Pengantar Pendek:
"Semangat patriotik berkarbonasi, siap diseruput, lalu dibuang."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
NASIONALISME DALAM KALENG SODA
(Monolog oleh seorang patriot aluminium yang pernah disanjung, kini diremukkan)
Aku ini kaleng soda nasional, bung!
Bukan sekadar wadah—aku simbol!
Simbol cinta tanah air yang bisa dikocok,
lalu diminum saat kampanye dan ditinggal saat haus hilang.
Aku pernah berdiri gagah di rak-rak minimarket,
ditata sejajar dengan semangat Sumpah Pemuda,
bersebelahan dengan kemasan-kemasan produk asing
yang katanya penjajah baru,
tapi dicintai lebih dari aku—yang katanya “rasa lokal penuh cinta”.
Aku penuh karbonasi patriotik.
Buka aku, dan kau akan mendengar
dentuman Merdeka! dalam bentuk… pssttttsss!
Semburan gas, seperti semangatmu saat menyanyikan lagu wajib,
di mulut yang sibuk mengunyah burger dari negeri adidaya.
Aku bukan hanya minuman, aku perasaan.
Perasaan bahwa mencintai negeri itu semanis gula buatan
yang bikin ketagihan, lalu diabetes sejarah.
Minum aku tiap upacara,
tapi jangan tanya siapa petani tebu lokal—siapa peduli?
Minum aku di bulan Agustus,
karena rasa nasionalisme paling terasa ketika ada diskon.
Bendera dibagikan gratis di labelku,
kalau beli 3 kaleng, bisa dapat satu kipas merah putih—gratis!
Wahai rakyat berdaulat,
kau tak perlu tahu isi asli dalam tubuh aluminiumku.
Cukup baca slogan: “Cinta Produk Bangsa!”
Meski pabrikku milik konglomerat lintas negara
dan tenaga kerja magangnya dibayar dengan upah mulia: exposure.
Aku disajikan dalam seminar bela negara,
di podium berlapis marmer subsidi,
dengan kata-kata motivasi berisik
yang isinya: “Banggalah jadi Indonesia… selama pakai produk kami!”
Ah, betapa suci nasionalisme dalam bentuk cair!
Cair seperti idealisme yang menguap tiap musim pemilu.
Dikocok saat debat capres,
lalu tumpah saat istana berganti wajah.
Tapi kau tetap setia padaku.
Setiap kali resah, kau minum aku.
Setiap kali galau akan jati diri bangsa,
kau cari aku di kulkas minimarket.
Aku—oh ya aku—pernah jadi sponsor konser kebangsaan,
yang tiketnya hanya bisa dibeli pakai kartu kredit luar negeri.
Di mana penonton bernyanyi “Tanah Airku Tidak Kulupakan”
sambil live Instagram dengan filter bendera Norwegia.
Lihatlah bagaimana aku dikunyah habis oleh generasi tiktokis,
yang mencintai negara sambil memakai hoodie bendera Jepang.
Katanya: “Aku cinta Indonesia, tapi gaulnya harus global dong!”
Dan jangan lupakan kampus-kampus kita,
yang ajarkan filsafat Pancasila
dalam ruang ber-AC bersponsor aku.
Setiap mahasiswa dapat satu kaleng nasionalisme
untuk menemani skripsi tentang “Identitas Bangsa dalam Era Disrupsi”.
O patriot muda!
Minumlah aku sambil baca puisi Chairil Anwar
yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Korea.
Karena menjadi nasionalis sekarang
adalah soal branding, bukan pengorbanan.
Tentu, aku juga hadir di meja rapat DPR,
sebagai minuman resmi saat mereka memutuskan
berapa persen kekayaan alam bisa diekspor
dengan syarat: tetap mengibarkan bendera di kapal kargo.
Sungguh indah jadi bagian dari narasi besar!
Aku—produk rasa buatan—jadi tolok ukur cinta negeri.
Semakin kau haus identitas,
semakin cepat kau menelanku.
Dan saat tubuhku kosong,
ketika tak ada lagi rasa di dasar kalengku,
kau buang aku ke selokan sejarah,
bersebelahan dengan janji kampanye dan proyek mangkrak.
Tapi aku akan kembali.
Daur ulang itu nyata.
Akan kutemui dirimu lagi,
dalam bentuk edisi spesial Hari Pahlawan.
Kini kupahami satu hal, wahai anak negeri:
Nasionalisme bukan semangat,
tapi cita rasa musiman—seperti soda limited edition.
5️⃣ Refleksi / Penutup:
Puisi ini menyindir bentuk nasionalisme yang dangkal, yang dikonsumsi secara instan layaknya minuman ringan: penuh rasa, cepat hilang, dan seringkali palsu. Sindiran ini menyasar pada elite yang menjadikan cinta tanah air sebagai komoditas, generasi muda yang gamang identitas, hingga masyarakat luas yang lebih bangga pada simbol ketimbang substansi. Pesan moralnya: Nasionalisme bukan kemasan, bukan slogan, bukan perayaan musiman—ia seharusnya hadir dalam tindakan, keberanian, dan kejujuran yang tidak bisa dibeli dalam bentuk kaleng promo.
