Wednesday, April 30, 2025

Cinta Tanah Air Rasa Cola: Dingin, Manis, dan Mengandung Gas

 


Pengantar Pendek:

"Semangat patriotik berkarbonasi, siap diseruput, lalu dibuang."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


NASIONALISME DALAM KALENG SODA
(Monolog oleh seorang patriot aluminium yang pernah disanjung, kini diremukkan)

Aku ini kaleng soda nasional, bung!
Bukan sekadar wadah—aku simbol!
Simbol cinta tanah air yang bisa dikocok,
lalu diminum saat kampanye dan ditinggal saat haus hilang.

Aku pernah berdiri gagah di rak-rak minimarket,
ditata sejajar dengan semangat Sumpah Pemuda,
bersebelahan dengan kemasan-kemasan produk asing
yang katanya penjajah baru,
tapi dicintai lebih dari aku—yang katanya “rasa lokal penuh cinta”.

Aku penuh karbonasi patriotik.
Buka aku, dan kau akan mendengar
dentuman Merdeka! dalam bentuk… pssttttsss!
Semburan gas, seperti semangatmu saat menyanyikan lagu wajib,
di mulut yang sibuk mengunyah burger dari negeri adidaya.

Aku bukan hanya minuman, aku perasaan.
Perasaan bahwa mencintai negeri itu semanis gula buatan
yang bikin ketagihan, lalu diabetes sejarah.
Minum aku tiap upacara,
tapi jangan tanya siapa petani tebu lokal—siapa peduli?

Minum aku di bulan Agustus,
karena rasa nasionalisme paling terasa ketika ada diskon.
Bendera dibagikan gratis di labelku,
kalau beli 3 kaleng, bisa dapat satu kipas merah putih—gratis!

Wahai rakyat berdaulat,
kau tak perlu tahu isi asli dalam tubuh aluminiumku.
Cukup baca slogan: “Cinta Produk Bangsa!”
Meski pabrikku milik konglomerat lintas negara
dan tenaga kerja magangnya dibayar dengan upah mulia: exposure.

Aku disajikan dalam seminar bela negara,
di podium berlapis marmer subsidi,
dengan kata-kata motivasi berisik
yang isinya: “Banggalah jadi Indonesia… selama pakai produk kami!”

Ah, betapa suci nasionalisme dalam bentuk cair!
Cair seperti idealisme yang menguap tiap musim pemilu.
Dikocok saat debat capres,
lalu tumpah saat istana berganti wajah.

Tapi kau tetap setia padaku.
Setiap kali resah, kau minum aku.
Setiap kali galau akan jati diri bangsa,
kau cari aku di kulkas minimarket.

Aku—oh ya aku—pernah jadi sponsor konser kebangsaan,
yang tiketnya hanya bisa dibeli pakai kartu kredit luar negeri.
Di mana penonton bernyanyi “Tanah Airku Tidak Kulupakan”
sambil live Instagram dengan filter bendera Norwegia.

Lihatlah bagaimana aku dikunyah habis oleh generasi tiktokis,
yang mencintai negara sambil memakai hoodie bendera Jepang.
Katanya: “Aku cinta Indonesia, tapi gaulnya harus global dong!”

Dan jangan lupakan kampus-kampus kita,
yang ajarkan filsafat Pancasila
dalam ruang ber-AC bersponsor aku.
Setiap mahasiswa dapat satu kaleng nasionalisme
untuk menemani skripsi tentang “Identitas Bangsa dalam Era Disrupsi”.

O patriot muda!
Minumlah aku sambil baca puisi Chairil Anwar
yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Korea.
Karena menjadi nasionalis sekarang
adalah soal branding, bukan pengorbanan.

Tentu, aku juga hadir di meja rapat DPR,
sebagai minuman resmi saat mereka memutuskan
berapa persen kekayaan alam bisa diekspor
dengan syarat: tetap mengibarkan bendera di kapal kargo.

Sungguh indah jadi bagian dari narasi besar!
Aku—produk rasa buatan—jadi tolok ukur cinta negeri.
Semakin kau haus identitas,
semakin cepat kau menelanku.

