Sunday, May 11, 2025

Ngutang Sama Dengan Gantung Diri

 


Ngutang Sama Dengan Gantung Diri

Sebuah Balada Satir Parodi dari Karang Tumaritis


Bagian I: Desa Karang Tumaritis Bergetar

Di kaki gunung yang sudah pensiun dari erupsi, terbaringlah desa Karang Tumaritis. Tanahnya subur, warganya nyentrik, dan tokohnya legendaris: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Mereka bukan cuma simbol pewayangan, tapi juga ahli dalam seni "hidup gaya padahal belum gajian".

Pagi itu, Semar duduk di bale bambu, wajahnya galau seperti dompet akhir bulan.

Semar:

“Duh Gusti Allah... kenapa orang-orang makin doyan utang, padahal bayar cicilan saja mereka menghilang seperti mantan!”

Gareng lewat, nyeret karung kosong yang katanya “berisi harapan”.

Gareng:

“Pak Semar, saya barusan ditagih sama Mbah Lodra dari Randu Alas. Katanya utang sembako kita belum lunas sejak lebaran 2017. Lha saya pikir itu udah dianggap sedekah lintas desa!”

Semar (tepok jidat):

“Gareng... sedekah itu ikhlas, bukan karena lupa bayar. Kita harus bertanggung jawab, bukan bertameng akting miskin.”


Bagian II: Petruk dan Filosofi Gagal Bayar

Petruk datang bawa motor hasil kredit, knalpotnya bunyi seperti batuk asma. Di tangannya ada secarik kertas: brosur pinjaman online berbunga iblis.

Petruk:

“Pak Semar! Liat nih, pinjol bunga cuma 0.0001% per detik! Cepet cair, syarat gampang, tinggal selfie pake muka polos dan tanda tangan darah!”

Semar:

“Petruk, itu bukan pinjaman, itu undangan gantung diri gaya digital!”

Petruk (ngegas):

“Tapi saya butuh dana darurat buat... upgrade skin Mobile Legend! Masa hero-nya kalah gaya sama cucu RT sebelah?”

Bagong:

“Lu butuh dana darurat atau validasi sosial?”


Bagian III: Dialog Konyol dalam Rapat Warga

Rapat warga Karang Tumaritis digelar. Topiknya: utang. Semua duduk melingkar sambil mengunyah kerupuk hutang warisan.

Pak RT (berdiri):

“Saudara-saudara, berdasarkan laporan keuangan, kita lebih banyak utang daripada saldo. Bahkan saldo grup WhatsApp saja sudah minus karena utang kuota!”

Ibu-ibu serempak:

“Itu si Bagong, tiap pinjam minyak bilangnya besok dibalikin, padahal besoknya bilang 'kan katanya ikhlas'!”

Bagong:

“Lho, kalau ikhlas kok ditagih? Itu kan berarti pamrih berkedok silaturahmi!”

Semar angkat tangan, wajahnya serius seperti guru matematika yang dikhianati murid remedial.

Semar:

“Warga Karang Tumaritis, dengarlah! Utang itu bukan dosa, tapi kalau lupa bayar dan pura-pura lupa, itu kejahatan berdalil kesopanan!”

Gareng:

“Tapi Pak Semar, ada juga orang yang utangnya gede, tapi gayanya kayak sultan. Naik motor sport, beli kopi tiap hari, selfie tiap sore...”

Semar:

“Itulah tragedi gaya hidup utang: kaya penampilan, miskin pertanggungjawaban.”


Bagian IV: Perjalanan ke Randu Alas

Karena desakan moral, Semar dan tiga anaknya memutuskan pergi ke Desa Randu Alas. Misi: meminta maaf dan melunasi utang.

Sepanjang perjalanan, mereka berdiskusi absurd.

Gareng:

“Pak Semar, utang itu bisa diwariskan gak? Soalnya saya pengin ngasih warisan yang abadi ke cucu.”

Petruk:

“Kayaknya bisa. Makanya banyak orang tua mewariskan utang KPR, cicilan motor, dan tagihan BPJS.”

Bagong:

“Kalau gitu, saya nanti mau nikah sama anak rentenir aja. Biar sekalian nyicil mertua.”

Semar (mendadak puitis):

“Anak-anakku... utang adalah cinta yang berubah jadi jerat. Awalnya manis, akhirnya menjerat lehermu dengan bunga yang membunuh.”


Bagian V: Ketemu Mbah Lodra, Juru Tagih dari Randu Alas

Sampailah mereka di rumah Mbah Lodra, sesepuh Randu Alas, yang lebih dikenal sebagai “Bank Emok Berjalan”.

Mbah Lodra (berteriak):

“Ooo, akhirnya kalian datang juga! Kalian ini ngutang beras, gula, tepung, tapi bayarnya cuma senyuman dan janji palsu kayak caleg!”

Semar (menunduk):

“Mbah, kami datang bukan untuk membela diri, tapi minta maaf dan membayar sebisa kami.”

Petruk:

“Saya bawa dua tabung gas bekas, sehelai sarung bolong, dan voucher cuci motor. Bisa ditukar nilai moral?”

Mbah Lodra (ketawa ngakak):

“Kalian memang absurd, tapi jujur. Itu lebih mulia daripada yang ngaku ‘lupa’ tapi tiap minggu liburan ke Candi TikTok.”

Akhirnya, Mbah Lodra mengampuni sebagian utang karena melihat niat baik dan kejujuran. Tapi ia juga memberi wejangan keras:

“Jangan biasakan hidup dari uang yang bukan hakmu. Rejeki sejati itu dari kerja keras, bukan dari janji manis bibir tukang utang!”


Bagian VI: Refleksi di Bawah Pohon Randu

Dalam perjalanan pulang, mereka duduk di bawah pohon randu besar. Angin semilir, dan batin mereka bergetar.

Semar:

“Anak-anakku, hari ini kita belajar bahwa utang itu bukan sekadar angka. Ia adalah tanggung jawab, moral, dan integritas.”

Gareng:

“Saya jadi malu, Pak. Selama ini saya mikir utang itu cara hidup. Ternyata itu cara perlahan menggali lubang sendiri.”

Petruk:

“Saya menyesal, Pak. Dulu saya utang buat hal gak penting: gaya, gengsi, dan ghibah.”

Bagong:

“Saya... masih utang gorengan lima biji. Tapi saya janji akan bayar. Atau minimal minta maaf pake puisi.”


Epilog: Belajar dari Tumaritis

Dari hari itu, Karang Tumaritis berubah:

  • Warung menyediakan buku utang transparan yang bisa dilihat semua orang.

  • Warga belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

  • Pinjaman harus disertai dengan surat perjanjian disaksikan kambing tetangga.

  • Gengsi dianggap penyakit jiwa, bukan lambang status.


Pesan Moral dan Solusi Praktis

1. Jangan Mudah Berutang untuk Gaya Hidup

Utang seharusnya solusi terakhir untuk kebutuhan mendesak, bukan demi validasi sosial.

2. Catat dan Ingat Semua Utang

Bukan hanya di hati, tapi di buku atau aplikasi. Lupa bukan alasan.

3. Bayar Tepat Waktu, Jangan Tunda

Menunda pembayaran membuat beban semakin besar, secara moral dan finansial.

4. Jangan Malu Mengaku Tak Mampu

Lebih baik jujur daripada hidup dalam kepura-puraan hutang.

5. Bangun Budaya Transparansi

Utang bukan aib, asal disertai niat membayar dan keterbukaan.

6. Edukasi Literasi Keuangan dari Dini

Ajarkan anak-anak soal tanggung jawab, bukan soal gengsi.

7. Hindari Pinjol dan Rentenir Ilegal

Mereka bukan penyelamat, tapi penyiksa berjas rapi.


Penutup

Balada ini bukan hanya tentang Semar dan anak-anaknya. Ini tentang kita semua—yang pernah ngutang gorengan dan pura-pura lupa, yang beli iPhone tapi tagihan listrik belum lunas, yang tampil mentereng tapi dompet bolong.

Ingatlah: Ngutang boleh, asal tahu diri. Ngutang bukan seni menghindar, tapi seni bertanggung jawab. Karena ngutang tanpa bayar... sama saja dengan menggantung diri pakai tali ketidakjujuran.


