🔪 Judul: "Memoar di Kuburan Ingatan: Aku Si Pembuat Janji Tanpa Otak Cadangan"
📜 Pengantar:
Kalau lidah bisa menandatangani kontrak, maka dunia ini sudah jadi surga palsu yang dilunasi dengan air mata. Mari kita rayakan sang pembual agung!
🧱 Isi Puisi Satir – "Aku Si Pembuat Janji Tanpa Ingatan"
Aku adalah pahlawan berkemeja putih,
penjaja mimpi yang dijual per kilogram di pasar wacana.
Aku berbicara seperti malaikat kehabisan skrip,
menjanjikan surga dengan ongkos neraka.
Aku menanam janji seperti beton,
keras, dingin, tak bisa tumbuh apa-apa—
kecuali frustrasi dan bakteri kecewa.
Lihatlah rakyat bersorak,
sambil mengunyah nasi utang dan senyum plastik.
"Besok cerah," kataku setiap badai datang,
karena aku tahu: rakyat cepat lupa.
Lupa harga, lupa janji,
asal mereka disogok dengan selfie dan amplop bergambar mukaku.
Aku si maestro pidato kosong,
penggembira langit kelabu dengan pelangi editan.
Ketika listrik padam,
aku bersumpah cahaya akan datang—
padahal aku yang cabut stekernya.
(Bait 2: Teater Boneka dan Spanduk Surga)
Di panggung rakyat, aku pemain utama.
Lakonnya sama, naskahnya basi,
tapi tetap laku—karena promonya pakai jubah moralitas.
Aku mengangkat tangan kanan,
sementara tangan kiri mencuri besok pagi.
"Gratis!" teriakku.
Tapi tagihannya datang dalam bentuk pajak,
dibungkus elegan dengan kata: subsidi dikaji ulang.
Aku tak ingat janjiku karena aku tak pernah niat.
Janji hanya ornamen,
hiasan kampanye yang bisa dicuci dengan hujan korupsi.
Lihatlah, para pendukungku:
mereka berteriak seperti burung beo yang dilatih di sangkar.
Tak peduli lidahku bercabang,
asal aku bisa joget TikTok dan berbagi sembako pas musim hujan suara.
(Bait 3: Akademi Lupa Nasional)
Aku lulusan Akademi Lupa Nasional,
jurusan Manipulasi Fakta dan Ilmu Berkata Manis.
IPK-ku: 404 – Kejujuran Not Found.
Aku si pembuat narasi, bukan solusi.
Aku edit realitas dengan hashtag dan filter.
Kalau banjir datang,
aku tunjuk langit:
"Ini semua salah cuaca global."
Kalau rakyat lapar,
aku beri mereka webinar dan lomba ucapan syukur.
Anakku sekolah di luar negeri,
sementara aku bilang: "Pendidikan kita terbaik, asal sabar."
Aku potong anggaran pangan,
lalu katakan: "Rakyat harus belajar hidup sederhana."
(Bait 4: Ekonomi Simsalabim & Janji Inflasi)
Ekonomi? Aku sulap jadi ilusi.
Inflasi? Itu hanya mitos musiman,
kata para stafku yang bergaji 3 digit per bulan—dollar, tentu saja.
Sementara emak-emak berjihad di pasar,
aku sibuk memeluk statistik palsu
yang ditulis pakai pena bersponsor.
Harga minyak naik?
Bilang saja: "Demi pembangunan berkelanjutan!"
Subsidi dicabut?
Sebarkan: "Rakyat mandiri itu keren!"
Upah minimum?
Bisa dinego kalau kalian semua diam dan sabar sampai kiamat.
(Bait 5: Demokrasi Delusi dan Kursi Berkaki Empat Kepentingan)
Aku pejuang demokrasi!
(Asal yang memilihku jangan tanya banyak-banyak.)
Suaramu penting,
tapi hanya saat Pemilu.
Setelah itu,
aku akan mute kalian seperti lagu jelek di Spotify.
Parlemen?
Itu teater boneka dgn tiket miliaran rupiah.
Kursi-kursi di sana empuk,
dibungkus janji busuk dan sponsor tambang.
Aku tepuk tangan tiap RUU disahkan—
asal ada celah untuk anak cucuku menjual oksigen di masa depan.