1️⃣ Judul
“Negara di Mulutmu, Gas di Otakku”
(Sebuah Monolog dari Kaleng Soda yang Lelah Menjadi Lambang Nasional)
3️⃣ Pengantar Pendek
"Bila mencintai bangsa hanya semanis iklan minuman, jangan heran bila revolusi terasa seperti sendawa."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
4️⃣ Isi Puisi Satir (Versi Lebih Liar & Buas)
NEGARA DI MULUTMU, GAS DI OTAKKU
(Monolog dari Kaleng Soda Bekas Upacara Bendera dan Talkshow Politik Pagi Hari)
Ya, aku lagi.
Kaleng soda itu.
Yang katanya “rasa Indonesia asli!”
Tapi rasaku buatan pabrik yang sahamnya dimiliki sepupu Menko Perekonomian.
Minumlah aku saat kau bersumpah setia pada tanah air
dengan tangan kanan memegang dada—
dan tangan kiri menggenggam remote TV merek Jepang.
Aku diseruput sambil menyanyikan Indonesia Raya,
tapi jangan salah—lagu itu sekarang jadi jingle iklan lebaran.
Disponsori aku, si kaleng merah putih berkarbonasi.
Oh sayang, nasionalisme itu kini bergelembung dan dingin.
Apakah cinta tanah air cukup ditaruh di rak swalayan?
Diapit diskon produk Korea dan promo Tiktok Shop?
Satu paket: nasionalisme, gratis stiker Garuda.
Kalau beli dua, bisa dapat hadiah: wajah pahlawan di sedotan plastik.
Lihat aku, wahai para jenderal keyboard dan revolusioner sambil rebahan!
Aku ini lambangmu sekarang.
Satu teguk semangat, dua teguk propaganda,
tiga teguk: kembung oleh jargon.
Aku pernah hadir di kampanye politik:
disuguhkan pada rakyat kecil yang disuruh joget pakai kaos gratis.
Dibilang “Cinta Negeri Itu Peduli!”
Sementara sawahnya diganti pusat perbelanjaan bernama Patriot Mall.
Aku jadi teman baik para buzzer,
yang menyisipkan pesan kebangsaan di antara endorse sabun pemutih.
“Cintailah negeri ini,” kata mereka sambil buka paket dari luar negeri.
Ironi? Bukan. Ini bisnis model cinta negara.
Anak-anak kini belajar Pancasila dari game simulasi.
Kalau menang: dapat voucher sodaku.
Kalau kalah: suruh nonton ulang pidato presiden dalam bentuk kartun.
Nasionalisme telah menjadi konten.
Dan aku? Aku bintangnya.
Aduh, betapa molek negeri ini!
Tempat di mana cinta tanah air bisa dikemas
dalam kemasan pop art dan slogan nyentrik:
“Berani Merdeka, Berani Segar!”
Di jalanan, tukang parkir pakai kaus “NKRI Harga Mati”
sambil menjaga mobil Mercy berpelat diplomat.
Di panggung talkshow, pejabat teriak “Bangga Produk Lokal”
sambil pakai jam tangan seharga satu tahun UMR.
Dan aku? Aku disuguhkan di meja—dingin, manis, penuh dusta.
Wahai guru bangsa!
Kau ajarkan kami mencintai bendera,
lalu menilai keberhasilan bangsa dari jumlah views dan likes.
Engkau tanamkan nilai juang
dalam bentuk kupon undian berhadiah umrah nasionalis.
Negara ini tak perlu penjajah.
Cukup aku.
Aku bisa membuatmu lupa substansi.
Aku bisa membuatmu berpikir bahwa perjuangan
adalah ikut kuis online berhadiah selfie dengan bendera.
Bahkan kini:
aku juga hadir dalam pernikahan nasionalis—
ya, pernikahan dua influencer yang menikah di puncak Monas,
dengan saksi: drone bendera dan livestream YouTube.
Aku minta maaf.
Maaf karena aku enak.
Maaf karena aku mudah dibeli.
Maaf karena aku telah menggantikan makna kata “berjuang”
dengan “berkarbonasi”.
Aku, kaleng soda yang pernah kau banggakan,
kini tinggal bekas dalam tong sampah sejarah.
Terselip di antara idealisme yang sudah kedaluwarsa,
dan utang luar negeri yang terus diperbarui.
Tapi tak apa.
Kelak, aku akan dicetak ulang.
Dengan rasa baru: “Kebangsaan Ultra Extra Cola”.
Slogan baru: “Sekali Seruput, Cintamu Abadi!”
Aku akan kembali.
Di iklan pemilu berikutnya.
Di seminar nasional tentang “Identitas Bangsa dalam Era Digitalisasi Kognitif Nano-Algoritma 7.0”
Disajikan dengan biskuit rasa kemerdekaan.
Dan kau, rakyat jelata berpikiran modern,
akan meminumnya lagi.
Dengan penuh bangga.
Dengan penuh gas.
