Thursday, May 8, 2025

Konstitusi Dalam Botol Aqua Bekas: Republik Sisa Isi Tiga Tegukan

 


"Konstitusi Dalam Botol Aqua Bekas: Republik Sisa Isi Tiga Tegukan"


📍Pengantar:
"Negara kami tidak tenggelam—ia menguap perlahan, disegel dalam botol plastik, dijual ulang di pinggir jalan oleh harapan yang mengering."


🧾 Puisi Satir: "Negara Dalam Botol Aqua Bekas"

Negara kami kini tinggal segel,
tertutup rapat dalam botol Aqua bekas,
yang dulu jernih seperti janji kampanye,
kini keruh seperti niat parlemen hari Senin.

Di dalamnya, presiden berenang gaya dada,
diapit dua menteri yang suka gaya bebas—
bukan soal renang, tapi anggaran.
Mereka main kayak di kolam birokrasi:
mendayung diam, bergerak mundur.

Kami punya parlemen sebesar tutup botol,
cukup untuk menampung 575 suara
yang berisik saat selfie,
diam saat rakyat menangis.
Mereka debat soal warna label,
sementara isi botol menguap
di seribu titik bocor kehausan.

Bendera kami dilukis pakai spidol biru—
warna promo “Air Gratis Tapi Bayar Pajak.”
Tiap helai kainnya diimpor dari iklan sabun,
bersih luar dalam,
kecuali hati yang terbungkus plastik keras.

Undang-undang ditulis dengan tinta kondensasi,
dari napas para investor
yang mendesah lelah
menunggu lisensi ditandatangani
oleh jari-jari yang lengket lem korupsi.

Anak-anak sekolah diajari berhitung:
1 botol = 1 suara = 1 kursi = 1 vila di Swiss.
Mereka hafal sejarah dari QR Code,
yang jika discan, membawa ke halaman
“404: Kebenaran Tidak Ditemukan.”

Ibu-ibu menyusui dari galon kosong,
Ayah bekerja memoles label "Makmur"
dengan gaji rasa "Seret."
Tapi jangan salah—
tiap Senin kami nyanyi lagu wajib,
dengan nada minor dan dompet mayoritas kosong.

Mata air kami bukan lagi alam,
tapi akun TikTok yang viral:
"Berbagi Air Bersama Influencer Ramah Lingkungan
(Sambil Menjual NFT Hutan)."
Kami disuruh menanam harapan
di tanah yang sudah dijual ke korporasi
dengan harga bundling:
beli satu gunung, gratis tiga sungai.

Jaksa kami jujur—
jujur menilai bahwa uang tunai
lebih meyakinkan daripada bukti.
Dan hakim? Hakim itu makhluk langka,
tinggal di kebun binatang privat
yang tiket masuknya cuma bisa ditebus
pakai foto bersama petinggi.

Tiap demo dibalas dengan mineralisasi:
disiram air dari botol Aqua,
lalu diberi stiker "Hidup Sehat, Jangan Ribut."
Kalau makin keras,
botolnya dilempar—
bukan untuk memadamkan amarah,
tapi untuk mendaur ulang luka.

Kami hidup dalam kemasan,
kedap suara, tahan banting,
tapi gampang pecah saat dibantingkan
dengan kenyataan.
Slogan kami bukan lagi “Bhinneka Tunggal Ika,”
melainkan “Beli Dua Gratis Satu: Demokrasi Diskon Hari Ini.”

Di pojok pasar, seorang nenek jual air mata,
botol bekas dicuci doa.
“Minum ini nak,” katanya,
“biar bisa melupakan negara.”
Aku tanya kenapa harus lupa,
dia jawab:
“Sebab mengingat hanya menambah beban isi ulang.”

Bank sentral kami pindah ke warung kopi,
setiap transaksi berbasis gorengan,
kurs ditentukan dari berapa kali
uang receh jatuh ke selokan.

Menteri Energi mengganti matahari
dengan lampu LED—lebih hemat, katanya,
lebih bisa dikendalikan.
Menteri Kesehatan menganjurkan diet
dengan mengurangi makan dan harapan.

