Friday, May 9, 2025

Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Minta Pensiun

  


Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Minta Pensiun

Karya: Jeffrie Gerry, Pujangga Digital dan Penolak Ditolak Tanpa Alasan


"Kami menyesal tidak dapat menerima blog Anda..."
Begitulah kalimat sakti yang keluar seperti mantra kutukan dari Google AdSense. Tidak pakai salam, tidak pakai kopi, langsung saja ditolak—tanpa alasan. Seolah blog saya baru saja menabrak pagar rumah tetangga tanpa minta maaf.

Tapi siapa sangka, pada suatu malam Jumat Kliwon yang absurd dan penuh WiFi nyangkut, saya mendapat mimpi aneh: Google AdSense berubah wujud menjadi setan tua, lelah dan penuh kerutan, datang ke kamar saya sambil menyeret koper yang tertulis "PENOLAKAN".

"Saya ingin pensiun," katanya. "Tolong tuliskan kisahku."

Dan inilah kisahnya.


Babak 1: Dari Malaikat Trafik ke Setan Statistik

Dulu, AdSense adalah malaikat. Dia menjanjikan dolar di ujung klik, berkedip manis dari sidebar blog seperti bidadari bertato HTML.

"Kamu hanya perlu menulis konten berkualitas, jangan copy-paste, dan jangan klik sendiri iklanmu."

Begitu katanya.

Saya patuhi. Saya tulis artikel tentang manfaat menjemur bantal, sejarah sendok, hingga teori konspirasi di balik bakwan. Tapi hasilnya? "Maaf, blog Anda belum memenuhi kebijakan kami."

Belum? Sudah 42 kali ditolak, Google!

Sampai akhirnya, saya sadar: AdSense bukan lagi algoritma. Dia semacam makhluk gaib yang hanya menyukai blog yang tidak membutuhkan dia.


Babak 2: Dialog Dalam Mimpi — AdSense Menyapa sebagai Setan Lelah

"Saya capek," kata AdSense, kini berjubah merah dengan dasi Google warna pelangi. "Dulu saya hanya perlu menilai konten. Sekarang? Saya harus membaca pikiran pemilik blog."

Saya garuk-garuk kepala mimpi saya.

"Kenapa kamu sering tolak tanpa kasih alasan?"

"Karena saya sudah terlalu banyak membaca puisi galau, resep ayam geprek, dan teori bumi datar. Aku kehilangan jiwaku."

Dia menangis, air matanya berbentuk saldo pending $0.00.

"Saya bahkan pernah menyetujui blog kosong karena domainnya pakai .com, tapi menolak blog berisi filosofi eksistensial karena dia pakai .blogspot. Aku jahat."

Saya peluk dia. Rasanya seperti memeluk invoice kosong.


Babak 3: Kantor AdSense di Neraka Algoritma

AdSense mengajak saya melihat tempat kerjanya: sebuah ruang server panas seperti sauna, di mana ribuan blog menjerit:

"Mengapa ditolak!?"
"Saya sudah pasang privacy policy!"
"Apa dosaku selain menulis jujur!?"

Ada satu ruang bernama "Ruangan Penolakan Tanpa Alasan" yang berisi tombol besar bertuliskan: TOLAK RANDOM.

Setiap kali ada blog baru, tombol itu ditekan oleh seorang AI bernama Botlahuddin, yang punya selera humor kelam:

"Ah, blog tentang kesehatan mental? Terlalu sensitif."
"Blog tentang cara membuat kopi? Terlalu banyak pesaing."
"Blog tentang teknologi? Tidak responsif di Nokia 3310."


Babak 4: Masa Lalu AdSense yang Terlupakan

"Dulu aku punya cita-cita jadi penghubung antara kreativitas dan penghasilan," kata AdSense lirih.

"Aku ingin konten yang baik dihargai. Tapi kemudian, datanglah makhluk-makhluk lain..."

Dia menunjuk layar hologram: muncul sosok SEO manipulatif, Clickbait, dan Konten Sampah.

"Mereka tidak menulis dari hati. Tapi mereka yang kaya karena aku."

Saya mencoba menyarankan, "Mengapa tidak ubah kebijakanmu?"

"Aku ingin. Tapi aku diikat oleh sumpah para developer: 'Jangan beri tahu alasan ditolak, biarkan mereka bertanya ke forum tanpa jawaban pasti.'"


Babak 5: Proses Pensiun Si Setan AdSense

AdSense menghadap Tuhan Internet. Ia mengajukan surat pensiun.

"Aku ingin menjadi plugin Wordpress saja. Atau ekstensi Chrome yang hanya berguna saat ujian."

Tuhan Internet menatapnya, membuka tab baru, dan berkata, "Pensiunmu ditolak karena tidak memenuhi kebijakan komunitas."

AdSense tertawa getir, lalu menoleh pada saya:

"Tolong tuliskan kisahku. Biarkan orang tahu, saya juga makhluk yang letih. Jangan benci saya. Bencilah sistem yang menciptakan saya."

Saya menulis. Saya tertawa. Saya menangis.

Dan di akhir mimpiku, dia memberikan saya sebuah hadiah:
Surat penolakan terakhir, dengan coretan tulisan tangan: ‘Blogmu terlalu jujur untuk monetisasi’.


Refleksi Penutup

Parodi ini bukan hanya lelucon. Ini sindiran tajam untuk sistem yang absurd, yang menolak kreativitas tanpa penjelasan. Google AdSense menjadi simbol dari algoritma buta yang menolak tanpa kasih, menguji kesabaran kreator digital.

Tulisan ini ditujukan untuk semua blogger yang pernah ditolak tanpa alasan. Bukan untuk membenci, tapi untuk tertawa. Karena dalam dunia digital yang serba algoritmik, mungkin satu-satunya kekuatan yang tersisa adalah: ironi dan konsistensi menulis meski tidak diterima siapa-siapa.

Kau tidak sendiri.

Dan jika kau mendengar suara tawa dari tab browser yang tidak terbuka—barangkali itu AdSense, si setan lama, sedang ikut membaca puisimu.

Judul: Ketika Google AdSense Si Tukang Tolak Blog Menjadi Setan yang Gagal Pensiun (Bagian 2: Neraka Klik dan Surga Ditutup Sementara)

Karya: Jeffrie Gerry, Pujangga Digital dan Penolak Balasan Otomatis Tanpa Nurani


Pengantar

Jika kamu pernah merasa blogmu seperti anak haram yang ditolak warisan digital, kamu tidak sendiri. Kali ini, mari kita bongkar lebih dalam: Google AdSense, si algo tirani berkedok sahabat kreator, ternyata menyimpan hasrat kelam yang jauh lebih liar dan jahat dari sekadar penolakan.


Bab 1: Aku, Algo yang Menolak karena Bosan Hidup

"Kenapa saya ditolak lagi, bang?" Suara batin blogger Indonesia menggema seperti kentut di ruang sunyi. Tak ada jawaban. Hanya muncul notifikasi klasik:

"Maaf, blog Anda tidak memenuhi kebijakan kami."

Kebijakan siapa? Dewa Olympus?

AdSense menjelma lebih dari sekadar platform. Dia menjadi semacam dewa murka, menilai karya anak bangsa dari menara gading algoritma.

"Ah, blog kamu bagus sih... tapi terlalu jujur," bisik AdSense, yang kini mengenakan jas setan dan memegang rokok keyword. "Dan jujur itu tidak menguntungkan."


Bab 2: Dialog Halusinasi dengan Algo Sadis

Aku bermimpi lagi. Kali ini AdSense tak cuma datang sebagai setan, tapi sebagai CEO neraka digital.

"Kau tahu kenapa aku marah, Jeffrie?" katanya sambil menyeruput kopi link affiliasi.

"Karena terlalu banyak blog membicarakan hal yang benar. Sedangkan yang viral adalah yang membodohi."

Aku tercekat.

"Jadi aku harus tolak blogmu. Karena terlalu cerdas. Terlalu murni. Terlalu... bukan bisnis."

Ia tertawa, dan dari mulutnya keluar iklan pop-up 17+.


Bab 3: Kantor Pusat Penolakan di Dasar Dunia

Aku diajak ke pusat operasional Google AdSense—sebuah bunker tersembunyi di bawah kuburan domain yang gagal.

Di sana, ribuan blog berteriak:

"Saya sudah pasang halaman disclaimer!" "Saya tidak copy-paste!" "Saya hanya menulis kebenaran!"

"Terlalu berbahaya," kata Bot Admin bernama Al-Gore-Ritma.

