🧨 Judul: "Pancasila Ketinggalan Sikat Gigi di Revolusi"
(Sebuah Monolog Basah Tentang Cermin, Sabun, dan Identitas yang Mengelupas)
"Cermin kamar mandi tidak pernah bohong, hanya kita yang terlalu malu bercermin."
— Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
💥 Isi Puisi Satir — Monolog Aku dan Pancasila di Kamar Mandi
I. Cermin
Pagi-pagi buta,
ketika kopi belum sempat direbus
dan matahari masih malu mengintip celana rakyat,
aku menemukan Pancasila sedang duduk di atas bak mandi,
pakai handuk—tapi nilai-nilainya telanjang.
Katanya,
"Kita perlu bicara, Bro."
Kupikir ini semacam khutbah nasional,
tapi ternyata—ini debat dadakan,
antara aku
yang masih menguap dosa-dosa kecil
dan dia
yang katanya sakral, tapi basah kuyup oleh ironi.
II. Ketuhanan Tanpa Kemanusiaan
"Aku sila pertama!" katanya gagah.
"Ketuhanan Yang Maha Esa!"
Sambil menunjuk langit-langit kamar mandi yang retak.
Kupandangi dengan sabun di tangan,
"Serius? Tapi kau membiarkan nama Tuhan dipakai jualan janji,
dipaksa masuk kelas, dipolitisasi di surat suara.
Bahkan tukang parkir pakai embel-embel syariah."
Ia diam. Sabunku licin.
III. Kemanusiaan yang Dipreteli
"Aku sila kedua!" ia menyusul.
"Kemanusiaan yang adil dan beradab!"
Mendadak pipa bocor—dan aku merasa itu simbolik.
"Adil?
Lihat si tukang ojek online makan mie instan 3x sehari
sementara kau traktir politisi di hotel bintang tujuh."
"Beradab?"
Kupelototi berita kemarin:
remaja dipukuli karena beda suara,
warga diarak karena beda selera,
dan kolom komentar YouTube lebih brutal dari arena gladiator Romawi.
IV. Persatuan yang Retak di Dinding
"Sila ketiga nih, jangan main-main!" katanya.
"Persatuan Indonesia!"
Tapi waktu dia ucap itu,
ada suara kentut dari lubang WC yang menggema.
Aku tersedak air kumur.
"Persatuan yang mana?
Kita bersatu di diskon Harbolnas,
tapi bercerai-berai di warna kulit,
suku, simbol, dan 'siapa lebih Pancasila daripada siapa'?"
Dia mulai ngos-ngosan. Handuknya melorot.
V. Demokrasi: Suara dari Klakson
"Sila keempat!" teriaknya,
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan!"
"Permusyawaratan di mana?
Di grup WA keluarga yang isinya hoaks semua?
Atau di DPR, tempat drama lebih bagus dari sinetron?"
tanyaku sambil mencabut bulu hidung yang tersesat.
Dia jawab,
"Kita punya Pemilu!"
Aku balas,
"Kita juga punya uang bensin, serangan fajar, dan Caleg bermodal baliho tebal dan isi otak tipis."
VI. Keadilan: Satu-Satunya Yang Masih Di Laundry
Sila terakhir bangkit dari pojok kloset.
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!"
Aku menengok keluar jendela,
di seberang jalan,
anak kecil mengamen dengan sendok dan ember cat.
"Yang adil hanya sistem:
Orang miskin selalu diperiksa,
orang kaya selalu diperiksa—tapi tidak dijerat."
Pancasila mengelap wajahnya pakai tisu toilet.
Mungkin mulai sadar:
dia bukan dilupakan—hanya dimonumenkan.
VII. Kamar Mandi: Tempat Paling Demokratis
"Kau tahu kenapa aku berani debat di sini?" tanyaku.
"Karena kamar mandi tidak peduli jabatan.
Semua orang sama,
telanjang,
rapuh,
dan… manusiawi."
Dia menatap cermin.
Mungkin pertama kalinya dalam sejarah bangsa,
Pancasila merasa malu sendiri.
VIII. Perjanjian Rahasia dengan Gayung
Akhirnya kami sepakat:
Jika bangsa ini terlalu sibuk selfie di upacara,
biarlah gayung dan sikat gigi jadi alat revolusi.
Aku beri dia celana pendek,
dia beri aku semangat untuk terus bertanya.
Kami tidak sepakat tentang segala hal,
tapi minimal kami sama-sama berkeringat.