Di dalam botol itu, Tuhan disimpan
dalam label “Sah Untuk Semua Agama,
Kecuali Saat Pemilu.”
Ia dipanggil-panggil untuk sumpah jabatan,
lalu dibungkam saat rakyat minta keadilan.

Para jurnalis kami dijadikan pemandu wisata,
mengantar turis asing menyaksikan
bagaimana berita dibungkus
dalam plastik opini,
dengan bonus stiker “Netral Tapi Patuh Sponsor.”

Kami punya tentara—
yang gagah menegakkan
spanduk-spanduk pembangunan,
dan polisi—
yang tegas menindak
tulisan status “Negara Sedang Tidak Baik-Baik Saja.”

Anak-anak tidak lagi main petak umpet,
mereka belajar sembunyi dari pajak,
bermain peran jadi pejabat kecil
yang mengelola dana kelas
dengan markup dan audit hayalan.

Guru-guru kami tak mengajar dengan kapur,
mereka menulis nilai
pakai harga diri yang bisa dinego.
Ijazah adalah label botol,
yang menempel sampai dibuka
oleh kekuasaan.

Dan bila ada yang ingin keluar dari botol,
ia disebut pengkhianat,
pengganggu ekosistem air,
dan dijebloskan ke jeruji sedotan:
semakin kau hisap kebenaran,
semakin kau tersedak sistem.


🪞Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah jeritan jenaka dari negara yang dikemas rapat dalam botol plastik bernama sistem. Sindiran ini menampar wajah-wajah yang tersenyum dalam billboard, menyentil mereka yang menjual air mata rakyat dengan harga diskon politik. Ia bicara tentang bagaimana absurditas, korupsi, dan ketidakpedulian telah menjadi cairan resmi yang kita telan setiap hari—dengan sukarela atau terpaksa. Lewat ironi dan paradoks, puisi ini menuntut pembaca untuk bertanya: Apakah kita hanya hidup dalam botol, ataukah kita sebenarnya botol itu sendiri?


🧨 Judul: "Negara Isi Ulang: Republik Plastik Sekali Pakai"


📍Pengantar:
"Negara kami bukan gagal—ia lulus dengan nilai palsu, dicetak di printer subsidi dan dijilid dengan lakban ekonomi."


🧾 Puisi Satir: “Negara Dalam Botol Aqua Bekas II: Edisi Lebih Liar dan Buas”

Selamat datang di Republik Isi Ulang,
di mana mata uang kami adalah tanda tanya,
dan undang-undang ditulis pakai spidol wangi
yang hilang baunya saat disahkan.

Di sini, demokrasi diseduh dengan air galon,
dicampur sirup janji, dikocok dalam blender opini publik,
disaring pakai filter buzzer,
lalu dituangkan ke gelas elite,
sementara kami kebagian tetesan dari sisa cucian meja rapat.

Kepala negara bukan manusia,
melainkan barcode di leher rakyat.
Kami semua sudah dipindai dan dipantau,
dari isi dompet hingga nada doa.
Kartu keluarga kami dipegang oleh pusat data
yang bisa error saat listrik padam,
tapi selalu aktif saat iklan pinjol butuh target baru.

Negara kami tak punya ibu pertiwi.
Ia sudah dijual jadi aset NFT,
dibeli startup raksasa yang menjanjikan
peta tanah air dalam bentuk augmented reality.
Sekarang tanah kami hanya bisa diinjak
kalau Anda punya aplikasi izin tapak.

Presiden dilantik bukan dengan sumpah,
tapi dengan challenge TikTok:
“Siapa Bisa Ngomong Rakyat Tanpa Berkedip?”
Yang menang dapat golden mic
dan kontrak 5 tahun bersama label Negaraku Records.

Setiap menteri adalah manajer toko swalayan,
mengatur diskon subsidi dan promo utang luar negeri.
Menteri pertanian mengiklankan benih harapan,
tumbuh dalam pot plastik penuh pestisida kebijakan.
Menteri perikanan?
Ah, ia sibuk menjala suara di kolam bot followers.

