Sunday, May 4, 2025

Waktu yang Tak Lagi Kupunya



 Pagi datang,

jam enam dia pergi—mengejar tanggung jawab,
katanya demi masa depan, demi kebutuhan, demi semua hal besar yang tak bisa kugenggam.

Aku hanya ditinggalkan dengan suara pintu dan langkah yang tak sempat menoleh.
Siang menjelma,
rumah ini sunyi, hanya suara napasku yang berat menunggu sesuatu yang tak kembali.

Pukul enam sore, ia pulang.
Namun bukan untukku.
Hanya tubuhnya yang kembali, jiwanya tetap di layar kaca, di dunia digital tempat aku tak bisa masuk.

Jam sembilan malam, cahaya ponselnya lebih terang dari matanya yang dulu menatapku penuh kasih.
Tanganku yang lemah tak lagi sanggup menggenggam perhatiannya.
Hanya saat pagi, dia memandikanku.
Bukan karena cinta, mungkin hanya tanggung jawab yang kering dari rasa.

Aku masih di sini.
Sakit.
Sunyi.
Dan benar-benar kehilangan waktu bersamanya—padahal aku masih hidup.


 Istri Hebat dan Jadwal Sempurna

Pukul 06.00,
sang pahlawan rumah tangga berangkat—berbekal semangat kerja dan sebotol parfum yang lebih dulu menyapa udara daripada senyum untukku.
Ya, aku bangga, sungguh. Istri yang sangat profesional,
tepat waktu, disiplin, dan hanya telat pulang kalau ada "lembur mendadak".

Pukul 18.00,
pulang!
Akhirnya aku bisa melihat punggungnya masuk rumah,
karena wajahnya lebih akrab dengan layar ponsel yang katanya "butuh hiburan setelah kerja keras".
Ah, siapa aku ini? Hanya suaminya.
Tak sehibur TikTok, tak sepenting notifikasi grup kantor.

Pukul 21.00,
jam sakral. Waktu berkualitas bersama... HP-nya.
Tiap malam, ia setia men-scroll, tertawa kecil, membalas komentar,
sementara aku menjadi furnitur hidup—yang hanya bersuara jika batuk keras atau minta air putih.

Dan ya, tentu saja...
Aku dimandikan setiap pagi.
Itu satu-satunya waktu "mesra", saat air dingin jadi saksi cinta yang berubah jadi rutinitas mekanis.
Romantis, bukan?

Aku bangga, benar-benar bangga.
Memiliki istri superwoman,
yang waktu kerjanya 12 jam, waktu main HP 2 jam,
dan waktu untukku... oh, cukup kok, 10 menit sambil pegang gayung.


Aku, Suami Pajangan

Aku ini suami,
bukan suami sejati—hanya simbol.
Simbol bahwa dia sudah menikah,
simbol yang dipajang di KTP dan kartu keluarga.

Di ruang tamu, fotoku ada,
berdiri tegak dengan jas pengantin—itu cukup, katanya.
Nyatanya, aku tak lebih dari potret bisu di dinding yang berdebu.

Dia bekerja keras, katanya demi masa depan.
Tapi masa depanku tak pernah ditanya.
Dia pulang sore, main HP malam, lalu tidur.
Aku? Masih di sini. Duduk. Menatap. Menunggu giliran untuk sekadar dilihat.

Dan saat pagi datang,
aku dimandikan—seperti boneka kayu yang harus dibersihkan sebelum dipajang lagi.
Ah, romantis sekali... sabun di punggung lebih hangat dari kata-katanya.

Aku, suami simbolis.
Tanda bahwa dia pernah memilihku.
Tapi entah kapan dia berhenti benar-benar "memilikiku".


