Saturday, May 10, 2025

Sumpah Pemuda Dikenang, Tapi Tak Dilanjutkan



 "Sumpah Pemuda, Kini Jadi Meme yang Manis di Pajangan Instastory"

Pengantar: Sumpah itu dulu lahir di medan keyakinan, kini terdampar di lautan peringatan. Apakah sumpah tinggal jargon, atau kita yang terlalu betah jadi penonton?

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


Puisi Satir:

Aku bersumpah, tapi password-nya lupa. Entah yang ke berapa kali aku mengganti kata sandi nasionalisme hanya demi login ke tren terbaru.

"Kami putra dan putri Indonesia..." kata mereka, sambil scroll TikTok, menari ala k-pop, sambil memaki di kolom komentar: "Apaan sih, bendera di avatar? Norak!"

Sumpah Pemuda? Oh, tentu aku tahu, itu yang sering dibaca dengan mata melotot oleh MC upacara yang dibayar nasi kotak dan peluh.

Satu tanah air? Aku lebih suka satu lokasi terdekat di aplikasi ojek. Biar cepat, biar praktis, biar gausah mikir.

Satu bangsa? Mungkin kalau ada diskon gopay. Bangsaku kini bergantung pada kuota. Ketika sinyal hilang, nasionalisme ikut memudar.

Satu bahasa? Tentu, bahasa emoji, dan sticker berpelukan. Bahasa Indonesia terlalu panjang buat caption, terlalu formal buat ngemis like, dan terlalu basi buat jadi konten viral.

Aku anak muda yang bangga, bangga dengan gaya hidup multitasking: menatap layar sambil lupa sejarah, menjadi aktivis daring, tapi alergi turun ke jalan.

Dulu mereka berjuang dengan pena dan darah, kami cukup dengan hashtag dan latar belakang Zoom.

Kami adalah kaum rebahan yang bijak, dalam komentar, kami heroik, di dunia nyata? Kami sibuk nyari WiFi.

Sumpah Pemuda kami rayakan tiap tahun, dengan lomba-lomba yang memeriahkan semangat kompetisi... untuk snack dan hadiah hiburan.

Kami tak tahu arti sumpah, tapi kami hafal tanggalnya, karena tiap 28 Oktober kami wajib unggah twibbon agar tampak berjiwa bangsa.

Kami hormat, sambil selfie. Kami upacara, sambil live streaming. Kami menyanyikan lagu kebangsaan, sambil bisik-bisik: "Eh, liriknya apaan ya?"

"Satu nusa, satu bangsa..." Sementara di kolom komentar YouTube, kami saling melaporkan, membawa bendera perasaan, berperang demi fanbase idol dan idola politik.

Kami anak bangsa, tapi saat ditanya siapa Gadjah Mada, kami jawab: “Itu snack pedas, kan?”

Kami pemuda masa kini, dengan cita-cita jadi selebgram, pekerjaan impian: endorse skincare, panggilan jiwa: viral!

Kami tak memerdekakan tanah, tapi kami kuasai algoritma. Kami bukan pahlawan nasional, tapi kami bisa trending dalam semalam.

Pemuda dulu bersumpah demi persatuan, kami kini bersumpah demi engagement. Biar views naik, biar akun centang biru.

Apakah salah jika nasionalisme bertransformasi? Bukankah dulu juga mereka demo, kini kami juga... demo skincare di Shopee Live?

Kami bicara kebangsaan, sambil pakai filter anjing di wajah. Kami berdiskusi politik, sambil curhat di instastory. Kami cinta negeri ini... jika disponsori oleh minuman energi.

Kami tak angkat senjata, tapi kami angkat hashtag. Kami tak mati di medan perang, tapi mati gaya kalau sinyal hilang.

Kami bersatu... kala ada konser gratis. Kami berbaris... kalau ada job freelance. Kami membela... kalau yang dihina adalah artis favorit.

Inilah sumpah pemuda era baru: Satu nusa, satu kuota, Satu bangsa, satu feed Instagram, Satu bahasa, satu grup meme.

Kami adalah pewaris yang lupa wasiat, penyair yang hanya paham puisi dalam lirik lagu K-pop. Kami baca buku sejarah hanya saat butuh caption quotes bijak.

Kami seringkali mengutuk masa lalu yang berdarah, sembari malas membangun masa depan yang jelas.

Kami adakan webinar nasionalisme, kami desain poster patriotisme, kami cetak ulang semangat Sumpah Pemuda dalam bentuk tote bag dan gantungan kunci.

Kita mengenang, tapi tak melanjutkan. Kita merayakan, tapi tak mewujudkan. Kita menghafal, tapi tak memahami.

Kami menyalahkan pemerintah, kami menyindir generasi sebelumnya, kami bersembunyi di balik meme dan sinisme.

Kami memuja pemuda masa lalu, sambil mengejek teman yang berani bicara politik. Kami menyebutnya sok idealis, padahal kami iri karena dia berani.

Kami hidup di negeri yang katanya merdeka, tapi tiap opini harus seizin algoritma. Kami katanya bebas bicara, sampai konten kami di-takedown.

Kami mencintai negeri ini selama tidak menyulitkan, selama tidak menyuruh antre, selama tidak menyuruh berpikir.

Sumpah Pemuda kini kami kenang, seperti lagu nostalgia di playlist yang tidak pernah diputar, kecuali saat upacara atau lomba pidato.

Kami sibuk, tapi entah sibuk apa. Kami produktif, tapi tak tahu hasilnya apa. Kami ingin perubahan, tapi takut kehilangan kenyamanan.

Kami ingin revolusi, tapi harus setelah sarapan dan scrolling pagi. Kami ingin Indonesia maju, tapi sambil rebahan, ngopi, dan skip iklan.

Oh, para pemuda tahun '28, lihatlah kami kini: kami generasi konten, kami pemuda yang viral, kami Indonesia yang punya banyak cita-cita, selama tidak terlalu repot mencapainya.

Kami mengenang Sumpah Pemuda, sama seperti mengenang mantan: emosional, dramatis, dan tetap diulang di setiap story.


Refleksi: Puisi ini bukan sekadar ejekan, tapi panggilan untuk bercermin. Sindiran ini menyasar kita semua—yang gemar mengenang sejarah namun enggan meneruskan semangatnya. Bukan untuk mempermalukan generasi, tapi untuk menggugah: bahwa sumpah bukan hanya kenangan seremonial, tapi janji yang harus kita jalani. Jika pemuda dulu menulis sejarah dengan darah dan tekad, mungkinkah kita menulisnya dengan sinyal dan satire?


📛 Judul: "Sumpah Pemuda: Kami Bersumpah Tak Akan Menepati!"

📝 Pengantar Pendek: "Dulu mereka bersumpah di atas tanah yang belum dibagi-bagi. Kini kami bersumpah juga—di kolom komentar, dengan capslock dan emoji menangis."

✍️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


📜 

Kami adalah pemuda-pemuda hasil cetakan TikTok, Dipoles filter, disaring algoritma, Berjanji setia pada tren, bukan pada cita-cita, Karena cita-cita tidak bisa di-like atau diview.

Dulu Sumpah Pemuda lahir dari dada bergelora, Kini kami bersumpah sambil rebahan, Dengan headset di kuping dan jempol yang gesit, Bersatu dalam sinyal, bukan tanah air.

Satu nusa? Kami lebih kenal lokasi pacar di shareloc, Satu bangsa? Kami lebih percaya fanbase K-Pop, Satu bahasa? Kami lebih fasih berkata: "anjay", "gaskeun", dan "cringe!"

Bahasa Indonesia kini jadi tugas remedial, Sedang bahasa basa-basi naik pangkat di podcast motivasi, "Bangun pagi demi mimpi!" kata konten kreator—yang dibayar karena tidur siang.