Dan saat tubuhku kosong,
ketika tak ada lagi rasa di dasar kalengku,
kau buang aku ke selokan sejarah,
bersebelahan dengan janji kampanye dan proyek mangkrak.

Tapi aku akan kembali.
Daur ulang itu nyata.
Akan kutemui dirimu lagi,
dalam bentuk edisi spesial Hari Pahlawan.

Kini kupahami satu hal, wahai anak negeri:
Nasionalisme bukan semangat,
tapi cita rasa musiman—seperti soda limited edition.


5️⃣ Refleksi / Penutup:

Puisi ini menyindir bentuk nasionalisme yang dangkal, yang dikonsumsi secara instan layaknya minuman ringan: penuh rasa, cepat hilang, dan seringkali palsu. Sindiran ini menyasar pada elite yang menjadikan cinta tanah air sebagai komoditas, generasi muda yang gamang identitas, hingga masyarakat luas yang lebih bangga pada simbol ketimbang substansi. Pesan moralnya: Nasionalisme bukan kemasan, bukan slogan, bukan perayaan musiman—ia seharusnya hadir dalam tindakan, keberanian, dan kejujuran yang tidak bisa dibeli dalam bentuk kaleng promo.


1️⃣ Judul

“Negara di Mulutmu, Gas di Otakku”

(Sebuah Monolog dari Kaleng Soda yang Lelah Menjadi Lambang Nasional)


3️⃣ Pengantar Pendek

"Bila mencintai bangsa hanya semanis iklan minuman, jangan heran bila revolusi terasa seperti sendawa."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


4️⃣ Isi Puisi Satir (Versi Lebih Liar & Buas)

NEGARA DI MULUTMU, GAS DI OTAKKU
(Monolog dari Kaleng Soda Bekas Upacara Bendera dan Talkshow Politik Pagi Hari)

Ya, aku lagi.
Kaleng soda itu.
Yang katanya “rasa Indonesia asli!”
Tapi rasaku buatan pabrik yang sahamnya dimiliki sepupu Menko Perekonomian.

Minumlah aku saat kau bersumpah setia pada tanah air
dengan tangan kanan memegang dada—
dan tangan kiri menggenggam remote TV merek Jepang.

Aku diseruput sambil menyanyikan Indonesia Raya,
tapi jangan salah—lagu itu sekarang jadi jingle iklan lebaran.
Disponsori aku, si kaleng merah putih berkarbonasi.
Oh sayang, nasionalisme itu kini bergelembung dan dingin.

Apakah cinta tanah air cukup ditaruh di rak swalayan?
Diapit diskon produk Korea dan promo Tiktok Shop?
Satu paket: nasionalisme, gratis stiker Garuda.
Kalau beli dua, bisa dapat hadiah: wajah pahlawan di sedotan plastik.

Lihat aku, wahai para jenderal keyboard dan revolusioner sambil rebahan!
Aku ini lambangmu sekarang.
Satu teguk semangat, dua teguk propaganda,
tiga teguk: kembung oleh jargon.

Aku pernah hadir di kampanye politik:
disuguhkan pada rakyat kecil yang disuruh joget pakai kaos gratis.
Dibilang “Cinta Negeri Itu Peduli!”
Sementara sawahnya diganti pusat perbelanjaan bernama Patriot Mall.

Aku jadi teman baik para buzzer,
yang menyisipkan pesan kebangsaan di antara endorse sabun pemutih.
“Cintailah negeri ini,” kata mereka sambil buka paket dari luar negeri.
Ironi? Bukan. Ini bisnis model cinta negara.

Anak-anak kini belajar Pancasila dari game simulasi.
Kalau menang: dapat voucher sodaku.
Kalau kalah: suruh nonton ulang pidato presiden dalam bentuk kartun.
Nasionalisme telah menjadi konten.
Dan aku? Aku bintangnya.

Aduh, betapa molek negeri ini!
Tempat di mana cinta tanah air bisa dikemas
dalam kemasan pop art dan slogan nyentrik:
“Berani Merdeka, Berani Segar!”

