Idealisme Dijual per Kilo


📛 Judul:

"Diskon 70% untuk Nurani yang Sudah Tak Laku"
(Gratis satu prinsip bila beli dua dosa, selama persediaan masih ada)


🖼️ Ilustrasi:

Silakan lihat gambar yang telah disediakan: seorang pria lelah menjajakan "Dijual Idealisme" di atas timbangan pasar — wajahnya kusut, tapi timbangan itu tetap adil, menghitung harga nurani per gram.


📜 Pengantar Pendek:

"Idealisme kini bisa dibungkus pakai plastik kresek. Kalau agak amis, itu bukan hati nurani — cuma basi sedikit."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🖋️ Puisi Satir Monolog: “Diskon 70% untuk Nurani yang Sudah Tak Laku”


Selamat datang di kios kecil kami,
di antara gorengan janji dan rokok subsidi.
Silakan, Kak,
idealisme segar, baru dipanen dari kepala-kepala yang bosan mikir.

Mau yang setengah matang atau yang udah gosong?
Ada varian progresif panggang arang atau konservatif rasa bumbu micin.
Yang penting, semua cocok buat pesta demokrasi rasa mie instan.


Silakan dicium dulu baunya—
sedikit amis karena sudah lama disimpan
di freezer milik partai,
bersebelahan dengan daging aspirasi rakyat
yang ditunda kedaluwarsanya tiap musim kampanye.


Jangan salah,
dulu idealisme ini lahir dari rahim buku filsafat,
dengan air ketuban protes jalanan
dan tali pusar dari semangat membara.

Tapi maaf,
hari ini, ia hanya dijadikan topping
di atas pidato-pidato gaya retro,
yang diakhiri dengan salam tiga jari dan diskon pajak kendaraan.


Ada yang bertanya,
"Kenapa dijual, Bang?"
Saya jawab,
"Sebab kalau disimpan, ia berjamur di kepala,
dan menyesakkan hati yang kini lebih luas buat hipotek dan cicilan."


Ah,
dulu kami menyebutnya ‘integritas’.
Hari ini, lebih laku disebut ‘brand value’.
Logo palu arit sudah diganti QR Code,
dan bendera perjuangan dikonversi jadi banner endorse skincare kejujuran.


Bapak itu di pojok —
dulu dosen filsafat,
kini jadi influencer retorika,
memasarkan kebajikan dengan kode referral moral.


Ibu itu di sebelah —
mantan aktivis,
kini menanam saham di perusahaan yang dulunya dia demo.
"Yang penting, aku tetap cinta rakyat," katanya sambil menyeruput latte di lobi DPR.


Kami juga punya paket hemat:
➤ Satu kilo idealisme, gratis satu lembar amplop putih.
➤ Langganan prinsip tahunan: sekali bayar, bisa pura-pura konsisten seumur jabatan.


Timbangan ini tidak pernah bohong,
tapi mata yang menilai harga sering kabur—
apalagi bila disilaukan cahaya konferensi pers dan kilau pin emas dewan.


Apa kabar utopia?
Dia kini jadi selebgram,
dandanannya sopan,
tapi tiap caption-nya disponsori oligarki.


Cita-cita?
Ah, itu benda antik.
Bisa ditemukan di museum kepala mahasiswa tahun 1998.
Sekarang lebih laku jualan "cita-cita realistis":
punya villa, mobil dinas, dan followers loyal.


Tak perlu gelar doktor,
cukup gelar tikar di tepi kekuasaan.
Nyalakan api unggun dari koran tua
berisi janji-jani reformasi,
dan kita semua bisa panggang sosis kebenaran di atasnya.


Dengar baik-baik!
Mereka yang bicara tentang moral,
seringkali hanya menguji mikrofon.
Dan mereka yang mencela kemunafikan,
besok juga akan tanda tangan di proposal yang sama.


Aku pernah menolak proyek,
dulu.
Hari ini, aku hanya minta “konsultasi”.
Biar terdengar etis — dan tetap untung.


Kata orang,
idealismu tak bisa mengisi perut.
Aku jawab,
"Perut ini lebih kenyang ketika aku menolak makan dari uang kotor."
Tapi itu dulu.
Sekarang, idealisme cuma jadi side dish buat selera pragmatis.