☕️ NGUTANG SAMA DENGAN GANTUNG DIRI (Versi Galaksi Liar)

Live dari Warung Kopi Pojok Ngutang
di Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng


☄️ Pembukaan Kosmis

Di tengah gemuruh angin nebula, di Planet Belgedes—planet yang katanya lebih maju dari bumi tapi tetap suka ngutang—berdiri warung legendaris bernama “Pojok Ngutang”. Tempat nongkrong segala makhluk dari penjuru tata surya: dari alien pengangguran sampai dewa yang nyicil sandal.

Di pojok warung, Semar, Petruk, Gareng, Bagong, dan Jeffrie Gerry (yang disangka Nabi Utang karena jenggotnya bisa dipintal jadi dompet digital) duduk mengelilingi satu teko kopi robusta antariksa.

☕πŸ’€


πŸ›Έ Babak 1: Ngopi, Ngutang, Ngaco

Semar (mengaduk kopi):

“Kalian sadar gak, di galaksi ini… yang bener-bener merdeka cuma utang. Dia bisa masuk ke mana saja tanpa visa. Ke dompet, ke hati, bahkan ke warung mie ayam.”

Petruk (sedot es kopi tubruk antariksa):

“Pak Semar, saya punya prinsip: lebih baik utang daripada kehilangan harga diri karena ngaku gak mampu! Wkwk.”

Gareng (melempar biskuit mete galaksi):

“Masalahnya, Truk, harga dirimu udah dijual waktu ngutang beli sabun cuci muka biar glowing di Zoom!”

Bagong (angkat tangan):

“Saya lebih milih ngutang pulsa daripada kehilangan eksistensi sosial! Bayar nanti... pas saya menang lotre!”

Jeffrie Gerry (menulis di tisu):

“Di sinilah tragedi dimulai: ketika ngopi jadi gaya hidup, tapi bayar cicilan dianggap fitnah pribadi 😭”


πŸ‘½ Babak 2: Dialog Absurd di Pojok Ngutang

Semar:

“Utang itu kayak mantan posesif. Dia dateng tiap tanggal tua dan gak pernah benar-benar pergi.”

Petruk:

“Saya tuh bukan gak mau bayar, tapi semesta belum mendukung...”

Gareng:

“Itu alasan astrologi, bukan finansial!”

Bagong:

“Kalau saya sih udah pakai debt detox... tiap hari baca mantra: utangku bukan aku, aku bukan utangku... 🧘‍♂️πŸ’Έ”

Jeffrie Gerry:

“Kalian tahu nggak? Di negara Konoha ini, utang bukan lagi kebutuhan. Tapi identitas. Bahkan KTP di sini ada chip khusus utang!”


πŸ’₯ Babak 3: Kreditan Cinta dan Kartu Karma

Semar:

“Dulu orang ngutang buat usaha. Sekarang ngutang buat upgrade skin game dan kirim stiker WA premium. πŸ˜‘”

Petruk (bangga):

“Saya pernah ngutang 3 juta demi kado ultah pacar yang ternyata jadian sama kasir Alfamart!”

Gareng:

“Saya pernah ngutang beli kursi gaming, padahal gak punya rumah!”

Bagong:

“Saya ngutang beli cincin lamaran. Cewenya nolak. Akhirnya saya kawin sama cicilan.”

Jeffrie Gerry:

“Cinta bisa kandas, tapi utang tak pernah putus. Itulah ‘karma instan tanpa pelukan’. πŸ₯²”


πŸŒͺ️ Babak 4: Hantu Bernama Lupa Bayar

Semar (murka):

“Masalah kita ini satu: suka ngutang, benci ditagih. Suka pinjam, alergi bayar. Kalian itu pengabdi ‘nanti’!”

Petruk:

“Saya sih... bukan gak mau bayar. Tapi lupa.”

Gareng:

“Kamu gak lupa. Kamu nyimpen di folder ‘prioritas belakangan’!”

Bagong (dengan mata penuh dosa):

“Kalau saya... saya anggap utang sebagai bagian dari silaturahmi. Semakin lama gak bayar, semakin panjang hubungan!”

Jeffrie Gerry:

“Itu bukan silaturahmi, Gong. Itu silat-lidah dibalut syirik finansial!”


🚽 Babak 5: Toilet Warung Jadi Ruang Diskusi Moral

Mereka pindah ke toilet warung karena suasana mulai tegang. Di dalam, ada graffiti bertuliskan:

🧻 “Siapa ngutang tak bayar, kelak disiram karma tiga kali sehari.”

Semar (menatap cermin):

“Kita perlu revolusi. Bukan utang dibayar pakai doa, tapi pakai kerja!”

Petruk:

“Kerja? Tapi di Planet Belgedes, lowongan kerja lebih sedikit dari jumlah jomblo bahagia!”

Gareng:

“Kita butuh literasi keuangan, bukan motivasi dari TikTok yang bilang ‘semua bisa asal yakin’!”

Bagong:

“Atau bikin bank desa khusus warga miskin gaya! Namanya: BANK BANGKRUT BERJAMAAH

Jeffrie Gerry (mencatat):

“Bagus juga. Dan bunganya bukan bunga bank, tapi bunga kamboja. Biar sadar itu utang membawa ke liang kubur. πŸͺ¦πŸŒΊ”


🌈 Penutup: Deklarasi Warung Pojok Ngutang

Sambil meneguk tegukan terakhir kopi galaksi, mereka membuat deklarasi absurd:

Kami bersumpah atas nama biji kopi dan cicilan motor:

  • Tak akan ngutang untuk gaya hidup digital.

  • Tak akan nyicil cinta pakai uang pinjaman.

  • Tak akan lari dari tagihan, kecuali dikejar debt collector robot.

  • Dan akan belajar bahwa hidup sederhana bukan tanda miskin, tapi tanda waras!


πŸ“š Pesan Moral dari Galaxy Samsoeng

🌌 Jangan terlalu pintar cari alasan untuk ngutang. Pintarlah mencari cara membayar.

🚫 Jangan normalisasi “nanti juga dibayar”. Karena “nanti” bisa berubah jadi “nggak pernah”.

🧠 Utang bukan dosa, tapi dosa itu mulai tumbuh ketika kita menjadikan utang sebagai budaya.

🧾 Satu nota utang yang disimpan bisa lebih tajam dari pedang, karena ia menebas harga diri tanpa darah.


πŸ”š Penutup Puitis dari Jeffrie Gerry

Di Planet Belgedes, kopi pahit jadi penawar dosa,
Dan ngutang jadi candu rasa bangga.
Tapi satu hal tak pernah berubah...
Yang utang tetap utang, tak bisa ditukar dengan tawa.

πŸ’¬ “Bayarlah sebelum semesta menagihmu pakai karma.”


Balada Petruk Sang Tukang Pilih-Pilih Pesta

 


Di sebuah desa bernama Kampung Tanduk Lembut, hiduplah seorang tokoh legendaris pewayangan yang kini pensiun jadi pengamen lintas genre: Petruk. Dengan hidung sepanjang janji kampanye dan pikiran seluas perut kosong, hari-harinya dihabiskan dengan hal sederhana: mencari makan gratis.

Suatu hari, ketika ayam berkokok dengan nada minor dan matahari belum sempat mandi, Petruk duduk di beranda sambil membaca undangan.

Bukan satu, bukan dua, tapi lima undangan pesta menumpuk di tangannya: ada yang ulang tahun, sunatan, nikahan, pesta syukuran beli blender, dan arisan emak-emak yang katanya full catering.

Matanya berbinar. Hatinya berdegup. Perutnya? Berorasi.

“Ini rejeki langka, Truk. Tuhan tahu kamu kelaparan,” katanya sambil mengelus perut.

Tapi Petruk bukan sembarang lapar. Ia bukan manusia sembarang mengunyah. Ia punya prinsip: "Kalau bisa pilih makanan paling enak, kenapa harus makan sembarangan?"

Dan begitu, tragedi dimulai.