"Suami Pajangan di Era Digital: Monolog dari Kursi Ruang Tamu"

(Ditulis oleh: Pengamat Kehidupan Domestik, Japra alias Jeffrie Gerry)


06.00 pagi.
Pagi datang dengan langkah tergesa,
bukan langkahku, tentu saja.
Itu langkah dia—yang katanya istri, katanya belahan jiwa,
katanya soulmate, katanya pendamping sehidup semati.
Tapi semenjak dapat promosi dan kuota unlimited dari kantor,
jiwa kita tidak lagi satu paket.

Ia berangkat kerja dengan semangat luar biasa,
lebih dulu menyemprot parfum—
yang baunya sampai duluan ke pintu sebelum aku sempat ucap "hati-hati".
Senjaku dimulai dari subuhnya.
Aku hanya ditinggalkan,
bersama bantal yang belum sempat aku peluk karena dia terlalu sibuk
mengejar "masa depan yang lebih cerah."

Dan aku percaya,
masa depan memang cerah...
asal jangan cerah sendirian.


Siang.

Rumah ini bukan rumah.
Ia lebih cocok disebut museum sunyi,
dipenuhi artefak kenangan dan suara napas yang terlalu berat untuk harapan.
Aku di sini.
Masih bernapas,
tapi tidak hidup di dunianya.
Ia ada di kantor, katanya.
Rapat.
Zoom meeting.
Deadline.
Lembur mendadak (yang mendadaknya terjadwal setiap Selasa dan Kamis).

Aku hanya punya tembok untuk bicara.
Kadang aku batuk keras, berharap didengar,
tapi yang datang malah iklan YouTube tentang vitamin tenggorokan.


18.00 sore.
Pulang!
Akhirnya...
Sosoknya muncul di ambang pintu,
seperti sinyal WiFi: lemah tapi tetap terdeteksi.
Aku melihat punggungnya,
punggung yang dulunya kupeluk saat hujan,
kini lebih akrab dengan bantal ergonomis dan charger ponsel.

“Capek, jangan ganggu dulu.” katanya sambil scroll.
Aku diam.
Aku paham.
Aku bukan notifikasi kantor.
Aku tak punya bunyi yang menyenangkan seperti nada dering Instagram.
Jadi aku diam.
Jadi kursi.
Jadi meja.
Jadi apapun yang tidak minta interaksi.


21.00 malam.
Jam sakral.
Waktu berkualitas.
Bukan antara kami berdua, tentu saja.
Tapi antara dia dan HP-nya.
Mereka intim.
Scroll. Tap. Like. Tawa kecil.
Komentar dibalas dengan emoji.
Story orang dilihat, story rumah sendiri... di-skip.

Aku?
Aku jadi ornamen.
Furnitur hidup.
Kalau batuk keras mungkin dapat lirikan.
Kalau minta air putih, baru dipanggil "sayang".

Romantiskah ini?
Tentu.
Kalau kau percaya bahwa cinta adalah bentuk sabar yang terus diremehkan.


06.00 lagi.

Pagi datang.
Saat paling intim...
karena dia akan mandikan aku.
Air dingin jadi saksi bisu bahwa cinta kini hanya rutinitas.
Gayung digenggam lebih erat dari tanganku.
Sabun di punggung lebih lembut dari tutur katanya.

Aku diperlakukan baik.
Seperti patung marmer mahal yang harus dijaga.
Dibersihkan.
Dipajang.
Disenyumi—sekali sebulan saat ada tamu.
Itu cukup, katanya.


Aku bangga.
Memiliki istri superwoman.
12 jam kerja.
2 jam main HP.
Dan waktu untukku?
Oh, ada.
10 menit sambil pegang gayung.
Itu pun kadang sambil nonton TikTok tentang “cara merawat pasangan dengan baik”.


Aku, suami simbolis.

Simbol bahwa dia sudah menikah.
Simbol yang dibutuhkan saat undangan kantor minta "plus one".
Simbol di foto pre-wedding.
Simbol di KTP.
Simbol di ruang tamu—berdiri dengan jas pengantin,
tersenyum pada masa depan yang tidak kutahu akan sekelam ini.


