💬 Pengantar Pendek:
"Negara katanya berdiri atas dasar Pancasila. Tapi hari ini, sila pertama pun ikut di-checkout saat Harbolnas."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🧾 "Lima Sila di Keranjang Belanja"
(Monolog seorang rakyat yang tersesat di lautan e-commerce)
I. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Transfer
Tuhan kini punya rating bintang empat koma dua,
"Respon seller lambat, doa saya tertunda."
Akun surga dijual di marketplace,
Ada promo "Buy 1 Pray 5 Get Heaven Free."
Yang penting checkout sebelum ajal datang,
Asal pakai voucher iman dan bebas ongkir dosa.
Di masjid, gereja, pura—
Wifi lebih kencang dari bisikan nurani.
Ketuhanan kami ada di swipe up dan click bait,
Bukan di sunyi hati yang merenung.
Sekarang Tuhan ikut tren digital:
Langit pakai cloud, berkat kirim via email spam.
II. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil Buat yang Checkout Cepat
"Manusia semua sama, kecuali kamu pakai iPhone seri lama."
Senyuman diganti emotikon,
Empati dikurir via ekspedisi express.
Kemanusiaan ada di paket amal—
Dikirim saat banjir, difoto, lalu di-post.
Lalu scroll, lalu lupa.
Anak-anak Papua butuh sinyal dan perhatian,
Tapi trending malah tentang artis putus cinta.
Keadilan?
Oh, itu cuma flash sale yang cepat habis.
Si miskin antri bansos,
Si kaya live streaming sambil buka paket.
III. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia Versi Tokopedia
Persatuan kami dikurasi algoritma.
Satu nusa, satu bangsa,
Satu seller favorit di Jakarta Barat.
Kami tak berpecah karena agama,
Tapi karena diskon beda 5 ribu di dua toko yang sama.
Bendera dijual,
Garuda dicetak di tote bag,
NKRI Harga Mati (Kecuali Kalo Ada Promo Gede-Gedean).
Kami bersatu dalam checkout bareng,
Dan pecah belah dalam review bintang satu.
IV. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipilih Berdasarkan Like dan Subscribe
Rakyat bersidang di kolom komentar,
Setiap keputusan diambil lewat polling Instagram.
Wakil rakyat kami endorse skincare,
Bicara tentang UU sambil unboxing.
"Musyawarah mufakat" artinya rapat Zoom yang ngelag,
Tapi setuju karena bosan,
Asal bisa cepat balik tidur.
Wakil-wakil kami bukan dari rakyat,
Tapi dari mereka yang bisa trending tiga hari berturut.
Kerakyatan kami tergantung sinyal dan kuota—
Tak ada sinyal, tak ada demokrasi.
V. Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Semua Akun Premium
Keadilan hanya untuk member Gold.
Yang gratisan: sabar ya, pesananmu delay.
Harga BBM naik,
Tapi influencer liburan ke Dubai tiap minggu.
Keadilan sosial kini berbasis algoritma:
Kalau sering beli, baru dapat diskon keadilan.
Orang-orang di desa butuh puskesmas,
Tapi yang dibangun malah mall baru.
Subsidi diberikan kepada yang bisa bayar pajak,
Yang benar disensor,
Yang palsu dapat centang biru.
Dan rakyat?
Dibungkus rapi dalam plastik gelembung
Lalu dikirim ke masa depan yang kabur.
🪞 Refleksi Penutup:
"Pancasila Versi Toko Online" ini adalah cermin retak dari realitas sosial yang absurd:
dimana nilai luhur dibungkus bubble wrap komersialisme,
dan idealisme dijual grosiran selama Harbolnas.
Sindiran ini menyasar kita semua—
Rakyat yang lupa makna sila,
Elit yang mengemas janji dalam paket palsu,
Dan algoritma yang kini lebih dipercaya dari nurani.
Pesan moralnya sederhana namun pahit:
Jika Pancasila hanya jadi caption promo,
Maka bangsa ini tinggal menunggu waktu
Untuk benar-benar kehabisan "stok kesadaran".
💬 Pengantar Pendek:
"Di negeri kami, sila-sila bukan lagi dasar negara. Tapi tombol-tombol checkout—yang menentukan siapa manusia, siapa algoritma."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
🧾 Checkout Suci di Negeri Lima Sila
I. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Cashback
Tuhanku kini punya akun verified,
Bio-nya: “Pencipta Langit & Promo Tiap Jumat Berkah.”
Dulu Dia disembah,
Kini di-tag tiap mau naik gaji.
Dulu doa naik ke langit,
Sekarang harus lewat CS—dengan keluhan tertulis dan bukti transaksi.
Salat lima waktu?
