Sunday, February 2, 2025

Dompetku Bersumpah Setia

  


Dompetku Bersumpah Setia (Tapi Cintanya ke Tuan Lain)

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

“Aku mencintaimu,” kata dompetku setiap tanggal muda.
Tapi ia selingkuh dengan tagihan listrik, utang cicilan, dan promosi diskon gila.


Pengantar

Ah, dompetku. Ia berkata tak akan pernah pergi. Tapi tiap aku buka mulut, ia minta isi.
Aku sang pemilik, tapi ia yang selalu minta dikasihani.


Puisi Satir: Dompetku Bersumpah Setia (Tapi Cintanya ke Tuan Lain)

Dompetku, oh dompetku,
makhluk kulit imitasi yang pura-pura loyal itu.
Kau bersumpah tak akan meninggalkanku,
tapi setiap aku membuka resletingmu,
angin saja yang menyambutku dengan pelukan beku.

Katamu: “Aku setia.”
Tapi setiap uang mampir, kau kabur lebih cepat dari janji pejabat saat kampanye.

Aku menengok ke dalammu,
ada kwitansi penuh nostalgia—
kopi tanggal 5, gorengan tanggal 7,
dan parfum diskon 80% yang katanya limited edition
tapi justru bikin bau bangkrut permanen.

Dompetku pintar berdiplomasi:
“Aku ini bukan kosong, hanya sedang bermeditasi.”
Ia seperti wakil rakyat: tampak elegan di luar,
tapi isinya janji, bon utang, dan kartu diskon kedaluwarsa.

KTP-ku pun malu tinggal bersamamu,
ia sering berbisik ke SIM:
“Haruskah kita pindah ke e-wallet saja?”

Oh dompetku yang sok setia,
kau tempat transit, bukan tempat tinggal.
Uang hanya mampir padamu untuk sekadar transit sebentar,
seperti pacar yang datang bawa bunga,
tapi pulang bawa nota kredit pinjaman.

Kadang aku dengar bisik-bisikmu di malam hari:
“Seandainya aku milik CEO startup yang gagal tapi dapat investor,
pasti aku jadi lebih berisi dan estetis.”

Sial, bahkan dompetku punya mimpi lebih besar dariku.

Dia cemburu pada rekening bank digital
yang punya cashback dan bunga harian,
sementara ia cuma punya kantong sobek dan sisa aroma recehan.

Dompetku, si drama queen.
Tiap kali kubuka di depan umum,
ia bersikap seperti diva pensiunan:
banyak lapisan, penuh rahasia, dan selalu menolak terbuka penuh.

Kartu BPJS duduk berdampingan dengan kartu tol
yang saldonya tinggal serpihan doa.
Foto mantan pun masih ada,
bukan karena aku rindu,
tapi karena dompet ini menolak move on.

“Kau pelit!” katanya padaku.
Padahal tiap bulan aku isi dengan harapan,
dan ia balas dengan pengkhianatan:
bayar listrik, pulsa, dan sedekah impulsif di kasir minimarket.

Ia ikut seminar finansial bersamaku,
tapi lebih tertarik pada sesi coffee break dan goodie bag.

Ia tahu cara kerja inflasi,
tapi tetap jatuh cinta pada diskon akhir bulan
yang katanya "hemat", padahal jebakan psikologis berjubah warna merah.

Dompetku pintar berakting,
di hadapan orang tua: jadi konservatif.
Di hadapan teman nongkrong: jadi royal.
Di hadapan diri sendiri: jadi korban.

Kadang aku memeluknya di malam sunyi,
dan berkata lirih,
“Maaf aku belum bisa membahagiakanmu.”
Tapi ia malah menjawab,
“Tenang, aku sudah terbiasa dibuang.”

Setiap aku berniat menabung,
dompetku langsung demam tiga hari tiga malam.
Ia alergi pada stabilitas,
dan mengidap sindrom: belanja dulu, mikir nanti.

Dompetku punya dua wajah:
di depan kasir: sok pahlawan.
di rumah: penuh trauma pengeluaran.

Ia mencintai promo cicilan nol persen
lebih dari komitmen nol drama dalam hidup.