Di jalanan, tukang parkir pakai kaus “NKRI Harga Mati”
sambil menjaga mobil Mercy berpelat diplomat.
Di panggung talkshow, pejabat teriak “Bangga Produk Lokal”
sambil pakai jam tangan seharga satu tahun UMR.
Dan aku? Aku disuguhkan di meja—dingin, manis, penuh dusta.

Wahai guru bangsa!
Kau ajarkan kami mencintai bendera,
lalu menilai keberhasilan bangsa dari jumlah views dan likes.
Engkau tanamkan nilai juang
dalam bentuk kupon undian berhadiah umrah nasionalis.

Negara ini tak perlu penjajah.
Cukup aku.
Aku bisa membuatmu lupa substansi.
Aku bisa membuatmu berpikir bahwa perjuangan
adalah ikut kuis online berhadiah selfie dengan bendera.

Bahkan kini:
aku juga hadir dalam pernikahan nasionalis—
ya, pernikahan dua influencer yang menikah di puncak Monas,
dengan saksi: drone bendera dan livestream YouTube.

Aku minta maaf.
Maaf karena aku enak.
Maaf karena aku mudah dibeli.
Maaf karena aku telah menggantikan makna kata “berjuang”
dengan “berkarbonasi”.

Aku, kaleng soda yang pernah kau banggakan,
kini tinggal bekas dalam tong sampah sejarah.
Terselip di antara idealisme yang sudah kedaluwarsa,
dan utang luar negeri yang terus diperbarui.

Tapi tak apa.
Kelak, aku akan dicetak ulang.
Dengan rasa baru: “Kebangsaan Ultra Extra Cola”.
Slogan baru: “Sekali Seruput, Cintamu Abadi!”

Aku akan kembali.
Di iklan pemilu berikutnya.
Di seminar nasional tentang “Identitas Bangsa dalam Era Digitalisasi Kognitif Nano-Algoritma 7.0”
Disajikan dengan biskuit rasa kemerdekaan.

Dan kau, rakyat jelata berpikiran modern,
akan meminumnya lagi.
Dengan penuh bangga.
Dengan penuh gas.


5️⃣ Refleksi / Penutup

Puisi ini menampar wajah nasionalisme yang sudah dikooptasi pasar, dijual dalam bentuk kemasan kosong yang penuh suara tapi hampa makna. Ini bukan sekadar kritik pada pejabat atau elit, tapi juga pada masyarakat luas yang telah memeluk semangat kebangsaan semu, yang viral tapi tidak vital. Pesan moralnya: jika nasionalisme hanya hadir saat promo dan tidak tumbuh di hati dan tindakan nyata, maka kita semua sedang mabuk gas dari kaleng—dan bukan dari keberanian sejati.


1️⃣ Judul:

“Tanah Airku, Tersesat di Mesin Penjual Otomatis”


3️⃣ Pengantar Pendek:

"Negeri ini terlalu luas untuk dimengerti, tapi cukup kecil untuk dimasukkan ke dalam kaleng."
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


4️⃣ Isi Puisi Satir

TANAH AIRKU, TERSESAT DI MESIN PENJUAL OTOMATIS
(Monolog oleh seekor kaleng yang dulu pernah dianggap lambang perlawanan, kini tersesat di vending machine stasiun MRT)

Aku bukan hanya kaleng soda.
Aku lembaran lagu kebangsaan yang dibekukan,
disematkan gas buatan, lalu disusun rapi
di mesin penjual otomatis yang menerima e-wallet.
E-wallet, bukan e-KTP.

Pernah, aku dibuka oleh seorang jenderal.
Dia bilang, “Rasamu segar, seperti semangat 45.”
Lalu dia mengeruk saham tambang,
dan membuangku ke laci meja rapat.

Lalu aku dibuka oleh seorang aktivis,
yang merekam aksinya dengan kamera mirrorless.
Ia teriak, “Rakyat harus bangkit!”
Sambil menyeruputku, dan bilang,
“Eh, ini mereknya lokal nggak sih? Gue harus jaga brand persona.”