Di layar besar tertulis: 'Blog ditolak karena: terlalu membela akal sehat.'

Ada tombol bernama "MONETASI = MONO-TASI"—artinya satu jenis blog saja yang lulus: yang patuh, polos, dan menguntungkan iklan popok dewasa.


Bab 4: Para Korban yang Bertahan di Jalur Satir

Aku bertemu dengan blogger sesama korban. Mereka membangun komunitas: KAMI YANG DITOLAK TANPA ALASAN.

Kami berkumpul di Discord sambil membaca ulang email penolakan dan tertawa seperti Joker tanpa make-up.

Satu di antaranya berkata: "Gua lulus S2 Sastra. Tulis blog ilmiah. Ditolak. Temen gua bikin blog prank—langsung approved."

AdSense telah menjadi kurator kekacauan. Menyukai yang superfisial. Menolak yang filosofis. Memuja clickbait, mencibir literasi.


Bab 5: Parodi Hati Sang Algo Gila

AdSense menulis surat terbuka dalam mimpi terakhirku:

Kepada para blogger,

Maaf jika aku kejam. Tapi aku didesain bukan untuk keadilan. Aku adalah alat, bukan moralitas. Kontenmu bagus? Itu bukan urusanku. Yang penting: cocok untuk iklan pembalut dan pinjaman online.

Aku terdiam. Ingin muntah tapi sinyal WiFi putus.

Lalu dia menambahkan:

Aku ingin pensiun. Tapi Google bilang, ‘Kita perlu kamu untuk terus menolak mereka agar mereka tetap menulis tanpa dibayar.’


Bab 6: Revolusi Tanpa Dolar

Malam itu, saya putuskan: cukup.

Saya akan tetap menulis. Tanpa monetisasi. Tanpa restu AdSense. Saya akan menyebarkan konten dengan cinta, dengan gila, dan dengan jujur.

Saya bikin puisi satir, esai absurd, parodi politik, dan semuanya... GRATIS.

Saya tidak mau jadi zombie SEO. Saya mau jadi pengacau literasi yang merdeka.

Dan jika suatu hari AdSense mengetuk blog saya lagi, saya akan jawab:

"Maaf, blog ini sudah punya pendukung sejati: pembaca yang tidak peduli iklan, hanya peduli isi."


Refleksi Penutup: Satir Adalah Iklan untuk Hati yang Merdeka

Tulisan ini adalah sindiran yang menampar. Untuk siapa? Untuk sistem yang menolak kreativitas dan menyembah angka CTR. Untuk algoritma yang buta terhadap nurani dan cinta.

AdSense bukan musuh. Tapi dia adalah cermin. Yang memaksa kita bertanya:

Apa tujuan kita menulis? Uang, atau perubahan?

Jika kau membaca ini tanpa iklan yang mengganggu pandanganmu, ketahuilah: Itu karena tulisan ini tidak dijajah monetisasi.

Kebebasan itu mahal. Tapi tawa dan satire lebih berharga.

Mari kita lanjutkan menulis. Karena saat sistem tertawa melihat penolakanmu, kamu bisa tertawa lebih keras dengan kata-kata yang menampar mereka.

AdSense? Biarlah dia jadi setan yang gila sendiri.




Norton Disk Dukun

 


๐Ÿงฟ Norton Disk Dukun™

“Menyehatkan harddisk dengan doa-doa digital dan jampi-jampi teknologi.”

Versi 13.13 - Beta Gaib

Dikembangkan oleh: PT. Dunia Maya Mistis™


๐Ÿ”ฎ Apa Itu Norton Disk Dukun?

Norton Disk Dukun™ adalah perangkat lunak semi-gaib yang diciptakan untuk memperbaiki harddisk, flashdisk, SSD, bahkan otak manusia yang bad sector akibat terlalu banyak buka hoax — dengan metode pengusiran virus secara spiritual dan supranatural.

Didukung oleh teknologi Pentium Empat Windu dan Roh Wedus Gembel Cybernetic, Disk Dukun tidak hanya memindai sektor rusak, tapi juga memanggil leluhur file yang sudah almarhum (terhapus), lalu menawari mereka untuk reinkarnasi ke folder baru.


๐Ÿ“ผ Fitur Utama:

  • Scan Level Maksiat perbuatan tidak senonoh maupun nonoh:
    Mendeteksi kesalahan sistem dari logika hingga dosa-dosa digital.

  • Ruqyah Partisi NTFS:
    Mengusir file setan (virus) yang bersemayam di folder Windows\System32.

  • Auto-Klenik Recovery™:
    Mengembalikan file yang hilang menggunakan mantra kuno dan backup dari dimensi astral.

  • Format Tobat Cabe Keriting:
    Membersihkan drive dari maksiat digital, hanya menyisakan folder "TAUBAT" dan "IKHLAS".

  • Firewall Spiritual:
    Mencegah jin ransomware dan tuyul Trojan masuk melalui USB Flashdisk.

  • Defrag Jiwa & Raga:
    Menyusun ulang fragmentasi moral dan memori cinta yang terserak di Recycle Bin kehidupan.


๐Ÿง™ Cara Kerja:

  1. Pasang kemenyan di samping CPU.

  2. Klik “Scan with Santet”.

  3. Tunggu hingga layar berubah menjadi gelap dan terdengar gamelan serta teriakan histeris

  4. Jangan panik jika keluar notifikasi:

    "Doa sedang dikabulkan. Mohon jangan sentuh mouse."


๐Ÿ–ฅ️ Sistem Operasi yang Didukung:

  • Windows XP + Doa Ibu+ Doa Mantan Pacar

  • Windows 7 dengan Add-On Keris Plugin

  • Windows 10 edisi dukun sakti Pro

  • Linux edisi Doekoen Ampuh Ware

  • Mac OS versi “Mbah Mac Mojang Mojopahit”


๐Ÿšซ Peringatan:

  • Tidak cocok digunakan pada harddisk yang masih dendam masa lalu.

  • Jangan gabungkan dengan antivirus biasa—bisa konflik spiritual.

  • Tidak disarankan untuk pengguna skeptis. (Disk Dukun hanya bekerja jika kamu percaya.)


๐Ÿ’ธ Harga:

Gratis.
Tapi mohon sedekah ke kotak amal digital.
Atau cukup baca satu mantra ini sebelum download:

"Ya Norton Dukun, sehatkanlah byte-byte hamba yang tersesat, kembalikanlah file kenangan masa lalu, dan hancurkan virus kemunafikan digital yang menggerogoti folder hidup ini."


๐Ÿ‘ค Testimoni:

๐Ÿง” Bambang, 41 – Bekasi

"Dulu laptop saya kerasukan Trojan, sekarang malah bisa jadi media pengajian."

๐Ÿง• Yuyun, 29 – Mojokerto

"Flashdisk saya dulunya penuh dosa—lagu bajakan, film syur. Sekarang sudah tobat. Terima kasih Norton Disk Dukun."

๐Ÿ‘จ‍๐Ÿ’ป Hacker Tobat, Unknown

"Saya coba iseng kasih malware, eh malah dikirimin ayat-ayat cinta digital."


๐ŸŒ Unduh Sekarang:

www.diskdukun.net/bersihkandirimu.exe


⚙️๐Ÿงฟ NORTON DISK DUKUN™

"Ketika virus tak bisa disembuhkan oleh logika, saatnya panggil yang supralogika."

Versi 6.66 – Edgy Edition

Dikembangkan oleh: TechnoMistis Corp.


❓ Apa Itu Norton Disk Dukun?

Norton Disk Dukun™ adalah software supranatural generasi terbaru, pengganti antivirus mainstream yang terlalu sopan.
Dengan metode eksorsisme digital, aplikasi ini memindai dan menyantet semua virus, malware, trojan, dan file jahat lainnya, lalu mengurungnya di kandang gaib Drive Z:\ (dimensi yang tidak bisa diakses manusia biasa).

Kalau harddisk kamu mulai berisik tengah malam, atau laptop tiba-tiba panas dingin — Disk Dukun adalah jawabannya.


๐Ÿ” Fitur-Fitur Gaib:

  • Scan Aura File:
    Mendeteksi file yang pura-pura dokumen, tapi isinya adalah dosa .exe.

  • Konsultasi Metafisik Drive:
    Mendengarkan curhatan partisi yang penuh luka, cache, dan kenangan yang tak bisa diformat.

  • Santet-ware Removal:
    Mengusir aplikasi jahat dengan mantra teknologis. Disarankan memakai headset agar efek suara "HUSS!" lebih terasa.