“Dompetku bersumpah setia,”
katanya waktu upacara gajian.
Tapi beberapa menit kemudian,
ia melirik dompet online sebelah
yang lebih ramping, ringan, dan bersaldo penuh.

Dompetku kini tua,
berkerut karena dicubit berkali-kali,
menggelembung karena kartu-kartu tak berguna,
dan kempes karena uang hanya numpang lewat.

Tiap aku bawa dia ke ATM,
ia deg-degan, berharap sesuatu masuk,
tapi malah hanya melihat saldo trauma dan potongan admin.

Kadang aku ingin memberontak:
ganti dompet baru,
yang warnanya mewah, bentuknya tipis,
yang bisa bicara: “Tenang, aku siap menerima semua gajimu.”

Tapi aku tahu,
sebanyak apapun aku ganti kulit,
jika jiwa pengelolaanku tetap kacau,
dompet hanyalah korban dari hasrat yang tak pernah belajar menunda.


Refleksi Akhir

Sindiran ini untuk siapa? Untuk kita semua—para pahlawan dompet kempes yang setiap bulan berharap dompet menjadi rumah yang setia, bukan hotel semalam.
“Dompetku bersumpah setia” adalah ironi yang mencubit: ketika benda mati kita beri nyawa untuk disalahkan, padahal pengelolaan dan keputusan belanja ada di tangan kita sendiri.

Pesannya?
Uang tidak pernah kabur sendiri, ia hanya berjalan ke arah yang kita tuju.
Dompet tidak pernah berkhianat, kita saja yang sering menyuruhnya ikut ke medan perang impulsif tanpa senjata kesadaran.


Dompetku: Nabi Palsu Berkhotbah Tentang Kesetiaan

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

“Aku tak akan meninggalkanmu,” bisik dompet saat gajian pertama.
Tapi ia selalu tergelincir ke pelukan e-commerce di malam Jumat.


Pengantar

Dalam dunia yang digenggam oleh cicilan dan diskon,
dompet bukan lagi tempat menyimpan uang,
melainkan kuburan janji-janji keuangan.


Puisi Satir: Dompetku: Nabi Palsu Berkhotbah Tentang Kesetiaan

Dompetku adalah pendusta suci.
Ia tampil lusuh seperti rahib,
tapi rakus seperti iblis dalam promo 11.11.

Ia berceramah tiap akhir bulan:
“Jangan takut, aku akan selalu ada.”
Namun detik aku berniat menabung,
ia langsung kerasukan setan diskon dan lari ke warung sebelah.

Pernah suatu malam, aku bertanya:
“Dompet, kenapa kau selalu kosong?”
Dia menjawab dengan mata berkaca:
“Karena aku telah menyerahkan segalanya… demi kebutuhan palsumu.”

Dompetku suka bicara soal cinta,
tapi ia pelacur untuk marketplace.
Setia katanya?
Ia lebih setia pada voucher gratis ongkir daripada padaku.

Di dalamnya ada kisah penuh luka:
Kartu ATM dengan saldo luka batin,
Karcis parkir dari tanggal entah,
Koin receh penuh debu—sisa perjuangan jajan tahu bulat.

Di saku transparan itu,
KTP tersenyum pahit,
seolah berkata: “Aku warga negara penuh utang.”

Dompetku bukan tempat uang,
ia museum kegagalan finansial pribadi.
Ia menolak diisi dengan bijak,
karena katanya, “Fungsi uang itu untuk dinikmati, bukan dipenjara.”

Dompetku tak takut Tuhan,
tapi ia takut ketinggalan flash sale.

Ia benci stabilitas,
menganggapnya musuh keseruan hidup.
Kalau bisa bicara, ia akan menyumpah:
“Hidup ini terlalu singkat untuk tidak beli barang yang tidak kau butuh!”

Kadang ia berakting seperti korban:
Mengeluh tentang nasibnya yang miskin,
padahal diam-diam ia selingkuh dengan kartu kredit.

Aku pernah mengajaknya ke seminar perencanaan keuangan,
ia malah kabur ke kafe seberang,
memejamkan mata sambil memesankan latte dan croissant pakai PayLater.