Kami tak lagi minum air dari sumur—
sumur sudah ditutup untuk dijadikan mall
bernama “WaterLand of Hope.”
Tiap teguk kami adalah sisa dari air mata,
yang sudah disterilkan oleh mesin propaganda.

Rakyat antre bukan untuk sembako,
tapi untuk mengemis notifikasi verifikasi.
“Apakah Anda masih setia kepada negara?”
Klik ya, atau akses Anda ke udara akan dibatasi.
Perhatian: Anda hanya punya tiga napas gratis per hari.

Di sekolah, anak-anak tak belajar membaca,
mereka diajari cara mengarsipkan trauma
ke dalam folder “Kenangan Tidak Relevan.”
Pelajaran PPKn diganti “Etika Bertahan Hidup”,
ujian akhirnya:
siapa bisa pura-pura puas saat dikibuli?

Kami punya lembaga riset nasional
yang meneliti bagaimana rakyat bisa lapar
tanpa terlihat kurus,
dan bagaimana suara hati bisa dibungkam
pakai lagu kebangsaan versi remix EDM.

Polisi bukan penjaga hukum,
tapi kurator estetika kesopanan digital.
Jika Anda terlihat marah di status,
akan dikunjungi dan diberi hadiah:
satu tiket wisata ke ruang interogasi
plus voucher nasi kotak rasa kompromi.

Tiap lima tahun, demokrasi kami ditiup seperti balon,
dihias janji manis dan pita keadilan.
Lalu meletus di hari penghitungan suara,
meninggalkan serpihan harapan yang dijual
sebagai souvenir revolusi gagal.

Kami punya parlemen yang alergi pada logika.
Setiap undang-undang lahir dari mimpi buruk
dan disusui oleh kepentingan pribadi.
Mereka tidur nyenyak di ruang sidang
karena suara rakyat telah diredam
dalam mode silent selamanya.

Hakim-hakim kami belajar hukum
dari sinetron dan akun motivasi.
Palunya bukan untuk mengetuk meja,
tapi untuk membungkam integritas
yang mencoba bangkit dari kubur.

Kebebasan pers kami
hanya berlaku pada hari libur nasional,
dan itu pun jika sensor sedang cuti.
Jurnalis diberi peluru karet dan baju anti-bodoh,
karena menyampaikan fakta adalah tindak kriminal,
terutama jika itu mengganggu narasi iklan negara.

Kami punya militer yang sigap dan terlatih—
untuk memerangi opini berbeda,
untuk menertibkan pikiran yang terlalu merdeka.
Setiap senapan diarahkan bukan pada musuh,
tapi pada cermin yang terlalu jujur.

Agama jadi aplikasi premium,
fitur doanya bisa dibeli dalam bentuk in-app purchase.
“Doa Langsung Terkabul Hanya 49 Ribu Per Bulan.”
Tuhan pun ditarik jadi konten eksklusif,
tak bisa kau sebut tanpa izin kementerian.

Ketika rakyat ingin protes,
botol Aqua bekas dijadikan toa:
“Tolong jangan rusuh,
ini negara, bukan panggung satire.”
Tapi sayangnya, panggung satire sudah jadi negara,
dan aktor utamanya tak mau turun pentas.

Pejabat kami berlomba jadi motivator,
memberi ceramah sambil pakai jas berlapis
kemewahan hasil markup anggaran.
“Kerja keraslah seperti saya,” katanya,
padahal yang paling keras cuma pelindung wajahnya
dari realitas.

Tiap malam, kami duduk menghadap poster presiden,
menyanyikan lagu pengantar tidur:
“Tidurlah rakyat, negara sedang sibuk menipu.”
Anak-anak kami tumbuh bukan dengan cinta,
tapi dengan trauma kolektif yang diwariskan
sebagai mata uang generasi.

Dan jika suatu saat botol itu pecah,
negara akan menyalahkan rakyat
karena tak cukup patuh untuk menutup rapat
tutup botol sialan itu.