Kini aku dibuka oleh anak kecil
yang mengira aku adalah mainan.
Dia minum, matanya berbinar:
“Ini enak, kayak negara!” katanya.

Negara.
Kata itu kini berarti karbonasi rasa semangat,
diikuti oleh aftertaste kegetiran.

Dulu, negara adalah ladang padi.
Sekarang, negara adalah TikTok berdurasi 15 detik
dengan filter merah putih dan musik marching band.

Aku berada di barisan depan parade,
di tangan influencer dengan 2 juta pengikut
yang baru tahu arti “Indonesia” minggu lalu.

Aku juga diselipkan dalam goodie bag seminar
tentang “Cinta Bangsa di Era Distraksi”.
Para narasumber mengutip Bung Karno,
lalu cek notifikasi endorse masuk.

Aku bukan lelucon.
Aku adalah puisi nasionalisme
yang dipotong-potong untuk jadi iklan di YouTube 5 detik.
Lewat cepat, tidak bisa di-skip,
tapi tidak diingat siapa pun.

Aku ada di tempat sampah festival kemerdekaan.
Bersama serpihan bendera plastik,
maskot garuda berbentuk balon,
dan secuil janji kemerdekaan.

Pernah aku dipajang di museum nasional,
sebagai “Simbol Nasionalisme Pop”.
Anak-anak sekolah selfie denganku,
dan caption-nya: “Gue cinta Indonesia, bro! Tapi ogah balik kampung.”

Oh, Tanah Airku…
Kau kini memiliki rasa stroberi sintetis.
Dan setiap tegukmu penuh nostalgia palsu.

Satu waktu, aku berbincang dengan sesama kaleng.
Kami bertanya-tanya,
apakah bendera itu rasa atau hanya warna?
Apakah cinta negeri itu tindakan atau tema konten?

Kami adalah ironi yang bisa didaur ulang.
Kapanpun, oleh siapapun,
dengan logo baru, rasa baru, dan slogan yang berbeda.

Tapi tidak ada yang benar-benar mencicipi kami.
Mereka hanya meneguk identitas,
lalu bersendawa kebangsaan.

Kini aku di sini,
dalam vending machine stasiun bawah tanah.
Menunggu dibeli oleh seseorang
yang ingin merasakan negerinya sendiri—
dalam bentuk dingin, manis, dan mudah ditelan.


5️⃣ Refleksi / Penutup:

Versi ini menggambarkan absurditas dan kehilangan makna dalam nasionalisme modern yang telah dikomodifikasi, dikemas, dan dijual layaknya produk cepat saji. Di balik kelembutan baitnya, puisi ini menampar kesadaran: bahwa rasa cinta tanah air kini hanya sehangat algoritma dan semudah scan barcode. Sindiran ini ditujukan pada kita semua—mereka yang menukar prinsip dengan kenyamanan, dan mereka yang menyuapkan patriotisme dalam bentuk promo dan iklan. Pesannya sederhana: Jangan biarkan nasionalisme jadi vending item. Ia layak jadi napas, bukan hanya selera.

“Tulisan ini adalah satir. Segala kesamaan dengan kenyataan hanyalah kebetulan yang disengaja.”

Pancasila Ketinggalan Sikat Gigi di Revolusi

 


๐Ÿงจ Judul: "Pancasila Ketinggalan Sikat Gigi di Revolusi"

(Sebuah Monolog Basah Tentang Cermin, Sabun, dan Identitas yang Mengelupas)


"Cermin kamar mandi tidak pernah bohong, hanya kita yang terlalu malu bercermin."

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


๐Ÿ’ฅ Isi Puisi Satir — Monolog Aku dan Pancasila di Kamar Mandi

I. Cermin

Pagi-pagi buta,
ketika kopi belum sempat direbus
dan matahari masih malu mengintip celana rakyat,
aku menemukan Pancasila sedang duduk di atas bak mandi,
pakai handuk—tapi nilai-nilainya telanjang.

Katanya,
"Kita perlu bicara, Bro."