Setiap kali kupeluk dompetku,
aku bisa dengar detak jantung utangku.
Ia berdetak cepat tiap melihat diskon,
dan berdetak pelan tiap bicara sedekah.

Dompetku mengidap bipolar ekonomi:
Penuh gaya di awal bulan,
penuh doa di akhir bulan.

Bahkan amplop kondangan pun menolaknya,
karena tahu ia cuma bawa niat, bukan isi.

Ia punya enam kompartemen,
semuanya kosong,
kecuali satu yang berisi kartu member toko bangkrut dan kupon potong rambut yang sudah expired.

Dompetku, si pahlawan kesiangan,
muncul saat aku ingin pamer,
tapi menghilang saat aku butuh bayar.

Ia adalah kapitalis kecil berbaju sobek,
idealis yang mencintai gaya hidup ‘cicil dulu sadar belakangan’.

Kadang aku iri pada dompet orang lain:
Yang gemuk, berdaging, dan penuh tujuan.
Sementara dompetku…
kurus kering seperti naskah skripsi yang ditolak tiga kali.

Ia sering menasihatiku:
“Jangan takut belanja, uang bisa dicari.”
Tapi saat aku betulan cari uang,
ia tidur di kantong,
malas bangun dari mimpi utopis tentang cashback.

Dompetku, penulis naskah tragedi.
Setiap kali aku buka,
drama baru dimulai:
Episode 1: Gaji masuk.
Episode 2: Bayar utang.
Episode 3: Beli yang tidak perlu.
Episode 4: Nasi dan garam, hidup hemat.
Episode final: Doa menunggu gajian berikutnya.

Dompetku adalah monumen kebodohan finansial,
tapi ia tetap kuajak ke mana-mana,
karena siapa lagi temanku
yang mengerti kesedihan tagihan pulsa tengah malam?

Ia tidak bisa menyembuhkan luka,
tapi bisa membukakan luka baru—
setiap kali saldo tinggal tiga digit,
dan tanggal masih remaja.

Aku pernah iseng bertanya padanya:
“Apa cita-citamu, Dompet?”
Ia jawab:
“Aku ingin mati di tangan sultan, bukan kau yang tiap isi saldo pakai pinjaman.”

Sial. Bahkan dompetku ingin pindah majikan.

Setiap kali aku bicara soal menabung,
ia batuk-batuk seperti orang tua renta yang alergi hidup teratur.

Dompetku benci perencanaan,
tapi cinta pengeluaran.
Ia menganggap spreadsheet keuangan itu mitos,
dan saldo ideal itu dongeng dari negeri unicorn.

Ia bahkan pernah ikut challenge 30 hari menabung.
Hari pertama ia bilang: “Oke, ayo!”
Hari kedua: “Besok ya.”
Hari ketiga: transaksi berhasil Rp 150.000.

Dompetku punya banyak pintu,
tapi tidak pernah jadi rumah untuk uang.
Uang datang,
masuk sebentar,
terus kabur tanpa pamit.


Refleksi Akhir

Sindiran ini bukan sekadar pada dompet yang kosong, tapi pada tangan yang tak pernah belajar berhenti menukar esensi dengan ilusi.
Dompet hanyalah cermin: ia menampilkan isi kepala dan nafsu kita yang sesungguhnya.

Puisi ini menyentil kaum urban yang hidup dalam pusaran "beli dulu, pikir nanti",
menyindir gaya hidup plastik berbalut promosi dan FOMO.

Pesan moralnya?
Bila kita ingin dompet yang benar-benar setia,
maka kita yang harus setia dulu—pada kesadaran, perencanaan, dan pengendalian.


Aku Orator di Panggung Senyap: Ketika Mikrofon Dicabut, Tapi Lidah Tak Bisa Diam

 


📍Pengantar Pendek:

“Yang paling mematikan bukan sensor, tapi tepuk tangan palsu dari bangku kekuasaan.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


🎭 PUISI SATIR: "Aku Bersuara, Tapi Mikrofon Mati"

I
Aku bersuara,
sekeras suara klakson truk yang tak pernah dibayar pajaknya.
Suara ini bukan bisikan mesra,
tapi gelegar perut lapar yang tak dapat ditukar subsidi.