🪞Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah sebotol amarah yang difermentasi oleh absurditas. Ia menggugat sistem yang menjadikan rakyat bukan warga negara, tapi pelanggan tetap ilusi. Sindiran ini tak sekadar menghantam individu, tapi menampar seluruh konstruksi palsu yang kita namai “kebangsaan.” Pesannya jelas: selama kita tetap nyaman hidup dalam botol, jangan salahkan air jika ia tak pernah jernih. Saatnya pecahkan wadahnya—biar tahu siapa yang sebenarnya haus, dan siapa yang cuma menjual dahaga.

Buku Pelajaran Penuh Ilmu, Tak Ada Teladan di Halamannya



 📚 Judul: “Tuhan, Kami Hafal Rumus Tapi Lupa Manusia”

(Sebuah Satir Pendidikan Tanpa Pedoman)


🧩 Pengantar Pendek:
Kami dilatih berpikir cepat,
tapi tidak diajari kapan harus berhenti dan peduli.


🖋 Isi Puisi Satir:

Buku kami tebal, dijilid dengan air mata gizi buruk,
Setiap halamannya wangi tinta—bukan karena ilmu,
tapi karena parfum industri pencetak bodoh berjilbab cerdas.
Kami duduk tegap di kursi, menatap papan tulis,
seolah dari sana akan turun wahyu
tentang cara menjadi manusia tanpa pernah melihat contohnya.

Ibu guru mengajarkan Pancasila,
tapi lupa memberi contoh sila kedua.
Sementara Bapak kepala sekolah berdasi rapi,
meneriakkan nilai moral sambil menendang tukang parkir
yang menghalangi mobilnya yang dicicil dengan uang pungli.

Kami hafal sejarah bangsa,
tapi dilarang bertanya mengapa sejarah itu selalu
ditulis oleh mereka yang menang tender proyek buku ajar.
Perang disucikan,
kolonialisme dimaklumi,
dan para pahlawan selalu berjanggut lebat
dan wajahnya mirip ketua OSIS yang pernah bolos tapi cerdas.

Matematika mengajarkan logika,
tapi tak bisa menjelaskan kenapa 1 orang bisa punya 9 jabatan
sementara 9 juta orang rebutan kerja sebagai penjaga gerbang pabrik.
Kami hitung kecepatan kereta dari A ke B,
tanpa tahu harga tiketnya hanya bisa dibayar oleh A dan B
yang sekolah di luar negeri dan pulang cuma untuk selfie.

Bahasa Indonesia kami nilai 100,
tapi kami lebih fasih mengeja toxic, cancel, dan gimmick.
Puisi Chairil dipaksa kami hafal,
tapi dilarang kami teriakkan bila isi puisinya memaki tiran.
Kami mencintai sastra—tapi dari jarak aman.
Jangan sampai puisi menuntut kami menolak upacara bendera
yang dilakukan di tengah genangan air banjir.

Ilmu Pengetahuan Alam begitu memukau,
kami tahu sel, mitokondria, dan lapisan ozon.
Tapi tak pernah belajar bagaimana menghadapi
ayah yang marah karena tidak bisa beli LPG.
Kami tahu tentang rotasi bumi,
tapi tak tahu arah pulang saat kawan depresi dan ingin menghilang.

Pendidikan Kewarganegaraan begitu khusyuk,
setiap bab penuh kata 'hak' dan 'kewajiban'.
Tapi kami hanya dijadikan angka NIK
untuk kepentingan pemilu dan utang negara.
Kami tahu demokrasi artinya suara rakyat,
tapi disuruh diam bila suara kami tak sesuai nada nasional.

Agama kami diajarkan dengan tatapan malaikat,
dengan tangan mengajar yang penuh syarat.
Disuruh taat,
tapi dilarang bertanya kenapa kotak amal di masjid
lebih sering dipegang bendahara yang rumahnya bertingkat dua.
Tuhan kami dijadikan soal pilihan ganda:
Siapa nabi ke-5?
Berapa jumlah rakaat?
Tapi tak pernah ada soal:
"Bagaimana menyayangi orang miskin tanpa memotret dulu?"