Kami bangga jadi pemuda, Karena itu gelar yang tetap berlaku sampai usia 40, Kami bisa demo dengan gaya dan colokan powerbank, Dan ketika capek, kami upload story, "Rakyat lelah!"

Apa kabar teks Sumpah Pemuda? Dikopi-paste ke caption IG, Dilafalkan saat lomba pidato tanpa tahu siapa yang menulis, Tapi hei, siapa peduli? Yang penting dapat sertifikat.

Kami membela tanah air seperti gamer membela server, "Bangsa ini milik kita!" teriak netizen dari rumah kos, Lalu skip iklan beasiswa dan langsung klik konten prank, Karena belajar itu berat, sementara prank itu viral.

Oh wahai Sumpah Pemuda, Engkau kini jadi sabun cuci otak di acara TV, Diperas, dipelintir, dicampur nostalgia murahan, Dan kami tonton sambil makan mi instan, tiga bungkus.

Para pemuda zaman dulu menggenggam senjata, Kami menggenggam smartphone dan powerbank, Mereka menulis dengan darah, Kami menulis dengan autofill.

Bersatu? Kami hanya bersatu saat flash sale, Berjuang? Kami berjuang mendapatkan kuota unlimited, Berbahasa? Kami hanya paham bahasa endorsement, "Yuk beli produk lokal! Tapi diskon Shopee dulu ya!"

Kami anak-anak peradaban instan, Dimana idealisme dicetak di kaos distro, Dan nasionalisme hanya muncul saat timnas menang penalti, Sumpah Pemuda? Maaf, kami sibuk jadi seleb tweet.

Kami rapatkan barisan... di kolom komentar, Kami bela keadilan... dengan share thread panjang, Kami lawan penindasan... dengan ganti profil jadi hitam, Dan itu cukup, karena dunia maya adalah medan perang suci.

Kami bersumpah takkan lupa tanah air, Tapi kami bingung, mana tanah air? Yang dimiliki siapa? Yang dijual siapa? Yang disewa siapa? Yang disikat siapa?

Ah, kami bangga jadi warga negara digital, Dimana paspor bisa hilang tapi password tak boleh lupa, Dimana berita lebih cepat disebar daripada dicek kebenarannya, Dimana sumpah adalah status temporer, bukan komitmen.

Dulu pemuda adalah bara, Kini kami adalah barista—meracik omong kosong dengan latte art, Melayani audiens dengan jargon-jargon empowerment palsu, "Jangan menyerah!" kata kami, sambil menyerah pada setiap kerja keras.

Kami adalah anak didik iklan, Tumbuh dari slogan dan buzzer, Penuh idealisme berbasis konten sponsor, "Cinta Indonesia!" kata kami, sambil daftar job freelance dari luar negeri.

Kami tak lagi baca buku, Kami scroll komentar YouTube, Kami tak lagi berdiskusi, Kami buka polling Instagram dan pilih emoji api.

Sumpah Pemuda? Kini jadi fashion statement, Kaos merah putih, syal batik, topi bendera, Dipakai setahun sekali, difoto, diunggah, lalu dilupakan, Seperti janji janji kampanye yang ikut merayakan hari libur.

Kami bukan tidak cinta bangsa, Kami hanya terlalu sibuk mencintai diri sendiri, Dalam dunia selfie dan story, Dalam realita yang dikurasi agar tampak bahagia.

Dan bila ditanya: “Apa arti Sumpah Pemuda bagimu?” Kami jawab sambil senyum: "Itu kan yang trending tiap 28 Oktober?"

Kami pemuda yang dimanja sinyal, Yang haus validasi tapi takut konsekuensi, Yang teriak "reformasi!" tapi enggan berpanas-panas, Yang menginginkan perubahan asal tak merusak feed.

Kami hanya ingin segalanya cepat, Termasuk revolusi mental, Tolong kirim lewat ojek online, Dan beri rating bintang lima, kalau bisa.

Sumpah Pemuda kini jadi konten nostalgia, Bukan ideologi, Kami rayakan dengan lomba story terbaik, Bukan aksi kolektif.

Kami bersumpah untuk tetap hidup, Tapi bukan hidup seperti dulu, Bukan hidup dengan keberanian, Melainkan hidup dengan likes dan view.

Kami adalah generasi yang disebut harapan bangsa, Tapi lebih bangga disebut content creator, Karena pahlawan sudah terlalu jadul, Dan pendapat dibayar dengan kerjasama brand.

Apakah kami malu? Tentu tidak, Kami justru akan mengedit puisi ini, Jadikan reels, beri caption: "Sumpah Pemuda vibes, bro!"


🧩 Refleksi / Penutup: Puisi ini adalah sindiran tajam namun jenaka untuk generasi muda yang terlalu terjebak dalam budaya instan dan pencitraan. Sindiran ini menyasar siapapun—pemuda, penguasa, pengajar—yang melupakan makna hakiki dari perjuangan dan sumpah itu sendiri. Tujuannya bukan mencaci, tapi menyentil agar kita bangun dan kembali memaknai sumpah bukan sebagai peringatan seremonial, tapi sebagai komitmen kolektif.

📢 Sebarkan, jika kamu merasa geli... lalu berpikir.

Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR

 


🛡️ Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR 🛸

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Di negeri kami, kebenaran pakai kostum, dan logika wajib izin rapat.”
Katanya bebas bicara, tapi mikrofon diikat pakai palu.


(Monolog Satir: Mode Aktif, Sensor Otomatis Menyala)

Salam hormat, rakyat biasa.
Saya Superhero Anti-Kritik, dari Planet DPR—
tempat di mana kursi lebih sakral daripada kitab,
dan sidang adalah ritual untuk memperpanjang umur jabatan.

Saya bukan tokoh fiksi, saya fiksi yang menjabat.
Berseragam jas, berkekuatan imunitas,
bisa menangkis kritik pakai pasal,
dan menghilang di balik “hak angket” yang tak kunjung tiba.

Bab 1: Asal-Usul yang Tidak Penting Tapi Dibikin Penting

Saya lahir dari gelombang suara—bukan rakyat, tapi buzzer.
Dibesarkan oleh kampanye, disusui dana reses,
bermain di taman aspirasi yang penuh janji,
dan sejak kecil sudah diajari:
jika ada yang bertanya, beri undang-undang sebagai jawaban.
Jika rakyat menjerit, kirim influencer.
Jika dicecar data, panggil polisi.

Di Planet DPR, kritik adalah asteroid,
dan saya adalah sistem pertahanan berbasis revisi undang-undang.
Saya tidak menyelamatkan manusia,
saya menyelamatkan citra.

Bab 2: Kostum Saya Adalah Ketebalan Muka

Tak perlu topeng.
Muka saya sudah cukup elastis untuk menampung lima versi kebenaran.
Saya bisa bicara soal kemiskinan
sambil duduk di mobil dinas.
Saya bisa bersumpah demi rakyat
lalu mengetuk palu untuk menaikkan tunjangan sendiri.

Mata saya bisa menyala jika disorot media.
Telinga saya hanya menerima suara mayoritas yang mendukung.
Lidah saya berbisa lembut, berbicara “untuk kebaikan bersama”
lalu menutup ruang diskusi.
Dan hati saya? Tenang saja, sudah lama dipensiunkan.

Bab 3: Jurus-Jurus Andalan Superhero

📜 Jurus Kabut Aspirasi:
Setiap kali rakyat protes, saya lempar kata “sedang dikaji”.
Jika terus teriak, saya tambahkan “kami menyerap masukan”.
Kalau makin ramai, saya kirim tim survei—
yang hanya menyurvei isi grup WhatsApp saya sendiri.

🦺 Jurus Kebal Kritik:
Saya dilindungi imunitas dan jaringan yang kompleks.
Cuitanmu tentang saya? Hati-hati, bisa jadi pelanggaran digital.
Demo mahasiswa? Saya bilang itu bagian dari demokrasi,
lalu saya tutup jalan aksesnya.