Mikrofon mati.
Bukan karena listrik padam—
tapi karena kabelnya diselundupkan ke perut para pemilik panggung.

II
“Bicara yang baik-baik saja,” katanya.
Lalu dia menyumpal mulutku
dengan undang-undang yang ditulis pakai pensil,
tapi ditegakkan pakai palu godam.

Mereka bilang aku nyinyir.
Padahal aku cuma menyebut fakta yang tak bisa disunat.
Seperti gaji pejabat yang tumbuh subur
di tengah rakyat yang makan nasi beraroma utang.

III
Aku coba teriak lewat puisi,
tapi katanya itu ‘radikal terselubung dalam estetika’.
Aku coba bisikkan lewat lagu,
tapi katanya: “Liriknya tidak nasionalis.”

Aku tulis di status,
dibalas buzzer dengan puisi sarkas berbayar.
Katanya, “Kamu kurang bersyukur.”
Seolah bersyukur artinya membisu saat ditampar.

IV
Aku bersuara di TV,
tapi suaraku dicampur iklan mie instan
dan testimoni dari artis yang pernah salah sebut Pancasila.
Wajahku dimunculkan dalam kotak kecil,
sambil komentator bersuara serak membacakan skrip:
"Menurut pihak berwenang, semua baik-baik saja."

Ah, betapa damainya
negara yang penuh laporan damai palsu!
Di mana rakyat menangis dalam kolom komentar,
sementara wakilnya live dari kapal pesiar.

V
Aku bersuara—bukan demi viral,
tapi karena diamku dipalsukan jadi dukungan.
Mereka pakai wajahku di poster,
tapi lupa tanyakan izinku.

Aku pernah dipanggil 'provokator'.
Tapi siapa sebenarnya provokator?
Yang teriak lapar?
Atau yang senyum sambil telan anggaran banjir?

VI
Mikrofon mati.
Tapi jangan khawatir,
speaker para penguasa masih hidup
memutar lagu tema “Kemakmuran Semu”
dengan nada mayor dan backing vokal dari bank dunia.

Setiap kritik dianggap nyamuk,
makanya mereka pasang kelambu UU ITE.
Padahal yang menghisap darah bukan aku,
tapi si nyamuk berdasi yang selalu tidur di rapat.

VII
Aku pernah coba rapat warga.
Tapi digerebek karena katanya: “Berpotensi makar.”
Padahal kami cuma bahas harga telur dan jalan berlubang.

Coba bilang itu ke ibu-ibu yang cuci piring pakai air got,
atau bapak-bapak yang jadi tukang parkir liar
karena pabriknya pindah ke negeri yang lebih murah upahnya.

VIII
Aku orator dalam konser keheningan.
Di mana standing ovation diberikan
bukan untuk kejujuran,
tapi untuk akting kebijakan populis.

Dan saat kutanya, “Mengapa mikrofon mati?”
Jawabnya:
“Karena kamu tidak ikut akreditasi kebenaran versi pemerintah.”

IX
Mereka bilang:
“Kalau tak suka, pindah negara!”
Ironis. Negara ini aku bangun dengan pajakku
yang entah ke mana ujungnya.
Mungkin ke bibir manis influencer nasional
yang jadi duta damai tanpa pernah turun ke pasar.

X
Aku bersuara lewat mural,
tapi dindingnya dicat ulang oleh tangan gemetar,
takut kebenaran menular.

Aku bersuara lewat podcast,
tapi dituduh menyesatkan generasi muda
yang katanya lebih baik main TikTok
daripada baca sejarah.

XI
Aku tak butuh tepuk tangan.
Tepuk tangan kini seperti sensor baru.
Semakin kencang,
semakin mencurigakan.

Aku hanya ingin didengar,
bukan dikutip sepotong,
bukan dijadikan bahan analisis
oleh para ahli yang tak pernah makan nasi kucing.

XII
Mikrofon mati,
tapi lidahku hidup,
lebih hidup dari ruang dewan yang penuh kursi kosong.
Lebih hidup dari pidato 17 Agustus
yang diketik dengan gaya motivator tapi isi kosong melompong.