Anakku tanya:
"Ayah, apa itu prinsip?"
Aku jawab,
"Itu sesuatu yang dulu Ayah banggakan.
Sekarang Ayah simpan di dompet,
buat jaga-jaga kalau moral sedang diskon besar-besaran."


Lucu ya?
Kita yang dulu berteriak lantang,
kini berbisik di ruang lobi.
Kita yang dulu menolak tunduk,
sekarang rebutan kursi paling empuk.


Ini bukan perubahan.
Ini mutasi moral —
dari manusia menjadi mesin tanda tangan,
dari nurani menjadi algoritma kepentingan.


Kawan-kawan lama kini jadi komisaris.
Mereka tersenyum sambil berkata:
"Dunia ini tak sehitam-putih itu, Bro."
Padahal yang mereka maksud:
"Abu-abu itu warna paling menguntungkan."


Banyak dari kami sudah tak lagi marah.
Kami hanya tertawa getir.
Sebab di negeri ini,
tertawa adalah cara paling elegan untuk tidak gila.


Puisi ini bukan untuk menyadarkan—
tapi untuk menggoda mereka yang masih punya sedikit sesal.
Ayo, sini.
Buka lemari idealismemu yang lama.
Kalau sudah lapuk,
kami bisa bantu kemas jadi produk fashion.



🎭 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah sindiran telanjang atas fenomena menjamurnya kaum terpelajar, aktivis, dan pemilik moral tinggi yang rela menukar idealismenya demi kenyamanan, jabatan, atau popularitas. Ini bukan hanya tentang politik, tapi juga dunia pendidikan, aktivisme, bahkan spiritualitas. Siapa pun yang pernah memegang nilai, dan kini menjualnya dalam bentuk diskon berpola alasan pragmatis, menjadi sasaran puisi ini. Pesan moralnya sederhana: jika idealisme dijual per kilo, maka nurani kita hanya akan seberat promosi.


📛 Judul:

“Kepala Kosong, Harga Pas: Idealisme Siap Goreng!”
— Gratis cuci dosa, bayar pakai akun palsu —


📜 Pengantar Pendek:

"Semua orang punya harga, tapi beberapa hanya butuh mic dan kursi empuk untuk lelangnya."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🖋️ Puisi Satir Monolog Versi 2


Tolong buka dompet dulu sebelum bicara soal hati.
Di sini, kami tak terima logika,
kami hanya terima transfer.
Idealismemu bagus, Bung —
tapi berapa kamu buka harganya?


Maaf,
kami bukan toko buku.
Kami toko jiwa.
Semua dijual:
Prinsip, idealisme, bahkan rasa malu.
Bungkusnya rapi, dilaminasi kutipan filsuf
tapi isinya?
Keringat penjilat dan air liur kesepakatan bawah meja.


Yang masih pegang prinsip,
kami anggap stok lama.
Obral besar,
karena sudah tak cocok pasar zaman.
Yang idealis itu bau tanah,
yang realistis —
bau parfum sponsor.


Dulu ada anak muda
teriak “revolusi!” di atas mimbar.
Hari ini dia duduk manis
pakai jas sponsor
dan senyum tiga lapis:
untuk Tuhan, kamera, dan investor.


Kita semua tahu,
bahwa kebenaran bisa dikemas.
Jadi podcast.
Jadi seminar.
Jadi endorsement.
Selama disisipkan tagar dan logo partai.
Jangan lupa disensor sedikit,
agar lebih gampang dicerna algoritma.


Ada yang bilang,
“Keadilan butuh suara.”
Saya jawab:
“Yang paling keras bukan yang paling benar,
tapi yang paling punya dana iklan.”


Mari kita buka peta moral bangsa:
Utara: Surga investor
Selatan: Laut retorika basi
Barat: Gunung konsesi tambang
Timur: Padang janji kampanye yang ditinggal hujan


Selamat datang di Republik Semu.
Tempat di mana idealisme dipakai untuk mendekor
pidato-pidato yang kosong seperti janji—
tapi tetap ditonton 10 juta views karena ada drama tangis.


Prinsip?
Itu semacam filter Instagram.
Dipakai saat perlu branding,
dilepas ketika sudah masuk panggung debat.