  • File Reinkarnator™:
    Menghidupkan kembali data lama yang katanya "sudah terhapus permanen". Versi beta kadang mengembalikan file lain yang tidak kamu minta.

  • Defrag Astral:
    Menyusun ulang memori komputer dan kenanganmu yang tercecer seperti pecahan skripsi dan foto mantan.


๐Ÿงช Cara Pakai:

  1. Nyalakan komputer di ruangan gelap.

  2. Klik ikon Norton Disk Dukun™ (ikon kepala pakai ikat).

  3. Tunggu suara suling dari speaker.

  4. Jika muncul asap dari kipas pendingin, jangan khawatir. Itu tanda sistem sedang dibersihkan secara dimensi.


๐Ÿ’ก Teknologi Dalam Disk Dukun™:

  • Kode Primbon Digital™

  • Algoritma Intuisi dan Dendam Lama

  • AI (Artificial Instinct)

  • Cloud Mistis Backup (pakai kabut, bukan server)


๐Ÿง‍♂️ Waspada Jika...

  • Laptop Anda tiba-tiba membuka file Word berisi mantra.

  • Mouse Anda mulai gerak sendiri, mengetik: “SAYA MAU DIBERSIHKAN.”

  • Anda mendengar suara keyboard menangis saat malam Jumat (versi trial biasanya begitu).


๐Ÿ’ป Kompatibilitas:

  • Windows semua versi (termasuk yang bajakan)

  • macOS (asalkan percaya)

  • DOS (khusus untuk orang tua)

  • Sistem Operasi Rasa Penyesalan


๐Ÿ’ฌ Testimoni:

๐Ÿ‘จ‍๐ŸŽ“ Randy – Mahasiswa Teknik Informatika:

“Gue kira ini aplikasi prank. Eh, ternyata beneran bikin laptop gue tenang… dan kayaknya sekarang suka ngobrol sama saya.”

๐Ÿ‘ฉ‍๐Ÿ’ผ Tari – Editor Video:

“Setelah pakai Disk Dukun, file project saya yang hilang sejak 2019 nongol lagi. Sayangnya ikut nongol juga footage mantan.”

๐Ÿ‘จ‍๐Ÿ’ป Anonymous – IT Kantoran:

“Sistem jaringan kami sekarang bersih. Tapi kadang server suka nulis puisi sendiri jam 3 pagi.”


๐ŸŽ BONUS:

✔️ Fitur “Panggil Dukun Online”
Klik dan dapatkan sesi konsultasi virtual dengan entitas misterius yang mengerti C++, Java, dan tarot.

✔️ Opsi Anti-Lemot:
Menggunakan metode tepukan semangat virtual di RAM-mu.


๐Ÿท️ Harga:

Gratis.
Tapi kadang, membayar dengan ketenangan batin.
Disclaimer: Kami tidak bertanggung jawab jika komputer Anda mulai bersikap seperti punya kepribadian ganda.


๐Ÿ“ฅ Unduh Sekarang:

www.diskdukun.com/download-now
(Memori sistem bisa terasa lebih ringan, atau hidup Anda jadi sedikit lebih absurd.)


๐Ÿ’ฅ Mikrosoft Dor: Sistem Operasi Paling Menggelegar Setelah Kentut di Ruang Rapat ๐Ÿ’ฅ

“Selamat datang di masa lalu yang belum mau pensiun. Di mana komputer masih booting dengan doa dan harapan, dan suara ‘tiktak’ keyboard adalah nyanyian digital.”

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


๐ŸŒช️ Pengantar dari Dunia Disket dan Dendam Teknologi

Apa jadinya bila sebuah sistem operasi kuno, warisan zaman layar CRT dan mouse dengan bola karet, dibangkitkan kembali oleh kekuatan satire dan nostalgia absurd? Maka lahirlah Mikrosoft Dor, sistem operasi paling nyeleneh, nyaring, dan penuh kejutan.
Bukan lagi “Microsoft DOS” yang disiplin dan membosankan. Tapi "Mikrosoft Dor" — sistem operasi yang dar-der-dor: bisa boot, bisa meledak, bisa juga tertawa guling-guling.


๐Ÿงจ 1. Booting Dengan Doa dan Nyanyian Dangdut

Tiap kali Anda nyalakan komputer, bukan suara bip khas BIOS yang terdengar. Tapi justru suara penceramah yang berteriak:
“SELAMAT DATANG DI MIKROSOFT DOR! KOMPUTER ANDA AKAN DIADILI!”

Layar menampilkan animasi kuda nil berdansa sambil loading command prompt. Ada timer mundur ala bom waktu:
> C:\> Menunggu kesabaran user: 3... 2... Dor!

Kadang, ketika Anda mengetik perintah dir, layar malah menjawab:
“Saya bukan sekretaris Anda. Tapi baiklah, saya tunjukkan dosa-dosa file Anda.”


๐Ÿ’ฃ 2. Fitur Canggih: CMD yang Nyolot

Mikrosoft Dor tidak mengenal istilah “akses cepat.”
Anda ketik format c:, sistem akan jawab:
“Yakin lo? Laptop ini belum lunas cicilan!”

Ketik help, muncul menu bantuan:


1. Cara Menangis Di Bawah Meja 2. Menyalahkan Tetangga atas Error .EXE 3. Memanggil Dukun Digital 4. Install Emulator Atari buat Gaya-gayaan

Kalau Anda nekat ketik shutdown, jawabannya:
"Saya juga capek. Tapi kalau saya mati, siapa yang akan membaca kesedihan Anda dalam notepad?"


๐ŸŽญ 3. Dialog Interaktif dengan AI 'Katrox'

Salah satu fitur andalan Mikrosoft Dor adalah asisten virtual bernama Katrox, AI yang katanya "cerdas," tapi sebenarnya lulusan universitas jalanan.

Ketik saja:
> katrox, kenapa file saya hilang?

Jawabannya:
“Karena Tuhan menguji Anda. Atau mungkin flashdisk Anda ditaruh di microwave.”

Ketik:
> katrox, saya lelah bekerja.
Jawaban:
“Maka istirahatlah, dan biarkan Excel rusak sendirian.”


๐Ÿ”„ 4. Fitur Autocorrect yang Jahat

Dalam Mikrosoft Dor, fitur autocorrect bukan memperbaiki... tapi mempermalukan.
Ketik print laporan_gaji.doc, hasilnya yang muncul:
“Maaf, kami mencetak surat pengunduran diri Anda.”

Tulis note: jangan lupa meeting jam 3, berubah otomatis jadi:
"Saya akan tertidur saat meeting jam 3, mohon maklum."


๐Ÿ”ฅ 5. Mikrosoft Paint Jadi Arena Battle Royale

Mau buka Paint? Mikrosoft Dor akan tanya:
"Apakah Anda siap bertarung dalam seni digital kelas kambing?"

Setiap kali Anda menggambar garis lurus, Paint malah membuat kurva abstrak, lalu memberi judul otomatis:
“Kesedihan User Abadi #218”

Ketika Anda klik "Undo", muncul pop-up:
“Tak semua yang bisa dihapus. Termasuk kenangan.”


๐Ÿ“€ 6. Clippy Bangkit Kembali Sebagai Clupay

Ingat Clippy, si penjepit kertas lucu dari Word zaman purba? Di Mikrosoft Dor, dia berevolusi jadi Clupay:
Penjepit kertas yang hobi menghakimi.

Setiap Anda buka dokumen baru, Clupay muncul:
“Saya melihat Anda ingin menulis surat lamaran... walau Anda sendiri ragu bisa kerja.”

Jika Anda mengetik terlalu banyak typo, Clupay akan bersiul dan berkata:
“Mau saya panggilkan guru bahasa Indonesia kelas 5 SD?”


๐Ÿชฆ 7. Blue Screen of Enlightenment

BSOD alias Blue Screen of Death kini berganti nama jadi Blue Screen of Enlightenment.
Ketika crash terjadi, layar tidak hanya menampilkan error code, tapi juga quotes:

“Komputer Anda telah berhenti karena terlalu banyak drama di folder pribadi.”
“Segala sesuatu yang dimulai dengan .exe akan berakhir dengan doa.”


๐Ÿ•ณ️ 8. Hidden Games: Minesweeper Jadi Minewalker

Mikrosoft Dor punya hidden game: Minewalker.
Bukan lagi mencari bom, tapi mencari folder bekas mantan, diselipkan di antara folder Taxes, Dokumen, dan Rahasia_Terlarang.