Dia bilang aku beruntung.
Istriku sukses, katanya.
Mandiri.
Modern.
Multitasking.
Bisa kerja sambil masak mie instan untukku (kalau ingat).
Bisa rapat sambil update status: “Love my hubby so much!”
(aku tahu karena temanku yang kasih tahu—aku tak punya media sosial).


Tapi aku ini apa?
Manusia?
Atau aksesori emosional yang dipasang saat dibutuhkan?

Di balik keberhasilannya,
ada aku—yang diam,
yang tetap duduk di ruang tamu,
menjadi alas bagi keberhasilannya melangkah.
Aku fondasi, tapi bukan atap.
Menopang, tapi tidak dipayungi.


Aku, suami pajangan.

Dipajang saat keluarga datang.
Dipamerkan saat Hari Ayah.
Dibisiki "aku cinta kamu" saat teman-temannya mendengar,
lalu ditinggalkan sendirian di malam hari—bersama gemerlap cahaya ponsel
yang lebih hidup dari percakapan kami.


Tapi aku masih di sini.
Masih menunggu.
Masih setia.
Masih berharap bahwa suatu pagi,
dia akan menoleh,
bukan untuk mencari parfum,
tapi untuk menciumku.

Bahwa suatu malam,
tangannya bukan menggenggam ponsel,
tapi tanganku—yang dingin dan kaku karena lama tak disentuh.
Bahwa suatu waktu,
ia tak hanya melihatku,
tapi melihatku
dengan mata yang dulu jatuh cinta, bukan mata yang jatuh ke layar.


Aku, suami hidup.

Masih bernapas.
Masih berharap.
Meski aku hanya mendapat perhatian
setara iklan lima detik yang tak bisa di-skip.


Tapi aku tetap di sini.
Karena cinta...
kadang seperti aku:
tak dilihat,
tak dianggap,
tapi tetap ada—
menunggu giliran untuk dimandikan.


Pesan penulis kepada pembaca yang budiman : jika kamu pria yang masih sehat maka berusahalah segala sesuatu dengan sendiri , karena suatu saat kamupun akan ditinggil sendiri dengan alasan yang masuk akal dan tidak dapat di tolak, dan bila kamu wanita , jangan tergantung sama suami, bila suamimu suatu hari tidak berdaya ,maka kamu bisa melakukan apapun dengan mandiri

Pasar Bebas, Tapi Aku Terjerat

 


“Pasar Bebas, Tapi Dompetku Disekap”
—Drama Monolog dari Panggung Ekonomi Global


📌 Pengantar:
Mereka bilang ini kebebasan, tapi kenapa aku merasa dijajah iklan?
Sebuah jeritan dari keranjang belanja yang tak pernah kenyang.

Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


🧠 Pasar Bebas, Tapi Aku Terjerat

Selamat datang di Supermarket Peradaban,
di mana aku, sang konsumen suci,
berlutut pada diskon dengan iman lebih teguh
daripada doa malam kepada Tuhan.

Aku berdiri di lorong kapitalisme,
diapit merek-merek yang menjerit lebih nyaring
dari tangisan bayi yang lapar.
“Beli aku! Beli aku!” — jerit shampo antiketombe
yang ternyata membuat pikiranku kering.

Ah, pasar bebas!
Istilah yang manis seperti madu beracun.
Katanya: kompetisi sehat.
Nyatanya: petaka bagi dompet yang batuk-batuk.

Aku hidup dalam iklan,
dikelilingi wajah model berkulit licin
yang katanya bahagia karena minum kopi 3-in-1
dibumbui utang kartu kredit yang manis rasanya.

Mereka bilang bebas,
tapi kenapa semua pilihan terasa wajib?
Kenapa kalau aku tak punya iPhone,
aku dianggap hidup di zaman purba?