🔒 Jurus Sensor Berkedok Etika:
Kritik disebut ujaran kebencian,
lelucon dianggap ancaman negara.
Dan satire, wah, itu makar terselubung!
Tentu saja, semua atas nama “ketertiban umum”—
yang artinya: ketertiban posisi saya di parlemen.

🧠 Jurus Pura-Pura Bingung:
Ketika disodori data: “Kami perlu telaah lebih dalam.”
Ketika ditanya tanggung jawab: “Itu wewenang pihak lain.”
Ketika dipertanyakan logika: “Sudah dibahas dalam forum resmi.”
Lalu forum itu... entah di mana, dan dengan siapa.

Bab 4: Musuh Terbesar Saya Adalah... Rakyat Melek

Oh, betapa saya benci jika rakyat mulai membaca.
Bila mereka mulai bertanya, saya gelisah.
Bila mereka memviralkan, saya buat klarifikasi
yang panjang tapi tidak menjawab apa pun.

Saya lebih suka rakyat yang sibuk TikTok,
asal jangan bahas draf undang-undang.
Saya dukung pendidikan,
selama kurikulumnya tidak mengajarkan berpikir kritis.
Saya cinta demokrasi,
asalkan jangan terlalu cerewet.

Bab 5: Dunia Tanpa Kritik adalah Surga Para Penjilat

Bayangkan negeri di mana kritik dilarang,
dan semua poster saya dipasang wajib di sekolah.
Di mana rakyat antre bukan untuk pangan,
tapi untuk selfie dengan baliho saya.
Di mana aplikasi e-kritik diblokir karena “rawan hoax”,
dan pasal penghinaan lembaga digunakan sebagai pelindung harga diri saya yang rapuh.

Di sana, saya terbang tinggi,
di atas grafik kepercayaan publik yang dimanipulasi,
di atas anggaran yang disetujui tanpa diskusi,
dan di atas rakyat yang sudah letih berharap.

Bab 6: Dialog Khayalan Saya dengan Tukang Parkir

— "Pak, saya cuma kritik sedikit, kok dibilang merusak negara?"
— "Nak, negara ini seperti parkiran. Kau boleh masuk, tapi hati-hati bicara, nanti diderek."
— "Tapi bukankah Bapak wakil rakyat?"
— "Saya wakili yang memilih saya... dan yang membiayai kampanye."
— "Lalu bagaimana nasib kami yang tak setuju?"
— "Doa terbaikku: semoga kalian tetap diam."

Bab 7: Saat Saya Disanjung, Saya Merasa Tuhan

Ah, ini bagian favorit saya.
Ketika saya dipuji, saya retweet.
Ketika saya dikritik, saya laporkan.
Ketika saya ditantang debat, saya sibuk rapat.
Ketika saya disindir seni, saya sensor.
Tapi ketika saya disanjung?
Saya merasa lebih tinggi dari hukum.
Karena saya tahu, kekuasaan yang rapuh
butuh lebih banyak pujian daripada prestasi.

Bab 8: Refleksi dalam Cermin Emas

Saya tahu, saya bukan superhero.
Saya adalah refleksi sistem yang malas dikritik,
dan takut pada kejujuran rakyatnya sendiri.
Saya memakai lambang wakil rakyat,
tapi hanya wakili kursi dan fasilitas.
Saya menolak debat,
karena saya tahu saya rapuh di hadapan logika.

Saya menulis puisi ini di tengah hening,
bukan untuk mengubah,
tapi untuk mengingatkan bahwa
setiap kekuasaan tanpa kritik
adalah distopia yang kita bangun bersama.


(Penutup: Suara Tanpa Mikrofon)

Jangan takut pada saya,
tak perlu takut pada “Superhero Anti-Kritik”—
karena saya hanya kuat
selama kalian diam.

Jika kalian mulai bicara,
mulai menulis, mulai bertanya,
maka saya pun akan kembali jadi biasa—
sekadar manusia yang pernah duduk,
dan kini berdiri di hadapan kebenaran
yang tidak bisa lagi dibungkam dengan palu.



🩸 Superhero Anti-Kritik dari Planet DPR 

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

“Jangan kritik saya, saya trauma debat logika.
Lebih baik saya palu meja, daripada palu hati nurani.”


📍 Pendahuluan Pendek

Di dunia ini, ada dua jenis pahlawan:
Yang menyelamatkan rakyat, dan yang menyelamatkan nama baiknya sendiri dengan pasal berlapis.


(Monolog Distopia: Mode Brutal Diaktifkan)

Selamat datang di semesta di mana kenyataan dan parodi adalah saudara kembar.
Saya, superhero anti-kritik, berkostum tebal muka dan bersenjata pasal elastis.
Saya tidak perlu kekuatan super,
cukup WiFi, stempel, dan kursi empuk ber-AC yang dibayar dari pajak rakyat yang katanya malas kerja.


Bagian I: Asal-Usul Saya, Sang Pahlawan Daur Ulang

Saya terlahir dari pemilu yang seperti sinetron:
penuh drama, penuh air mata—
tapi semua skenario saya yang tulis.
Kampanye saya seperti pengakuan dosa:
janji-janji yang saya tahu tidak akan saya tebus.
Rakyat bilang, “kita butuh perubahan.”
Saya jawab, “betul, makanya saya ubah semua jadi milik saya.”

Saya makan uang harian rapat yang tak saya hadiri,
minum dari gelas retorika kosong,
dan bersendawa saat rakyat bertanya:
“Kok harga sembako naik terus, tapi upah kami stagnan?”
Saya jawab:
“Kami sudah membentuk panitia kecil untuk membentuk panitia besar untuk membahas itu nanti.”


Bagian II: Kostum Saya Terbuat dari Arogansi yang Dijahit oleh Buzzer

Topeng saya bukan menutupi wajah,
tapi menutupi data.

Saya punya jubah dari karpet merah yang disedot dari APBD,
dan sepatu saya menginjak akal sehat publik yang terlalu banyak membaca.

Saya tidak perlu terbang,
karena saya sudah cukup tinggi dari kritik,
dan cukup jauh dari realita.

Mata saya disetel hanya untuk melihat pujian,
dan telinga saya dikhitan dari suara rakyat yang menyakitkan.

Kalau ada yang kritik pakai data,
saya akan bilang: “hoax.”
Kalau mereka ulangi pakai grafik,
saya jawab: “fitnah.”
Kalau makin viral, saya terbitkan regulasi baru—
yang isinya cuma larangan-larangan bagi mereka yang bisa berpikir.


Bagian III: Saya Tidak Anti-Rakyat, Saya Cuma Anti Mereka yang Masih Waras

Siapa bilang saya anti-rakyat?
Saya cinta rakyat!
Tapi yang patuh.
Yang diam.
Yang like, share, dan komen dengan emoji tepuk tangan.

Saya gemas pada rakyat yang suka tanya.
Kenapa tanya APBN?
Kenapa tanya transparansi?
Kenapa tanya proyek tol, pabrik, tambang, bansos, dan kepentingan saya?

Rakyat yang cerewet harus dibina.
Kalau tak bisa dibina, dibinasakan karakternya.
Saya percaya demokrasi,
tapi yang bisa saya desain bentuknya.
Seperti puzzle, tapi hanya saya yang tahu bentuk akhir gambarnya.
Spoiler: tetap saya di tengah.


Bagian IV: Alat Tempur Saya Lebih Tajam dari Satirmu

Saya punya pasal karet yang bisa melar
sampai mencambuk siapa saja yang menertawakan saya.

Saya punya UU yang saya bisa putar semau saya—
hari ini demokrasi, besok democra-sih.
Saya punya sidang yang digelar bukan untuk mendengar,
tapi untuk mencatat siapa saja yang terlalu banyak bicara.