Babak I: Rencana Kuliner Sang Ahli Strategi

Petruk merancang rencana bak jenderal di medan perang:

  1. Jam 11 ke pesta ulang tahun si Rojali – katanya ada spaghetti dan kue tart tiga tingkat.

  2. Jam 12 ke nikahan Mbak Sarmi – dijanjikan kambing guling dan es dawet pelangi.

  3. Jam 13 mampir ke sunatan si Ucup – ada nasi kebuli dan sate ayam lima tusuk per orang.

  4. Jam 14 ke syukuran beli blender – katanya ada puding susu dan gorengan isi.

  5. Jam 15 penutupnya: arisan emak-emak – "Makanan terakhir itu harus yang ringan", pikirnya, sambil membayangkan lemper dan pastel.

Ia cium undangan satu per satu. “Tenang... kalian semua akan kuhadiri... asal tidak hujan dan tidak ada gempa.”


Babak II: Pesta Pertama, Kue Palsu dan Teriak Bocah

Petruk meluncur ke ulang tahun Rojali.

Tiba di sana, ia melihat balon warna-warni dan bocah-bocah berlarian. Tapi... makanan belum disajikan! Si ibu Rojali bilang, “Makanannya nanti ya, nunggu badut datang dulu.”

Petruk gelisah. Ia melihat kue tart besar di meja. Ia dekati... dan nyaris pingsan.

“HAAAH? Ini kue dari sterefoam?! Hiasan doang?!” teriaknya, sambil nyaris menggigit meja.

Satu anak kecil bilang, “Om, itu buat pajangan. Kuenya asli ada di kulkas. Tapi belum dipotong.”

Petruk merinding. Ia cek jam.

“Waduh! Jam 11.58! Harusnya udah di nikahan!”

Ia kabur tanpa salam. Bocah-bocah mengejarnya karena dikira maling kue.


Babak III: Nikahan yang Ditinggal Mempelai dan Nasi Bungkus Kosong

Tiba di pesta nikahan Mbak Sarmi, Petruk lari tergopoh-gopoh.

Tapi... yang tersisa hanya piring-piring kosong. Pengantin sudah kabur ke hotel. Tamu tinggal dua, dan satu dari mereka tidur di bawah pohon.

Petugas katering berkata, “Maaf ya, Pak. Makanannya ludes. Tapi ini masih ada nasi bungkus.”

Petruk membuka satu bungkus... nasi kosong tanpa lauk! Ternyata nasi sisa. Lauknya entah ke mana.

Ia menatap langit. Mendung. Tapi hatinya lebih gelap.


Babak IV: Sunatan yang Bikin Sunyi

Petruk ke pesta sunatan Ucup.

Sayangnya, jalan ke sana ditutup karena ada lomba tarik tambang antar RT. Ia memutar arah, dan tiba saat tukang sate baru saja pulang.

Ibunya Ucup menawari minuman: “Air putih aja ya, Pak. Biar sehat.”

Petruk menolak halus, “Saya sehat karena makan, bukan minum air mata.”


Babak V: Blender dan Bencana

Petruk menghela napas. “Sudahlah, ke syukuran blender aja. Minimal dapet gorengan.”

Tapi begitu sampai... rumahnya sepi.

Ada kertas ditempel di pagar:

“MAAF, SYUKURANNYA DITUNDA. BLENDERNYA RUSAK.”

Petruk mulai melihat dunia sebagai mimpi buruk berulang. Tapi masih ada satu harapan: Arisan emak-emak.


Babak VI: Arisan Tanpa Aroma

Ia ke rumah Bu Jum, lokasi arisan.

Tapi oh, tragedi puncak: emak-emak sedang diet keto!

Makanan diganti dengan irisan timun dan wortel mentah.

Petruk menangis dalam hati, menggigit wortel seperti menggigit masa depan yang pahit.

“Mana lemperku? Mana pastelku? Mana sosis solo dan martabak mini?”

Ternyata, hanya ada air lemon tanpa gula dan senyum palsu.


Babak VII: Pulang, Gigit Jempol, dan Pelajaran Hidup

Petruk pulang dengan langkah gontai.

Di perjalanan, ia melihat tukang bakso lewat. Tapi dompetnya hanya berisi foto mantan dan kupon diskon laundry.

Sampai rumah, ia tiduran di lantai. Lapar. Lesu.

Ia menatap jempolnya. Menggigit pelan.

“Inilah balasan karena tamak...”

“Kalau saja tadi aku fokus satu pesta... mungkin aku kenyang makan mie goreng ulang tahun atau sate sunatan.”

Tapi semua sudah terlambat. Ia mencatat pelajaran hidup di dinding rumahnya:

“Lebih baik satu piring pasti, daripada lima undangan fiktif.”


Refleksi Penuh Konyol dan Makna

Kisah Petruk ini bisa jadi terdengar jenaka, konyol, dan absurd.

Tapi begitulah hidup. Kadang kita seperti Petruk—terlalu sibuk memilih, terlalu takut kehilangan yang lain, sampai-sampai kita kehilangan segalanya.

Dalam hidup, ketetapan hati itu penting. Apalagi dalam memilih, baik itu pesta, makanan, pekerjaan, pasangan, bahkan prinsip.

Pilih satu. Fokus. Jalani.

Karena kadang, terlalu banyak pilihan justru bikin kita lapar lebih lama.


Penutup

Sejak hari itu, Petruk belajar. Ia tak lagi rakus undangan.

Dan ketika ada yang tanya, “Truk, ini ada acara makan gratis, mau ikut?”

Ia akan menjawab sambil tersenyum, “Tunggu dulu... saya kenyang pelajaran hari itu.”

Dan konon, sejak kejadian itu, Petruk selalu bawa roti sobek di tas, sebagai cadangan hidup.

Balada Kutukan Seorang Tukang Ingkar Janji

 


πŸ’’ Balada Kutukan Seorang Tukang Ingkar Janji πŸ’’

Refleksi untuk Pemimpin yang Mengkhianati Anak Buah


I. PEMBUKAAN DOSA
Di ruang megah berkursi empuk,
berdiri sosok berjas rapi — wajahnya senyum, hatinya sunyi.
Ia bicara manis, menjanjikan surga:
"Kerja keras kalian takkan sia-sia."
Tapi di balik senyumnya, ada rencana rahasia
Menumpuk untung dari jerih payah
yang bukan hasil keringatnya sendiri πŸ’’


II. PENGUASA DUSTA
"Kalian penting!" katanya sambil tepuk bahu.
"Kami satu tim, tanpa kalian saya bukan siapa-siapa."
Tapi setelah rapat selesai, ia menekan tombol
Memotong tunjangan, menunda kenaikan gaji,
sementara mobil barunya mengkilap di parkiran VIP πŸš—πŸ’°

Anak buah mengeluh, ia pura-pura budeg.
Padahal telinganya lebih tajam dari laba-laba,
menjaring semua kabar untuk mengamankan tahta.
"Jangan ribut, nanti bonus kalian menyusul."
Namun yang menyusul hanya lelah dan amarah 😠


III. JANJI YANG BUSUK
Dulu ia bilang:
"Satu tahun kerja keras, kita semua naik level."
Tapi ketika setahun lewat,
yang naik cuma dia,
sedang anak buahnya tetap di tangga lama,
menghitung detik demi detik seperti buruh di pabrik jam ⏱️

Ia berkilah:
"Sabar dulu, kondisi perusahaan belum stabil."
Tapi malamnya terlihat foto liburannya di Swiss,
sambil anggur mahal di tangan kiri 🍷
Dan statusnya berkata:
"#SelfReward. Karena lelah harus dibayar tuntas."

Anak buah mengunyah mie instan di indekos,
tapi senyum dipaksakan demi tak dipecat 😀


IV. DOA ORANG TERTINDAS
Setiap malam, ada doa yang naik ke langit
bukan untuk keberkahan,
melainkan keadilan.
"Tuhan, bukalah mata pemimpin kami,
yang lidahnya tajam tapi tangannya lumpuh."
πŸ™
"Ia menaruh beban di pundak kami,
tapi menyimpan upah dalam sakunya sendiri."
πŸ’ΌπŸ’Έ


V. KUTUKAN MULAI BERBISIK
Langit pun mulai gelap bukan karena malam,
tapi karena kemurkaan.
Semesta tak buta,
ia mencatat segala dusta.