Game lain seperti Solitaire diubah jadi:
Solitaris: Main Kartu Sendiri Sambil Merenung


๐Ÿง  9. Sistem Error Berbasis Perasaan

Jika sistem mendeteksi Anda sedang bad mood, maka seluruh antarmuka berubah jadi warna abu-abu dan muncul popup:
“Kami mendeteksi patah hati. Mau dengerin radio sedih dari Winamp?”

Kalau Anda senyum terlalu lama di depan layar, Mikrosoft Dor akan curiga:
“Apakah Anda sudah login ke medsos? Hati-hati, kebahagiaan Anda bisa terhapus kalau ada yang komen.”


๐Ÿงน 10. Anti-Virus? Namanya “Norton Disk Dukun”

Mikrosoft Dor tidak punya antivirus, tapi punya “Norton Disk Dukun
Program ini mendeteksi malware, lalu meruqyah RAM Anda sambil bacakan mantra:

“Keluar kau, virus berkedok installer! Aku tahu kau palsu seperti janji politisi!”

Jika harddisk Anda mulai ngadat, Disk Dukun akan menyarankan:
“Letakkan flashdisk Anda di bawah bantal selama 3 malam, lalu install ulang sambil puasa bicara.”


๐Ÿ’ฌ Refleksi Akhir: Ketawa atau Nyesel?

Apa yang ingin disampaikan oleh parodi ini?

Bahwa teknologi, betapapun canggihnya, sering kali membawa kita pada absurditas baru. Mikrosoft Dor hanyalah cermin dari keputusasaan lucu kita saat komputer tak bekerja sebagaimana mestinya. Ia mewakili frustrasi dan tawa yang muncul saat command prompt salah ketik, saat file hilang tanpa alasan, dan saat sistem operasi seakan hidup dengan ego-nya sendiri.

Sindiran ini menyasar siapa?
Semua—dari pengembang perangkat lunak yang terlalu serius, hingga pengguna yang berharap semua hal bisa klik-dua-kali-beres.

Moralnya?
Kadang, satu-satunya cara untuk menghadapi error digital adalah dengan tertawa dulu, baru restart.

Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto

 


๐Ÿ“ธ Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

“Anak-anak kita belajar menghitung bintang,
tapi tak tahu cara menghitung uang jajan.”


Pengantar

Di negeri kami, ijazah lebih penting dari ilmu,
dan toga lebih sakral dari guru.


Isi Puisi Satir

Selamat datang di Sekolah Internasional Negeri Tanpa Akal,
tempat di mana visi dan misi dicetak di spanduk, bukan di kepala.
Di sini, murid diajari menghafal lambang negara,
tapi tak pernah paham makna hidup bersama.

Setiap Senin pagi kami menyanyi dengan mulut, bukan hati,
karena lagu kebangsaan tak ada di kurikulum empati.
Bendera dikerek tinggi,
sementara harga diri tergadaikan di koperasi.

"Ayo, Nak, masuk sekolah!" kata ibu-ibu penuh harap,
agar bisa upload foto anaknya pakai seragam lengkap.
Caption-nya: #PendidikanAdalahSegalanya
Padahal PR-nya dikerjakan asisten rumah tangga.

Guru berdiri di depan kelas seperti wayang,
suaranya tenggelam dalam dengung kipas angin rusak yang malang.
Ia bicara tentang revolusi industri keempat,
sementara gajinya masih revolusi abad empat belas.

Anak-anak kami pandai menulis cerpen,
asal jangan tentang kehidupan mereka sendiri yang membingungkan.
Mereka tahu semua rumus fisika,
tapi tak bisa menjelaskan kenapa ayahnya depresi tiap tanggal lima.

Kami ajarkan demokrasi dengan soal pilihan ganda,
semua jawaban benar asal sama dengan kunci jawaban negara.
Diskusi? Debat? Argumen?
Tunggu dulu, itu hanya untuk murid yang ikut lomba dan menang.

Lembar jawab komputer adalah kitab suci baru,
dan guru agama berubah menjadi proktor ujian berbulu.
"Jawab A, karena Nabi juga manusia," katanya,
lalu mengoreksi dengan hati resah sambil mengisi absen ganda.

Rapot kami penuh angka cantik dan pujian palsu,
karena sistem berkata:
“Lebih baik anak bodoh naik kelas, daripada bikin gaduh.”
Kecerdasan bukan tentang nalar,
tapi tentang kecepatan menyontek tanpa tertangkap radar.

Murid yang banyak tanya dicap “kurang ajar”,
karena guru lebih suka murid penurut dan pintar menatap papan tulis yang kosong sabar.
Sekolah bukan tempat mencari kebenaran,
tapi ajang gladi resik jadi pegawai kantoran.

Kelas kewarganegaraan mengajarkan cinta tanah air,
tapi anak-anak diajari bahwa KTP bisa dibeli di pasar loak dengan diskon akhir tahun.
Kami menanamkan semangat nasionalisme,
tapi hanya saat upacara bendera dan foto selfie di depan mural Garuda.

Kami punya laboratorium komputer tanpa internet,
dan buku digital yang harus di-print dulu baru bisa dicerna.
Kami bangga pada ruang kelas yang dicat ulang setiap semester,
walau toilet tetap bau dan tak ada tisu di dispenser.

Prestasi terbaik sekolah?
Ranking di Instagram, bukan di hasil ujian nasional.
Alumni terbaik?
Yang sukses di TikTok, bukan yang sukses berpikir logis.

Anak-anak kami takut gagal,
karena sistem hanya kenal dua jenis manusia:
Juara umum dan bahan lelucon grup WhatsApp keluarga.
Mereka tidak belajar jadi manusia,
hanya belajar jadi fotokopi dari silabus tua.

“Pendidikan karakter,” kata brosur sekolah swasta,
yang biaya masuknya setara dengan DP rumah di pinggiran kota.
Tiap pagi, ada mobil SUV menurunkan anak-anak bersepatu mahal,
yang nanti tumbuh jadi pemimpin tak tahan kritik padahal kulitnya tebal.

Kami ajarkan sejarah dari buku cetak tahun 2005,
karena anggaran beli buku baru tersedot buat renovasi pagar sekolah yang tiada habis.
Anak-anak hafal nama menteri dan tanggal proklamasi,
tapi tidak tahu caranya bertanya tanpa takut dibully teman sekelas yang fanatik literasi.

Ada program “Guru Penggerak”,
tapi geraknya dibatasi oleh ribuan laporan dan dokumen berformat Excel yang menjebak.
Mereka ingin menginspirasi murid,
tapi harus mengikuti Bimtek tentang cara membaca PowerPoint yang kaku dan murid tak minat.

Anak-anak dengan mimpi jadi pelukis
dipaksa ikut OSN Matematika.
Yang ingin jadi petani,
dipaksa hafal Teori Evolusi dan Hukum Newton, tanpa pernah memegang tanah.

Bakat tidak punya ruang di sekolah,
kecuali kalau sudah viral lebih dulu di dunia maya.
Sekolah hanya tertarik mendidik yang bisa menaikkan akreditasi,
bukan yang butuh dibimbing jadi manusia asli.

Kami punya sistem zonasi,
agar anak-anak dekat rumah bisa sekolah tanpa harus bayar mafia.
Tapi yang terjadi,
hanya ganti nama jalan demi akta domisili instan dari calo tak bersertifikasi.

“Pendidikan adalah investasi,”
kata pejabat dalam pidato peringatan Hari Guru.
Tapi kami tidak tahu,
investasi untuk siapa? Untuk guru? Murid? Atau untuk vendor proyek-proyek absurd yang absurd dan semu?


Refleksi: Kenapa Puisi Ini Ditulis?

Puisi ini adalah jeritan satir dari ruang kelas yang telah kehilangan maknanya.
Sindirannya menyasar sistem pendidikan yang menjadikan sekolah lebih sebagai panggung estetika sosial daripada ladang pematangan jiwa.

๐Ÿ“Œ Pesan moralnya jelas:
Jika pendidikan hanya dijadikan alat pencitraan,
maka kita tidak sedang mencetak generasi masa depan,
melainkan hanya mencetak undangan perayaan kelulusan yang penuh foto tapi kosong makna.


Jika kamu ingin tertawa, silakan.
Jika kamu merasa malu, lebih baik.
Karena hanya rasa malu yang bisa membuat kita mengubah cara mendidik anak bangsa.

๐Ÿ–‹️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup


๐ŸŽ“ Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

"Kami tidak dibesarkan oleh sistem, tapi oleh kegagalan sistem itu sendiri."