Pasar bebas, oh pasar bebas,
engkau iblis berkedok inovasi,
menjual kemerdekaan dalam bentuk cicilan,
lalu menggandeng bank agar aku tak bisa kabur.

Aku kerja dari pagi ke malam,
untuk membeli benda-benda
yang tak pernah bisa mengisi kekosongan jiwaku,
tapi sangat mujarab membuat aku merasa cukup untuk dipuji tetangga.

Ini monolog dari budak kemasan,
yang lebih kenal logo perusahaan
daripada wajah anak sendiri.
Terima kasih, pasar bebas. Kau buat aku “bebas” dari akal sehat.

Katanya, di negeri kapital ini
uang bisa membeli apa saja,
termasuk rasa aman, rasa senang,
bahkan rasa bersalah yang dikemas
dalam bentuk voucher amal 50%.

Aku tertawa—ya, tertawa miris
saat melihat rakyat kecil diajari jadi "pengusaha mikro"
oleh CEO raksasa yang tak pernah tahu rasanya
hidup dari gorengan dua ribu sebiji.

Ah, ironimu menggoda, wahai sistem mulia!
Di negeri yang menjual “start-up” sebagai mimpi,
aku hanya “start” tapi tak pernah “up.”
Karena tiap naik, sudah ditunggu pajak,
dan tiap jatuh, dituduh tak cukup kreatif.

Mereka bilang pasar tak butuh pemerintah—
tapi tiap krisis, jeritannya:
“Rescue kami, bailout kami!”
Lalu uang rakyat diperah demi bank yang kekenyangan.
Oh, betapa merdeka kau, pasar yang manja.

Bebas katanya,
tapi tiap iklan menculik kesadaranku.
Dari makanan cepat saji,
sampai obsesi tubuh ideal buatan Photoshop.
Apa ini kebebasan, atau sekadar
surga palsu di atas timbunan bon belanja?

Bahkan kebahagiaan kini berlogo dagang.
Liburan harus Instagrammable,
cinta harus dibungkus buket besar,
dan ulang tahun tak lengkap tanpa hadiah mahal.
Terimakasih, pasar bebas.
Kau ajari aku bahwa nilai seseorang
ditakar dari merek sepatu yang ia kenakan.

Aku terjerat, ya, terjerat manis.
Bukan oleh hukum,
tapi oleh hasrat yang dikonstruksi.
Kita semua dipenjara dalam kebebasan
yang tak pernah benar-benar kita pilih.

Aku menyaksikan petani dibungkam oleh perusahaan benih.
Nelayan dikalahkan kapal asing berbendera bisnis.
Pedagang kecil tergilas mall digital.
Tapi semua ini dinamai “efisiensi,”
seperti menyebut penjajahan sebagai “kemitraan strategis.”

Kita ini pasar, katanya.
Tapi saat aku mencoba menjual hasil keringat sendiri,
tak ada yang beli.
Karena aku tak punya modal,
tak punya merek, tak punya “influencer”
yang bisa berpose bersama produkku di Bali.

Ah, aku rindu tukang sayur yang jujur,
yang tak menjual sayur sebagai “produk organik premium.”
Aku rindu barter—meski tidak efisien,
tapi setidaknya tidak menukar moral demi margin.

Kini aku hanya angka di big data.
Kebiasaanku dianalisis,
seleraku dipetakan,
emosiku dimonetisasi,
lalu dijual kembali padaku dalam bentuk
iklan "rekomendasi khusus untukmu."

Betapa intim, betapa peduli.
Pasar bebas mengenalku lebih baik
daripada orang tuaku.
Sayang sekali,
ia mengenalku hanya agar bisa menjual lebih.

Bebas, ya, bebas!
Bebas jadi pelanggan,
bukan bebas jadi manusia.
Bebas mencicil,
bukan bebas bermimpi.