Saya punya senjata bernama "Etika",
yang hanya saya gunakan pada musuh.
Kalau saya langgar? Ya biasa saja.
Kan saya superhero.

Saya bukan tiran, saya hanya alergi disalahkan.
Saya bukan diktator, saya cuma ingin orang diam saat saya bicara.
Dan kalau rakyat bicara bersamaan?
Saya pencet tombol: “Matikan Mikrofon Semua.”


Bagian V: Planet DPR Adalah Surga bagi yang Tak Mau Disalahkan

Planet saya tidak mengenal salah—
karena kami punya mekanisme revisi sejarah.
Kami tidak berdosa—
karena selalu ada staf yang bisa disalahkan.
Kami tidak takut karma—
karena kami sudah jadi sistem itu sendiri.

Setiap kali rakyat menyindir lewat puisi,
kami datangi sekolahnya.
Setiap kali kartunis menggambar kami mirip tikus,
kami tuduh itu binatangisasi lembaga.

Kami ingin negeri ini bebas:
bebas dari kritik, bebas dari satire,
bebas dari analisis,
bebas dari rakyat berpikir.

Kami ingin generasi yang patuh,
yang lebih tahu siapa ketua komisi
daripada siapa pendiri republik.

Kami ingin rakyat seperti layar kosong,
yang bisa kami isi dengan poster, jargon, dan stiker biodata.


Bagian VI: Pidato Kemenangan Sang Pahlawan

Saya berdiri di mimbar, dikelilingi kamera.
Saya bilang: “Saya akan dengarkan aspirasi rakyat.”
Lalu saya balik badan, dan tanya ke ajudan:
“Mana polling terakhir? Posisi kita aman?”

Saya senyum di TV,
tapi di ruang tertutup saya ketik revisi UU.

Saya tampilkan infografis kinerja fiktif,
karena rakyat lebih suka gambar daripada angka.
Saya sponsorin lomba konten positif,
asal jangan tentang proyek gagal yang saya tandatangani.


Bagian VII: Kritik Terakhir Sebelum Saya Panggil Pasal

Rakyat, oh rakyat…
Kenapa sih kalian makin susah dikibuli?
Dulu cukup bilang “ini demi pembangunan”,
sekarang kalian tanya “siapa yang bangun dan siapa yang diusir?”

Dulu cukup kasih beasiswa seremonial,
sekarang kalian buka draf kebijakan.

Dulu cukup satu press release,
sekarang kalian minta pertanggungjawaban.

Kalian pikir ini republik?
Ini reality show yang saya produseri!


Bagian VIII: Pertemuan Terakhir Saya dengan Akal Sehat

Suatu hari, saya bertemu Akal Sehat.
Dia bilang: “Turunlah, rakyat sudah lelah.”
Saya tertawa: “Lelah? Mereka masih antre bansos kok.”
Dia lanjut: “Negara butuh kejujuran.”
Saya tertawa lebih keras: “Kejujuran tidak dapat suara.”

Dia menatap saya dengan iba,
seperti menatap rumah yang sudah retak
tapi pemiliknya masih sibuk cat ulang dinding luar.

Saya usir dia dari ruang rapat,
karena dia tidak punya tanda pengenal dan tidak bisa dibeli.


Penutup: Surat Terakhir dari Superhero Anti-Kritik

Kalau kelak saya tumbang,
bukan karena oposisi, bukan karena pasal,
tapi karena kalian mulai bicara satu sama lain.
Bukan dengan kemarahan,
tapi dengan tawa—tawa sinis yang merobek kesucian palsu saya.

Kalian tidak perlu membunuh saya,
cukup berhenti takut pada saya.

Karena saya, superhero anti-kritik dari Planet DPR,
hanya kuat karena kalian diam,
dan takluk saat kalian mulai menulis, tertawa,
dan menertawakan saya bersama-sama.


Kami Bangga Jadi Rakyat yang Dipakai Saat Pemilu



 Judul: "Negara Kami Tercinta, Tempat Rakyat Dijual Murah Saat Diskon Demokrasi"

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


“Kami bangga dipanggil rakyat,
asalkan hanya saat kotak suara dibuka,
dan dilupakan saat APBN dibagikan.”


Pengantar
Kami ini rakyat, benalu terhormat yang tumbuh di dinding janji.
Bukan ingin memberontak—hanya ingin tertawa di tengah bencana berpakaian demokrasi.



1. Mantra Musiman

Kami bangga jadi rakyat,
yang hanya diingat saat langit mendung penuh baliho janji,
dan jalan desa diperbaiki pakai senyum palsu.
Ketika semua mendadak rajin salam tiga jari,
sambil membungkuk, walau bukan karena rendah hati
—melainkan strategi marketing hati.

Di musim pemilu, kami raja,
tapi hanya di spanduk—di realita, tetap kuli harapan.
Oh betapa indahnya demokrasi—
yang bisa dibeli murah,
cukup dengan mie instan dan kaus partai kedodoran.

2. Orasi dari Panggung Plastik

Kami bangga,
karena kami diajak pesta, walau cuma tamu selimut malam.
Di atas podium, orator bersajak:
“Rakyat adalah prioritas!”
Lalu setelah menang?
Rakyat adalah prioritas untuk dilupakan.

Kami bangga…
jadi data statistik, bukan manusia,
jadi angka survei, bukan suara,
jadi objek kampanye, bukan subjek negara.

3. Monolog Seekor Rakyat

Maaf, Pak!
Saya ini cuma rakyat kecil—bukan karena fisik,
tapi karena dilihat kecil, dihitung kecil, disuruh diam.
Tapi suaraku besar saat engkau butuh jabat tangan kekuasaan.
Luar biasa!
Aku yang dulu dianggap beban APBN,
tiba-tiba jadi penentu masa depan bangsa!
Ironis, ya?
Tapi ya begitulah… Negeri kami menyukai ironi sebagai gaya hidup.

4. Parodi Kotak Suara

Kotak suara bukan sekadar tempat surat cinta rakyat,
tapi juga kuburan harapan yang dikubur pakai tinta biru.
Ceklik…
Satu suara lepas,
terbang ke langit kekuasaan,
dan kembali sebagai pajak, bansos basi, atau kenaikan BBM.

Kami bangga…
karena memilih calon pemimpin seperti memilih jajanan warung—
asal murah, banyak bonus, dan bisa ngutang janji.
Esoknya sakit perut? Itu risiko demokrasi lokal.

5. Festival Rakyat Digunakan

Pemilu?
Ah, itu bukan pemilihan umum,
itu festival rakyat dipakai massal.
Kami ini influencer dadakan,
promotor tanpa fee,
konten kreator baliho.
Selamat datang di negeri penuh yel-yel,
yang lebih ramai dari logika.

6. Dialog Dalam Diri

Apa artinya suara,
jika hanya diminta saat pesta datang?
Apa gunanya bendera,
jika berkibar cuma tiap lima tahun sekali?

Mereka bilang aku penentu arah bangsa,
padahal jalan desaku tetap berlubang,
dan rumah sakit masih antre dengan bau alkohol murahan.

7. Metafora Demokrasi

Demokrasi itu ibarat sate keliling:
banyak tusuknya, sedikit dagingnya.
Kami kenyang asapnya,
kalian kenyang dagingnya.

Pemimpin itu seperti kopi sachet:
manis di awal, pahit di tenggorokan.
Dan kami ini air panas—
dipakai, lalu dibuang ke wastafel setelah hasilnya terekstraksi.

8. Paragraf Untuk Janji

Dulu janji itu ditulis pakai pena emas,
sekarang cukup di status WhatsApp.
Dulu pidato penuh harap,
kini cukup kirim sticker "Insya Allah" dan emot tepuk tangan.
Kami pun berdoa:
"Ya Tuhan, jadikanlah para caleg ini seperti hujan—
datang hanya sesekali, dan tidak menetap terlalu lama."

