi,
kami memetakan gunung, lembah, dan aliran sungai,
tapi tak ada peta untuk mencari guru yang benar-benar mau mendengar.
Tak ada koordinat moral untuk menunjukkan arah pulang
bagi anak-anak yang tenggelam dalam tekanan,
dan tak tahu cara berkata,
“Aku tak sanggup.”
Bahasa Inggris:
Kami hafal "Simple Present",
tapi masa depan kami rumit.
Kami bisa menjelaskan perbedaan "their" dan "there",
tapi tak tahu ke mana arah mimpi kami pergi.
Guru menyuruh kami speak up,
lalu memotong ucapan kami karena “jam pelajaran habis”.
Olahraga?
Kami diajarkan pentingnya kerja tim,
tapi lomba lari estafet dimenangkan oleh anak yang ayahnya sponsor acara.
Kami push-up 10 kali demi nilai KKM,
sementara guru olahraga duduk di bayangan
menatap gaji kecilnya yang tak sebanding dengan keringat.
Ada juga Pelajaran Seni,
tempat imajinasi seharusnya merdeka.
Tapi murid yang menggambar presiden pakai gaya kartun
langsung dipanggil ke ruang BK.
“Kamu kurang nasionalis,” katanya,
padahal anak itu cuma menyalin dari majalah TIME.
Bimbingan Konseling katanya tempat curhat,
tapi kami tahu: itu ruang interogasi.
Tempat di mana tiap keluhan dianggap pembangkangan.
“Kamu tidak bersyukur,” katanya,
ketika kami bicara tentang tekanan hidup dan kecemasan.
Upacara Bendera setiap Senin,
adalah konser propaganda dengan naskah yang tak pernah berubah:
“Jadilah anak bangsa yang berguna,”
sambil kami berdiri di panas matahari
dengan sepatu sobek dan perut kosong.
Kami belajar TIK,
tapi WiFi sekolah sering mati.
Guru TIK hanya tahu Microsoft Word,
tapi kami disuruh membuat animasi 3D.
Kami tahu cara membuat PowerPoint,
tapi tak pernah tahu cara menyampaikan isi hati.
Evaluasi Belajar:
Sekolah mengukur kepintaran dari angka,
seolah hidup bisa dijumlahkan seperti nilai UTS.
Anak pintar dapat pujian,
yang lambat dianggap beban.
Padahal mungkin si pintar itu pandai meniru,
dan si lambat sedang belajar jujur.
Ada guru yang baik—kami tahu.
Tapi sistem menampar mereka keras.
Guru yang ingin mendidik jadi manusia,
harus tunduk pada silabus cetak ulang
yang lebih peduli pada "kompetensi dasar"
daripada keberanian bertanya.
Sementara itu,
di rumah, orang tua kami hanya minta satu:
“NILAI BAGUS!”
Tak peduli anaknya paham atau pura-pura paham.
Kami tumbuh sebagai pencatat hafal,
bukan pemikir.
Kami tahu kapan bilang "maaf",
tapi tak tahu mengapa harus meminta maaf pada ketidakadilan.
📌 Refleksi Penutup:
Puisi ini menyindir sistem pendidikan yang kehilangan arah:
penuh aturan tapi tanpa keteladanan,
penuh hafalan tapi minim kesadaran.
Sindiran ini menyasar pada institusi, birokrasi, dan budaya diam
yang membuat anak-anak cerdas tapi kehilangan jiwa.
Nilai moral tanpa praktik,
ilmu pengetahuan tanpa hati,
membentuk generasi yang kuat di kepala
tapi lumpuh di nurani.
Pesannya?
Jika buku pelajaran adalah kitab suci,
maka sekolah adalah tempat ibadahnya.
Sayangnya, yang beribadah hanya tubuh,
bukan hati.
Dan yang disembah bukan nilai kebaikan,
tapi angka rapor.