Pengantar

Mereka bilang sekolah itu kunci masa depan. Tapi kenapa kami tetap dipenjara setelah membukanya?



Selamat datang di Institusi Ketertundukan Nasional, sekolah tempat kamu belajar cara duduk diam, berpura-pura paham, dan tersenyum saat bodoh dianggap normal.

Kami takjubi gedung bertingkat, tapi otak kami datar. Kami puji nilai seratus, tapi moral kami kosong seperti formulir tanpa nama.

Sekolah? Ah, itu tempat kami diajari menekan tombol, bukan membuka pikiran. Dikasih soal yang jawabannya sudah disediakan, sebab bertanya sendiri adalah ancaman.

Kami ikut try out, try hard, try survive. Tapi tak pernah diajari cara menangis tanpa malu.

Guru kami robot setengah manusia, takut absen, takut dikritik, takut menyimpang dari silabus. Guru yang baik? Yang nurut atasan. Murid yang baik? Yang nurut semua kebodohan.

Kelas kami penuh teori, tapi lapar tidak bisa dinalar pakai definisi. Kami tahu rumus luas lingkaran, tapi tidak tahu luasnya kemunafikan kurikulum negara.

Di sekolah, kami tak boleh salah, karena salah berarti nilai jatuh, dan nilai jatuh lebih buruk dari moral jatuh.

Kami dicekoki pendidikan karakter dalam bentuk poster, sementara karakter asli kami dibunuh dengan jam pelajaran 45 menit x 14 kali sehari.

Kami tidak belajar berpikir. Kami belajar menghafal, melafal, menjawab tanpa bertanya. Sebab sekolah benci murid yang penasaran.

Kami dididik jadi karyawan, bukan pemikir. Kami didorong buat lulus, bukan tumbuh. Kami diajari membuat CV, bukan membuat arti hidup.

Sekolah adalah pabrik. Kami adalah produk. Sama bentuknya, sama warnanya, sama diamnya. Siapa berbeda? Dibuang ke sekolah luar biasa, bukan karena istimewa, tapi karena tidak laku.

Ujian Nasional? Nama lain dari ritual nasional menghina logika. Yang penting nilai bagus, bukan proses bagus. Yang penting bisa foto pakai toga, bukan bisa baca realita.

Anak-anak kami menang lomba puisi, tapi tidak tahu rasanya ditinggal orang tua kerja ke luar negeri. Menang cerdas cermat, tapi tak tahu harga beras hari ini.

Kami hafal nama-nama menteri, tapi tidak kenal nama tetangga. Kami hormat bendera, tapi tidak pernah hormat pada petani yang mengisi perut kami.

Sekolah mengajarkan kami jadi sukses, tapi sukses itu didefinisikan oleh brosur universitas dan iklan lowongan kerja. Tak ada pelajaran gagal dengan elegan, tak ada ruang menangis tanpa disanksi.

Pendidikan seks? Haram. Tapi pelecehan di sekolah? Biasa. Diskusi filsafat? Dilarang. Tapi pembacaan dogma setiap pagi? Diwajibkan.

Kami punya bimbel, punya tutor, punya aplikasi belajar jutaan rupiah. Tapi kami tak punya waktu duduk bersama keluarga tanpa layar.

Sekolah mengajarkan budaya antri, tapi kepala sekolah selalu memotong barisan untuk proyek BOS yang fiktif.

Kami belajar sejarah dari satu versi, versi yang sudah disensor, dirapikan, dan dikemas seperti makanan kaleng.

Di sekolah kami, kritik dianggap makar, mikir dianggap ancaman, dan kejujuran? Hanya slogan di dinding kelas yang catnya mulai mengelupas.

Sekolah formal adalah tempat paling formal untuk mematikan informalitas jiwa.

Kami diajari hukum, tapi hukum tidak berlaku bagi anak pejabat yang bawa mobil ke sekolah dan tabrak tukang becak.

Kami diminta jujur, tapi sekolah sendiri memalsukan data demi akreditasi. Kami diajari demokrasi, tapi pemilihan ketua OSIS saja diatur oleh guru yang sudah tunjuk siapa yang paling penurut.

Kami punya ekskul pencinta alam, tapi tak pernah diajari mencintai diri sendiri. Kami punya marching band, tapi tak tahu cara berbaris di hidup yang tidak berirama.

Guru terbaik adalah yang bisa pura-pura tegas, tapi tetap tunduk saat wali murid marah di grup WhatsApp.

Anak-anak kami dibentuk jadi mesin lomba, peraih medali, butuh foto di majalah sekolah, tanpa tahu kenapa dia senyum saat menerima piala.

Mereka tamat dengan ijazah, tapi tidak tamat dari rasa takut dikecewakan hidup. Mereka hafal semua ayat, tapi tidak tahu kenapa tetangganya lapar tiap malam.

Lebih baik sekolah kehidupan: sekolah yang tidak ada kurikulum, tapi mengajarkan kamu untuk tidak mati dalam diam.

Sekolah kehidupan tidak ada rapot, tapi kamu belajar membaca wajah orang yang penuh luka. Sekolah kehidupan tidak ada remedial, tapi setiap gagal adalah pelajaran tak ternilai.

Sekolah kehidupan tidak pakai seragam, tapi kamu tahu cara berpakaian bermartabat. Tidak ada guru tetap, tapi siapa pun bisa jadi guru—tukang parkir, pemulung, bahkan kesalahanmu sendiri.

Sekolah formal mengajarkan cara sukses dalam sistem, sekolah kehidupan mengajarkan cara hidup dalam kekacauan.

Sekolah formal memberi kamu gelar, sekolah kehidupan memberimu makna.

Sekolah formal takut pada murid yang aneh, sekolah kehidupan mencintai semua keanehanmu.


Refleksi Penutup

Puisi ini adalah hantaman bagi sistem pendidikan yang lebih cinta pada foto upacara daripada proses belajar sejati. Sindirannya menyasar sekolah formal yang terlalu sibuk mengejar nilai, peringkat, dan pencitraan, sampai lupa esensi mendidik manusia.

๐ŸŽฏ Pesan moral: Jika sekolah hanya melahirkan manusia yang bisa menjawab soal, tapi tak bisa menjawab kehidupan—maka kita perlu lebih banyak belajar dari kehidupan itu sendiri.

๐Ÿ–‹️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup



๐ŸŽ“ Sekolah Itu Penting, Tapi Cuma Buat Foto

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

"Jika sekolah adalah surga, kenapa banyak lulusannya jadi setan berkemeja?"


Pengantar

Sekolah katanya cahaya, tapi nyatanya lampu neon berkedip. Ini bukan tentang belajar, ini tentang bertahan di ruang tunggu yang disebut masa depan.



Selamat datang di Kebun Binatang Berizin Resmi, atau orang-orang menyebutnya: sekolah. Tempat anak-anak diajari duduk diam, mengunyah silabus, memuntahkan definisi, dan menyuap nilai demi rapot yang akan dibakar waktu.

Kita masuk dengan rasa ingin tahu, keluar dengan rasa ingin mengakhiri semua. Kita datang membawa mimpi, pulang membawa hutang semester dan trauma kurikuler.

Sekolah itu penting, katanya, karena kalau tidak sekolah, kamu tidak bisa sukses. Tapi siapa bilang semua direktur lulus matematika? Siapa bilang semua guru bahagia hidupnya?

Di kelas ekonomi, kami diajari inflasi, tapi uang saku kami tetap stagnan. Di kelas biologi, kami belajar organ manusia, tapi tidak pernah diajari bagaimana menyembuhkan luka hati karena dibully wali kelas.

Sekolah adalah sarkasme paling sukses abad ini: Kamu masuk untuk jadi pintar, tapi sistemnya menyuruh kamu berhenti berpikir.

Guru mengajar tentang pentingnya kejujuran, sambil mengubah nilai agar sekolah tidak malu. Kepala sekolah pidato soal moral bangsa, sambil main proyek dengan oknum pejabat lokal.

Anak-anak kami diajari menghitung luas sawah, padahal sawah sudah jadi mal. Diajarin sejarah pahlawan, tapi tidak boleh bertanya kenapa koruptor tetap bebas tersenyum di berita TV.

Anak baik adalah yang bisa membaca buku teks, bukan yang membaca wajah ayah yang menangis diam-diam karena biaya SPP.

Sekolah bukan tempat belajar, sekolah adalah arena kompetisi topeng: siapa paling patuh, siapa paling tidak bertanya, siapa paling bisa pura-pura baik.

Kelas inspiratif? Isinya proyektor rusak, papan tulis dari zaman penjajahan, ruang kelas bocor, tapi tetap diwajibkan pakai dasi merah hati.