9. Sarkasme Keluarga Pemilu

Ayahku bilang:
“Nak, jangan percaya iklan politik—mereka lebih licin dari sabun mandi.”
Ibuku berbisik:
“Pilih yang kasih sembako dua kali lipat.”
Nenekku tertawa:
“Dulu zaman Belanda, kami dijajah. Sekarang dijanjikan.”

Dan aku?
Aku ketik status:
“Demokrasi itu indah, jika kau tak terlalu berharap.”

10. Hiperbola Harapan

Kami ini lumbung suara,
yang dipanen tanpa diberi pupuk keadilan.
Kami ini matahari palsu,
yang bersinar hanya saat didekati kamera wartawan.

Lihat kami, wahai para penguasa pesta!
Kami bangga…
sebab kami tetap rela ikut antre,
meski tahu surat suara kami cuma jadi tiket VIP kalian ke istana tipu daya.

11. Personifikasi Duka

Negara kami menangis pelan,
di tengah tepuk tangan hasil quick count.
Keadilan tidur nyenyak,
berpelukan dengan amplop coklat.
Dan hukum duduk manis,
di meja makan elite partai.

Kami bangga…
jadi rakyat yang setia, walau selalu dikhianati.
Cinta kami pada republik ini buta,
tuli, dan kadang terlalu bebal untuk sadar bahwa ini cinta sepihak.

12. Ikrar Terakhir

Kami tidak marah, kami hanya lelah.
Kami tidak protes, kami hanya bosan.
Kami tidak kecewa, kami hanya realistis.
Bahwa pemilu bukan panggung keadilan,
tapi sirkus kekuasaan.

Dan kami, badut-badut lucu…
yang terus tertawa,
agar tidak menangis lagi.


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah cermin retak yang memantulkan wajah rakyat dalam pesta demokrasi yang sering kali lebih mirip sandiwara berbiaya mahal.
Sindiran ini bukan hanya untuk politisi, tetapi juga untuk kita—yang terlalu cepat melupakan, terlalu gampang tergoda janji, dan terlalu sering memilih berdasarkan perut, bukan prinsip.
Pesannya sederhana namun tajam: Jangan biarkan lima menit di bilik suara menghancurkan lima tahun masa depan bangsa.
Dan jika kita bangga jadi rakyat, maka saatnya bangga pula berkata "tidak" pada tipu daya yang dibungkus senyuman palsu.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


🔥 Judul: "Pemilu adalah Festival Bodoh Nasional, Tiketnya Cuma Sebungkus Mie & Tampang Tersenyum"
Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)




“Negeri ini bukan kekurangan pemimpin,
tapi terlalu banyak badut yang bisa pidato.”


Pengantar
Saat demokrasi berubah jadi lelucon massal,
rakyat pun tertawa... sambil digoreng di wajan janji-janji basi.



1. Upacara Pembodohan Nasional

Selamat datang di Indonesia Raya Pemilu,
di mana kecerdasan libur panjang dan kepolosan dijadikan mata uang.
Lihat!
Mereka datang seperti malaikat berkampanye,
padahal sayapnya dari kertas partai,
dan niatnya?
Lebih licin dari jalan tol pas hujan pertama.

Kami bangga jadi rakyat,
duduk manis di kursi plastik saat orasi dimulai.
“Rakyat nomor satu!” kata mereka.
Padahal maksudnya:
Rakyat nomor satu untuk dimanfaatkan.
Nomor dua?
ATM berjalan.

2. Karnaval Seribu Janji

Setiap lima tahun, jalanan mendadak jadi runway janji,
lengkap dengan tarian baliho,
musik dangdut kampanye,
dan tenda gratis nasi bungkus basi.

Calon wakil rakyat datang,
berpakaian seperti kerabat nabi:
berpeci putih, senyum putih, tapi niatnya gelap.
Mereka datang memeluk bayi,
padahal dulu waktu pandemi,
liat rakyat sakit pun mereka tutup jendela mobil.

Kami bangga,
karena kami tahu:
ini bukan pemilu, ini ajang cosplay kejujuran.
Dan kami semua ikut menari,
dengan dompet bolong dan harapan tambal sulam.

3. Parodi Sumpah Rakyat

Kami bersumpah,
untuk tetap miskin dengan bermartabat,
asal diberi kaus baru dan spanduk untuk dijadikan taplak.

Kami bersumpah,
untuk tidak bertanya,
asal diberi amplop tebal dan selfie satu kali.

Kami bersumpah,
untuk memilih orang yang sama bodohnya dengan pilihan sebelumnya,
karena katanya "yang penting bukan si itu!"
Padahal dua-duanya beda kulit, sama isinya.

4. Monolog Tukang Parkir Demokrasi

Saya cuma tukang parkir, Bang,
tapi saya tahu, suara saya berharga…
sebentar doang.

Abis itu?
Saya balik lagi dipalak sama hansip,
dan dipanggil "pengganggu estetika kota."

Tapi waktu pemilu?
Saya dipanggil "pahlawan demokrasi."
Lucu, ya?
Katanya saya pahlawan,
tapi duit saya tetap habis buat bayar BPJS yang nggak jelas rutenya.

5. Dialog Hebat di Warung Kopi

“Bang, lu pilih siapa nanti?”
“Yang paling banyak kasih sembako, lah!”
“Tapi dia koruptor.”
“Ya, biarin. Yang penting dia korupsi setelah saya kenyang.”

Itu bukan kebodohan, kawan.
Itu survival mode.
Di negeri yang janji politik lebih banyak dari jumlah gigi palsu DPR,
rakyat belajar:
“Kalau gak bisa dapat perubahan, minimal dapat beras.”

6. Ilmu Hitam Pemilu

Politik di sini ilmu hitam berlabel halal.
Ada dukun elektabilitas,
pakai mantra: survei, buzzer, dan gimmick keluarga bahagia.

Ada calon yang tadinya penipu koperasi,
jadi calon bupati yang katanya "berjiwa sosial."
Bajunya saja berubah,
dari batik palsu ke jas kebesaran.
Tapi mulutnya tetap:
asal bunyi asal menang.

Kami bangga…
karena kami belajar tertawa saat kenyataan menyodok gigi depan.
Paling tidak, ketawa bisa jadi pelarian dari logika yang tertabrak truk muatan janji.

7. Pidato Kampanye: Versi Teater

Coba dengarkan pidato mereka:
“Rakyat tidak boleh lapar!” katanya.
Padahal yang kenyang duluan, ya dia dan keluarga—
dari proyek jembatan yang ambruk sebelum dipakai.

“Pendidikan gratis!” katanya.
Tapi anaknya sekolah di luar negeri,
sementara anak kita rebutan bangku SD pakai sistem zonasi yang lebih ribet dari daftar umrah.

“Bersama rakyat membangun negeri!” katanya.
Tapi rakyatnya disuruh gotong royong bangun kantor lurah
—sementara dia foto selfie pegang sekop bersih, tanpa debu.

8. Personifikasi Janji dan Bohong

Janji itu makhluk gaib di negeri ini.
Datang pas mau dipilih,
menghilang pas APBD turun.
Bohong pun punya rumah dinas,
dan tinggal bersama integritas yang kini jadi penunggu museum.

Kami bangga jadi rakyat,
karena sudah hafal semua lagu kampanye.
Versi pop, dangdut, bahkan remix TikTok.
Tapi lagu hidup kami tetap sama:
“Bangun pagi, antre bantuan, tidur lapar.”

9. Sindiran untuk Caleg Abadi

Caleg itu seperti bekas pacar:
datang saat butuh,
ngilang saat kenyang.
Mereka berjanji bikin perubahan,
padahal perubahan yang mereka maksud adalah:
rumah makin besar, rakyat makin ngutang.

Dan tiap kali gagal?
Mereka nyalon lagi.
Katanya, “Saya masih punya visi.”
Yang sebenarnya:
“Saya masih ngincar fee.”