XIII
Jadi kuteriakkan ini,
bukan untuk mereka yang telinganya sudah ditutup saham dan saham:
Tapi untukmu—
yang masih bisa dengar jerit dari kolong jembatan,
dari lorong kelas bocor,
dari napas terakhir yang tertahan
di ruang IGD yang listriknya putus karena tunggakan.


📌 Refleksi Penutup:
Puisi ini adalah suara untuk mereka yang tak punya panggung,
yang suaranya diredam oleh mikrofon yang sengaja dimatikan.
Sindiran ini menyasar mereka yang alergi kritik tapi doyan retorika.
Sebab dalam dunia di mana kejujuran dianggap subversif,
maka satire adalah satu-satunya alat bedah untuk membongkar absurditas.
Dan walau mikrofon mati,
jiwa ini masih bersuara—lebih nyaring dari apapun yang ingin dibungkam.



"Di Panggung Sunyi Aku Teriak: Tapi Mikrofon Sudah Dibekukan Jadi Patung Perunggu"

📍Pengantar Pendek:

“Kebebasan? Tentu boleh—asal isinya pujian, nadanya sopan, dan ditranskrip dulu ke Kementerian Senyum Palsu.”
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

 I

Aku bersuara—bukan berbisik seperti konspirasi dalam grup WA emak-emak.
Aku meledak,
seperti jerawat sistemik dari muka kekuasaan yang pura-pura bersih.

Tapi mikrofonku disulap jadi patung perunggu
dan diletakkan di museum demokrasi palsu,
dijaga oleh satpam berseragam "Netral Tapi Bisa Disewa".

II
Mereka bilang aku harus “bijak dalam bersuara.”
Padahal yang perlu dibijaki adalah isi dompet rakyat
yang tipis seperti kulit bibir pemimpin saat kampanye.

Aku dituduh menghina negara.
Padahal aku cuma baca tagihan listrik.
Itu saja sudah dianggap radikal,
karena katanya: rakyat bahagia tak butuh bukti.

III
Mikrofonku tak cuma mati—
ia digantung di bundaran HI,
dengan tulisan: “Contoh mikrofon pembangkang.”

Sementara suara pejabat mengalun lewat toa masjid,
toilet umum, dan iklan pulsa gratis.
Katanya: “Indonesia Maju!”
Tapi kaki petani masih tenggelam di lumpur subsidi palsu.

IV
Aku ingin bersuara seperti letusan meriam,
tapi mereka beri aku aturan yang menjebak
lebih rumit dari sandi WiFi DPR.

"Jangan kritik tanpa solusi!" katanya—
lalu saat kuberi solusi,
mereka jawab: "Kamu bukan ahli."
Lantas ahli mana?
Ahli tidur di sidang atau ahli meresmikan pabrik milik asing?

V
Aku lempar pertanyaan:
"Kenapa uang bansos dipotong?"
Jawabnya: "Itu bagian dari efisiensi spiritual."
Sial. Ternyata korupsi kini bertapa.

Aku bilang: "Pendidikan mahal!"
Mereka jawab: "Itu untuk meningkatkan kualitas."
Tapi kualitas apa?
Kualitas lemari arsip yang lebih banyak dari guru?

VI
Mikrofonku dimatikan oleh tangan-tangan
yang sudah biasa menyuap kebisingan.
Karena sunyi itu emas,
terutama jika emas itu diselundupkan lewat proyek fiktif.

Aku teriak: “Lapar!”
Tapi yang datang malah undangan webinar
tentang pentingnya bersyukur saat krisis.

VII
Lidahku kini tumbuh cabang,
satu untuk berkata jujur,
satu lagi untuk menjilat,
karena hanya lidah kedua yang bisa dapat akses media nasional.

Aku tanya: “Mana hak rakyat?”
Mereka tanya balik: “KTP-mu apa?”
Tiba-tiba demokrasi disensor oleh domisili dan NPWP.

VIII
Aku bukan lagi manusia,
aku monolog yang ditendang dari panggung,
karena panggung kini dimiliki oleh algoritma,
yang hanya menampilkan mereka yang fasih membacakan pujian.