Kursi kekuasaan yang dulu hangat,
perlahan mendingin, seperti hati anak buahnya.
Mereka tak percaya lagi,
sambutan mereka kini kaku,
tatapan mereka tajam seperti paku 😑


VI. BALASAN DARI SEMESTA
Satu per satu, loyalitas pun gugur.
Anak-anak buahnya pergi,
membawa keahlian, semangat, dan nama baik.
Tersisa ia seorang diri
dengan mesin yang mogok,
dan kantor yang sunyi.

Lalu datang laporan,
"Pak, investor mulai cabut."
"Pak, klien batal kontrak."
"Pak, karyawan serempak mengundurkan diri."

Karman—si pemimpin penuh janji palsu—panik.
Tapi tak ada lagi yang peduli πŸ˜€πŸ’’


VII. TANGIS PENGKHIANAT
Di kursinya yang dulu jadi singgasana,
kini ia duduk membungkuk.
Tangannya gemetar,
karena tak tahu harus menjanjikan apa lagi
selain dusta yang basi.

Ia meratap:
"Mengapa mereka meninggalkanku?"
Padahal ia lupa,
bahwa ia yang lebih dulu meninggalkan mereka—
dalam setiap ucapan palsu,
dan setiap hak yang ia rampas demi kepentingannya sendiri πŸ˜”


VIII. BAYANG-BAYANG DOSA
Bayangannya sendiri kini tak mau menatapnya.
Cermin memantulkan wajah yang penuh retakan:
wajah seorang pemimpin
yang dikhianati oleh dirinya sendiri.

"Aku hanya ingin semua baik-baik saja."
Tapi “baik” menurutnya berarti
dirinya kaya,
sementara orang lain menderita 😠


IX. SUARA DARI MASA LALU
Lalu terdengar suara lirih,
bukan dari luar, tapi dari dalam dadanya:

“Ingatkah kau saat satu anak buahmu
menangis karena tak bisa bayar sekolah anaknya?
Tapi kau tetap tahan uang lemburnya demi membeli jam tangan barumu.”

“Ingatkah kau saat satu stafmu sakit,
tapi kau kirim surat peringatan karena ia tak hadir rapat?”

“Ingatkah kau saat mereka percaya padamu—
tapi kau bermain dengan kepercayaan seperti kartu remi?” πŸ˜‘πŸ’’


X. AKHIR SEBUAH KUTUKAN
Karman kini sendiri.
Ia hidup dalam rumah megah yang sunyi.
Ia makan sendiri,
bercermin sendiri,
dan menua dalam penyesalan yang tak bisa ditebus.

Tak ada lagi yang menyapa,
tak ada lagi yang percaya.
Karena siapa yang menanam janji palsu,
akan menuai sepi di akhir waktu ⚰️πŸ•―️


XI. PELAJARAN DARI KISAH INI
Untuk kalian yang diberi kuasa,
jangan jadikan janji sebagai alat manipulasi.
Jangan ambil hak anak buah demi ambisi.
Jangan telan hasil kerja mereka
seperti lintah haus darah.

Ingatlah:
πŸ’’ Tuhan tak pernah tertidur.
πŸ’’ Semesta tak pernah lupa.
πŸ’’ Dan doa dari orang tertindas
bisa mengguncang singgasana paling tinggi!


XII. PENUTUP
Balada ini adalah kutukan,
bukan dari penyihir, tapi dari hati yang tersakiti.
Ia akan terus bergema
di setiap ruangan yang penuh janji palsu,
di setiap tangan yang mengambil tanpa memberi,
di setiap mulut pemimpin
yang berkata “demi kalian”, padahal demi dirinya sendiri πŸ˜‘πŸ’’

BALADA SEORANG TUKANG INGKAR JANJI

 


BALADA SEORANG TUKANG INGKAR JANJI

Karya: Jeffrie Rivado Gerry


I
Di kampung kecil bernama Harapan,
tinggal seorang pria berwajah ramah bernama Karman.
Mulutnya manis, hatinya hampa,
Janji-janjinya ibarat hujan: turun deras lalu lenyap begitu saja.

"Besok aku datang" katanya tegas,
"Sore nanti pasti kuantar" dengan mantap berucap.
Tapi sore lewat, malam menggigit,
yang datang cuma angin dan rasa pahit.


II
Ia menjanjikan pintu baru pada rumah Mak Inem,
"Gratis!" katanya, "asal ada kopi dan tempe goreng."
Tiga bulan sudah tembok menganga,
pintu tak datang, janji terlupa.

Di rumahnya sendiri, anaknya berkata:
"Bapak janji temani aku ke sekolah."

Tapi pagi itu si Bapak entah ke mana,
katanya proyek, padahal main gaple di warung Pojok Rasa.


III
Ia tak jahat, cuma lelah, katanya.
Lelah ditekan harapan orang lain yang ia ciptakan sendiri.
"Kalau aku tak berjanji," katanya sekali waktu,
"Orang takkan tersenyum. Jadi biarlah aku berdusta sedikit."

Tapi dustanya tumbuh jadi benalu,
Janji-janjinya tumbuh jadi jaring laba-laba
yang menangkap semua yang percaya padanya
dan mengikat mereka dengan kecewa.


IV
Dia dijuluki “Si Tukang Janji” oleh ibu-ibu di pasar,
“Si Raja PHP” oleh anak-anak muda yang tertipu kerja sambilan,
“Duta Tunda Nasional” oleh para tetangga,
dan “Pangeran Ingkar” oleh mantan-mantan kekasihnya.

Suatu hari ia duduk sendiri di bawah pohon asem,
merenungi hidupnya yang seperti lagu kosong.
"Kenapa orang selalu berharap padaku?" tanyanya.
Mungkin karena kau selalu mengatakan, “Bisa!”


V
Seseorang datang, anak kecil dengan seragam kusam.
"Pak, kata Bapak minggu lalu, mau belikan aku sepatu."
Karman menunduk, hatinya tercekat.
Dia ingat—tapi juga pura-pura lupa.

"Maaf, Nak, nanti saja ya.
Bapak masih banyak utang kata-kata."

Anak itu pergi, tak marah, hanya diam.
Seperti tahu: janji dari Karman tak pernah bisa disimpan.


VI
Malam itu, ia bicara sendiri di kaca:
"Kau ini manusia atau mesin ingkar?
Janji seperti permen, tapi kau kunyah sendiri.
Kau beri harapan, tapi yang panen cuma luka."

Bayangan di kaca pun tertawa:
"Kau bukan manusia jahat.
Kau cuma tak pernah berani bilang: TIDAK."


VII
Lalu datang seorang perempuan tua,
Membawa surat, bukan cinta, tapi gugatan.
“Janji kamu nikahi anak saya! Sudah 14 tahun berlalu!”
Karman gugup, tersenyum kikuk:
"Waktu itu saya masih bingung, Bu."
"Sampai uban pun datang, bingung terus, Man?"


VIII
Di tengah warung kopi, orang-orang bicara.
"Janji Karman lebih banyak dari biji kopi."
"Lebih pahit juga kalau diseduh."
"Dia bilang mau bayar utang minggu lalu, sekarang sudah masuk bulan baru."
"Katanya mau ikut gotong royong, yang datang malah anaknya minta maaf."

Dan di pojok ruangan, Karman duduk diam.
Dia mendengar, dan entah kenapa, tidak marah.
Mungkin karena semua benar.


IX
Ia coba perbaiki diri.
Hari Senin dia menepati satu janji:
Mengantar surat untuk Bu Lurah.
Tapi suratnya tertukar, jadi malah surat undangan mantan.

Hari Rabu dia mencoba lagi:
Datang tepat waktu ke arisan.
Tapi duduknya salah, masuk grup ibu-ibu hobi nonton Korea.

Hari Jumat dia berjanji pada dirinya sendiri:
Tak akan buat janji lagi minggu ini.
Tapi sore itu, ia bilang pada tetangganya,
"Besok saya bantu benerin genteng, serius deh."


X
Akhirnya ia bertemu pendeta tua yang menasihatinya:
"Janji adalah utang."