10. Tawa Terakhir Kami

Tertawalah, kawan.
Tertawalah saat mereka datang mencium bayi,
padahal tangan mereka bau proyek gagal.
Tertawalah saat mereka janji buka lapangan kerja,
padahal yang mereka buka cuma lowongan buat saudara sendiri.

Tertawalah…
karena kalau tidak, kita akan menangis.
Menangis karena jadi rakyat,
yang dipanggil “saudara sebangsa dan setanah air,”
tapi hidupnya di atas tanah yang dijual ke investor asing.


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah tawa pahit yang disajikan dalam cangkir satire.
Sindiran ini menyasar para elite yang mengira rakyat bisa dibeli murah,
dan rakyat yang mengira demokrasi itu warung sembako lima tahunan.

Pesannya sederhana tapi dalam:
Jika kamu hanya digunakan saat pemilu,
maka kamu bukan rakyat—kamu adalah alat.
Tertawa boleh,
tapi jangan sampai lupa… bahwa suara bukan dagangan.
Kalau demokrasi ini festival,
setidaknya jangan sampai kita cuma jadi penonton yang disuruh bayar tiket.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

Setan Kemasukan Manusia



 Sebuah Parodi Reflektif oleh: Jeffrie Gerry (Japra), Penulis Berdarah Dingin Tapi Hangat di Hati


Di suatu sore yang mendung di Alam Gaib, para setan berkumpul dalam sebuah rapat darurat tahunan. Rapat itu biasanya diisi dengan evaluasi kerja, promosi horor, dan pembagian wilayah tugas untuk menyesatkan umat manusia. Tapi tahun ini, suasananya berbeda. Setan kepala—yang akrab disapa Boss Beelzebub—tampak gelisah sambil mengelus-ngelus jenggot hitamnya yang tersangkut pentol korek.

"Kawan-kawan, kita dalam krisis besar," kata Beelzebub dengan suara yang serak seperti radio rusak.

Semua setan menatap heran.

"Ada apa, Boss? Apakah manusia mulai tobat?"

"Lebih parah... Mereka jadi kita! Bahkan lebih ekstrem!"

Setan-setan tercekat. Salah satu dari mereka, si Seton, mengangkat tangan.

"Maksudnya?"

Beelzebub menggeser layar plasma di ruang rapat, menampilkan tayangan highlight dari dunia manusia:

  • Seorang manusia menipu donasi bencana alam dan pakai uangnya buat beli mobil sport.

  • Seorang ibu-ibu nyinyir di grup WA dan memecah rumah tangga orang lain hanya dengan sticker.

  • Seorang remaja membuat konten prank lempar sembako ke tukang becak, lalu tertawa-tawa sambil minum boba.

Setan senior langsung berdiri dan berteriak, "ITU KERJAAN KITA DULU! SEKARANG MEREKA NGAPAIN?!"

"Itulah masalahnya," kata Beelzebub, "Manusia sudah merebut peran kita. Kita nggak lagi dibutuhkan. Bahkan kita dipanggil cuma buat jadi tameng, biar mereka bisa bilang: 'Maaf, saya khilaf, saya kerasukan.'"

Seton berdiri gemetar. "Boss, saya minta cuti. Saya trauma. Minggu lalu saya coba godain manusia biar curang ujian, eh dia malah ngajarin saya teknik curang baru dan suruh saya masuk kursusnya!"

Setan lain, Setini, mengeluh, "Saya masuk ke tubuh manusia buat bikin dia selingkuh. Eh dia udah punya tiga pacar beda kota dan satu di metaverse! Saya malah diajari cara jaga rahasia dengan 7 HP!"

Beelzebub mengangguk murung. "Itulah yang saya maksud. Kita dulu raja tipu daya. Sekarang? Kita jadi murid privat mereka."


Babak 2: Laporan dari Lapangan

Setan lapangan bernama Seterik muncul dengan laporan investigasi terbaru. Ia tampak lelah dan matanya sayu seperti habis scroll TikTok 12 jam.

"Boss, saya menyamar jadi netizen, dan saya menemukan fakta mencengangkan."

Ia membuka presentasi:

  1. Manusia mengolok-ngolok bencana sambil bikin konten.

  2. Mereka menebar kebencian atas nama kebenaran.

  3. Mereka menjual agama demi endorse skincare.

  4. Mereka membakar hutan demi proyek wisata rohani.

  5. Mereka bilang semua demi Tuhan, padahal demi cuan.

Setan-setan bergidik ngeri. Salah satu setan, Setul, menangis tersedu.

"Boss... saya merasa gagal. Saya cuma ngajarin fitnah kecil, mereka malah bikin hoax nasional. Saya tuh cuma mau mereka debat kecil, bukan bakar rumah warga!"

"Saya juga, Boss," kata Setipus, "Saya ingin mereka berdusta soal nilai ujian. Eh mereka bikin ijazah palsu dan daftar jadi pejabat!"

Beelzebub berdiri dan berkata dengan tegas, "Saudara-saudaraku yang tercela, kita harus akui kenyataan ini: kita sekarang yang kerasukan manusia. Mereka lebih jahat dari kita. Bahkan Lucifer pun shock dan mulai ikut terapi!"


Babak 3: Terapi Setan

Setan-setan akhirnya menghadiri sesi terapi dengan konselor mereka: Dukun Semi-Pensiun bernama Mbah Slamet.

Mbah Slamet, sambil menghisap rokok linting dan menyeduh kopi hitam tanpa gula, membuka sesi dengan kalimat bijak:

"Lha wong kowe kalah jahat karo manungsa, yo wis. Ganti kerja wae."

"Kerja apa, Mbah?"

"Jadi motivator. Manusia sekarang butuh sadar, bukan disesatkan. Mereka udah nyasar sendiri kok."

Beelzebub merenung. "Motivator?" Ia membayangkan seminar dengan tema: "Berhenti Jahat, Biar Kami Bisa Kerja Lagi."

Seton usul, "Atau kita bikin podcast: 'Ngobrol Bareng Setan' — edisi tobat bersama."

Setini: "Atau kanal YouTube: 'Reaksi Setan Lihat Kelakuan Netizen'."

Setipus: "Judulnya 'Bukan Salah Kami', lalu isi kontennya ya... realita manusia."

Setan-setan mulai optimis. Mungkin sudah waktunya ganti peran. Toh manusia zaman sekarang nggak perlu digoda. Mereka digoda sendiri oleh keinginan, iri hati, dan ego yang lebih ngeri dari jebakan kita.


Babak 4: Refleksi dan Revolusi Gaib

Dalam sebuah sesi refleksi, Beelzebub mencatat dalam buku harian iblis:

"Dulu kami bangga saat manusia berdusta. Sekarang kami minder. Kami dibohongi juga. Dulu kami bangga menciptakan iri hati, sekarang iri pun jadi konten monetisasi. Kami kalah. Tapi mungkin, inilah waktunya kami menyerah... dan buka kedai kopi."

Setan-setan pensiun. Mereka buka warung kopi di alam gaib, dengan nama: "Ngopi & Tobat".

Menu spesial:

  • Kopi Pahit Kenyataan

  • Teh Manis Tapi Palsu

  • Donat Lubang Hati

Sambil menyeruput kopi, mereka menonton dunia dengan heran.

"Tuh anak manusia bikin konten prank jenazah..."

"Yang itu malah jual air wudhu botolan buat followers..."

"Astaghfirullah..."

Semua setan diam. Lalu serempak berkata:

"ASTAGHFIRULLAH..." 😭


Penutup: Tertawa dalam Keheranan

Kisah ini mungkin hanya parodi. Tapi seperti semua satire, ia membawa refleksi.

Dulu, manusia takut pada setan. Sekarang, setan takut pada manusia. Karena manusia punya satu hal yang lebih kuat dari sihir iblis: keserakahan tanpa batas dan pembenaran tanpa malu.