Mereka katakan: “Kami mendengarmu!”
Tapi tangannya sibuk memencet tombol mute
dan matanya sibuk memfilter komentar netizen
yang dianggap terlalu ‘emosional’.

IX
Aku menulis opini.
Dihapus.
Aku buat mural.
Dicat ulang.
Aku pasang spanduk.
Dipotong.

Aku coba demo.
Langsung dibilang antek asing.
Padahal asing bagiku adalah kebijakan
yang tak pernah lewat kuping rakyat.

X
Tiap kali aku bicara,
sensor datang duluan,
lebih cepat dari paket kurir,
lebih tajam dari pisau bedah anggaran.

Bahkan suara hatiku kini
dianggap fitnah karena tidak menguntungkan citra.
Mereka ingin semua kritik berdandan,
pakai make-up natural,
berfoto selfie sebelum disampaikan.

XI
Aku belajar dari badut.
Karena ternyata badut kini lebih jujur
daripada pembicara resmi yang gemar melucu saat rakyat berduka.

Aku belajar dari sapi,
karena sapi disembelih dengan hormat,
sementara rakyat dipotong pelan-pelan lewat harga sembako.

XII
Mikrofon mati—
tapi pelantikan pejabat tetap tayang full HD.
Dan para pendukungnya tepuk tangan
pakai tangan yang kemarin digunakan memungut remah bansos.

Aku bersuara,
tapi negara ini sudah punya noise cancelling sendiri—
berbentuk program kerja lima tahun yang hanya bekerja dua minggu sebelum pemilu.

XIII
Mereka bilang:
"Kalau tak suka, buat partai sendiri!"
Padahal bikin KTP saja sekarang butuh akta loyalitas.
Partai?
Partai kini adalah arena rebutan kursi
bukan alat gerak rakyat.

Aku bersuara,
tapi ditanya dulu:
“Berapa followers kamu?”
Karena kebenaran kini ditimbang oleh jumlah likes,
bukan oleh isi kepala.

XIV
Aku menulis,
tapi tinta puisiku dibaca sebagai laporan intel.
Aku bernyanyi,
tapi laguku dicurigai kode sandi makar.
Aku diam,
dan diamku ditafsirkan sebagai dukungan penuh.

XV
Maka aku bersuara dengan cara lain:
Lewat jalan kaki,
lewat antrean panjang BPJS,
lewat anak-anak yang belajar pakai kertas koran.

Aku bersuara lewat napas kuli bangunan,
yang tiap kali batuk disangka batuk biasa—
padahal itu batuk dari debu mimpi yang gagal diwujudkan.

XVI
Dan ketika malam tiba,
aku berseru di bawah jendela kekuasaan:
"Ini negeri siapa?
Yang hanya bisa bicara jika suaranya dibungkus plastik sensor dan doa!"


📌 Refleksi Penutup:
Versi ini adalah teriakan yang sudah tak lagi bisa ditulis rapi.
Ia adalah satire yang tak menyembunyikan amarah,
karena terlalu banyak tawa palsu
yang menindih suara yang paling jujur.

Sindiran ini bukan hanya untuk penguasa,
tapi juga untuk kita yang mulai terbiasa dengan bisu.
Mikrofon boleh mati,
tapi kata-kata masih bisa jadi senjata—
asal tak kita kubur sendiri demi kenyamanan sesaat.

 

Uang Tidak Pernah Sekolah Tapi Pintar

 


🧠 Uang Tidak Pernah Sekolah Tapi Pintar: Biografi Si Kertas Licik

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


“Uang tak pernah duduk di bangku sekolah, tapi ia mengajar dunia tentang nilai dan harga.”




Pengantar

Uang, si kertas tanpa ijazah, menguasai dunia dengan kecerdikannya. Ia tidak pernah membaca buku, namun mampu menulis takdir manusia.


Puisi Satir: Uang Tidak Pernah Sekolah Tapi Pintar

Uang lahir tanpa akta,
tidak pernah mencicipi bangku sekolah.
Namun, ia mengajar manusia tentang nilai,
dengan bahasa yang tak terucap, namun terasa.