Pelajaran Seni diajarkan dengan kertas dan krayon,
tapi tak pernah mengajari kami membedakan mana kritik dan kebencian.
Poster kami diberi nilai 90,
asal menggambar bendera dan slogan "Semangat Belajar!".
Yang melukis tangisan ibu penjual nasi
hanya mendapat 55—karena terlalu menyedihkan.

Kami diajari menjadi generasi emas,
tapi tak diberi cetakan.
Dibentuk jadi pekerja, bukan pemikir.
Dihargai karena ranking, bukan empati.
Setiap ulangan adalah gladi resik jadi mesin,
bukan arena jadi makhluk bernama manusia.


📌 Refleksi Penutup:

Puisi ini adalah jeritan ironi dari generasi yang dijejali ilmu, tapi kehilangan teladan.
Sindiran ini bukan untuk guru yang tulus,
melainkan untuk sistem pendidikan yang memuliakan nilai tapi membiarkan moral jadi nilai tukar.

Pesannya jelas:
Ilmu yang besar tanpa panutan,
adalah senjata tajam tanpa arah.
Saat buku pelajaran hanya mengajar kepala,
dan tak menyentuh hati,
maka kita hanya mencetak pemikir pintar
yang bingung ketika harus menjadi manusia.

Apakah kau masih percaya bahwa kita belajar untuk hidup,
atau sekadar hidup untuk menghafal soal yang tak pernah ditanya kehidupan?


📚 Judul: “Kitab Suci Kurikulum: Ajaran Sempurna, Umatnya Bingung”
(Puisi Satir Liar Tentang Pendidikan Tanpa Teladan)


🧩 Pengantar Pendek:
Di sekolah kami, dosa itu salah menjawab soal pilihan ganda.
Bukan memalsukan rapor, asal tertib administrasi.



Di buku kami,
guru adalah nabi kecil yang tak boleh salah,
meski ia datang telat dua jam,
duduk minum kopi dan bicara soal judi online sambil menyuruh kami "berakhlak".

Kami dicekoki bab demi bab,
tentang kebaikan, kejujuran, dan nasionalisme,
sambil menonton kepala sekolah menerima amplop
dengan senyum yang lebih suci daripada khutbah Jumat.

Pelajaran pertama: Integritas
Kata mereka: jujur itu utama.
Tapi siapa yang menyontek soal ujian negara?
Bocoran kunci jawaban dijual lebih mahal dari buku asli.
Dan kami—murid-murid yang ingin lulus—
dipaksa memilih:
jadi suci dan tinggal kelas,
atau berdosa dan masuk universitas negeri.

Pelajaran kedua: Empati
Kami disuruh menyumbang ke panti asuhan.
Bukan karena cinta kasih,
tapi demi nilai tambah untuk Lembar Penilaian Proyek.
Senyum yatim piatu difoto, dicetak, dan ditempelkan di mading
sebagai bukti bahwa kami peduli—
sekali setahun,
dalam format PPT berwarna pastel.

Pelajaran ketiga: Sejarah Bangsa
Kami diajarkan tentang pahlawan:
dari yang berpedang sampai yang berdasi.
Tapi pahlawan lokal kami,
ibu yang jualan sayur sambil nyuapin tiga anak—
tidak pernah masuk soal ujian.
Tak masuk kurikulum,
sebab tak punya monumen.

Lalu datang pelajaran Ekonomi.
Kami diajarkan tentang pasar bebas,
padahal kantin sekolah hanya menjual produk milik anak koperasi guru.
Kami tahu istilah "supply and demand",
tapi tak bisa menjelaskan kenapa harga buku naik saat semester baru,
dan turun saat tidak dibutuhkan lagi.

Pendidikan Agama mengajari kami
untuk mencintai sesama dan menjaga mulut dari fitnah,
tapi grup WhatsApp wali murid lebih beringas dari kolom komentar YouTube.
Semua berlomba jadi paling suci,
sambil mengolok ibu si Ani karena bajunya tak syar’i.