Kupikir ini semacam khutbah nasional,
tapi ternyata—ini debat dadakan,
antara aku
yang masih menguap dosa-dosa kecil
dan dia
yang katanya sakral, tapi basah kuyup oleh ironi.


II. Ketuhanan Tanpa Kemanusiaan

"Aku sila pertama!" katanya gagah.
"Ketuhanan Yang Maha Esa!"
Sambil menunjuk langit-langit kamar mandi yang retak.

Kupandangi dengan sabun di tangan,
"Serius? Tapi kau membiarkan nama Tuhan dipakai jualan janji,
dipaksa masuk kelas, dipolitisasi di surat suara.
Bahkan tukang parkir pakai embel-embel syariah."

Ia diam. Sabunku licin.


III. Kemanusiaan yang Dipreteli

"Aku sila kedua!" ia menyusul.
"Kemanusiaan yang adil dan beradab!"
Mendadak pipa bocor—dan aku merasa itu simbolik.

"Adil?
Lihat si tukang ojek online makan mie instan 3x sehari
sementara kau traktir politisi di hotel bintang tujuh."

"Beradab?"
Kupelototi berita kemarin:
remaja dipukuli karena beda suara,
warga diarak karena beda selera,
dan kolom komentar YouTube lebih brutal dari arena gladiator Romawi.


IV. Persatuan yang Retak di Dinding

"Sila ketiga nih, jangan main-main!" katanya.
"Persatuan Indonesia!"
Tapi waktu dia ucap itu,
ada suara kentut dari lubang WC yang menggema.

Aku tersedak air kumur.

"Persatuan yang mana?
Kita bersatu di diskon Harbolnas,
tapi bercerai-berai di warna kulit,
suku, simbol, dan 'siapa lebih Pancasila daripada siapa'?"

Dia mulai ngos-ngosan. Handuknya melorot.


V. Demokrasi: Suara dari Klakson

"Sila keempat!" teriaknya,
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan!"

"Permusyawaratan di mana?
Di grup WA keluarga yang isinya hoaks semua?
Atau di DPR, tempat drama lebih bagus dari sinetron?"
tanyaku sambil mencabut bulu hidung yang tersesat.

Dia jawab,
"Kita punya Pemilu!"
Aku balas,
"Kita juga punya uang bensin, serangan fajar, dan Caleg bermodal baliho tebal dan isi otak tipis."


VI. Keadilan: Satu-Satunya Yang Masih Di Laundry

Sila terakhir bangkit dari pojok kloset.

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!"

Aku menengok keluar jendela,
di seberang jalan,
anak kecil mengamen dengan sendok dan ember cat.

"Yang adil hanya sistem:
Orang miskin selalu diperiksa,
orang kaya selalu diperiksa—tapi tidak dijerat."

Pancasila mengelap wajahnya pakai tisu toilet.
Mungkin mulai sadar:
dia bukan dilupakan—hanya dimonumenkan.


VII. Kamar Mandi: Tempat Paling Demokratis

"Kau tahu kenapa aku berani debat di sini?" tanyaku.
"Karena kamar mandi tidak peduli jabatan.
Semua orang sama,
telanjang,
rapuh,
dan… manusiawi."

Dia menatap cermin.
Mungkin pertama kalinya dalam sejarah bangsa,
Pancasila merasa malu sendiri.


VIII. Perjanjian Rahasia dengan Gayung

Akhirnya kami sepakat:
Jika bangsa ini terlalu sibuk selfie di upacara,
biarlah gayung dan sikat gigi jadi alat revolusi.

Aku beri dia celana pendek,
dia beri aku semangat untuk terus bertanya.

Kami tidak sepakat tentang segala hal,
tapi minimal kami sama-sama berkeringat.


"​Debat Basah: Aku dan Pancasila Bertengkar di Kamar Mandi"

Pengantar Pendek

"Ketika ideologi bertemu dengan realita dalam ruang paling privat, percakapan menjadi cermin yang memantulkan ironi kehidupan berbangsa."