Jadi jika suatu hari kamu merasa "digoda setan", coba cek dulu... Jangan-jangan, setannya cuma duduk di pojok, ketakutan, sambil bilang:

"Jangan libatkan saya. Saya nggak ngajarin itu..."

🤣😈🙃


Setan Minta Suaka

Sebuah Parodi Konyol dan Absurd oleh: Jeffrie Gerry (Japra), Mantan Iblis Honorer yang Kini Freelancer Realita


Di sudut ruang interdimensional antara Surga, Neraka, dan Kantor Pos, seekor setan junior bernama Setriksel tengah mengantri dengan wajah lesu dan map merah menyala bertuliskan "PENGAJUAN SUAKA INTERNASIONAL."

"Selanjutnya!" teriak petugas bermuka netral yang ternyata malaikat pindahan dari divisi logistik.

Setriksel maju, membuka mapnya, dan mulai bercerita.

"Saya, dengan ini mengajukan suaka karena saya tidak sanggup lagi bertugas di dunia manusia. Mereka lebih kreatif dalam kejahatan. Mereka... terlalu inovatif."

Petugas mengernyit. "Tolong beri bukti pendukung."


Babak 1: Testimoni Kesengsaraan

"Pertama, saya ditugaskan menggoda seorang pejabat agar korupsi. Tapi saya datang terlambat. Dia sudah punya 8 rekening siluman dan 5 apartemen di negara yang bahkan saya nggak tahu eksisnya."

Petugas mencatat dengan pen. "Teruskan."

"Kedua, saya coba masuk ke pikiran selebgram untuk menyebar kesombongan. Tapi dia sudah bikin konten pamer sedekah sambil pakai filter sayap malaikat, diiringi lagu religi remix. Saya malah dapat endorse produk skincare."

Petugas mulai tertawa kecil. "Lanjut."

"Saya coba menggoda mahasiswa agar malas belajar. Tapi dia malah jual skripsi di Shopee. Saya jadi pelanggan tetap."


Babak 2: Klub Setan Pensiunan

Di ruang bawah tanah Nir-Zaman, para setan senior berkumpul membentuk organisasi baru: Setan Setengah Waras (SSW). Mereka berkumpul sambil bermain UNO dan terapi kelompok.

"Aku dulu bangga jadi goda orang berjudi," ujar Setru. "Sekarang mereka investasi koin micin. Aku nggak ngerti tren."

"Aku dulu bikin pasangan selingkuh," ujar Setimun. "Sekarang mereka open relationship, terus podcast bareng. Aku malah ikut jadi bintang tamu."

"Aku bikin orang marah di jalanan. Sekarang orang tabrak lari sambil live di TikTok. Aku di-tag."

Setan tertua, Setua, hanya mengelus dada.

"Kita sudah ketinggalan zaman, wahai kawanku. Kita butuh pelatihan ulang, atau... pensiun ke planet lain."


Babak 3: Pelatihan Ulang Setan

Beelzebub akhirnya buka workshop berjudul: "Manusia: Spesies Tanpa Panduan."

Modul:

  1. Mengenali Strategi Manipulasi Kontemporer.

  2. Teknik Baru: Berpura-pura Jadi Influencer Baik.

  3. Cara Menghindari Viral Saat Gagal Menggoda.

Praktikum langsung:

  • Coba goda manusia agar buang sampah sembarangan. (Gagal, dia malah bikin konten challenge buang sampah di laut.)

  • Coba bisikkan ide bikin hoax. (Gagal, dia malah jadi editor berita.)

Semua peserta frustrasi. Salah satu setan bahkan melamar jadi manusia dengan nama samaran: Manusia Biasa Tapi Aneh.


Babak 4: Dialog Dengan Tuhan

Akhirnya Beelzebub, dalam keputusasaan total, menghadap Tuhan.

"Ya Tuhan, hamba menyerah. Hambamu kalah licik dari ciptaan-Mu sendiri."

Tuhan tersenyum lembut. "Itu karena mereka diciptakan dengan kehendak bebas. Tapi sayangnya, mereka memilih bebal bebas."

"Tapi, kenapa mereka bisa jahat tanpa batas?"

"Karena mereka selalu merasa benar... bahkan saat sedang berbuat salah. Kau tahu siapa guru terbaik mereka?"

"Siapa, ya Tuhan?"

"Komentar netizen."

Setan langsung sujud. Menangis. "Saya... tidak mampu. Saya hanya mengajarkan tipu muslihat level dasar. Mereka sudah PhD dalam kebohongan."


Babak 5: Akhir yang Tidak Jelas Tapi Lucu

Sekarang, sebagian besar setan sudah pensiun dan buka usaha:

  • Setriksel jadi barista di kafe bernama Ngopi Sambil Tobat

  • Setru buka gym: Fitnes Biar Gak Fitnah

  • Setua jadi motivator spiritual dengan slogan: "Jadilah manusia, jangan kayak kami."

Mereka masih sering nonton berita dunia, sambil geleng-geleng kepala:

"Tuh orang jual air bekas cuci kaki kiai... limited edition." "Lho, yang itu jualan 'tiket masuk surga' via QR code!" "HAHAHAHA... hah... ha... ampun, manusia."


Penutup: Catatan dari Neraka yang Kosong

Sekarang neraka sepi. Karena semua dosa manusia sudah mereka alami di dunia. Setan pun hanya bisa nonton, sambil update status:

"Tolong. Manusia terlalu menyeramkan. Kami butuh rehabilitasi."

Dan manusia? Mereka tetap cuek, sibuk mengedit video dosa dengan filter lucu.

🤣😈📱

Beli 2 Gratis 1, Kok Beli 1 Gak Gratis 2?



 Karya Reflektif & Tak Waras: Jeffrie Gerry (Japra)


Pengantar Singkat:

Pernahkah kamu masuk restoran cepat saji dan keluar dengan perasaan: "Aku kenyang... tapi jiwaku kosong?" Ini kisah tentang promo yang absurd, kasir yang lebih jujur dari pengacara, dan kentang goreng yang lebih berminyak dari politik kampus.


Cerita Parodi:

Di sebuah sudut kota bernama Distrik Lapar—tempat di mana kolesterol lebih mudah ditemukan daripada cinta sejati—berdirilah megah sebuah restoran cepat saji legendaris bernama MekaDonat. Lambangnya dua garis melengkung, seperti alis tante-tante yang habis sulam, membentuk huruf "M" yang konon artinya: "Makanlah walau hatimu hampa".

Hari itu, aku masuk ke MekaDonat karena dompetku hanya mampu berteman dengan promo. Di pintu masuk, tertulis besar-besar dengan font Comic Sans yang bikin mata sakit:

"PROMO GILA! BELI 2 GARIS 1!"

Aku terpaku. Garis 1? Apa ini tes kehamilan? Apakah jika aku beli dua burger aku akan mendapatkan kejelasan hidup?

Dengan langkah percaya diri dan IQ 78, aku maju ke kasir. Kasirnya seorang remaja tanggung bernama Joni, rambutnya seperti kentang goreng—tipis, keriting, dan selalu berminyak.

"Selamat datang di MekaDonat, mau pesan apa, Kak?"

Aku mencondongkan tubuh, berbisik layaknya agen rahasia:

"Saya mau beli 1 burger. Tapi kok beli 1 gak gratis 2? Padahal beli 2 garis 1. Nggak adil, ya kan?"

Joni memandangku seperti aku baru saja membaca mantra kuno dari kitab promo.

"Eeeh, maksudnya promo itu, Kak, kalau beli 2 burger, dapat 1 garis... eh, maksudnya dapat 1 minuman gratis."

Aku termenung. Jadi selama ini... 'garis 1' adalah bahasa isyarat untuk minuman soda ukuran medium?