"Lalu kenapa tidak ada rentenir janji, Romo?"
"Karena janji tidak bisa ditagih dengan bunga,
hanya bisa dibayar dengan luka."


XI
Suatu hari, seluruh kampung mogok percaya.
Semua orang menuliskan papan di depan rumah:
"DILARANG JANJIAN DENGAN KARMAN"
"JIKA IA DATANG, CUKUPKAN DENGAN TERSENYUM SAJA"
"JANGAN DITANYA APA-APA, NANTI DIBOHONGI LAGI"

Karman pun bingung, merasa kosong.
Ternyata lebih baik dimarahi daripada tak dianggap.


XII
Ia lalu menulis surat untuk seluruh warga:

“Wahai kalian yang pernah aku kecewakan,
aku adalah pemahat harapan dari tanah rapuh.
Aku berkata 'ya' karena tak ingin melihatmu sedih,
tapi kebahagiaanmu bukan dari lidahku,
melainkan dari tangan dan waktuku yang tak kunjung setia.”


XIII
Kini ia memilih diam,
Bukan karena tak peduli, tapi agar tak melukai.
Ia belajar mengatakan “nanti” dengan jujur.
Ia belajar menolak tanpa harus berdusta.


XIV
Dan ketika anaknya berkata:
"Bapak, antar aku ke sekolah besok?"

Karman menghela napas panjang, lalu menjawab:
"Iya, Nak. Dan kali ini, Bapak benar-benar akan datang."

Dan esoknya, meski hujan deras mengguyur kampung Harapan,
Karman datang—berpayung, menggandeng anaknya yang tersenyum.


XV
Orang-orang mulai percaya kembali,
Bukan karena janji Karman,
Tapi karena langkahnya yang perlahan
Menyusuri jalan baru: jalan menepati.


BALADA SEORANG TUKANG INGKAR JANJI
Bukan tentang kehebatan berdusta,
Tapi perjalanan panjang seorang manusia
Yang belajar:
Bahwa janji bukan untuk dikatakan,
Tapi untuk dijalani.



BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA KAWIN LAGI

 


PARODI: "BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA KAWIN LAGI"

Refleksi Konyol Hidung Belang Bernama Bang Jali

🎭 Sebuah Monolog di Balik Warung Kopi "Pojok Ngutang"


(Suasana senja di Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng. Seorang pria berperut bundar, berkumis licin, dan rambut klimis—Bang Jali—duduk di warung kopi sambil menyeruput kopi ginseng sachet-an. Di belakangnya tertempel spanduk: “Diskon Mahar! Kawin Ke-3 Gratis Bonus Nasi Kotak.”)

☕️

Bang Jali:
Cek...cek...satu dua tiga...Assalamu’alaikum, para korban cinta dan penumpang gelap rumah tangga. Hari ini saya, Bang Jali, alumni kawin massal angkatan 2009, ingin berbagi pepatah baru:

“Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Kawin Lagi”
(Kalau perlu kawin terus sampai dunia kiamat dan dompet sekarat.)

Dulu saya percaya cinta sejati. Sekarang saya percaya cicilan sejati—karena mantan istri tetap tagih nafkah.

🀡❤️πŸ‘°‍♀️ ➡️ πŸ’ΈπŸ’ΈπŸ’Έ


(Bagian I: Bersatu Kita Teguh)

Dulu... saya dan si Ningsih bersatu karena cinta.
Bersatu dalam janji suci... dan cicilan lemari.
Kita kuat hadapi hidup, hadapi mertua, dan hadapi listrik naik.
Tapi... kekuatan itu mulai rapuh...
Sejak saya kecantol biduan kampung waktu nyumbang lagu “Cinta Satu Malam” pas kondangan.

🎀🎢
Cinta satu malam... oh indahnya...

Eh, ternyata cinta satu malam, bikin tiga tahun pengadilan dan dua anak kembar beda zodiak.


(Bagian II: Bercerai Kita Kawin Lagi)

Saat cerai, saya sedih...
Sedih karena sofa ditarik mantan istri.
Sedih karena gaji jadi dua arah:
➡️ Setengah ke cicilan motor
➡️ Setengah ke cicilan hati mantan

Tapi... Tuhan bukakan jalan...
Di Facebook, saya bertemu janda manis: statusnya “hanya ingin disayang, bukan disakiti (lagi).”

Saya pun kawin lagi.
Dan hidup baru pun dimulai... dari nol.

(⚠️Catatan: Nol tabungan, nol bensin, dan nol kepercayaan dari tetangga.)


(Bagian III: Refleksi Untuk Sesama Pria Hidung Belang)

Wahai kaum pria bertopi miring dan kancing baju terbuka tiga...
Jangan bangga kalau kamu bisa menikah lima kali.
Itu bukan prestasi...
Itu tanda kamu tidak bisa menjaga satu yang sudah kamu janji setia.

Kamu bukan Don Juan.
Kamu bukan Romeo.
Kamu cuma Dompet Berjalan yang rajin setor mahar dan isi amplop pernikahan... termasuk ke mantan.


Bang Jali (tersedu-sedu, dengan ekspresi ala sinetron RCTI):
“Kenapa wanita pertama kau panggil ‘sayang’ tapi istri kedua kau sebut ‘pembalut hidup’?”

Karena hidupmu bocor, Bang!
Bocor oleh nafsu dan cicilan.


(Epilog Absurditas & Sindiran Ringan)

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pernikahan pertama..."

Tapi kalau kau gagal?
Jangan buru-buru kawin lagi.

Coba dulu:

  • Belajar tanggung jawab

  • Cuci baju sendiri

  • Bedakan mana cinta dan mana chat spam

  • Hentikan pakai embel-embel "Ustaz Gaul" untuk ngegombal


πŸŽ­πŸ’”πŸŽ©πŸ’Œ

PENUTUP DARI BANG JALI:

“Bersatu kita teguh, bercerai kita... upgrade istri.
Tapi inget: Cinta sejati itu bukan gonta-ganti hati, tapi gonta-ganti posisi saling memahami.
Karena kawin bisa kapan aja, tapi setia itu… susah banget, bro!


πŸͺžRefleksi Terakhir:

Para lelaki yang doyan buka hati, tapi tutup dompet.
Yang bilang “aku serius ingin menikahimu” tapi modalnya hanya pantun dan pulsa darurat.
Ingat, kawan…

Jangan jadi "pejuang cinta", kalau cuma modal gombal dan utang warung.

PARODI 1000 KATA: "BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA KAWIN LAGI"

🎭 Refleksi Kekonyolan Pria Hidung Belang (Alias Hidung Zebra)


Pengantar: Di dunia yang katanya waras tapi isinya gila hormat dan cinta recehan, hiduplah sekelompok pria berkode moral aneh: makin banyak mantan, makin tinggi gengsi. Mereka menyebut diri: Kaum Hidung Zebra — belang-belang niat dan dompetnya.


BAB I: PANCASILA RUMAH TANGGA

"Bersatu kita teguh, bercerai kita... kawin lagi, dong!"

Begitu kata Bang Kliwon, sesepuh tukang kawin di kampung LDR (Lamaran Dalam Ragu).

“Cinta itu kayak sambel, bro. Kalau pedesnya kurang, tinggal ganti cabe,” katanya sambil mengelap air mata dari istri ketiga yang baru tahu ada istri keempat.

πŸ‘ƒ⚡️ Hidung Zebra: penciuman tajam terhadap sinyal single dari radius 30 km, tapi buta arah saat disuruh belanja bulanan.


BAB II: DARI CINTA KE SINTA KE CINTANA

Awalnya bernama cinta, berubah jadi Cinta, lalu jadi Sinta, lalu Cintana, dan terakhir jadi Cintanya siapa ya?

Kata mereka, menikah itu ibadah. Tapi yang satu ini:

“Saya sudah menikah 5 kali, itu artinya saya sudah 5 kali naik haji,” ujar Mas Bowo, alumni chat mesra yang pakai stiker "Salam Hormat dari Papa Muda".

πŸ™„ Kalau nikah itu naik haji, kamu udah muter-muter tawaf di pelaminan orang terus.