Aku ingin keluar,
tapi tak tahu dari mana.
Temboknya bukan besi,
tapi tagihan dan gaya hidup.
Penjaganya bukan tentara,
tapi algoritma dan FOMO.

Lalu kau bertanya:
kenapa aku marah?
Karena aku diajari menyembah Tuhan,
tapi dipaksa hidup seperti mesin penjual otomatis.
Karena aku diajari jadi manusia merdeka,
tapi dipaksa hidup seperti pelanggan tetap neraka promo.


🪞Refleksi Penutup

Puisi ini adalah jeritan sinis dari mereka yang terjebak dalam labirin pasar yang katanya “bebas”, tapi menyekap dengan cara paling halus—keinginan. Sindiran ini ditujukan bagi struktur ekonomi yang mengabdi pada laba tanpa nurani, bagi sistem yang mengutamakan konsumen tapi menelantarkan manusia. Pesan moralnya jelas: kebebasan sejati tidak hadir dalam bentuk pilihan belanja, tapi dalam kemampuan berpikir merdeka, menolak tipu daya, dan kembali menjadi manusia yang utuh.









"Di Toko Tuhan, Aku Diskon 70 Persen"
(Monolog Tragis dari Rak-Rak Kapitalisme)


🎭 Pengantar:

“Katanya bebas, tapi aku hanya bebas memilih borgol yang paling berkilau.”

Karya Pengembara Hidup & Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)


✍️ Puisi Satir – "Di Toko Tuhan, Aku Diskon 70 Persen"

Monolog satu napas dari manusia bernyawa harga, digantung di etalase dunia…


Aku manusia promo.
Diletakkan di rak terendah.
Labelku merah darah—
Diskon 70% bila beli hari ini.

Aku bukan individu,
aku target pasar.
Keinginanku dibuat di pabrik,
diuji laboratorium statistik,
dan dikemas dalam bungkusan harapan palsu beraroma vanilla sintetik.

"Pasar bebas!" kata mereka—
tapi dompetku dikendalikan remote oleh iklan pagi.
Aku berpikir aku memilih,
padahal aku hanya mencentang satu dari dua jebakan yang sama.


Di negeri ini, kami berdagang iman.
Saham naik saat doa menurun,
dan Tuhan, oh Tuhan—
telah IPO sejak milenium silam.

Ada startup surgawi yang menjual keselamatan digital.
Langganan bulanan.
Versi gratis dengan iklan.
Versi premium dengan indulgensi kilat.


Aku berdiri di kasir.
Antri di belakang CEO,
di depan influencer bertitel “spiritual advisor.”
Kami semua membeli waktu,
tapi yang kami dapat hanya stres berkemasan glossy.


Hei, lihat!
Di sana, kaum elite meminum kopi dari cangkir penderitaan rakyat,
dengan foam busa subsidi.
Mereka posting:
“Ngopi dulu biar bisa merampok lebih tenang.”


Aku tertawa getir.
Karena aku juga ikut lomba lari dalam labirin e-commerce.
Pemenangnya bukan yang tercepat,
tapi yang paling patuh pada algoritma.

Scroll ke bawah,
temukan kebahagiaan di cart,
tapi hati kosong seperti paket COD yang berisi batu bata.


Pasar bebas, katanya.
Tapi saat aku ingin jual pikiranku,
harga otakku hanya setara pulsa harian.

Kreativitasku ditawar murah oleh brand sandal yang ingin jadi “relatable.”
Kritikku disensor dengan emoji.
Dan puisiku dijadikan caption toko perhiasan.


Ah, pasar ini lucu—
di mana bintang TikTok menjual skincare untuk jiwa.
“Detoks trauma masa kecil dengan serum 12 langkah!”
Dan aku?
Aku apply kode promo: TERLUKA20.