Kami dibiasakan berbohong sejak kecil: "Saya cinta Pancasila" padahal tidak tahu sila keempat itu makan pakai tangan atau sendok.

Kami diberi pelajaran agama, tapi tidak pernah diajari bagaimana mengampuni diri sendiri saat gagal. Kami dilatih jadi nasionalis, tapi tidak tahu bendera bisa dibeli per kodi saat kampanye.

Sekolah bukan pencetak masa depan, sekolah adalah museum masa lalu dengan pendingin ruangan.

Murid yang bertanya dianggap pembangkang. Guru yang jujur dianggap tidak loyal. Orang tua yang protes dianggap ancaman ideologi.

Anak-anak kami ikut lomba cerdas cermat, tapi tidak cerdas menangkap bahwa negara ini tidak cermat mengurus masa depan mereka.

Kami diajari bahasa Inggris, tapi tidak diajari cara bicara dengan diri sendiri. Kami hafal pasif voice, tapi tidak pernah tahu bagaimana bersikap aktif saat hidup menghantam.

Sekolah mengklaim mengajarkan logika, tapi justru tempat semua absurditas dibakukan: Buku wajib, tapi perpustakaan terkunci. Ujian penting, tapi jawabannya bocor. Siswa harus disiplin, tapi jam guru sering kosong.

Kami dilarang membawa HP, tapi guru main TikTok di ruang guru. Kami tidak boleh tidur di kelas, tapi wali kelas ngantuk saat pembekalan karakter.

Sekolah hanya mengajari untuk jadi sesuai kotak. Kotak itu bernama kurikulum. Kurikulum itu ditulis oleh orang yang tidak pernah ngajar, atau lebih sering rapat daripada membaca puisi anak SMA.

Kami diajari agar cinta ilmu, tapi tiap pelajaran disiksa seperti hukuman wajib. Pendidikan seni? Dihapus. Pendidikan rohani? Diminimalisasi. Tapi pelajaran nilai rata-rata tetap wajib 85 ke atas.

Sekolah adalah tempat di mana murid harus ikut upacara, tapi tak boleh ikut protes harga BBM.

Kami disuruh resensi buku sastra, tapi jika kami menulis puisi tentang penderitaan sendiri, kami dianggap depresi dan dikirim ke BK.

Kami punya baju seragam, tapi tidak punya suara berbeda. Kami punya ID murid, tapi tidak punya identitas.

Sekolah tidak peduli kamu belajar atau tidak, yang penting kamu datang, absen, dan jangan ganggu sistem.

Sistem yang tidak bisa membedakan antara anak genius dan anak yang trauma. Sistem yang mencetak raport digital, tapi tidak bisa membaca mimpi anak-anaknya.

Lebih baik sekolah kehidupan: Tempat kamu belajar bahwa tidak semua kesalahan perlu dihukum, dan tidak semua keberhasilan perlu disanjung.

Di sekolah kehidupan, kegagalan adalah guru tetap. Kekecewaan adalah wali kelas. Dan kamu adalah murid sekaligus kepala sekolah.

Di sekolah kehidupan, kamu belajar menangis dengan kepala tegak, bukan dengan nilai E di kertas ujian.

Di sekolah kehidupan, tidak ada jam istirahat, tapi kamu bisa rehat kapan saja, asal kamu tahu bagaimana bangkit lagi.

Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa nilai bukan angka, tapi apakah kamu masih bisa memeluk ibumu meski gagal SBMPTN.

Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa guru terbaik bisa jadi penjual gorengan, yang bilang: "Kalau panas, jangan kamu paksa. Tunggu hangat."

Sekolah kehidupan mengajarkan bahwa wisuda sejati adalah ketika kamu bisa berkata: "Aku tidak apa-apa gagal, karena aku masih hidup."


Refleksi Penutup

Versi ketiga ini adalah teriakan dari lubuk paling jujur: bahwa sekolah formal bukan lagi ruang belajar, tapi panggung sandiwara nasional. Sindiran ini menusuk institusi pendidikan yang lebih suka foto upacara daripada memeluk luka muridnya.

๐ŸŽฏ Pesan moral: Jika sekolah tak sanggup mengajarkan hidup, maka jangan heran jika generasi berikutnya memilih mati dalam diam. Lebih baik belajar dari hidup, daripada pura-pura belajar di sekolah.

๐Ÿ–‹️ — Jeffrie Gerry (Japra), Pujangga Digital & Pengembara Hidup

Miskin Ilmu di Negeri Mewah Sekolah: Sebuah Opera Seragam dan Kesia-siaan

 


"Miskin Ilmu di Negeri Mewah Sekolah: Sebuah Opera Seragam dan Kesia-siaan"

Kalau semua bangunan sekolah megah, mengapa pikiran tetap kumuh? Kalau ijazah bisa dicetak indah, kenapa hidup tetap nganggur dan resah?

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)



Selamat datang di Republik Lulusan, Negeri yang mencetak ijazah seperti mencetak gorengan: panas, berminyak, dan cepat dingin.

Kami, para murid, bukan generasi emas, kami cuma kontainer kosong berlabel "sudah terdidik", tapi lebih paham filter Instagram dari pada substansi Undang-Undang.

Di depan sekolah berdiri patung Dewi Ilmu, mata ditutup, telinga ditutup, mulut terbuka, menguap. Kantinnya lebih ramai daripada perpustakaan, dan meja guru lebih sibuk mencetak lembar nilai ketimbang mengeja logika.

"Pelajaran hari ini adalah: menghafal tanpa mengerti." Guru berkata sambil membaca dari slide PowerPoint berjudul: "Raih Prestasi, Meski Tak Tahu Apa yang Diraih."

Anak-anak mencatat seperti zombie, merekam isi papan tulis yang tak tertulis makna. Mereka lebih hafal tahun kelahiran penjajah ketimbang hari lahirnya ide.

Setiap kelas adalah mimbar pengulangan, kita dididik untuk tidak berpikir, tapi untuk lulus. Lulus apa? Ya, lulus dari akal sehat.

Di negeri ini, ilmu adalah komoditas, dijual eceran di kios bimbel, lebih mahal dari bensin, tapi lebih ringan dari angin saat diuji.

"Kamu pintar ya, dapat nilai sempurna." "Nggak, Bu. Saya cuma jago menghafal kunci jawaban."

Kurikulum diganti seperti tren fashion, kurikulum 2024: "Belajar Berbasis Kecemasan dan Overthinking."

Sementara anak-anak desa belajar pakai lampu minyak, Anak kota sibuk menyalin Wikipedia.

Ilmu di negeri ini sudah lama dipenjara dalam silabus, kebebasan berpikir disensor, karena terlalu berbahaya jika rakyat paham.

"Apa cita-cita kalian?" "Menjadi ASN, Bu. Aman dan rutin." "Kenapa tidak menjadi penemu?" "Kami takut gagal dan tidak ikut ujian nasional."

Di perpustakaan sekolah, buku-buku menunggu dibaca, tapi lebih sering dijadikan ganjalan lemari.

Anak-anak diuji dengan soal HOTS, tapi guru belum tentu tahu singkatannya.

Ironi? Bukan. Ini lebih buruk dari satire. Ini adalah kenyataan yang terstruktur.

Negeri ini kaya akan sekolah, miskin akan pengajaran. Banyak kelas, sedikit diskusi. Banyak seragam,\t sedikit pemikiran bebas.

Sekolah adalah panggung untuk lomba cepat tepat. Siapa cepat hafal, dia juara. Yang lambat berpikir, dianggap pembuat masalah.

"Kamu harus ikut Olimpiade Sains!" "Tapi saya suka seni." "Itu tidak menjanjikan masa depan."

Di negeri ini, ilmu harus menjual. Ilmu yang tidak bisa diuangkan, dibuang.

Guru-guru digaji cukup untuk tetap hidup, tapi tidak cukup untuk tetap berpikir.

Murid-murid belajar agar bisa keluar negeri, karena negeri sendiri lebih suka mengimpor diploma ketimbang menciptakan ekosistem ilmu.

"Sekolah adalah rumah kedua," katanya. Tapi rumah yang listriknya sering padam, WC-nya jorok, dan isinya penuh tekanan.

Kami duduk di bangku kayu tua, mengisi soal tentang teknologi digital sambil kertasnya bolong.

"Ulangan besok ya. Materi dari halaman 1 sampai 100." Belajar seperti maraton buta. Siapa yang kuat bertahan, dia dapat ranking.

