Pagi datang,
jam enam dia pergi—mengejar tanggung jawab,
katanya demi masa depan, demi kebutuhan, demi semua hal besar yang tak bisa kugenggam.
Aku hanya ditinggalkan dengan suara pintu dan langkah yang tak sempat menoleh.
Siang menjelma,
rumah ini sunyi, hanya suara napasku yang berat menunggu sesuatu yang tak kembali.
Pukul enam sore, ia pulang.
Namun bukan untukku.
Hanya tubuhnya yang kembali, jiwanya tetap di layar kaca, di dunia digital tempat aku tak bisa masuk.
Jam sembilan malam, cahaya ponselnya lebih terang dari matanya yang dulu menatapku penuh kasih.
Tanganku yang lemah tak lagi sanggup menggenggam perhatiannya.
Hanya saat pagi, dia memandikanku.
Bukan karena cinta, mungkin hanya tanggung jawab yang kering dari rasa.
Aku masih di sini.
Sakit.
Sunyi.
Dan benar-benar kehilangan waktu bersamanya—padahal aku masih hidup.
Istri Hebat dan Jadwal Sempurna
Pukul 06.00,
sang pahlawan rumah tangga berangkat—berbekal semangat kerja dan sebotol parfum yang lebih dulu menyapa udara daripada senyum untukku.
Ya, aku bangga, sungguh. Istri yang sangat profesional,
tepat waktu, disiplin, dan hanya telat pulang kalau ada "lembur mendadak".
Pukul 18.00,
pulang!
Akhirnya aku bisa melihat punggungnya masuk rumah,
karena wajahnya lebih akrab dengan layar ponsel yang katanya "butuh hiburan setelah kerja keras".
Ah, siapa aku ini? Hanya suaminya.
Tak sehibur TikTok, tak sepenting notifikasi grup kantor.
Pukul 21.00,
jam sakral. Waktu berkualitas bersama... HP-nya.
Tiap malam, ia setia men-scroll, tertawa kecil, membalas komentar,
sementara aku menjadi furnitur hidup—yang hanya bersuara jika batuk keras atau minta air putih.
Dan ya, tentu saja...
Aku dimandikan setiap pagi.
Itu satu-satunya waktu "mesra", saat air dingin jadi saksi cinta yang berubah jadi rutinitas mekanis.
Romantis, bukan?
Aku bangga, benar-benar bangga.
Memiliki istri superwoman,
yang waktu kerjanya 12 jam, waktu main HP 2 jam,
dan waktu untukku... oh, cukup kok, 10 menit sambil pegang gayung.
Aku, Suami Pajangan
Aku ini suami,
bukan suami sejati—hanya simbol.
Simbol bahwa dia sudah menikah,
simbol yang dipajang di KTP dan kartu keluarga.
Di ruang tamu, fotoku ada,
berdiri tegak dengan jas pengantin—itu cukup, katanya.
Nyatanya, aku tak lebih dari potret bisu di dinding yang berdebu.
Dia bekerja keras, katanya demi masa depan.
Tapi masa depanku tak pernah ditanya.
Dia pulang sore, main HP malam, lalu tidur.
Aku? Masih di sini. Duduk. Menatap. Menunggu giliran untuk sekadar dilihat.
Dan saat pagi datang,
aku dimandikan—seperti boneka kayu yang harus dibersihkan sebelum dipajang lagi.
Ah, romantis sekali... sabun di punggung lebih hangat dari kata-katanya.
Aku, suami simbolis.
Tanda bahwa dia pernah memilihku.
Tapi entah kapan dia berhenti benar-benar "memilikiku".
"Suami Pajangan di Era Digital: Monolog dari Kursi Ruang Tamu"
(Ditulis oleh: Pengamat Kehidupan Domestik, Japra alias Jeffrie Gerry)
06.00 pagi.
Pagi datang dengan langkah tergesa,
bukan langkahku, tentu saja.
Itu langkah dia—yang katanya istri, katanya belahan jiwa,
katanya soulmate, katanya pendamping sehidup semati.
Tapi semenjak dapat promosi dan kuota unlimited dari kantor,
jiwa kita tidak lagi satu paket.
Ia berangkat kerja dengan semangat luar biasa,
lebih dulu menyemprot parfum—
yang baunya sampai duluan ke pintu sebelum aku sempat ucap "hati-hati".
Senjaku dimulai dari subuhnya.
Aku hanya ditinggalkan,
bersama bantal yang belum sempat aku peluk karena dia terlalu sibuk
mengejar "masa depan yang lebih cerah."
Dan aku percaya,
masa depan memang cerah...
asal jangan cerah sendirian.
Siang.
Rumah ini bukan rumah.
Ia lebih cocok disebut museum sunyi,
dipenuhi artefak kenangan dan suara napas yang terlalu berat untuk harapan.
Aku di sini.
Masih bernapas,
tapi tidak hidup di dunianya.
Ia ada di kantor, katanya.
Rapat.
Zoom meeting.
Deadline.