"Debat Basah: Aku dan Pancasila Bertengkar di Kamar Mandi"
Pengantar Pendek
"Ketika ideologi bertemu dengan realita dalam ruang paling privat, percakapan menjadi cermin yang memantulkan ironi kehidupan berbangsa."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
4️⃣ Isi Puisi Satir
Debat Basah: Aku dan Pancasila Bertengkar di Kamar Mandi
Di pagi yang basah, aku dan Pancasila bertemu
Di kamar mandi, tempat segala topeng luruh
Ia berdiri tegak, berbalut sabun keadilan
Aku, telanjang dengan pertanyaan tanpa jawaban
"Sila pertama," katanya, "Ketuhanan Yang Maha Esa"
Aku menyeka cermin, menatap wajah penuh dosa
"Apakah Tuhan hadir di gedung-gedung megah itu?"
Di mana doa dijual dalam amplop-amplop biru?
Ia tersenyum, busa menutupi bibirnya
"Manusia beragama, tapi lupa makna"
Aku tertawa, air mengalir bersama ironi
"Iman dijadikan komoditas, dijual di pasar pagi"
"Sila kedua," lanjutnya, "Kemanusiaan yang adil dan beradab"
Aku menunjuk luka di punggung buruh yang lelah
"Adilkah upah yang tak sepadan dengan keringat?"
"Beradabkah kita yang menutup mata pada jerit rakyat?"
Ia terdiam, sabun jatuh dari tangannya
"Kadang, sistem lebih kuat dari sila"
Aku mengangguk, air mata bercampur air mandi
"Kita mandi bersama, tapi kotoran tetap menempel di hati"
"Sila ketiga," katanya, "Persatuan Indonesia"
Aku tertawa, suara menggema di dinding keramik
"Persatuan yang dijahit dengan benang politik?"
"Di mana perbedaan dijadikan alat untuk panik?"
Ia menatapku, mata penuh busa
"Persatuan bukan berarti seragam tanpa warna"
Aku mengangguk, mengambil handuk yang lusuh
"Namun, kita lebih suka menyamakan daripada merangkul peluh"
"Sila keempat," lanjutnya, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"
Aku duduk di kloset, merenung dalam keheningan
"Perwakilan yang lebih suka tidur di kursi empuk?"
"Daripada mendengar suara rakyat yang tercekik?"
Ia menghela napas, uap memenuhi ruang
"Demokrasi kadang tersesat di lorong kekuasaan"
Aku berdiri, menyalakan shower yang dingin
"Kita memilih, tapi pilihan kita sering dikekang"
"Sila kelima," katanya, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"
Aku menunjuk timbangan yang miring di sudut kamar
"Keadilan yang berat sebelah, untuk siapa?"
"Rakyat kecil atau mereka yang duduk di singgasana?"
Ia menunduk, air mengalir dari rambutnya
"Keadilan adalah cita-cita, bukan fakta"
Aku mengangguk, menutup keran yang berderit
"Namun, cita-cita tanpa usaha hanyalah mitos yang terbit"
Kami berdiri, telanjang dalam kebenaran
Tanpa sabun, tanpa handuk, hanya pertanyaan
Di kamar mandi, tempat segala topeng luruh
Aku dan Pancasila, bertengkar dalam sunyi yang utuh
🎠Refleksi Akhir
Monolog satir ini adalah tamparan halus—dan kadang tidak halus—bagi kita semua, terutama mereka yang dengan lantang mengklaim sebagai penjaga moralitas dan nasionalisme tapi menelanjangi nilai-nilai luhur di balik layar kekuasaan. Sindiran ini ditujukan kepada budaya simbolik yang kian banal, para pejabat dan rakyat yang sibuk debat soal "siapa paling Pancasila" tanpa hidup dalam nilai-nilainya.
Pesannya?
Pancasila bukan benda museum, bukan hafalan lomba 17-an. Ia hidup—atau mati—di kamar mandi moral kita masing-masing.
Puisi ini adalah cermin yang memantulkan ironi kehidupan berbangsa. Melalui dialog antara individu dan ideologi di ruang paling privat, kita diajak merenung tentang sejauh mana nilai-nilai Pancasila terimplementasi dalam realita. Sindiran ini menyasar pada ketidaksesuaian antara prinsip dan praktik, mengajak kita untuk tidak hanya menghafal sila, tetapi juga menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.