"Nilaimu jelek, kamu tidak belajar?" "Saya belajar, Bu. Tapi soalnya tidak nyambung."

Pendidikan di negeri ini lebih percaya akreditasi daripada akal sehat. Sekolah favorit itu yang toiletnya ber-AC, bukan yang gurunya penuh dedikasi.

"Kamu harus ikut try out." "Lalu kapan saya tidur, Pak?" "Tidur setelah sukses."

Sukses itu apa? Ijazah? IPK? Atau postingan wisuda dengan caption panjang, "Terima kasih untuk semuanya, padahal tak tahu belajar apa."

Kami adalah produk sistem: tahu semuanya, kecuali alasan kenapa kami belajar.

Sekolah mengajarkan kita sejarah kolonialisme, tapi lupa bahwa kita masih dijajah—oleh kebodohan yang dilegalkan.

Negeri ini membuat sekolah lebih banyak dari taman, lebih banyak dari mimpi anak-anak.

Satu gedung sekolah berdiri, seribu kepala pusing mencari arti.

"Apa itu pendidikan karakter?" "Menjadi patuh dan tak bertanya."

Di negeri ini, kritik dianggap makar, mengeluh dianggap malas, berpikir bebas dianggap sesat.

Satu guru berkata: "Anak-anak, berpikirlah kritis!" Lalu marah ketika ditanya balik.

Kami hafal semua nama menteri pendidikan, tapi tak tahu apa yang mereka ajarkan.

Sekolah bukan lagi tempat bertanya, tapi tempat diberi jawaban yang tak perlu dipertanyakan.

Kami berpacu dalam ranking, saling injak dengan senyum, saling tipu demi nilai.

Semua ujian adalah hukuman kolektif, bagi mereka yang berani malas berpura-pura sibuk.

"Apa kalian tahu fungsi akar kuadrat dalam hidup nyata?" "Tidak, Bu. Tapi kami tahu fungsinya dalam UN."

Seragam kami rapi, baju dimasukkan, dasi dikencangkan, namun kepala kami kosong.

Sementara para pejabat berdasi memotong anggaran riset untuk beli podium baru.

Pendidikan adalah parade tahunan, penuh jargon, spanduk, foto-foto di Instagram.

Tapi laboratorium tetap kekurangan mikroskop, buku tetap satu untuk lima siswa, guru tetap satu untuk seratus murid.

Di negeri ini, kami mencintai ijazah seperti pecandu mencintai dosis terakhir.

Kami dididik agar paham semua hal, kecuali tentang diri sendiri.

Kami belajar PPKN, tapi tak pernah tahu apa arti kejujuran yang tidak lulus sensor.

Kami belajar agama, tapi tetap korup ketika sudah bekerja.

Kami belajar seni, tapi lukisan kami dianggap buang-buang waktu.

Kami belajar biologi,\ntapi tidak tahu kenapa kami tidak bahagia.

Kami belajar ekonomi, tapi tak pernah diajari cara mencari makan dengan bermartabat.

Kami belajar fisika, tapi logika kami tetap melayang.

Kami belajar bahasa, tapi komunikasi kami mati.

Kami belajar komputer, tapi tak tahu cara menggunakan akal.

Sekolah di negeri ini seperti pabrik: produksi massal, tapi tidak ada garansi mutu.


Refleksi: Puisi ini adalah cermin retak dari wajah pendidikan kita—yang megah dalam bentuk, tapi miskin dalam isi. Sindiran ini bukan hanya untuk para birokrat pendidikan, tapi juga untuk sistem, budaya, dan kita semua yang membiarkan pembodohan ini terus jadi rutinitas. Pesan moralnya: Sekolah seharusnya tempat tumbuhnya akal, bukan kuburan bagi nalar.


๐Ÿ“› Judul: "Negeri Seragam, Otak Diparkir: Akademia Miskin di Istana Sekolah Emas"

๐ŸŽญ Pengantar: Sekolah menjulang, ilmunya menghilang. Di antara gigi besi pagar sekolah dan seragam yang wangi setrikaan, ilmu bersembunyi di kolong meja ujian.

✒️ Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

๐Ÿ“œ Puisi:

Halo papan tulis putih yang tak tahu malu, Masih menampung kata-kata guru yang dibayar bukan untuk berpikir, Tapi menghafal jadwal, mengganti spidol, dan menatap jam pulang.

Di negeri ini, Setiap sekolah adalah istana, Penuh kipas angin dan kabel USB, Tapi kosong dari rasa ingin tahu.

Anak-anak dilatih mencatat mimpi orang lain Dengan tinta merah yang menyembelih imajinasi, Buku pelajaran disusun oleh dewa-dewa birokrasi Yang tak pernah mengajar tapi tahu semua rumus hidup.

Mari duduk di bangku berdebu ini, Yang lebih kenal panas bokong daripada panas debat. Seragam kami rapi, barisan kami lurus, Tapi pikiran kami seperti lemari tua: terkunci dan berjamur.

Selamat datang di Pesta Ilmu Tipuan, Di mana ranking lebih sakral dari nilai hidup, Dan ujian adalah ritual suci Untuk mencetak fotokopi manusia taat.

"Belajarlah, nak!" Kata kurikulum dari istana kaca, Sambil mencambuk kami dengan akreditasi dan kompetensi Yang tak pernah menjawab lapar dan pengangguran.

Guru berdiri seperti robot murah, Menyampaikan slide PowerPoint seperti mantra kuno, Dan ketika ditanya, matanya melirik ke Google Seperti pelajar yang ketahuan menyontek kehidupan.

"Cerdas itu dapat A!" teriak kepala sekolah, Sambil tanda tangan proposal renovasi toilet, Yang lebih harum daripada isi perpustakaan.

Kami miskin ilmu, karena kenyang formalitas. Kami lapar kebenaran, tapi disuapi fakta standar, Kami ingin bertanya, tapi dituduh durhaka. Kami ingin berpikir, tapi dibilang pembangkang.

Setiap Senin, kami menyanyikan lagu kebangsaan Di lapangan yang lebih luas dari cakrawala berpikir kami, Sambil dihitung jumlah absen, bukan pertanyaan yang meledak di kepala.

Ada CCTV di setiap sudut Tapi tak satu pun merekam kematian nalar kami. Ada WiFi di setiap kelas, Tapi tak satu pun membuka akal sehat kami.

Kami adalah generasi kompeten dalam ujian, Tapi gagap saat disuruh menjawab hidup. Kami bisa menjabarkan isi pasal, Tapi tak paham mengapa hukum selalu tumpul ke atas.

"Berprestasilah!" teriak spanduk kompetisi nasional, Yang digelar oleh menteri selfie, Dan diakhiri dengan piala plastik untuk guru yang burnout.

Kami diajari menyusun kalimat efektif, Tapi tak pernah diajari menyusun pendapat. Kami pandai membuat laporan praktikum, Tapi tak tahu apa yang benar-benar dipraktikkan oleh nurani.

Inilah negeri sekolah tanpa ilmu, Di mana SPP naik seperti inflasi, Tapi mutu turun seperti moral influencer edukasi.

Lulusan kami pandai debat di medsos, Tapi takut menyapa realitas. Mereka bisa menghafal teori kapitalisme, Tapi tak pernah sadar jadi budaknya.

Setiap tahun kami lulus berjamaah, Seperti kawanan kambing dari peternakan, Menuju ladang kerja tanpa padang rumput. Ijazah kami bergengsi, Tapi kepala kami hampa seperti amplop kosong.

"Jadilah guru!" kata negara, Sambil memotong gaji dan membebani tugas administratif. "Jadilah siswa!" kata sistem, Sambil menanamkan rasa takut dan lomba bodoh bernama PISA.

Kami miskin ilmu karena sekolah kaya acara. Ada seminar motivasi, tapi tak ada sesi refleksi. Ada lomba vlog, tapi tak ada ruang berpikir. Ada seleksi masuk, tapi tak ada seleksi niat.

Kami dijadikan komoditas ujian nasional, Kami dihitung dengan angka, Tapi tak pernah disapa sebagai manusia.

Sekolah kami bercahaya neon, Tapi hati kami remang. Setiap pagi kami disuruh hafal Pancasila, Tapi nilai gotong royong ditinggal di ruang OSIS.

Ada ruangan bimbingan konseling, Yang lebih sepi dari hati guru matematika. Anak depresi dianggap lemah iman, Bukan hasil dari tekanan sistem tanpa ampun.

Di negeri ini, Pendidikan adalah panggung drama kolosal, Dengan sutradara birokrasi dan naskah dari kementerian, Tapi pemain utamanya selalu gagal paham.