Lembur mendadak (yang mendadaknya terjadwal setiap Selasa dan Kamis).
Aku hanya punya tembok untuk bicara.
Kadang aku batuk keras, berharap didengar,
tapi yang datang malah iklan YouTube tentang vitamin tenggorokan.
18.00 sore.
Pulang!
Akhirnya...
Sosoknya muncul di ambang pintu,
seperti sinyal WiFi: lemah tapi tetap terdeteksi.
Aku melihat punggungnya,
punggung yang dulunya kupeluk saat hujan,
kini lebih akrab dengan bantal ergonomis dan charger ponsel.
“Capek, jangan ganggu dulu.” katanya sambil scroll.
Aku diam.
Aku paham.
Aku bukan notifikasi kantor.
Aku tak punya bunyi yang menyenangkan seperti nada dering Instagram.
Jadi aku diam.
Jadi kursi.
Jadi meja.
Jadi apapun yang tidak minta interaksi.
21.00 malam.
Jam sakral.
Waktu berkualitas.
Bukan antara kami berdua, tentu saja.
Tapi antara dia dan HP-nya.
Mereka intim.
Scroll. Tap. Like. Tawa kecil.
Komentar dibalas dengan emoji.
Story orang dilihat, story rumah sendiri... di-skip.
Aku?
Aku jadi ornamen.
Furnitur hidup.
Kalau batuk keras mungkin dapat lirikan.
Kalau minta air putih, baru dipanggil "sayang".
Romantiskah ini?
Tentu.
Kalau kau percaya bahwa cinta adalah bentuk sabar yang terus diremehkan.
06.00 lagi.
Pagi datang.
Saat paling intim...
karena dia akan mandikan aku.
Air dingin jadi saksi bisu bahwa cinta kini hanya rutinitas.
Gayung digenggam lebih erat dari tanganku.
Sabun di punggung lebih lembut dari tutur katanya.
Aku diperlakukan baik.
Seperti patung marmer mahal yang harus dijaga.
Dibersihkan.
Dipajang.
Disenyumi—sekali sebulan saat ada tamu.
Itu cukup, katanya.
Aku bangga.
Memiliki istri superwoman.
12 jam kerja.
2 jam main HP.
Dan waktu untukku?
Oh, ada.
10 menit sambil pegang gayung.
Itu pun kadang sambil nonton TikTok tentang “cara merawat pasangan dengan baik”.
Aku, suami simbolis.
Simbol bahwa dia sudah menikah.
Simbol yang dibutuhkan saat undangan kantor minta "plus one".
Simbol di foto pre-wedding.
Simbol di KTP.
Simbol di ruang tamu—berdiri dengan jas pengantin,
tersenyum pada masa depan yang tidak kutahu akan sekelam ini.
Dia bilang aku beruntung.
Istriku sukses, katanya.
Mandiri.
Modern.
Multitasking.
Bisa kerja sambil masak mie instan untukku (kalau ingat).
Bisa rapat sambil update status: “Love my hubby so much!”
(aku tahu karena temanku yang kasih tahu—aku tak punya media sosial).
Tapi aku ini apa?
Manusia?
Atau aksesori emosional yang dipasang saat dibutuhkan?
Di balik keberhasilannya,
ada aku—yang diam,
yang tetap duduk di ruang tamu,
menjadi alas bagi keberhasilannya melangkah.
Aku fondasi, tapi bukan atap.
Menopang, tapi tidak dipayungi.
Aku, suami pajangan.
Dipajang saat keluarga datang.
Dipamerkan saat Hari Ayah.
Dibisiki "aku cinta kamu" saat teman-temannya mendengar,
lalu ditinggalkan sendirian di malam hari—bersama gemerlap cahaya ponsel
yang lebih hidup dari percakapan kami.
Tapi aku masih di sini.
Masih menunggu.
Masih setia.
Masih berharap bahwa suatu pagi,
dia akan menoleh,
bukan untuk mencari parfum,
tapi untuk menciumku.
Bahwa suatu malam,
tangannya bukan menggenggam ponsel,
tapi tanganku—yang dingin dan kaku karena lama tak disentuh.
Bahwa suatu waktu,
ia tak hanya melihatku,
tapi melihatku—
dengan mata yang dulu jatuh cinta, bukan mata yang jatuh ke layar.
Aku, suami hidup.
Masih bernapas.
Masih berharap.
Meski aku hanya mendapat perhatian
setara iklan lima detik yang tak bisa di-skip.
Tapi aku tetap di sini.
Karena cinta...
kadang seperti aku:
tak dilihat,
tak dianggap,
tapi tetap ada—
menunggu giliran untuk dimandikan.
Pesan penulis kepada pembaca yang budiman : jika kamu pria yang masih sehat maka berusahalah segala sesuatu dengan sendiri , karena suatu saat kamupun akan ditinggil sendiri dengan alasan yang masuk akal dan tidak dapat di tolak, dan bila kamu wanita , jangan tergantung sama suami, bila suamimu suatu hari tidak berdaya ,maka kamu bisa melakukan apapun dengan mandiri