Terganggu notifikasi Flash Sale.
“Ya Tuhan, aku bersujud... tapi sinyalku hilang, maaf.”
Kidung suci terganti backsound TikTok,
Mazmur ditelan diskon bundling “Doa & Jodoh.”
Lalu kita cipta agama baru:
Tuhan = diskon besar,
Surga = pengiriman instan,
Iman = kode voucher.
Kita puasa dari logika,
Lapar pada validasi,
Haus oleh likes,
Dan berbuka dengan candu konten.
II. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Bisa Diretur
Sila kedua kini pakai size chart,
Kalau terlalu miskin, "Maaf, ukuran kamu kosong."
Kemanusiaan jadi katalog:
Wajah senyum, harga murah,
Tapi isi: plastik empati dan bumbu pura-pura.
Kami tonton bencana via livestream,
Sambil makan popcorn digital.
"Kasihan ya korban banjir," kata netizen,
Lalu lanjut lihat konten prank pocong.
Yang lapar hanya dapat sticker.
Yang sakit disarankan beli vitamin lewat afiliasi.
Yang mati?
Dijadikan konten "Motivasi Hidup."
Kemanusiaan dijual dalam paket bundling:
Amal + Branding + Upload = Surga Versi Editor.
Si kaya bersedekah demi konten,
Si miskin bersyukur demi bertahan.
III. Sila Ketiga: Persatuan dalam Checkout Bersama
Persatuan kami kini bernama Fitur Group Buy.
Satu keranjang, banyak utang.
Satu bangsa, satu paket nyasar.
Negeri ini tak dibangun di atas perjuangan,
Tapi rating seller dan review jujur.
Kami tidak bersatu dalam cita-cita,
Tapi dalam rebutan diskon ongkir.
NKRI?
Netizen Kompak Review Item.
Bhineka Tunggal Ika?
Beragam barang, satu platform.
Garuda?
Burung pengantar logistik.
Lagu kebangsaan kami adalah jingle promo.
Bendera kami bergaris barcode.
Dan sumpah pemuda telah diganti:
“Satu harga, satu keranjang, satu tujuan: COD!”
IV. Sila Keempat: Demokrasi yang Diatur Oleh Algoritma
Pemimpin kami sekarang adalah trending topic.
Kursi kekuasaan diduduki oleh konten kreator.
Debat publik?
Terganti challenge dance dan roast battle.
Musyawarah mufakat?
Sudah punah—digantikan fitur voting.
Kebijakan ditentukan dari polling story 24 jam.
Hukum disusun dari kompilasi komentar terbanyak.
Dewan rakyat kini pakai ringlight.
Rapat anggaran sambil unboxing.
Keputusan negara tergantung Wi-Fi dan lighting.
Jika koneksi putus, hukum pun delay.
Rakyat?
Dipaksa follow.
Kalau tak setuju?
Silakan lapor ke admin, jangan lupa screenshoot.
V. Sila Kelima: Keadilan Sosial yang Hanya Berlaku Saat Promo
Keadilan sosial kini punya level:
Basic, Silver, Gold, dan Diamond.
Semakin elite, semakin cepat proses hukum.
Semakin miskin, semakin banyak captcha.
Rakyat kecil tak butuh mimpi besar—
Mereka cuma ingin paket datang tepat waktu.
Tapi pemerintah sibuk endorse NFT,
Dan launching aplikasi dengan fitur error yang nasionalis.
Keadilan adalah barang langka,
Hanya restock saat pemilu.
Harga BBM naik,
Tapi diskon janji kampanye tetap besar.
Sekolah rusak,
Tapi baliho caleg megapiksel.
Anak desa belajar dari sisa sinyal.
Tapi elite belajar cara tersenyum di kamera.
Kami dijanjikan kemerdekaan,
Tapi dikirim paket ketergantungan.
Kami disuruh cinta tanah air,
Tapi disuruh bayar pajak untuk tanah yang kami pijak sendiri.
🪞 Refleksi Penutup
Puisi ini bukan sekadar satire—ia adalah ledakan dalam kepala bangsa yang kini hidup di balik layar,
terlena dalam kenyamanan palsu dari keranjang belanja dan algoritma yang mengatur nasib.
Sindiran ini adalah lemparan batu ke jendela kaca palsu:
untuk para elite yang menjual nilai demi citra,
untuk rakyat yang lupa bertanya sebelum mencet tombol setuju,
dan untuk seluruh sistem yang lebih sibuk upgrade fitur daripada memperbaiki luka.
Pancasila—yang dahulu adalah darah dan air mata—
hari ini nyaris tinggal slogan di kemasan,
dikirim tanpa jaminan ke masa depan yang penuh return.