BAB III: TEORI KONSPIRASI MANTAN

Menurut riset KW (Kawin Wicara), pria hidung zebra percaya:

  1. Setiap istri membawa hoki.

  2. Cerai adalah restart cinta.

  3. Mahar boleh dicicil, asal cinta lunas duluan.

πŸ€―πŸ“‰ Tapi realitanya:

  • Anak nggak tahu harus panggil siapa "Ibu yang asli".

  • KTP gonta-ganti alamat karena pindah rumah dari hati ke hati.

  • Undangan pernikahan ketujuh pakai catatan kaki: "Mohon jangan tanya istri yang mana."


BAB IV: DIALOG DI POJOK NGUTANG

Warung kopi Pojok Ngutang jadi pusat diskusi spiritual dan percintaan absurd.

Petruk: “Bro, gua denger lo cerai lagi. Berapa kali, sih?”

Gareng: “Baru lima. Tapi yang keenam ini beda, bro. Dia suka kopi hitam dan sabar denger gua ngomongin mantan.”

Bagong: “Gua rasa lo bukan cari istri, tapi cari fans.”

Jeffrie Gerry: “Gua nggak ngerti, kalian ini kawin apa koleksi akun?”

Petruk: “Hidup itu kayak sepatu. Kalau sempit, ya ganti. Tapi jangan semua lo koleksi sampe satu rumah bau karet!”

πŸ€”πŸ™ˆ


BAB V: PUISI UNTUK MANTAN YANG TAK DIHAFAL NAMANYA

Aku pernah mencintaimu, atau mungkin kamu, Maaf, aku lupa yang mana yang lahir bulan Agustus.

Engkau yang masak sayur asem, atau yang marah karena aku lupa tanggal pernikahan?

Atau engkau yang bilang, "aku kuat kok," tapi menangis saat nemu chatku ke "Adinda Grosir Baju Muslimah"?

😬


BAB VI: SEMINAR HATI: CARA MENIKAH LAGI TANPA MALU

Judul: "Mengelola Cinta Berbasis Akad: Dari Nafsu ke Akad Lanjut"

Pembicara:

  • Ustaz Dadakan (mantan penjual pulsa, sekarang wedding planner)

  • Duda Inspiratif (yang inspirasi cerainya viral)

  • Influencer Cinta (yang kontennya: "Cara Move On sambil Move In")

😎❤️


BAB VII: ANALISIS AKADEMIK RASA CINTA

“Pria Hidung Zebra adalah produk percampuran antara hormon endorfin, ego, dan algoritma dating app.” — Profesor Cinta, Universitas Kebelet Kawin.

Gejalanya:

  1. Suka pakai kutipan Shakespeare tapi salah tafsir.

  2. Nonton film cinta Korea lalu ngajak nikah dadakan.

  3. Kirim stiker WA peluk boneka beruang setiap pukul 02.00.


BAB VIII: REFLEKSI DI DEPAN CERMIN HOTEL KELAS MELATI

"Apa aku terlalu mencintai?”

Tidak, Mas... kamu terlalu mengoleksi.

Bersatu kita teguh? Iya. Teguh sabar menghadapi drama keluarga besar.

Bercerai kita kawin lagi? Iya juga. Karena akta cerai udah kayak kartu member.

Tapi ujungnya...

  • Keluarga bingung mau lebaran ke rumah istri keberapa.

  • Teman undangan udah bosan datang kawinan yang menunya itu-itu aja.

  • Anak bingung, "Papa yang mana ya yang suka ngasih es krim?"


PENUTUP: AJAKAN SERIUS DALAM KEKONYOLAN

Hidung boleh belang, zebra juga punya pola. Tapi jangan belang moral dan rasa tanggung jawab.

Menikah bukan lomba cepat-cepat masuk pelaminan. Tapi soal ketekunan menyiram cinta biar nggak layu.

πŸ’‘ Jika cinta tak kuat menahan ego, maka kamu cuma aktor sinetron rumah tangga yang tayangnya tiap malam dengan episode: "Cerai, Kawin, Repeat."

Jeffrie Gerry berkata:

"Yang sejati bukan yang banyak menikah, tapi yang mampu menjaga satu hati sampai selesai."

πŸ™ Yuk, kita rawat cinta. Bukan cuma ganti-ganti status. Jangan jadikan pernikahan seperti game RPG: tamat, reset, mulai lagi.

#SatirCinta #HidungZebra #BersatuTeguhBerceraiKawinLagi #PojokNgutang


Judul: KAWIN LAGI DI PLANET BELGEDES: KISAH HIDUNG ZEBRA DI WARUNG POJOK NGUTANG πŸͺ☕️🐴

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Rivado Gerry

πŸ“ Warung Pojok Ngutang, Konoha – Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng


ADEGAN SATIR: NGOPI DAN NGOMONG KAWIN

☕️ Suasana riuh di Warung Pojok Ngutang, warung yang terkenal karena harga kopinya bisa dibayar pakai cerita atau utang moral.

🌌 Tiga tokoh legendaris wayang, PETRUK, GARENG, dan BAGONG, sedang duduk bersama Jeffrie Gerry alias Japra si Pujangga Digital, membahas isu paling absurd tapi nyata: laki-laki hidung belang alias HIDUNG ZEBRA!


πŸ‘Ί PETRUK: "Jreeeeng… Bang Japra, aku baru tahu kalau kawin bisa jadi hobi, lho. Di Planet Belgedes ini, bercerai bukan tragedi, malah jadi alasan update status baru: 'Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Kawin Lagi!' 😡‍πŸ’«πŸ’"

🧌 GARENG: "Ssst, Truk. Jangan keras-keras. Di sini semua orang punya dua istri, satu istri, dan satu 'misteri'. πŸ€πŸ“±"

🐷 BAGONG (sambil ngopi susu bintang): "Tapi kenapa sih yang kawin lagi itu kebanyakan yang dompetnya kempes tapi egonya gendut kayak galaksi? πŸ˜†πŸͺ"

🧠 JAPRA (mikir tajam sambil nyeruput kopi pahit dan makan gorengan Saturnus):

"Kawanku, kawin bukan lagi soal cinta. Tapi soal algoritma sosial. Like and share kehidupan pribadi. Bila perlu: collab pernikahan + endorsement resepsi. πŸ€‘πŸ“ΈπŸ’”"


MONOLOG ABSURD: HIDUNG ZEBRA NGOMONG! πŸ¦“

πŸ“’ Tiba-tiba, seekor makhluk muncul dari sudut warung: seekor pria dengan topeng zebra. Ia memperkenalkan diri sebagai H.Z. alias Hidung Zebra.

πŸ¦“ HIDUNG ZEBRA: "Salam hormat, saya pria berprinsip: ‘Setia adalah kata kerja. Tapi saya alergi kerja. 😎’"

🎭 PETRUK (melongo): "Hidupmu satire, bro."

🧌 GARENG: "Kau seperti buku motivasi yang dilipat jadi tisu basah. Isinya lembab semua! 🀣"

🐷 BAGONG: "Ajarin dong, gimana cara bilang ‘aku sayang kamu’ ke istri pertama, sambil ngedate sama calon keempat?"

πŸ¦“ HIDUNG ZEBRA: "Gampang: ➤ Ke istri pertama: ‘Aku rapat sayang, jangan ganggu ya πŸ§‘‍πŸ’»’ ➤ Ke istri kedua: ‘Kamu nomor satu di hatiku (dari daftar belakang) πŸ’˜’ ➤ Ke calon keempat: ‘Kita punya masa depan cerah, asal kamu nggak banyak nanya πŸ’ΈπŸ’¬’"

🧠 JAPRA (ngangguk sambil catat di notes satire):

“Di negeri ini, etika pernikahan kadang seperti Wi-Fi publik: Semua bisa nyambung, tapi tanpa perlindungan. πŸ“ΆπŸ”“πŸ’””


FENOMENA PLANET BELGEDES: SEKOLAH HATI, GURU EGOSENTRIS

πŸŽ“ Di Planet Belgedes, mereka punya Sekolah Etika Rumah Tangga. Tapi guru-gurunya sering bolos, dan kurikulumnya ditulis oleh selebgram! πŸ“šπŸ‘€

πŸ‘Ί PETRUK: "Aku daftar tuh, tapi pertanyaannya aneh: ‘Jika pasanganmu selingkuh, kamu akan… A) Balas dendam B) Balas selingkuh C) Update status sedih di IG’ 🀑"

🐷 BAGONG (menangis palsu): "Aku jawab D, lari ke planet sebelah dan nikah siri pakai hologram. πŸ›ΈπŸ’πŸ€–"

🧌 GARENG: "Makanya Bang Japra, kamu harus tulis modul baru: 'Menjadi Pria Setia di Tengah Promo Diskon Cinta Palsu.'"