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


4️⃣ Isi Puisi Satir

Debat Basah: Aku dan Pancasila Bertengkar di Kamar Mandi

Di pagi yang basah, aku dan Pancasila bertemu
Di kamar mandi, tempat segala topeng luruh
Ia berdiri tegak, berbalut sabun keadilan
Aku, telanjang dengan pertanyaan tanpa jawaban

"Sila pertama," katanya, "Ketuhanan Yang Maha Esa"
Aku menyeka cermin, menatap wajah penuh dosa
"Apakah Tuhan hadir di gedung-gedung megah itu?"
Di mana doa dijual dalam amplop-amplop biru?

Ia tersenyum, busa menutupi bibirnya
"Manusia beragama, tapi lupa makna"
Aku tertawa, air mengalir bersama ironi
"Iman dijadikan komoditas, dijual di pasar pagi"

"Sila kedua," lanjutnya, "Kemanusiaan yang adil dan beradab"
Aku menunjuk luka di punggung buruh yang lelah
"Adilkah upah yang tak sepadan dengan keringat?"
"Beradabkah kita yang menutup mata pada jerit rakyat?"

Ia terdiam, sabun jatuh dari tangannya
"Kadang, sistem lebih kuat dari sila"
Aku mengangguk, air mata bercampur air mandi
"Kita mandi bersama, tapi kotoran tetap menempel di hati"

"Sila ketiga," katanya, "Persatuan Indonesia"
Aku tertawa, suara menggema di dinding keramik
"Persatuan yang dijahit dengan benang politik?"
"Di mana perbedaan dijadikan alat untuk panik?"

Ia menatapku, mata penuh busa
"Persatuan bukan berarti seragam tanpa warna"
Aku mengangguk, mengambil handuk yang lusuh
"Namun, kita lebih suka menyamakan daripada merangkul peluh"

"Sila keempat," lanjutnya, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"
Aku duduk di kloset, merenung dalam keheningan
"Perwakilan yang lebih suka tidur di kursi empuk?"
"Daripada mendengar suara rakyat yang tercekik?"

Ia menghela napas, uap memenuhi ruang
"Demokrasi kadang tersesat di lorong kekuasaan"
Aku berdiri, menyalakan shower yang dingin
"Kita memilih, tapi pilihan kita sering dikekang"

"Sila kelima," katanya, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"
Aku menunjuk timbangan yang miring di sudut kamar
"Keadilan yang berat sebelah, untuk siapa?"
"Rakyat kecil atau mereka yang duduk di singgasana?"

Ia menunduk, air mengalir dari rambutnya
"Keadilan adalah cita-cita, bukan fakta"
Aku mengangguk, menutup keran yang berderit
"Namun, cita-cita tanpa usaha hanyalah mitos yang terbit"

Kami berdiri, telanjang dalam kebenaran
Tanpa sabun, tanpa handuk, hanya pertanyaan
Di kamar mandi, tempat segala topeng luruh
Aku dan Pancasila, bertengkar dalam sunyi yang utuh





๐ŸŽญ Refleksi Akhir

Monolog satir ini adalah tamparan halus—dan kadang tidak halus—bagi kita semua, terutama mereka yang dengan lantang mengklaim sebagai penjaga moralitas dan nasionalisme tapi menelanjangi nilai-nilai luhur di balik layar kekuasaan. Sindiran ini ditujukan kepada budaya simbolik yang kian banal, para pejabat dan rakyat yang sibuk debat soal "siapa paling Pancasila" tanpa hidup dalam nilai-nilainya.

Pesannya?
Pancasila bukan benda museum, bukan hafalan lomba 17-an. Ia hidup—atau mati—di kamar mandi moral kita masing-masing.

Puisi ini adalah cermin yang memantulkan ironi kehidupan berbangsa. Melalui dialog antara individu dan ideologi di ruang paling privat, kita diajak merenung tentang sejauh mana nilai-nilai Pancasila terimplementasi dalam realita. Sindiran ini menyasar pada ketidaksesuaian antara prinsip dan praktik, mengajak kita untuk tidak hanya menghafal sila, tetapi juga menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.