Ia tidak mengenal alfabet,
tapi namanya ditulis di setiap hati.
Ia tidak mengerti matematika,
namun menghitung setiap langkah manusia.

Uang tidak pernah belajar sejarah,
namun ia menciptakan peradaban.
Ia tidak tahu geografi,
namun hadir di setiap sudut dunia.

Ia tidak pernah belajar seni,
namun menjadi inspirasi setiap karya.
Ia tidak mengerti musik,
namun mengatur irama kehidupan.

Uang tidak pernah belajar etika,
namun menentukan moral manusia.
Ia tidak tahu agama,
namun disembah di setiap doa.

Ia tidak pernah belajar politik,
namun mengendalikan kekuasaan.
Ia tidak tahu hukum,
namun membentuk keadilan.

Uang tidak pernah belajar psikologi,
namun memahami hasrat terdalam manusia.
Ia tidak tahu filsafat,
namun menjadi alasan eksistensi.

Ia tidak pernah belajar sosiologi,
namun membentuk struktur masyarakat.
Ia tidak tahu antropologi,
namun menjadi bagian dari budaya.

Uang tidak pernah belajar ekonomi,
namun menjadi pusat perputaran dunia.
Ia tidak tahu bisnis,
namun menjadi tujuan setiap transaksi.

Ia tidak pernah belajar teknologi,
namun mempercepat inovasi.
Ia tidak tahu internet,
namun viral di setiap platform.

Uang tidak pernah belajar pendidikan,
namun menentukan akses ke ilmu.
Ia tidak tahu kurikulum,
namun menjadi syarat kelulusan.

Ia tidak pernah belajar kesehatan,
namun menentukan kualitas hidup.
Ia tidak tahu obat,
namun menjadi resep utama.

Uang tidak pernah belajar olahraga,
namun menjadi sponsor utama.
Ia tidak tahu kompetisi,
namun menentukan pemenang.

Ia tidak pernah belajar kuliner,
namun menentukan rasa makanan.
Ia tidak tahu resep,
namun menjadi bahan utama.

Uang tidak pernah belajar fashion,
namun menentukan tren.
Ia tidak tahu desain,
namun menjadi label utama.

Ia tidak pernah belajar arsitektur,
namun menentukan bentuk kota.
Ia tidak tahu struktur,
namun menjadi fondasi.

Uang tidak pernah belajar lingkungan,
namun menentukan nasib bumi.
Ia tidak tahu ekosistem,
namun menjadi penyebab perubahan.

Ia tidak pernah belajar seni bela diri,
namun menjadi senjata utama.
Ia tidak tahu strategi,
namun memenangkan perang.

Uang tidak pernah belajar cinta,
namun menjadi alasan pernikahan.
Ia tidak tahu romansa,
namun menjadi mahar utama.

Ia tidak pernah belajar keluarga,
namun menentukan kebahagiaan.
Ia tidak tahu kasih sayang,
namun menjadi ukuran cinta.

Uang tidak pernah belajar kebahagiaan,
namun menjadi tujuan hidup.
Ia tidak tahu makna hidup,
namun menjadi alasan bertahan.


Refleksi Akhir

Puisi ini menyindir bagaimana uang, meski tanpa pendidikan formal, mampu mengendalikan berbagai aspek kehidupan manusia. Ia menjadi simbol kekuasaan, penentu moral, dan tujuan hidup, menggantikan nilai-nilai yang seharusnya dipelajari dan dihargai melalui pendidikan dan pengalaman.

Sindiran ini ditujukan kepada masyarakat yang terlalu memuja uang, hingga melupakan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan, dan moralitas. Pesan moralnya adalah untuk mengingatkan bahwa uang seharusnya menjadi alat, bukan tujuan utama dalam hidup.


🧠 Uang: Si Kertas Tanpa Ijazah yang Menggurui Dunia

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


“Uang tak pernah duduk di bangku sekolah, tapi ia mengajar dunia tentang nilai dan harga.”




Pengantar

Uang, si kertas tanpa ijazah, menguasai dunia dengan kecerdikannya. Ia tidak pernah membaca buku, namun mampu menulis takdir manusia.