"Tapi kenapa nggak ditulis aja 'beli 2 burger, gratis 1 soda'? Kenapa harus garis? Ini iklan atau soal ujian TPA?"

Joni menghela napas. "Soalnya, Kak, kepala marketingnya dulunya pelukis surealis. Jadi semua harus simbolik."

Oh tentu, aku paham sekarang. Mereka tidak menjual makanan. Mereka menjual teka-teki kehidupan.

Akhirnya aku putuskan beli 2 burger demi mendapatkan 'garis' hidup itu. Tapi ketika makan, aku menyadari sesuatu...

Burger pertama: dagingnya lebih tipis dari prinsip moral dosen killer. Burger kedua: lebih banyak selada daripada isi. Soda: kombinasi antara gula, pewarna, dan harapan yang pupus.

Namun puncaknya adalah ketika aku menemukan kupon baru dalam struk:

"BELI 3 GRATIS 1 YANG DIBELI TEMEN KAMU!"

Sungguh... sistem promo ini seperti hubungan toxic. Semakin kamu coba mengerti, semakin kamu sakit kepala.


Refleksi Tak Masuk Akal:

Dalam dunia makanan cepat saji, logika dan kalori tidak berjalan seiring. Kita tertawa, kita makan, kita kenyang... tapi juga dikhianati oleh ekspektasi.

Moralnya? Jangan percaya pada dua hal: janji politisi dan promo fast food yang pakai metafora. Sebab kadang yang kamu beli bukan burger, tapi kebingungan filosofis dalam bentuk roti bundar.

Dan aku pun pulang, kenyang, tertawa... dan sedikit menangis.


"Promo Akal-akalan: Beli 2 Garis 1, Kok Beli 1 Gak Gratis 2?!"

Karya Parodi oleh: Jeffrie Gerry (Japra), Penikmat Logika yang Sudah Tidak Percaya Lagi Pada Logika


Pengantar: Di dunia di mana keju dijual lebih mahal dari janji kampanye, dan saus sambal dihitung per tetes, muncul sebuah pertanyaan filosofis yang mengguncang nurani rakyat kecil: "Kalau beli dua dapat satu, kenapa beli satu gak dapat dua?!"


Babak 1: Dilema di Pojok Waralaba

Namaku Tito, mahasiswa tingkat akhir yang hidup dari diskon dan nasi sisa seminar. Suatu hari, aku terpeleset masuk ke sebuah restoran cepat saji—yang namanya sudah seperti mantra, kita sebut saja: "BuncitFriedMonster".

Di depan kasir, tertulis besar dengan font Comic Sans: PROMO SPESIAL: BELI 2 GRATIS 1

Hatiku melonjak. Aku pikir ini saatnya pesta. Aku menghitung receh di dompet, dan dengan penuh keyakinan, berkata ke mbak kasir:

"Mbak, saya beli SATU aja dulu. Jadi dapet DUA, ya kan? Kan kalau beli dua dapat satu, berarti logikanya beli satu dapat dua?"

Mbak kasir terdiam. Matanya seperti Windows 98 yang lagi loading.

"Maaf, Mas. Beli satu ya tetap satu. Beli dua, baru dapat satu tambahan."

Aku menatap papan promo itu lagi. Lalu kembali menatap mbak kasir.

"Jadi... kalau saya beli satu, saya gak dapat dua? Tapi kalau saya beli dua, saya malah dapat tiga?!"

"Iya, Mas."

"Jadi sistem di sini menghukum orang miskin seperti saya yang cuma bisa beli satu?!"

Mbak kasir mulai panik. "Saya cuma kerja, Mas, bukan bikin promo."

Babak 2: Filosofi Nugget dan Teori Marx Ayam

Aku duduk di pojokan, memandangi ayam goreng yang sendirian. Ia terlihat kesepian, seperti tokoh utama sinetron yang ditinggal pas hari hujan.

Kupikirkan ulang:

  • Beli dua = dapat tiga.

  • Beli satu = tetap satu.

Jadi aku dihukum karena tidak mampu membeli lebih banyak? Di mana letak keadilan ekonominya?

Kupanggil teman sekelasku, Deno, yang kuliah di jurusan Filsafat Digital.

"Bro, gue kena sistem kapitalis ayam. Beli satu gak dikasih apa-apa, beli dua malah dikasih bonus."

Deno mengangguk sambil menyeruput es teh refill.

"Itu bentuk eksploitasi keinginanmu untuk kenyang. Mereka menciptakan kelangkaan rasa puas, lalu memanipulasi pikiran lewat diskon."

Aku hampir tersedak ayam.

"Jadi nugget ini... bagian dari konspirasi kelas sosial?"

"Ya. Ayam itu proletar. Kamu diminta membelinya banyak supaya kamu merasa menang, padahal kamu hanya dipaksa beli lebih dari yang kamu butuh."

Babak 3: Revolusi di Ruang Makan

Aku berdiri. Penuh semangat revolusi. Kujungjung tinggi ayam satu-satunya di atas nampan plastik.

"Saudara-saudara! Kenyang bukan hanya hak orang yang bisa beli dua! Kita, pembeli satu, menuntut hak bonus kita juga!"

Orang-orang mulai melirik. Seorang anak kecil mulai tepuk tangan. Seorang bapak terbangun dari tidur siang di kursi keras. Seorang ibu nyengir sambil ngevlog.

Mbak kasir buru-buru manggil supervisor. Muncullah Mas Supervisor, dengan dasi merah yang tidak sinkron dengan sepatu crocs-nya.

"Ada masalah, Mas?"

Aku mengangkat ayam.

"Saya menuntut kebijakan promo yang adil dan setara! Jika beli dua dapat satu, maka beli satu seharusnya dapat dua! Itu matematika moral!"

Mas Supervisor tersenyum tipis. "Mas, itu bukan bagaimana promo bekerja."

Aku menggeleng. "Tapi itu bagaimana logika rakyat bekerja!"

Babak 4: Aksi dan Akhir yang Tak Terduga

Kami sepakat, aku dan beberapa pelanggan yang ikut tercerahkan, untuk demo damai di depan restoran. Kami bawa banner bertuliskan:

  • "SATU ITU JUGA RAKYAT!"

  • "BERIKAN BONUS UNTUK SEMUA!"

  • "NUGGET UNTUK KAUM TERTINDAS!"

Tiga anak SMA bergabung karena katanya pengen viral. Seorang YouTuber lokal datang untuk konten. Seorang ibu muda ikut demo sambil promosi dagangan di IG.

Restoran mulai panik. Akhirnya mereka kirim satu staf humas, yang sepertinya baru lulus training.

Dia berkata: "Baiklah, kami akan kasih tambahan satu saus gratis untuk pembeli satu!"

Kerumunan hening.

Aku menatap saus mungil itu. Isi 7 mililiter. Wajahku penuh campuran antara kekalahan dan rasa asin.

Babak 5: Refleksi, Tapi Masih Lapar

Akhirnya aku pulang. Perutku masih lapar, tapi hatiku kenyang oleh perjuangan.

Temanku bertanya, "Jadi gimana ending-nya?"

"Gue dapat satu ayam, satu saus... dan satu pelajaran."

"Apa itu?"

"Kalau lo miskin, logika gak akan bantu apa-apa di dunia promo."

Kami tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena kenyataannya konyol.

Refleksi Penutup: Promo memang tidak bisa diukur dengan kalkulus, apalagi akal sehat. Ia dirancang untuk membuat kita merasa beruntung saat membeli lebih dari yang kita butuhkan. Tapi dalam absurditas ini, ada cermin sosial yang memantulkan realitas: kadang keadilan tidak hadir dalam porsi ayam, tapi dalam keberanian kita mempertanyakan sistem.

Dan ingat, kalau kamu cuma mampu beli satu, jangan sedih. Minta saus dua. Minimal kamu tetap bisa berasa menang meskipun kenyataannya tetap kalah.