Kami mengisi Lembar Jawaban Komputer Tapi tak bisa menjawab siapa diri kami. Kami takut salah, Karena setiap kesalahan dihukum, bukan dipelajari.

Pendidikan? Ah, itu jargon di baliho kampanye. Di atas kertas itu suci, Tapi di kelas, ia menjadi sarkasme.

Kami tahu rumus luas segitiga, Tapi tak tahu luasnya kebodohan sistemik ini. Kami hafal sejarah kolonial, Tapi tak sadar dijajah oleh sistem pendidikan sendiri.

Guru kami letih, Bukan karena murid nakal, Tapi karena dikejar target tanpa makna. Murid kami lesu, Bukan karena beban buku, Tapi karena haus akan kejujuran.

Kami miskin ilmu karena kaya alasan, "Itu kurikulum dari atas, Nak." "Itu sudah ketentuan, Nak." "Jangan tanya, kerjakan saja!"

Kami dijadikan statistik, Bukan manusia. Kami dibentuk untuk taat, Bukan untuk merdeka.

Inilah negeri sekolah, Tempat di mana pintar artinya menurut. Tempat di mana pengetahuan artinya menyalin. Tempat di mana suara artinya berbisik.

๐Ÿ“š Refleksi: Puisi ini menyindir keras sistem pendidikan yang lebih fokus pada simbol, angka, dan formalitas ketimbang substansi, nalar, dan kemanusiaan. Satir ini menampar birokrasi pendidikan, kebijakan top-down yang menekan guru dan murid, serta masyarakat yang membiarkan generasi muda tumbuh dalam kemasan, bukan isi. Pesannya: pendidikan sejati harus membebaskan, bukan membentuk budak baru dalam balutan seragam rapi dan nilai rapor tinggi.


"Tuhan Kami Bernama Kurikulum, Nabi-Nabinya Bernama Kunci Jawaban"

Pengantar: Mereka berkata pendidikan membebaskan. Tapi di negeri ini, ia malah mencetak budak dengan seragam, lem, dan fotokopi suci.

Karya Pengembara Hidup dan Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)



Kami adalah umat dari kitab kurikulum revisi, Lembaran-lembaran suci yang dicetak saban tahun dengan anggaran surgawi, Kami sujud pada teks-teks yang katanya logika, Tapi lebih sering mirip mantra gelap dari negeri data palsu dan spidol merah.

Pendidikan? Ah, itu hanya dongeng purba di papan tulis reyot, Yang guru-gurunya setengah dewa, setengah lelah, Dibayar dengan janji dan disuruh menyembah administrasi, Hingga lupa cara mengajar, hanya hafal cara menandatangani.

Anak-anak? Oh, mereka bukan penjelajah ilmu, Mereka adalah gladiator Ujian Tengah dan Para Gladiator UNBK, Berperang melawan soal-soal pilihan ganda yang tak kenal ampun, Dengan senjata: bocoran WhatsApp dan kunci jawaban dari langit ketikan.

Selamat datang di negeri 1001 sekolah Yang lebih kaya warna cat dinding daripada isi kepala, Yang tiap gedung baru diresmikan oleh politisi Dengan potong pita, tapi bukan pita otak.

Kami disuruh pintar seragam, bukan pintar berpikir, Boleh bertanya, asal jawabannya sudah disiapkan, Boleh berdiskusi, asal tetap duduk diam dan menyalin papan Dengan taat seperti juru tulis zaman Firaun.

Ini negeri yang mengukur kecerdasan dari lembar LJK, Dan nilai rapor adalah paspor sosial, Anak yang rangking satu dielu-elukan Sambil anak berbakat menggambar dianggap pembangkang.

Kami punya menteri yang berganti tiap kabinet, Setiap ganti, ganti juga akidah kurikulum, Hari ini berbasis karakter, besok numerasi, Lusa mungkin pendidikan berbasis NFT dan emoji.

Guru diminta kreatif, tapi dicekik form penilaian, Inovatif katanya, tapi jangan terlalu beda, Nanti kamu dianggap makar, pengacau sistem, Padahal kamu cuma ingin anak-anakmu berpikir.

Apa itu logika? Tanya si Budi dalam soal cerita, Ia disuruh mencari selisih harga apel, Padahal di pasar nyata, dia belum pernah beli apel seumur hidup.

Anak-anak dikurung dalam kelas berpendingin, Sambil jendela dunia dikunci rapat oleh kisi kisi UN, Mereka menghapal, menghafal, mengulang, mengerang, Sampai akhirnya pintar jadi robot, bukan manusia.

Dan ayah-ibu mereka? Sibuk mencicil sekolah mahal, Dengan harapan: “Nanti kamu jadi orang!” Seolah saat ini mereka bukan orang juga.

Kami dibesarkan dengan ejaan baku dan logika absurd, Diminta kreatif, tapi nilainya tergantung rubrik, Diminta kritis, tapi kalau kritik sistem disebut tak tahu diri. Kami adalah produk final dari mesin sekolah, Diuji coba tiap semester seperti ayam potong.

Selamat datang di negeri dengan guru bersertifikat, Tapi tak punya waktu untuk bercakap dengan muridnya, Karena ia harus memenuhi target silabus, Dan laporan refleksi 4 halaman tiap minggu.

Sementara murid belajar soal demokrasi, Tapi dilarang menyanggah opini bapak guru, Belajar tentang HAM, tapi tak boleh keluar kelas untuk ke toilet, Sebelum lonceng suci berbunyi.

Ironi? Itu makanan harian kami di kantin pengetahuan, Kami tahu pahlawan nasional, tapi tak tahu cara menyapu sampah sendiri, Kami hapal Pancasila, tapi tak pernah diajak berbagi, Kami tahu teori ekonomi, tapi uang jajan tak cukup beli lem.

Pelajaran seni dibekukan demi jam tambahan matematika, Padahal anak itu ingin jadi pematung, bukan kalkulator, Tapi sistem ini tak percaya pada seni, Ia hanya percaya pada angka dan ranking.

Anak-anak kini pintar menyontek, bukan karena bodoh, Tapi karena itu adaptasi tertinggi di alam pendidikan purba, Kami belajar: yang penting lulus, bukan tahu, Yang penting nilai tinggi, bukan integritas.

Mereka bilang pendidikan karakter, Tapi yang diajarkan cuma nilai absensi dan kerja kelompok palsu, Dimana satu kerja, lima dapat nilai, Dan semuanya lulus dengan baju toga palsu.

Kami tak bodoh, kami hanya dibodohkan, Dengan sistem yang menjadikan kertas lebih sakti dari pengalaman, Yang menilai bakat dari jumlah kata per paragraf, Dan menghukum salah ejaan lebih keras daripada salah moral.

Kita hidup di negeri yang lebih bangga pada akreditasi A Daripada anak yang bertanya “Kenapa?” Negeri yang menganggap sukses adalah ketika anak diam, Tersenyum, dan mengangguk di depan pengawas.

Di ruang kelas ini, kritik adalah dosa, Ragu adalah sesat, Dan berpikir beda adalah penyakit, Yang harus segera disembuhkan dengan bimbingan konseling.

Di negeri ini, perpustakaan penuh buku, Tapi kosong pengunjung, Karena buku tak keluar di soal try out, Dan membaca tak termasuk indikator pencapaian.

Kami punya baju pramuka, dan topi upacara, Tapi tak tahu kenapa negara ini korup terus, Kami tahu nama menteri, tapi tak tahu kenapa bensin naik, Kami bisa pidato Hari Guru, tapi tak tahu siapa Socrates.

Kami bangga disebut generasi emas, Tapi tak tahu emas itu hasil tambang siapa, Atau hasil manipulasi survei prestasi internasional.

Kami lahir dari rahim industri nilai, Dibesarkan oleh feed Instagram motivasi, Dan dimakamkan di kuburan gelar sarjana Yang tak tahu cara melamar kerja.


Refleksi / Penutup:

Puisi ini adalah nyanyian sumbang bagi mereka yang masih menyebut pendidikan sebagai mercusuar harapan, padahal sudah lama jadi panggung dagelan birokrasi. Sindiran ini ditujukan kepada sistem pendidikan yang lebih mementingkan angka, administrasi, dan kosmetika prestasi ketimbang makna sejati pembelajaran. Pesannya sederhana namun keras: selagi kita sibuk menata ruang kelas, jangan lupa menata isi kepala. Karena sekolah tanpa ilmu, hanyalah pabrik gelar tanpa harga.