Pernah dengar suara nurani?
Kami rekam,
kami potong,
kami edit jadi jingle iklan
untuk produk sabun cuci otak edisi elite.


Kami punya paket bundling:
➤ Satu kilo idealisme, gratis baliho satu desa.
➤ Langganan prinsip mingguan, cocok untuk pemula.


Mau jadi aktivis?
Gampang.
Teriak, trending, tawar harga,
kemudian masuk komisaris.
Jangan khawatir.
CV bisa kami poles,
bio bisa kami ganti:
“Pernah melawan, kini membangun.”
(Ada catatan kaki kecil:
dana bangunnya dari siapa.)


Yang kamu lawan dulu,
kini duduk bersamamu satu meja,
makan nasi dari piring yang sama,
lalu tertawa:
“Dulu cuma main peran, Bro.”


Kita semua main peran, bukan?
Sebagian jadi pahlawan,
sisanya jadi figuran
dalam sinetron negara yang rating-nya naik
kalau ada kericuhan —
yang sengaja diskenariokan.


Jangan tanya “Apa kabar reformasi?”
Ia masih hidup,
tapi sedang dirawat di ruang tamu istana.
Dipasangi infus kompromi,
dan dibacakan dongeng oleh menteri-menteri pelukis mimpi.


Ada yang tanya:
"Kenapa kamu berubah?"
Saya jawab,
"Bukan saya yang berubah,
ini dunia yang terlalu mahal
buat ditempuh pakai idealisme."


Kita bisa beli semuanya hari ini.
Harga nurani ditentukan per pasar.
Kalau ramai isu HAM,
naik sedikit.
Kalau isu lingkungan?
Turun drastis —
karena hutan bisa ditebus pakai CSR.


Lucunya,
semua masih foto tangan ke dada
sambil caption: “Untuk rakyat.”
Padahal yang dipegang itu bukan hati —
tapi amplop logistik.


Saya ingat dulu menangis
melihat sahabat saya dipukuli
karena membela tanah rakyat.
Hari ini,
saya melihat dia memegang map proyek
dari tangan yang sama yang dulu menendangnya.


Itu bukan pengkhianatan, katanya.
Itu pertumbuhan.
(Ya,
dompetnya tumbuh.
Hatinya menyusut.)


Idealisme bukan lagi cahaya.
Ia jadi bahan bakar.
Untuk menyalakan kendaraan pribadi
yang diparkir di belakang Gedung Merah Putih.


Mau lucu?
Mereka bilang “Demi bangsa!”
sambil menyapu bersih
jatah bansos dan data pemilih.


Kalau hari ini kamu masih percaya
bahwa perubahan datang dari suara,
maka izinkan aku menjualmu
satu dus mimpi,
edisi terbatas,
berisi kata-kata mutiara yang tak berpengaruh sama sekali
di rapat anggaran.


Saya tidak sinis.
Saya hanya kenyang.
Karena terlalu sering menelan
omong kosong yang dibungkus pakai kertas konstitusi.


Dan saya tahu —
kau pun sama.
Kita semua tahu rasanya:
Ketika bicara jujur terasa ketinggalan zaman,
dan kemunafikan menjadi kompetensi utama.


Bung,
kalau idealisme masih kau genggam,
maka berhati-hatilah.
Banyak yang akan memelukmu
hanya untuk mencuri isi kepalamu.
Lalu menjualnya,
tanpa menyebut namamu di konferensi pers.


Dan bila suatu hari
kau lelah menjelaskan
kenapa kamu masih bertahan pada prinsip,
jangan sedih.
Kau bukan kalah.
Kau hanya tidak sedang dalam diskon.



🎭 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah potret liar tentang pergeseran nilai dalam masyarakat yang katanya demokratis tapi praktiknya transaksional. Idealisme, yang dulu jadi tulang punggung gerakan perubahan, kini hanya dianggap komoditas murah — diperjualbelikan dengan bungkus moral, tapi niat kosong. Sindiran ini menyasar siapa pun yang pernah bersumpah untuk rakyat, tapi kemudian memilih tender, kursi, dan tepuk tangan palsu. Pesannya jelas: jangan sampai kau jadi murah, hanya karena semua orang di sekitarmu sedang obral nurani.




Post a Comment

1 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.