Puisi Satir: Uang: Si Kertas Tanpa Ijazah yang Menggurui Dunia

Uang lahir tanpa akta,
tidak pernah mencicipi bangku sekolah.
Namun, ia mengajar manusia tentang nilai,
dengan bahasa yang tak terucap, namun terasa.

Ia tidak mengenal alfabet,
tapi namanya ditulis di setiap hati.
Ia tidak mengerti matematika,
namun menghitung setiap langkah manusia.

Uang tidak pernah belajar sejarah,
namun ia menciptakan peradaban.
Ia tidak tahu geografi,
namun hadir di setiap sudut dunia.

Ia tidak pernah belajar seni,
namun menjadi inspirasi setiap karya.
Ia tidak mengerti musik,
namun mengatur irama kehidupan.

Uang tidak pernah belajar etika,
namun menentukan moral manusia.
Ia tidak tahu agama,
namun disembah di setiap doa.

Ia tidak pernah belajar politik,
namun mengendalikan kekuasaan.
Ia tidak tahu hukum,
namun membentuk keadilan.

Uang tidak pernah belajar psikologi,
namun memahami hasrat terdalam manusia.
Ia tidak tahu filsafat,
namun menjadi alasan eksistensi.

Ia tidak pernah belajar sosiologi,
namun membentuk struktur masyarakat.
Ia tidak tahu antropologi,
namun menjadi bagian dari budaya

Uang tidak pernah belajar ekonomi,
namun menjadi pusat perputaran dunia.
Ia tidak tahu bisnis,
namun menjadi tujuan setiap transaksi.

Ia tidak pernah belajar teknologi,
namun mempercepat inovasi.
Ia tidak tahu internet,
namun viral di setiap platform.

Uang tidak pernah belajar pendidikan,
namun menentukan akses ke ilmu.
Ia tidak tahu kurikulum,
namun menjadi syarat kelulusan.

Ia tidak pernah belajar kesehatan,
namun menentukan kualitas hidup.
Ia tidak tahu obat,
namun menjadi resep utama.

Uang tidak pernah belajar olahraga,
namun menjadi sponsor utama.
Ia tidak tahu kompetisi,
namun menentukan pemenang.

Ia tidak pernah belajar kuliner,
namun menentukan rasa makanan.
Ia tidak tahu resep,
namun menjadi bahan utama.

Uang tidak pernah belajar fashion,
namun menentukan tren.
Ia tidak tahu desain,
namun menjadi label utama.

Ia tidak pernah belajar arsitektur,
namun menentukan bentuk kota.
Ia tidak tahu struktur,
namun menjadi fondasi.

Uang tidak pernah belajar lingkungan,
namun menentukan nasib bumi.
Ia tidak tahu ekosistem,
namun menjadi penyebab perubahan.

Ia tidak pernah belajar seni bela diri,
namun menjadi senjata utama.
Ia tidak tahu strategi,
namun memenangkan perang.

Uang tidak pernah belajar cinta,
namun menjadi alasan pernikahan.
Ia tidak tahu romansa,
namun menjadi mahar utama.

Ia tidak pernah belajar keluarga,
namun menentukan kebahagiaan.
Ia tidak tahu kasih sayang,
namun menjadi ukuran cinta.

Uang tidak pernah belajar kebahagiaan,
namun menjadi tujuan hidup.
Ia tidak tahu makna hidup,
namun menjadi alasan bertahan.


Refleksi Akhir

Puisi ini menyindir bagaimana uang, meski tanpa pendidikan formal, mampu mengendalikan berbagai aspek kehidupan manusia. Ia menjadi simbol kekuasaan, penentu moral, dan tujuan hidup, menggantikan nilai-nilai yang seharusnya dipelajari dan dihargai melalui pendidikan dan pengalaman.

Sindiran ini ditujukan kepada masyarakat yang terlalu memuja uang, hingga melupakan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, pendidikan, dan moralitas. Pesan moralnya adalah untuk mengingatkan bahwa uang seharusnya menjadi alat, bukan tujuan utama dalam hidup.