(Bait 6: Manifesto Sang Lupa)
Inilah manifestoku:
aku berjanji untuk selalu berjanji,
tanpa pernah terikat oleh apa pun kecuali rating dan polling.
Aku adalah pemimpin dengan memori jangka satu tweet.
Setiap kritik kubalas dengan jargon nasionalisme dan emotikon merah putih.
Kalau kalian marah,
aku lempar jargon:
"Kenapa harus benci, kalau bisa healing bareng?"
Aku bukan pendusta.
Aku hanya pendaur ulang harapan,
agar kalian tetap menunggu yang takkan pernah datang.
(Bait 7: Di Puncak Piramida Janji)
Kini aku berdiri di puncak,
menatap negeri yang kubentuk dari retakan dan retorika.
Kuberi rakyat panggung kecil untuk demo,
asal tak terlalu keras.
Kuberi mereka kebebasan berbicara,
tapi mikrofon kusetel ke volume nol.
Aku pembuat janji—
tapi jangan suruh aku mengingat,
karena memoriku penuh dengan nama-nama donor dan sponsor.
Kalau rakyat bertanya,
aku jawab dengan senyum hologram dan twibbon.
🔍 Refleksi Penutup:
Puisi ini menyindir para pemimpin, politisi, dan elite kekuasaan yang menjadikan janji sebagai komoditas, bukan komitmen. “Aku Si Pembuat Janji Tanpa Ingatan” bukan sekadar tokoh fiktif—dia adalah cermin dari sistem yang membiarkan kebohongan menjadi mata uang resmi. Satir ini bukan hanya pukulan untuk mereka yang di atas, tapi juga tamparan halus bagi rakyat yang terlalu mudah memaafkan dan terlalu cepat melupakan. Karena selama janji masih laku dijual, kita semua bagian dari lakon ini.
“Aku Si Pembuat Janji Tanpa Otak, Tanpa Malu, Tanpa Deadline”
📜 Pengantar Singkat:
Ingatanku pendek, tapi mulutku panjang.
Kalian yang bodoh, aku yang menjanjikan—kita berjodoh.
📚 Isi Puisi Satir (Versi Buas & Liar):
(Bait 1 – Mantra-Mantra dari Lidah Palsu)
Aku si lidah yang dibaptis dengan kebohongan,
berbicara seperti nabi mabuk slogan.
Tak perlu kitab, cukup baliho raksasa—
dengan senyum palsu dan pose tangan penuh makna kosong.
Kata-kataku seperti kembang api:
indah sejenak,
lalu meninggalkan udara penuh asap dan batuk rakyat.
Janjiku adalah narkoba legal—
dijual saat kampanye,
ditagih saat kau sadar realita pahit
lebih murah dari nasi basi di warteg pinggir tol.
(Bait 2 – Tukang Sihir Tanpa Etika)
Aku penyihir sabda,
bisa mengubah janji jadi ilusi,
luka jadi statistik,
dan penderitaan jadi konten viral.
Aku berkhotbah di tengah banjir,
berdiri di atas jeriken bensin,
lalu menyalahkan rakyat karena tak belajar berenang.
“Kesalahan kalian sendiri!”
kataku,
sambil menaikkan harga bahan pokok,
lalu menyumbang satu dus mie instan
dan memanggilnya “aksi kemanusiaan.”
(Bait 3 – TikTok dan Tragedi)
Aku si influencer kebijakan,
berjoget di atas reruntuhan harapan.
Setiap kemiskinan kubalut dengan filter estetik:
“Kalian hebat!”
“Kalian kuat!”
(Karena kalau lemah, tak bisa bayar utang negara.)
Banjir?
Cukup kirim drone dan kamera,
lalu edit dengan lagu inspiratif.
“Kita pulih lebih kuat,” kataku,
sambil memotong anggaran logistik
dan menambah biaya pelesir ke Swiss.
(Bait 4 – Aku & Konferensi Lupa Internasional)
Aku alumni Konferensi Lupa Internasional:
bertemu dengan pemimpin-pemimpin lain yang juga suka janji sambil ngiler.
Kami sepakat bahwa:
-
Ingatan rakyat itu musiman.
-
Skandal bisa hilang kalau timing upload konten cukup pas.
-
Rasa malu bisa ditunda seperti proyek jembatan.
Maka kuluncurkan program-program baru:
— Gerakan Hemat Nafas: karena udara makin mahal.