Para menteri berdasi seperti sales asuransi,
menawarkan perlindungan dari bencana yang mereka ciptakan sendiri.
Mereka menjual kemiskinan dalam bentuk statistik,
“Lihat! Garis kemiskinan turun!”
(tapi aku tahu, karena tanahnya mereka ratakan)


Kau tahu ironi terdalam?
Kita menyebutnya "pasar bebas"—
padahal petani terikat utang pada bibit buatan,
nelayan ditarik ke laut dalam oleh kapal perusahaan,
dan guru swasta harus side job sebagai ojek daring
agar bisa beli nasi bungkus sisa seminar pemerintah.


Pasar ini bebas.
Bebas bagi yang sudah punya.
Tapi aku,
aku harus sewa napas pada korporasi.


Oh, betapa indahnya dunia ini!
Di mana kemerdekaan bisa dicicil 12 bulan tanpa bunga,
dengan syarat dan ketentuan berlaku
(yang tak pernah kubaca karena panjang seperti dosa kolektif bangsa).


Aku membeli kebebasan,
tetapi kotaknya kosong.
Hanya panduan penggunaan:
1. Jangan bertanya.
2. Jangan berpikir.
3. Jangan menuntut.
4. Jangan lupa bayar pajak.


Seorang anak kecil menjual gambar impian di perempatan.
Ia tak tahu, pasar bebas tak menjual cita-cita,
hanya simulakra.


Aku memasuki mall megah,
ber-AC dosa kolektif.
Lantai keramik dingin seperti empati menteri.
Lift menuju surga kelas menengah.
Tapi tangga daruratnya menuju penggusuran.


Para aktivis dijual dalam kemasan edisi terbatas.
“Limited Resistance!”
Dengan logo bergambar palu-arit neon pink.
Diproduksi massal oleh perusahaan mode yang mempekerjakan buruh minoritas
dengan upah nostalgia.


Di sini, harga diri dijual per ons.
Rasa malu diberi diskon besar.
Tapi kejujuran?
Out of stock sejak rezim keempat.


Aku membeli opini hari ini.
Dikirim instan oleh buzzer politik.
Gratis ongkir.
Bayar dengan kedunguan.


Dan malam pun datang.
Lampu LED berkedip seperti wahyu palsu.
Di jendela apartemen mewah,
seorang wanita selfie dengan caption:
“Bersyukur bisa beli segalanya.”
(tapi aku lihat matanya—
mereka lapar pujian dan dopamine digital).


Di pasar bebas ini,
cinta pun dijual.
Swipe kanan untuk harapan.
Left untuk manusia.
Algoritma menentukan siapa yang layak diberi hati
dan siapa yang hanya konten lucu.


Pasar bebas…
tempat aku bebas memilih
antara menjadi boneka iklan
atau mayat opini.


Suatu hari aku coba kabur.
Keluar dari etalase.
Mencoba jadi liar, jadi asli.
Tapi dunia menatapku seperti barcode rusak.
Tidak bisa discan.
Tidak bisa dijual.
Tidak bisa dikontrol.


Dan akhirnya aku menyerah.
Kembali ke rak.
Berdiri tegak.
Dengan senyum palsu.
Menunggu diskon berikutnya.
Mungkin Black Friday,
atau Hari Kiamat.


🔚 Refleksi

Puisi ini adalah cermin retak bagi wajah kapitalisme yang menari di atas luka-luka sosial. Ia menyindir keras para pemegang kuasa yang menjual kebebasan seperti barang obral, sambil menertawakan kita yang masih percaya sedang memilih—padahal hanya sedang dibimbing oleh tali tak kasat bernama algoritma, iklan, dan ilusi. Monolog ini menghantam siapa saja: korporasi rakus, pemerintah palsu, konsumen naif, dan seluruh sistem yang menjadikan manusia sekadar barang. Karena pada akhirnya, dalam pasar yang bebas, yang terjerat adalah mereka yang lupa bertanya: "Siapa yang sebenarnya mengendalikan harga hidupku?"