5️⃣ Refleksi / Penutup
Puisi ini menampar wajah nasionalisme yang sudah dikooptasi pasar, dijual dalam bentuk kemasan kosong yang penuh suara tapi hampa makna. Ini bukan sekadar kritik pada pejabat atau elit, tapi juga pada masyarakat luas yang telah memeluk semangat kebangsaan semu, yang viral tapi tidak vital. Pesan moralnya: jika nasionalisme hanya hadir saat promo dan tidak tumbuh di hati dan tindakan nyata, maka kita semua sedang mabuk gas dari kaleng—dan bukan dari keberanian sejati.
1️⃣ Judul:
“Tanah Airku, Tersesat di Mesin Penjual Otomatis”
3️⃣ Pengantar Pendek:
"Negeri ini terlalu luas untuk dimengerti, tapi cukup kecil untuk dimasukkan ke dalam kaleng."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
4️⃣ Isi Puisi Satir
TANAH AIRKU, TERSESAT DI MESIN PENJUAL OTOMATIS
(Monolog oleh seekor kaleng yang dulu pernah dianggap lambang perlawanan, kini tersesat di vending machine stasiun MRT)
Aku bukan hanya kaleng soda.
Aku lembaran lagu kebangsaan yang dibekukan,
disematkan gas buatan, lalu disusun rapi
di mesin penjual otomatis yang menerima e-wallet.
E-wallet, bukan e-KTP.
Pernah, aku dibuka oleh seorang jenderal.
Dia bilang, “Rasamu segar, seperti semangat 45.”
Lalu dia mengeruk saham tambang,
dan membuangku ke laci meja rapat.
Lalu aku dibuka oleh seorang aktivis,
yang merekam aksinya dengan kamera mirrorless.
Ia teriak, “Rakyat harus bangkit!”
Sambil menyeruputku, dan bilang,
“Eh, ini mereknya lokal nggak sih? Gue harus jaga brand persona.”
Kini aku dibuka oleh anak kecil
yang mengira aku adalah mainan.
Dia minum, matanya berbinar:
“Ini enak, kayak negara!” katanya.
Negara.
Kata itu kini berarti karbonasi rasa semangat,
diikuti oleh aftertaste kegetiran.
Dulu, negara adalah ladang padi.
Sekarang, negara adalah TikTok berdurasi 15 detik
dengan filter merah putih dan musik marching band.
Aku berada di barisan depan parade,
di tangan influencer dengan 2 juta pengikut
yang baru tahu arti “Indonesia” minggu lalu.
Aku juga diselipkan dalam goodie bag seminar
tentang “Cinta Bangsa di Era Distraksi”.
Para narasumber mengutip Bung Karno,
lalu cek notifikasi endorse masuk.
Aku bukan lelucon.
Aku adalah puisi nasionalisme
yang dipotong-potong untuk jadi iklan di YouTube 5 detik.
Lewat cepat, tidak bisa di-skip,
tapi tidak diingat siapa pun.
Aku ada di tempat sampah festival kemerdekaan.
Bersama serpihan bendera plastik,
maskot garuda berbentuk balon,
dan secuil janji kemerdekaan.
Pernah aku dipajang di museum nasional,
sebagai “Simbol Nasionalisme Pop”.
Anak-anak sekolah selfie denganku,
dan caption-nya: “Gue cinta Indonesia, bro! Tapi ogah balik kampung.”
Oh, Tanah Airku…
Kau kini memiliki rasa stroberi sintetis.
Dan setiap tegukmu penuh nostalgia palsu.
Satu waktu, aku berbincang dengan sesama kaleng.
Kami bertanya-tanya,
apakah bendera itu rasa atau hanya warna?
Apakah cinta negeri itu tindakan atau tema konten?
Kami adalah ironi yang bisa didaur ulang.
Kapanpun, oleh siapapun,
dengan logo baru, rasa baru, dan slogan yang berbeda.
Tapi tidak ada yang benar-benar mencicipi kami.
Mereka hanya meneguk identitas,
lalu bersendawa kebangsaan.
Kini aku di sini,
dalam vending machine stasiun bawah tanah.
Menunggu dibeli oleh seseorang
yang ingin merasakan negerinya sendiri—
dalam bentuk dingin, manis, dan mudah ditelan.
5️⃣ Refleksi / Penutup:
Versi ini menggambarkan absurditas dan kehilangan makna dalam nasionalisme modern yang telah dikomodifikasi, dikemas, dan dijual layaknya produk cepat saji. Di balik kelembutan baitnya, puisi ini menampar kesadaran: bahwa rasa cinta tanah air kini hanya sehangat algoritma dan semudah scan barcode. Sindiran ini ditujukan pada kita semua—mereka yang menukar prinsip dengan kenyamanan, dan mereka yang menyuapkan patriotisme dalam bentuk promo dan iklan. Pesannya sederhana: Jangan biarkan nasionalisme jadi vending item. Ia layak jadi napas, bukan hanya selera.
“Tulisan ini adalah satir. Segala kesamaan dengan kenyataan hanyalah kebetulan yang disengaja.”