🧠 JAPRA: "Judul bagus! Tapi sulit, karena di sini cinta diukur pakai followers. πŸ˜“πŸ“²"


SEGMENT: DEBAT LIVE DI WARUNG POJOK NGUTANG πŸ“’☕️

πŸ“‘ Tiba-tiba, datang drone liputan acara “SATIR TV: Kopi dan Kawin”

πŸŽ™️ Topik Hari Ini: Pria Hidung Belang, Budaya atau Kelakuan?

🧌 GARENG (jadi host dadakan): "Kita tanya ke Bang Hidung Zebra: Apa motivasi hidupmu?"

πŸ¦“ HIDUNG ZEBRA: "Motivasiku sederhana: ➤ Jangan jadi suami yang baik, cukup jadi suami yang sibuk ➤ Kalau istri cemburu, bilang: ‘Kamu nggak open minded!’ πŸ™„πŸ§˜‍♂️"

πŸ‘Ί PETRUK: "Halah, hidupmu drama korea versi kadal."

🐷 BAGONG: "Lebih tepatnya: Dramalah Hidupku, Kawinlah Takdirku πŸ˜†πŸ“š"

🧠 JAPRA (senyum satire):

"Laki-laki modern punya dua wajah: Satu untuk istrinya, satu untuk followers-nya. Dan satu lagi untuk dirinya sendiri yang lupa caranya merasa bersalah. 🎭"


REFLEKSI TAWA YANG PERLU DIBACA SERIUS

🌌 Di tengah gelak tawa dan kopi tumpah, dialog di Warung Pojok Ngutang ini adalah sindiran yang nyata:

πŸ˜… Banyak lelaki berkeliaran sebagai pahlawan cinta, padahal sebetulnya sekadar kolektor cerita. πŸ—‚️πŸ’”

πŸ“– Mereka tak takut kehilangan pasangan, yang mereka takuti hanya kehilangan kendali atas egonya sendiri. πŸ˜€πŸ“‰

πŸ™Œ Mari tertawa, tapi jangan lupa bercermin.

Pesan Moral dari Planet Belgedes:

🧠 Jangan jadikan pasanganmu korban eksplorasi ego. Jadikan dia sahabat paling jujur dalam petualangan hidupmu.

πŸ’¬ Karena cinta sejati bukan tentang banyaknya pernikahan, Tapi tentang keberanian bertanggung jawab atas satu.

Salam Satir dan Kopi Tanpa Gula dari Pojok Ngutang. ☕️😜


Kursi Ini Bukan Untuk Dudukmu, Tapi Untuk Egoku

 


KURSI INI BUKAN UNTUK DUDUKMU, TAPI UNTUK EGOKU

"Kursi itu empuk karena diisi mimpi orang lain yang dilipat dan dibakar." "Kekuasaan bukanlah ladang amal, tapi panggung opera ego yang tak pernah selesai pertunjukannya."

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Di sudut panggung dunia yang letih, ada kursi dengan sandaran dari janji, kaki-kakinya diukir dari suara rakyat, dan dudukannya dilapisi empedu harapan.

Tapi jangan salah. Itu bukan kursi untukmu. Itu kursi untuk egoku.

--

Aku—yang menyebut diri pemimpin karena menang kuis popularitas, berkata: “Rakyat itu indah—dari jauh. Dari layar, dari grafik, dari hasil polling yang bisa disulap.”

Senyumku bukan cermin kejujuran, melainkan semacam senjata optik untuk menyilaukan kenyataan.

--

Tiap kali kupijak podium, kupijak pula akal sehatmu yang tersisa. Tiap pidato, adalah opera sabun beraroma parfum kekuasaan.

Kupakai naskahmu, kucuri narasi perjuanganmu, kudekorasi ulang jadi monumen untuk egoku.

--

Oh, kau ingin keadilan? Tunggu, aku harus selfie dulu. Dengan naskah "transparansi" di tangan kanan sementara tangan kiri menghitung kontrak dari belakang panggung.

--

Lihatlah taman bermain demokrasi kita: semua anak boleh main, selama mereka anak dari sepupu kroni pejabat atau alumni geng alumni yang itu-itu juga.

--

Di kursi ini, aku tak duduk—aku bersemayam, seperti dewa kecil yang dipuja dalam upacara potong pita sambil mencicipi nasi kotak rakyat dengan tangan ber-jas.

--

Kadang rakyat bersuara: "Kapan guru kami diangkat?" "Kapan sawah kami panen, bukan banjir?" "Kapan subsidi bukan jadi rebutan buzzer?"

Dan aku menjawab: “Luar biasa! Saya apresiasi aspirasinya.” Lalu kulemparkan jargon seperti confetti dalam pesta sunyi: “Digitalisasi! Transformasi! Sinergi dan Kolaborasi!”

Tak ada makna, hanya gema. Tapi suaramu tertelan tawa studio.

--

Pernah aku bertanya pada bayanganku: “Apakah aku pemimpin?” Bayanganku tertawa: “Kau aktor, bung. Pemeran utama di drama swadaya berjilid-jilid.”

--

Bangunan megah bernama ‘kantor pelayanan publik’ tak lebih dari galeri potretku. Setiap sudutnya adalah pigura dengan wajahku tersenyum penuh empati editan.

--

Ketika rakyat berkata: “Kursi itu seharusnya tempat kami menyandar,” aku menjawab: “Kursi ini bukan untuk dudukmu, tapi untuk egoku yang harus tampil nyaman.”

--

Pernah ada janji dalam kampanye: “Setiap anak berhak sekolah.” Maka dibangunlah 1.000 sekolah, tanpa guru, tanpa buku, tanpa listrik, tapi penuh papan nama besar dan foto bagaskara.

Dan rakyat bertepuk tangan. Entah karena gembira, atau karena tidak tahu cara membedakan kemajuan dan kemasan.

--

Kupanggil diriku reformis, padahal cuma ganti baju lama dengan logo baru. Kupanggil diriku inovatif, padahal cuma pakai istilah asing untuk kebijakan kadaluwarsa.

Kupanggil diriku pelayan, tapi lebih sering meminta dilayani oleh rakyat yang harus antre membayar pajak demi proyek swafoto pembangunan.

--

Kursi ini bukan kursi biasa. Ia bersuara, berbisik tiap malam: "Kau hebat. Jangan dengarkan kritik. Mereka hanya iri."

Dan aku percaya. Karena kejujuran adalah tamu asing di ruang tamu kekuasaan.

--

Gareng pernah berteriak: "Kursi kok dipuja, bukan dijadikan titian." Petruk nyengir: "Namanya juga kursi ego, bukan kursi rakyat." Bagong mengunyah kerupuk: "Yang penting warung kopi tetap buka."

Dan aku tertawa. Karena mereka lebih jujur dari lembar-lembar laporan evaluasi.

--

Sore itu di ruang rapat, kami bahas rencana anggaran: 5 miliar untuk perayaan, 2 miliar untuk studi banding ke Maladewa, 100 ribu untuk pelatihan guru honorer—tapi ditunda.

“Efisiensi!” kataku lantang sambil menyeruput kopi luwak.

--

Terkadang, aku baca puisi juga. Yang ditulis stafku, tapi kubaca dengan penuh penghayatan. Tentang rakyat, perjuangan, dan harapan. Lalu kututup dengan kalimat sakti: “Demokrasi adalah milik kita semua.”

Semua tepuk tangan. Padahal isi puisinya hilang di saringan mikrofon mahal.

--

Saat ada bencana, kucari kamera terlebih dulu, bukan korban. Karena berita tanpa wajahku adalah kerugian branding.