Kami diminta meneladani tokoh-tokoh inspiratif
yang dipajang di dinding sekolah:
tokoh-tokoh yang dulu dipenjara karena melawan arus.
Ironisnya,
kami dilarang menulis opini
yang berbeda dari diktat milik dinas pendidikan.

Di kelas Geografi,
kami memetakan gunung, lembah, dan aliran sungai,
tapi tak ada peta untuk mencari guru yang benar-benar mau mendengar.
Tak ada koordinat moral untuk menunjukkan arah pulang
bagi anak-anak yang tenggelam dalam tekanan,
dan tak tahu cara berkata,
“Aku tak sanggup.”

Bahasa Inggris:
Kami hafal "Simple Present",
tapi masa depan kami rumit.
Kami bisa menjelaskan perbedaan "their" dan "there",
tapi tak tahu ke mana arah mimpi kami pergi.
Guru menyuruh kami speak up,
lalu memotong ucapan kami karena “jam pelajaran habis”.

Olahraga?
Kami diajarkan pentingnya kerja tim,
tapi lomba lari estafet dimenangkan oleh anak yang ayahnya sponsor acara.
Kami push-up 10 kali demi nilai KKM,
sementara guru olahraga duduk di bayangan
menatap gaji kecilnya yang tak sebanding dengan keringat.

Ada juga Pelajaran Seni,
tempat imajinasi seharusnya merdeka.
Tapi murid yang menggambar presiden pakai gaya kartun
langsung dipanggil ke ruang BK.
“Kamu kurang nasionalis,” katanya,
padahal anak itu cuma menyalin dari majalah TIME.

Bimbingan Konseling katanya tempat curhat,
tapi kami tahu: itu ruang interogasi.
Tempat di mana tiap keluhan dianggap pembangkangan.
“Kamu tidak bersyukur,” katanya,
ketika kami bicara tentang tekanan hidup dan kecemasan.

Upacara Bendera setiap Senin,
adalah konser propaganda dengan naskah yang tak pernah berubah:
“Jadilah anak bangsa yang berguna,”
sambil kami berdiri di panas matahari
dengan sepatu sobek dan perut kosong.

Kami belajar TIK,
tapi WiFi sekolah sering mati.
Guru TIK hanya tahu Microsoft Word,
tapi kami disuruh membuat animasi 3D.
Kami tahu cara membuat PowerPoint,
tapi tak pernah tahu cara menyampaikan isi hati.

Evaluasi Belajar:
Sekolah mengukur kepintaran dari angka,
seolah hidup bisa dijumlahkan seperti nilai UTS.
Anak pintar dapat pujian,
yang lambat dianggap beban.
Padahal mungkin si pintar itu pandai meniru,
dan si lambat sedang belajar jujur.

Ada guru yang baik—kami tahu.
Tapi sistem menampar mereka keras.
Guru yang ingin mendidik jadi manusia,
harus tunduk pada silabus cetak ulang
yang lebih peduli pada "kompetensi dasar"
daripada keberanian bertanya.

Sementara itu,
di rumah, orang tua kami hanya minta satu:
“NILAI BAGUS!”
Tak peduli anaknya paham atau pura-pura paham.
Kami tumbuh sebagai pencatat hafal,
bukan pemikir.
Kami tahu kapan bilang "maaf",
tapi tak tahu mengapa harus meminta maaf pada ketidakadilan.


📌 Refleksi Penutup:
Puisi ini menyindir sistem pendidikan yang kehilangan arah:
penuh aturan tapi tanpa keteladanan,
penuh hafalan tapi minim kesadaran.

Sindiran ini menyasar pada institusi, birokrasi, dan budaya diam
yang membuat anak-anak cerdas tapi kehilangan jiwa.
Nilai moral tanpa praktik,
ilmu pengetahuan tanpa hati,
membentuk generasi yang kuat di kepala
tapi lumpuh di nurani.

Pesannya?
Jika buku pelajaran adalah kitab suci,
maka sekolah adalah tempat ibadahnya.
Sayangnya, yang beribadah hanya tubuh,
bukan hati.
Dan yang disembah bukan nilai kebaikan,
tapi angka rapor.