— Sekolah Anti-Kritik: agar generasi muda tahu bahwa diam itu emas,
dan emas itu milik kami.
(Bait 5 – Demokrasi Tanpa Penciuman)
Demokrasi di tanganku adalah makanan busuk yang disemprot parfum.
Kalian mengendus harum,
padahal itu bau bangkai kebijakan.
Setiap pemilu kubuka seperti konser,
panggung besar, lampu sorot,
penonton histeris—
lalu setelahnya,
aku kabur ke kursi kekuasaan
dan membiarkan panggung jadi puing-puing.
Hak suara?
Itu kuubah jadi produk sekali pakai:
“Gunakan saat kampanye,
buang saat real count.”
(Bait 6 – Kebodohan Kolektif: Kolaborasi Hebat!)
Aku memang bajingan,
tapi bajingan yang kau tepuki.
Aku mabuk kekuasaan,
tapi kalian yang menuangkan gelasnya.
Aku tidak lupa,
aku cuma pura-pura bodoh
agar kalian yang sebenarnya terlihat tolol.
Katanya:
“Kita butuh pemimpin tegas.”
Maka kutegaskan:
bahwa kalian akan tetap miskin,
tapi dengan gaya yang estetik.
(Bait 7 – Ekonomi Gaya Bohong Internasional)
Ekonomi?
Sudah kugadai di kasino global.
Anggaran?
Kupakai untuk menggaji konsultan pencitraan.
Kalian tanya:
“Mana rumah murah?”
Kubalas dengan:
“Beli NFT aja, lebih visioner!”
Sementara rakyat antre sembako,
aku antre koleksi jam tangan edisi terbatas
dengan kode nama: "Uang Rakyat."
Karena cita-citaku sederhana:
jadi kaya dari orang-orang sabar.
(Bait 8 – Tuhan Pun Kuperalat)
Aku bahkan tahu cara menjual nama Tuhan,
dengan jargon moral dan ayat copas dari grup keluarga.
Aku bilang:
"Semua ini ujian iman."
Padahal aku yang buat soalnya,
aku yang pegang kunci jawaban,
dan kalian semua harus bayar kalau mau lulus.
Salat kubikin festival,
zakat kubikin promo digital.
Surga kuiklankan lewat baliho,
asal kalian tak tanya:
"Kenapa jalan ke rumah sakit penuh lubang?"
(Bait 9 – Aku dan Surga Buatan Dapur Narasi)
Aku membuat surga virtual—
pakai infografis, slide PowerPoint,
dan sambutan retoris.
Ada tol baru,
tapi tak ada gaji tukang.
Ada bandara,
tapi tak ada pesawat.
Yang penting ada pita gunting.
Yang penting ada drone shot.
Yang penting viral.
Karena aku paham:
Kenyataan tak penting,
asal narasi lebih seksi.
(Bait 10 – Penutup: Kutukan Abadi Sang Penjanjian)
Aku adalah kutukan abadi yang kalian panggil pemimpin.
Aku berdiri di atas kuburan harapan kalian—
sambil bersumpah:
“Akan kubangkitkan lagi… kalau sempat.”
Aku menandatangani MoU dengan lupa,
dan mencetak piagam penghargaan untuk diriku sendiri.
Aku dikelilingi staf penjilat,
media pengecut,
dan rakyat yang terlalu lelah untuk peduli.
Aku tak peduli kalian marah,
karena aku tahu:
marah kalian cuma trending 24 jam.
Setelah itu,
kalian akan kembali percaya.
Karena aku—
si pembuat janji tanpa otak cadangan,
tanpa malu sisa,
dan tanpa niat bayar utang janji.
🪞Refleksi / Penutup:
Puisi ini adalah ejekan brutal terhadap sistem kekuasaan yang mempermainkan harapan rakyat. Sang tokoh “Aku” mewakili mereka yang menjadikan janji sebagai dagangan politik, mengandalkan lupa massal dan manipulasi narasi. Ini bukan hanya satire untuk para elite, tetapi juga sindiran terhadap publik yang terus-menerus memilih untuk lupa, diam, atau menyembah pencitraan.
Pesan moralnya: Jangan cepat puas oleh janji manis. Ingatlah, pemimpin yang baik bukan yang paling fasih bicara—tetapi yang paling tulus bertindak.