--

Kursi ini, seakan melekat di tubuhku. Seperti tentakel yang menumbuhkan napas dari tepuk tangan palsu. Jika bisa, akan kubikin warisan dinasti, agar anakku pun bisa duduk di egoku.

--

Kau tanya, sampai kapan? Sampai kau lupa bahwa kursi ini pernah milikmu. Sampai ingatanmu tenggelam dalam siaran ulang pencitraan.

Dan saat kau sadar, kursinya sudah jadi altar, tempat rakyat datang membawa bunga dan kenangan.


Refleksi Akhir: Puisi ini menyampaikan bahwa kekuasaan yang mestinya menjadi amanah sering berubah menjadi panggung ego, tempat janji dikemas, kritik dibungkam, dan rakyat hanya dijadikan latar. Sindiran ini menyasar mereka yang menjadikan jabatan sebagai alat kepentingan pribadi, bukan pelayanan. Pesan moralnya: Kursi kekuasaan bukan trofi, tapi ujian. Hanya mereka yang sanggup mendengarkan jerit sunyi rakyat yang pantas mendudukinya.

Mari kembali melihat jabatan sebagai titipan, dan sesama sebagai cermin kemanusiaan. Karena tak ada kursi abadi, kecuali yang tertulis dalam sejarah nurani.


☕πŸ“œ Ngopi Satir di Pojok Ngutang: Kursi Ego dan Kaki yang Ngilu

πŸ‘½πŸ“_Lokasi: Warung Kopi "Pojok Ngutang", Negara Konoha, Planet Belgedes, Galaxy Samsoeng_

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


"Kursi itu empuk, tapi bukan untuk menopang tubuhmu. Ia menopang mimpi-mimpi orang yang sudah kehilangan rasa malu."

☕🌌 Sebuah obrolan absurd nan getir terjadi di pojok warung kopi legendaris, Pojok Ngutang. Di sana berkumpul empat insan (atau makhluk?) unik: Petruk, Gareng, Bagong, dan sang penulis puisi: Jeffrie Gerry.

πŸͺ‘✨ Tema Puisi: 'Kursi Ini Bukan Untuk Dudukmu, Tapi Untuk Egoku'


🎭 Adegan 1: Warung Kopi Dibuka oleh Suara Perut Bagong

🍽️ Krucukkkk...

Bagong: "Waduh, perutku kayak DPR... kosong tapi banyak janji. Mana kopi, mana utangku kemarin?!"

Petruk: "Bagong, jangan samakan perutmu dengan lembaga! Itu penghinaan buat perutmu!"

Gareng: "Ngomong-ngomong, kalian udah baca puisi Japra? Yang soal kursi ego itu?"

Bagong: "Baca? Aku sampai duduk di bangku taman buat merenung... tapi bangkunya minta surat tugas."

πŸ˜‚ Semua tertawa... lalu diam. Lalu merenung. Lalu pura-pura ngantuk.


πŸ’Ί Adegan 2: Kursi dan Ego Berdialog di Kepala Petruk

Petruk (monolog internal): "Kursi... kau simbol kemuliaan yang dibeli dengan nyinyir. Tak semua pantat pantas duduk di atasmu, tapi kenapa justru pantat palsu yang menang tender?"

πŸ§ πŸ’­ Suara Kursi: "Aku bukan untuk dudukmu, Nak. Aku dirancang untuk menopang ego, bukan logika."

Gareng (menyela): "Petruk, kau kenapa bicara sama bangku? Nggak trauma pas di sekolah kan?"

Petruk: "Trauma itu saat kita disuruh hafalin Pancasila oleh orang yang tak pernah mengamalkannya."

🫒☕ Gareng tersedak kopi. Bagong tepuk tangan pakai sandal.


πŸ‘¨‍πŸŽ“ Adegan 3: Jejak Kaki dan Jejak Janji

Jeffrie Gerry: "Aku tulis puisi ini setelah melihat seorang pemimpin bicara soal integritas, lalu naik mobil mewah yang dibeli dari fee proyek."

Bagong: "Jadi kursi itu bukan untuk duduk, tapi untuk melangkahi rakyat?"

Gareng: "Atau untuk menjauh dari kenyataan. Seolah rakyat cuma statistik, bukan manusia."

πŸ“Š Statistik: 1 kursi empuk = 1000 harapan mati suri.


πŸͺž Adegan 4: Cermin di Warung Retak tapi Jujur

Cermin warung retak 3 bagian, refleksinya absurd.

Petruk (bercermin): "Siapa yang ada di cermin itu? Rakyat? Wakil rakyat? Tukang selfie?"

Gareng: "Cermin itu jujur. Tapi yang bercermin kadang pakai filter."

Bagong: "Makanya, lebih baik selfie dengan cermin retak daripada wawancara dengan kamera bohong."

πŸ“Έ✨ Filter: #LembutTapiLicik #KursiPalsuAsli


🧠 Adegan 5: Kursi Bicara Sendiri

Di sudut warung, ada kursi tua yang suka monolog. Jangan tanya kenapa, ini Konoha.

Kursi (dengan suara berat penuh drama teater 80-an):

"Aku bukan sekadar kayu dan paku. Aku sejarah berdarah, janji yang jadi lelucon, dan alasan orang rela menjilat tanpa garam."

Jeffrie: "Luar biasa. Kursi ini lebih jujur dari pejabatku."

Bagong: "Berarti kita harus duduk bersila aja. Biar nggak ketularan penyakit ego."

πŸͺ‘πŸš« Kursi diberi tanda: 'Dilarang Duduk, Ego Masih Panas'.


πŸŽͺ Adegan 6: Debat Kosong Penuh Tepuk Tangan

Petruk: "Gareng, kalau kursi jadi simbol kuasa, kenapa kita gak bikin saja kursi dari kaca? Biar pecah kalau bohong."

Gareng: "Atau kursi yang punya sensor detak jujur. Kalau berbohong, kursinya menyetrum."

Bagong: "Gak usah repot. Kursinya kasih audio: 'Anda sedang berbohong, silakan mundur'."

πŸŽ™️πŸ”Š "Sambutan Anda terdeteksi palsu. Sistem sedang restart moral..."


🎀 Adegan 7: Open Mic Malam Minggu, Judul: Ego Dibalut Blazer

Jeffrie (naik ke atas drum bekas):

"Selamat malam. Malam ini kita rayakan absurditas. Tentang kursi yang lebih banyak bicara daripada penduduk negeri."

"Tentang politik yang jadi teater, dan kita semua penontonnya."

Penonton (tikus-tikus warung, beberapa kursi plastik, dan satu ekor kucing yang skeptis): "Meow."


⏳ Adegan 8: Warung Tutup, Ego Masih Lapar

Lampu warung redup. Tapi diskusi masih nyala di kepala.

Petruk: "Gimana kalau kita ubah definisi kursi jadi: 'tempat sementara menumpuk dosa'?"

Gareng: "Atau: 'kuburan mini untuk integritas'?"

Bagong: "Aku sih lebih milih tikar. Bisa gulung kalau bosan."

πŸ˜΄πŸŒ€ Tikar lebih jujur daripada sofa negara.


πŸͺΆ Refleksi Akhir (Sambil Ngopi Tanpa Gula)

Dalam dunia yang penuh simbol dan pertunjukan, kursi bukan sekadar tempat duduk. Ia adalah alat, panggung, bahkan topeng. Puisi ini dan dialog absurd ini menyasar ego yang duduk terlalu nyaman di atas penderitaan orang lain. Sindiran ini bukan hanya untuk penguasa, tapi untuk siapa saja yang menjadikan kekuasaan sebagai altar pemujaan diri.

Mari kita ajarkan anak-anak kita bahwa duduk bukan soal naik pangkat, tapi soal menunduk pada amanah. Bahwa yang layak duduk di kursi adalah mereka yang tak takut untuk berdiri membela kebenaran. πŸ’‘

πŸ™ Mari duduk bersama, bukan saling menjatuhkan. Mari tegak dalam niat baik, tanpa harus menginjak siapa pun.

☕ Terima kasih telah mampir ke Warung "Pojok Ngutang". Besok ada diskusi baru: "Mimpi di Negeri yang Lupa Terbangun". πŸͺ„